Hari-hari
ini sebagian warga bangsa kita di Kalimantan, Riau dan Sumatera, tengah
dihantui kabut asap akibat kebakaran hutan. Baik akibat kemarau yang
berkepanjangan maupun oleh ulah orang-orang berpikiran picik dan tak
bertanggungjawab. Yang terakhir ini memanfaatkan kemarau ini sebagai kesempatan
untuk membuka lahan kebunnya tanpa berjerih-payah dan tanpa memikirkan
kepentingan umum.
Para leluhur
orang Mori Bahono dahulu, membuka kebun mereka dengan pembakaran juga, namun
dengan cara terukur dan terkendali. Sebelum pembakaran dilakukan, terlebih
dahulu dilakukan pemarasan rumput di sekeliling kebun agar saat pembakaran api tidak merambet ke tempat lain. Dan sebelum
api disulut akan diperhatikan lebih dahulu arah angin. Selama pembakaran berlangsung
mereka terus bersiaga mengawasi jangan
sampai ada api menjalar keluar. Mereka baru akan pulang setelah yakin semua
nyala api telah padam.
Satu hal
lagi yang patut dipuji dari tradisi orang Bahono buka lahan. Mereka menyadari
bahwa tanah perlu juga istrahat. Jangan terus-menerus dieksploitasi.
Kurang jelas apakah tradisi ini diadopsi
dari para penginjil dahulu, karena ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Kitab
Imamat pasal 25 bahwa tanah juga perlu diberi masa istrahat. Hanya penafsirannya
sedikit berbeda. Dalam pasal ini diperintahkan, tanah kebun dapat ditanami dan
dipungut hasilnya selama enam tahun tetapi pada tahun ketujuh harus
diistrahatkan, tak boleh ditanami. Bahkan tanaman yang tumbuh sendiri selama
tahun itu tak boleh dipeti. Tanah harus istrahat total.
Orang Bahono
mengistrahatkan tanah mereka bukan hanya setahun tetapi tujuh tahun. Selama
tujuh tahun itu mereka akan membuka kebun di tempat yang lain. Maka tak
heranlah kalau keluarga-keluaga orang Bahono dahulu memiliki tanah kebun
sedikitnya di tujuh lokasi yang berbeda. Mereka akan mengolahnya setiap tahun
secara bergilir. Bekas kebun yang baru dipanen, tahun berikutnya tak akan
dibuka lagi, tetapi akan dibiarkan untuk kembali ditumbuhi pohoh-pohon. Sesudah
tujuh tahun akan dilihat, apakah sudah layak untuk dibuka kembali atau belum dengan
memperhatikan diameter rata-rata pepohonan di bekas kebun itu. Rupanya mereka
juga memiliki standar minimalnya.
Kalau
dianggap sudah boleh, pembukaan akan dimulai dengan memaras rumput-rumput dan semak-semak yang disebut “me’owu” dengan
hanya meninggalkan pohon-pohon yang besar. Tahap berikutnya kaum pria akan melakukan tugas “montuehi”,
yaitu menebang pohon-pohon besar yang tersisa dengan kapak sambil “montutu’i:,
yakni memotong semua cabang-cabangnya agar hasil pembakarannya nanti merata.
Selang
beberapa minggu, ketika seisi lahan benar-benar
sudah kering, barulah dilakukan pembakaran seperti diceriterakan diatas.
Pekerjaan selanjutnya adalah “montawui”.
Yaitu mengumpulkan sisa-sisa cabang dan
ranting yang masih tersisa untuk dibakar kembali.
Dengan
selesainya pekerjaan montawui, lahan sudah siap untuk ditanami. Untuk menanam
padi atau “montasu”, biasanya dilakukan secara gotong royong yang disebut “merae”.
Semacam arisan saling menolong secara bergilir. Barisan kaum pria maju berderet bertugas membuat lubang dengan
tugal kemudian diikuti dengan deretan kaum wanita di belakang yang mengisi
benih padi. Saat-saat demikian biasanya mereka lakukan dengan riang gembira
sambil bernyanyi-nyanyi. Dan satu lagi, khusus untuk acara montasu ini ada
tradisi, nasi konsumsinya dihidangkan dalam bentuk “sinori”, yaitu nasi yang
dimasak dalam bambu mirip lemang. Tapi isinya nasi biasa yang dibalut dengan
dua potong daun sagu yang saling berhadapan.
Terkadang
giliran montasu agak terlambat. Rumput-rumput sudah terlebih dahulu tumbuh
disana sini sehingga perlu pekerjaan tambahan yaitu “monsaira” atau menyabit.
Sebab maklum saja, tanah yang sudah istrahat selama tujuh tahun telah
menghasilkan banyak humus. Tanahnya menjadi gembur dan subur tanpa memerlukan pupuk lagi.
Selain padi,
ditanam juga secara tumpang sari tanaman lain seperti jagung, semangka, dan
sayur-sayuran, pepaya dan lain-lain sehingga semua kebutuhan konsumsi keluarga
dapat terpenuhi. ***
No comments:
Post a Comment