Tak lama lagi para anggota MPR
yang terdiri dari anggota DPR-RI dan DPD-RI terpilih akan dilantik dan mulai
bersidang. Selain melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan meninjau
kembali konstitusi atau UUD 1945 apakah
akan tetap dipertahankan seperti sekarang, ataukah perlu dilakukan amandemen
lagi.
Yang Lebih
Penting
Tugas melantik Presiden / Wakil Presiden
sudah merupakan tugas protokoler rutin. Tapi lain halnya dengan mengubah dan
menetapkan konstitusi.
Dalam kaitan ini, figur-figur pimpinan di
MPR menjadi demikian penting. Pasal 2
dan 3 UUD 45 serta undang-undang
pelaksanaannya – UU No.
17 / 2014 tentang MD3 (MPR,DPR.DPD dan DPRD) telah mengatur tata cara pemilihan
pimpinan MPR. Namun sidang MPR baru bisa saja memakai tata cara lain bila
mereka menghendakinya melalui peraturan tata tertibnya.
Dalam ayat (3) pasal 2 UUD 1945 disebutkan,
keputusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak. Nah, dalam hal ini pimpinan
MPR harus mampu mengatur strategi agar MPR dapat menghasilkan
keputusan-keputusan yang terbaik bagi masa
depan bangsa ini.
Ada banyak hal yang mungkin dapat
diagendakan sebagai materi sidang. Terutama yang menyangkut permasaalahan
hangat selama kurun waktu yang lalu – terkait dengan pasal-pasal pada
konstitusi (UUD 1945) atau undang-undang pelaksanaannya , antara lain :
1.
Tentang GBHN
Apakah Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) yang pernah diberlakukan sebelum pemilihan calon Presiden/Wakil Presiden
secara langsung perlu diberlakukan lagi
?.
Dahulu, GBHN didasarkan pada Keputusan Sidang
Umum MPR. Mengatur Rencana pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan
jangka panjang. Rencana Jangka pendek mencakup satu masa bakti Presiden/Wakil
Presiden selama lima tahun (REPELITA). Pelaksanaannya menjadi tugas
Presiden/Wakil Presiden yang kemudian pada masa akhir pemerintahannya harus
dipertanggunjawabkan kepada MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Jadi dengan menghidupkan kembali GBHN, Presiden/Wakil
Presiden tidak akan sebebas seperti sekarang lagi mengembangkan gagasan dan
kreativitasnya. Dan ini akan terasa benar pada saat kampanye pencalonan.
Paling-paling para pasangan calon hanya akan beradu gagasan dalam cara mencapai
tujuan yang ditetapkan dalam GBHN.
Menurut penulis, GBHN tak perlu dihidupkan
lagi karena akan merupakan langkah mundur yang meniadakan hasil reformasi, Kalau
hanya masalah kurang serasinya program pemerintah Pusat dan Daerah seperti
banyak dikemukakan, sebetulnya konstitusi, yaitu UUD 1945 beserta segala
peraturan undang-undang pelaksanaannya sudah memadai sebagai penyearah
pembangunan. Baik di tingkat pusat, Daerah maupun di tiap sektor. Semua
harus mengarah kepada satu tujuan, yaitu
mencapai masyakat adil dan makmur. Dengan konstitusi saja cukup fleksibel.
Hanya undang-undang pelaksanaan dan peraturan ikutannya saja yang perlu
disempurnakan.
2.
Tentang Pilpres.
Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagai aturan pelaksanaan UUD 1945 pasal 22 E menyatakan pasangan Calon diusulkan oleh
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 2Oo/o (dua puluh persen) darijumlah
kursi DPR atau memperoLeh 25o/o (dua puluh lima persen)dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota
DPR sebelumnya.
Masalah ini selalu
menimbulkan perdebatan memanas di DPR
dan masyarakat karena dianggap membatasi peluang partai-partai kecil mengajukan
pasangan calonnya. Apakah masalah ini memerlukan penyelesaian di MPR dengan
mengamandemen pasal 22E UUD , atau tetap membiarkan penyelesaiannya oleh DPR
melalui pengusulan UU Pemilu berikutnya ?
3.
Masalah
masa calon Presiden/Wakil Presiden petahana. Sering dipermasalahkan karena berpotensi dapat
menyalahgunakan kekuasaan dan fasilitas negara dalam kampanye untuk
melanggengkan kekuasaannya.
Adalah Prof. Salim Said yang
kerap mengusulkan - agar masa bakti Presiden/Wakil Presiden diubah dari 5 tahun
dan dapat dipilih kembali untuk hanya satu kali masa jsbatan (psl 7 UUD 1945 ) menjadi
satu kali masa bakti saja dengan perpanjangan menjadi 7 (tujuh) tahun.
Menurutnya ini akan menghilangkan
kekisruhan yang sama setiap kali Pilpres atau Pilkada.
4.
KPK
Beberapa waktu yang lalu, sederet politisi begitu agresif di
berbagai forum menginginkan agar KPK dibubarkan atau minimal diberi pembatasan
dalam tugas dan fungsinya dengan berbagai alasan..
Namun setelah melihat prestasi KPK selama ini,
kebanyakan warga bangsa malah mengapresiasi kinerja KPK. Bahkan ada yang
mengusulkan agar eksestensi KPK yang kini didasarkan pada UU No. 30/ 2002 rlebih
dimantapkan dan diperkuat lagi dengan memasukannya dalam konstitusi. Apalagi
akhir-akhir ini para pimpinan dan penyidik KPK beserta keluarga mereka sering mengalami intimidasi bahkan ancaman
kekerasan dari pihak-pihak yang merasa terganggu dalam kegiatan jahat mereka.
4 .Penguatan
Komisi Yudisia (KY).
Fakta menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada
lembaga Pengadilan masih sangat rendah. Terutama
karena banyak koruptor hanya divonis minimal dan sejumlah hakim kena OTT
(Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK karena
menerima suap.
Tanggung jawab pengawasan
hakim diatur pada pasal 24 B UUD 1945 dan dirinci lebih lanjut dalam UU No. 22 /2004 tentang Komisi
Yudisial. Meski dasar pembentukannya konstitusi, namun dalam UU No.22/2004 ini,
tugas, fungsi dan wewenangnya sangat tidak memadai. Tupoksinya hanya mengusulkan pengangkatan
hakim agung ke DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran, martabat serta
menjaga perilaku hakim.
Kewenangan penindakannyapun hanya terbatas
pada rekomendasi penjatuhan hukuman kepada Presiden melalui Mahkamah Agung (MA) dan / atau Mahkamah
Konstitusi (MK).
Agaknya, konstitusi perlu memberi
kewenangan penuh kepada KY dalam penindakan. Tidak hanya memeriksa dan menyampaikan
rekomendasi kepada Presiden tetapi dapat langsung menjatuhkan hukuman yang
langsung mengikat. Sama dengan keputusan
MK.
5.
Mencegah
penggantian ideologi negara.
Telah banyak
kasus penangkapan orang-orang dari kelompok teroris yang ingin mengganti
ideologi negara Pancasila dengan ideologi lain
berdasarkan pemahaman agama mereka sendiri. Mereka melakukan pengeboman bunuh diri di
beberapa rumah ibadah, pos-pos polisi dan warga asing.
Selain mereka
yang menyatakan secara terang-terangan menolak Pancasila, terdapat pula
pihak-pihak yang hanya tersirat penolakan mereka dari ucapan-ucapan atau
perilaku mereka. Baik dari segelintir politisi, ormas, maupun tokoh agama.
Karena itu dalam pemilihan pimpinan MPR
nanti, para anggota MPR harus hati-hati. Tidak memilih orang yang enggan
menerima Pancasila. Juga tidak memilih tokoh yang pernah berkolaborasi dengan
organisasi atau kelompok yang diragukan ke pancasila-annya.***
No comments:
Post a Comment