Dalam permainan bola, ada yang dikenal dengan
gerak-tipu. Yaitu cara mendribel si kulit bundar melewati pemain-pemain lawan.
Ada yang secepat kilat mengoper bola ke kaki kirinya, balik belakang atau
pura-pura mau menyepak sehingga lawan terkecoh.
Nah, di bidang politik juga ada. Misalnya seperti
yang dimainkan Partai Gerindra di DPR saat ini, menyangkut pembentukan Pansus angket KPK. Boleh percaya,
boleh tidak.
Sejak dahulu-dahulu, Partai ini bersama PKS selalu
berupaya mengubah Undang-undang KPK. Banyak orang mencurigainya hanya untuk
mempreteli kewenangan dan keleluasaan KPK melaksanakan tugas pokoknya. Seperti
dalam hal penyadapan, pengawasan dan menahan orang-orang yang dicurigai
tersangkut perkara korupsi.
Pada waktu sidang pleno DPR tanggal 28 April 2017 untuk
mendapatkan persetujuan diselenggarakannya angket KPK, pimpinan sidang dipegang
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, meskipun oleh PKS sendiri dianggal ilegal.
Anehnya, fraksi Gerindra beserta seluruh anggotanya secara demonstratif walk out
alias meninggalkan sidang. Aneh,
selama ini getol mau mengadakan “perbaikan” dalam KPK, dan dalam kesempatan ini terbuka peluang
untuk itu, kok pada keluar. Sedang Fadli Zon, yang selain sebagai Wakil Ketua
DPR adalah juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, tetap duduk adem-ayem
mendampingi Fahri Hamzah di meja
pimpinan.
Ketika Fahri Hamzah tiba-tiba mengetokan palu
tanda sidang menerima persetujuan penyelenggaraan angket, Fadli Zon diam saja
tak bereaksi. Padahal, pengetokan palu tiba-tiba itu mendapatkan protes dari
banyak anggota DPR. Mereka protes karena masih banyak yang interupsi minta
kesempatan berbicara, tetapi tidak dilayani. Hal ini kemudian berbuntut
panjang. Sejumlah fraksi yang semula mendukung jadi ragu-ragu bahkan sudah
menyatakan tidak akan mengirim wakilnya dalam pembentukan Pansus. Bila itu
terjadi, maka kemungkinan sidang tak akan mencapai quorum, sehingga angket KPK
dengan sendirinya gagal.
Eh, pada situasi demikian tiba-tiba Fraksi Partai
Gerindra tampil lagi ke depan dan menegaskan akan mendukung pembentukan Pansus.
Ini memang sudah sesuai dengan asli haluan politiknya dari hari-hari
sebelumnya.
Orang bisa berkata mereka berubah pikiran karena
berbagai alasan. Tetapi menurut penulis ini hanyalah permainan gerak-tipu
politik seperti yang dikemukakan di atas. Dan wajar-wajar saja dalam politik, sepanjang
tidak melanggar hukum.
Ini sebagai taktik jitu, meski agar terasa kurang
etis. Partai Gerindra mula-mula melempar gagasan untuk mengubah sejumlah bagian dalam Undang-undang
KPK. Tetapi ketika akan mulai permainan, pura-pura mundur menentang angket KPK
dan membiarkan pihak lain maju dan memakai tangan-tangan lain untuk
memperjuangankan keinginannya yang sebenarnya. Sekaligus dalam hal ini akan
mendapatkan simpati banyak pihak sebagai pahlawan.
Karena sudah umum diketahui bahwa sebagian
terbesar rakyat Indonesia, tidak menginginkan diadakannya perubahan dalam tubuh
KPK. Biarkan keadaannya tetap seperti sekarang. Karena terbukti telah banyak membongkar tindak
pidana korupsi besar dan mampu memenjarakan orang-orang yang selama ini sulit
terjangkau oleh hukum.
Ironis bahwa inisiasi angket KPK ini muncul di DPR
ketika KPK sedang gencar-gencarnya
membongkar kasus korupsi besar seperti e-KTP, proyek Hambalang, alat-alat
kesehatan dsbnya - yang melibatkan banyak anggota DPR dan tokoh-tokoh partai. Lebih
memprihatinkan lagi, dalam Pansus angket
KPK yang akhirnya ternyata jadi juga jadi terbentuk, ada orang-orang yang
disebut-sebut namanya dalam kasus yang sedang ditangani KPK. Kok bisa ya ?. Di
mana etikanya. ***
No comments:
Post a Comment