Kasus
penistaan agama menyangkut salib Kristen oleh ustad Abdul Somad (UAS) yang
viral dalam suasana perayaan hari ulang tahun kemerdekaan RI beberapa waktu
lalu syukur mulai berangsur reda.
Menyikapi
kasus ini memang memerlukan kehati-hatian karena tergolong masalah sensitif.
Untuk solusi kasus ini terdapat banyak pendapat. Tapi dapat digolongkan dalam
dua kelompok.
Pertama, yang menganjurkan agar diselesaikan secara musyawarah atau
kekeluargaan sebagai warga bangsa dengan saling memaafkan. Kedua, diselesaikan
secara hukum. Dan untuk ini beberapa orang dan kelompok organisasi keagamaan
telah mengajukan pengaduan resmi ke
pihak Kepolisian.
Untuk anjuran
pertama, pada umumnya umat Kristen bersedia memaafkan sesuai perintah Yesus
untuk selalu mengampuni kesalahan orang lain dan karena itu bersedia untuk
penyelesaian secara damai dan kekeluargaan. Namun sebagian lagi menyatakan,
sekalipun mereka memaafkan, mereka berpendapat kasusnya perlu diselesaikan
secara hukum.
Kedua
anjuran di atas dua-duanya ada segi positifnya maupun segi kekurangannya. Segi
positif yang pertama, akan menghindarkan bekepanjangannya kasus ini yang bisa
mengganggu hubungan baik antar pemeluk agama bahkan ketenteraman masyarakat
pada umumnya. Segi kekurangannya, tidak terwujud adanya kepastian hukum di mana
keadilan dan kebenaran ditegakkan. UAS menyatakan tidak bersasalah sehingga tak
perlu meminta maaf. Bahkan tidak, bila ucapannya itu menyinggung perasaan umat Kristiani. Tetapi sebagian besar umat Kristiani menganggap
ucapan-ucapan serta peragaan UAS itu sebagai penistaan agama. Dalam kasus
demikian, seyogyanya pengadilanlah yang menentukan UAS bersalah atau tidak.
Segi positif
dari anjuran kedua, adalah adanya kepastian hukum seperti dikemukakan di atas.
Apakah yang diucapkan UAS itu suatu kesalahan atau tidak. Sebab kalau tidak, banyak
kemungkinan nanti akan diulangi lagi, mungkin oleh orang lain. Kalau dinyatakan
salah, bisa menjadi peringatan untuk yang lain agar tidak mengulangi hal yang sama.
Tambahan pula, diselesaikannya secara
hukum kasus UAS ini, tidak akan
menimbulkan kesan, bahwa peradilan terhadap penistaan agama di Indonesia hanya
berlaku terhadap pelaku dari golongan agama minoritas. Tetapi bila pelaku dari
pemeluk agama mayoritas terhadap agama minoritas tak perlu dibawa ke
pengadilan. Apalagi telah sejumlah tokoh agama minoritas yang dipenjarakan
dengan tuduhan penistaan agama.
Penulis
sendiri berpendapat, idealnya diselesaikan di pengadilan, tetapi dengan syarat
benar-benar pengadilan yang bebas dari tekanan dan intimidasi, sehingga
benar-benar para hakim dapat memberikan keputusan yang adil dan benar menurut
hukum. Dalam forum pengadilan itulah para pengadu dan para saksi ahli dari
kalangan agama yang merasa dinista berkesempatan memberi kesaksian akan makna sakral
salib itu secara terbuka sehingga harus
dihormati.
Tapi dari pengalaman yang lalu-lalu,
nampaknya kondisi ideal demikian sulit terwujud. Mau menegakkan keadilan
ditengah-tengah ketidakadilan adalah kesia-siaan. Karena itu pihak-pihak yang
telah mengadukan UAS ke Kepolisian
sebaiknya menarik kembali pengaduannya dan biarlah kasusnya diselesaikan secara
damai di forum komunikasi lintas agama. Bukan karena tuntutan atau permintaan
pihak lain, tetapi atas kemauan sendiri. Umat Kristen telah diperintahkan : “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung
padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang !” (Roma 12 :18).
Dalam Forum
Komunikasi Antar Agama, diharapkan setidak-tidaknya dapat disepakati
pula apa yang dianjurkan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum
Dewan Masjid Indonesia agar para tokoh agama lebih berhati-hati dalam berdakwa,
membawa damai dan sejuk. Himbauan Wakil Presiden ini patut diperhatikan,
khususnya bagi para tokoh atau pemeluk
agama yang baru beralih agama. Ini rentan, karena ada kebiasaan, mereka diminta
atau atas dorongan hati sendiri membuat kesaksian sebab-musabab ia beralih
agama.
Ada yang
karena ketertarikannya atas ajaran suatu agama lain, ada karena suatu pengalaman
pribadi yang luar biasa berupa penglihatan, tapi ada pula setelah membanding-bandingkan ajaran
agamanya dengan agama lain. Menceriterakan ketidakpahaman atau
ketidaksetujuannya atas ajaran agamanya yang lama, sah-sah saja. Tetapi
janganlah berlebihan sampai terkesan sebagai penghinaan. Tetap menghormati
ajaran agamanya yang lama serta pemeluknya sekalipun sudah ditinggalkannya. Sebab mungkin di kalangan pendengar, sekalipun dalam kalangan sendiri, ada yang berpikiran moderat. Karena tidak setuju dengan cara kesaksian itu, ia membawanya ke forum terbuka sehingga menjadi masalah.***
No comments:
Post a Comment