Kegusaran orang Mori-Bahono atas
klaim air terjun Lemo-lemo yang berlokasi di wilayah tanah leluhur mereka oleh orang-orang
dari luar dapat dimengerti.
Masalahnya, karena Desa Uluanso (tua)
dan Kumpi (tua) tempat asal mula-mula orang Mori Bahono telah hilang dari peta
bumi setelah ditinggal mengungsi oleh penduduknya pada dekade tahun 1950-an
karena gangguan gerombolan Kahar Muzakar dari Sulawesi Selatan.
Ketika Beteleme juga terancam, bahkan
kemudian dibumi hanguskan gerombolan, orang Bahono Uluanso mengungsi lagi ke
arah barat menjadi Uluanso Mora sekarang. Sedangkan orang Bahono Kumpi
mengungsi lebih jauh ke arah kota Kolonodale antara Desa Tinompo dan
Korompeeli.
Setelah ditinggal begitu lama, kampung
tua Uluanso dan Kumpi tua menjadi hutan semak belukar. Tapi sesudah keamanan
dipulihkan kembali, di awal tahun 2000-an mulai disusun rencana untuk membangun
kembali perkampungan Uluanso dan Kumpi tua. Dibentuklah “Panitia Pembangunan
Perkampungan Sintuwu Bahono” yang terdiri dari 20 (duapuluh) orang tokoh suku
Bahono. Bahkan Komite Pengarahnya didaulat Bapak JK. Tumakaka sebagai ketuanya.
Almarhum adalah keturunan Raja Mori Marunduh yang gigih dan akhirnya gugur
dalam pertempuran melawan pasukan khusus Marsose Belanda di Benteng Wulanderi.
Almarhum JK.Tumakaka pernah menjadi Menteri/Sekjen Front Nasional di jaman Bung
Karno serta salah satu penggagas Sekretariat bersama /Sekber Golongan Karya
yang kini menjelma menjadi Partai Golkar.
Beliau lahir di Uluanso ketika
ayahnya menjadi guru di sana dan beliau sering menyatakan kebanggaannya sebagai
warga Uluanso. Makanya orang Uluanso sangat menghormati beliau, demikian pulau
ayahnya, Guru Lamale, yang sangat berjasa mendidik warga Bahono. Beberapa murid
beliau kelak menjadi doktor bahkan dekan dan profesor di beberapa perguruan
tinggi di Jakarta.
Berbarengan dengan itu diaktifkan
kembali lembaga Pemangku Adat, dibangun Rumah Adat dan dibentuk Koperasi Serba
Usaha (KSU) Sintuwu Bahono. Namun sayang, segala prakarsa ini agaknya berjalan
lamban. Pembangunan kembali perkampungan belum terwujud. Dan ketika tanah-tanah
adat mulai diserobot orang, dan ketika air terjun Lemo-Lemo (Po’ahaa ?) diklaim
orang sebagai milik mereka, baru terkejut dan bereaksi.
Mungkin
dasar mereka yang mengklaim itu adalah Undang-Undang No.12 Tahun 2013 tentang
pembentukan Kabupaten Morowali Utara. Desa terdepan di garis perbatasan dengan
Sulawesi Selatan sekarang menurut UU ini adalah Desa Dolupo Karya yang mencakup
tanah-tanah adat suku Bahono. Desa Dolupo Karya termasuk Kecamatan Lembo Raya
yang beribukota di Petumbea. Sedangkan Desa Uluanso dan Kumpi sekarang,
dimasukkan ke wilayah Kecamatan Lembo bersama Desa Beteleme, Korempeeli,
Tinompo, Korowalelo, Tingkea’o, Wara’a, Mora, Lemboroma, Korowou, Lembobaru,
Wawopada dan Korobonde.
Berarti orang Bahono kini terpisah dari tanah dan harta waris
leluhur mereka di bumi Tanah Bahono atau Ture’a. Peristiwa tindakan sewenang-wenang seperti perlakuan pemerintah kolonial Belanda kini
terulang lagi di abad 21 ini. Dahulu, orang Bahono tidak termasuk Kerajaan Mori
sekalipun Kepala Suku Bahono telah lama bersahabat dengan Raja Mori. Sama-sama
memusuhi penjajah Belanda.
Ketika
Kerajaan Mori kalah perang dengan Belanda, Belanda melalui keputusannya
membagi-bagi wilayah taklukan mereka semau-maunya dengan menetapkan batas
wilayah adminsitasi pemerintahan mereka tanpa memperhatikan tradisi dan
adat-istiadat penduduk tiap daerah.
Orang Bahono yang semula berkampung di Lintumewure,
yang termasuk wilayah Sulawesi Selatan sekarang, dipisahkan dari tanah
tanah-tanah kebun dan peternakan mereka yang meliputi wilayah Bahono hingga ke
Wita Motaha-Pasori. Lintumewure dimasukkan ke wilayah Petor Malili dengan wakilnya Andi Halu, raja Bugis di Tole-Tole. Sedangkan kawasan pertanian dan
peternakan warga Bahono dimasukkan ke Kerajaan Mori dengan tapal batas patok
beton tida wita sekarang.
Dengan garis batas baru ini, Raja Mori tidak mengijinkan lagi orang Bahono
memasuki wilayahnya sekalipun untuk mengambil hasil bumi mereka kecuali kalau mereka masuk bergabung dalam
kerajaan Mori. Atas kesepakatan semua pemuka adat, maka warga Bahono kemudian
memutuskan bergabung ke Kerajaan Mori. Setelah diusir dari Lintumewure, mereka
mendirikan perkampungan baru. Sebagian memilih di pinggir Sungai Laa, memanjang
dan memotong Sungai Ulu’anso. Sedangkan
sebagian lagi memilih membangun kampung Kumpi di tepi Sungai Po’ahaa tidak jauh
dari Uluanso.
Menjadi
tanda tanya, apakah ketika pembahasan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2013 ini
dahulu, tak ada wakil dari Suku Mori Bahono yang diajak, atau kalaupun ada,
apakah orang itu cukup paham dengan
sejarah suku Bahono ?
Sebagai
solusi, disarankan agar pembangunan kembali Kampung Bahono dan Kampung Kumpi
dipercepat realisasinya agar keduanya dapat muncul kembali di peta bumi dan
diakui lalu langkah berikutnya adalah memperjuangkan revisi Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2013 dengan memasukan kampung Uluanso dan Kumpi dalam wilayah
Kecamatan Lembo Raya.
Konsekwesinya
Warga Bahono Uluanso Mora dan Kumpi
sekarang harus memilih pindah balik seluruhnya atau sebagian ke Uluanso dan
Kumpi Tua yang tanah leluhur. Bila ada yang bertahan, mungkin nama kedua
kampung yang sekarang dapat dimusyawarahkan perubahan namanya. Pemerintah
Daerah Kabupaten beserta DPRDnya pun tak
boleh berdiam diri atas hal ini sebelum masalahnya berkembang menjadi
ketegangan sosial. ***
No comments:
Post a Comment