Setelah pimpinan Kementerian Dalam
Negeri dipegang Tjahjo Kumolo, program e-KTP dihentikan sementara guna dilakukan evaluasi kembali.
Hal ini dianggap penting dengan adanya sejumlah temuan, seperti KTP
ganda, ketidaksesuaian data dalam KTP
seperti foto dan jenis kelamin, serta adanya sejumlah pejabat yang terkait dalam
pencetakan KTP tsb. ditangkap KPK atas dugaan korupsi.
Dalam proses evaluasi itu mencuat wacana untuk menghilangkan atau tidak
kolom agama. Kalau tetap ada, bagaimana pengisiannya bagi penganut kepercayaan
di luar 6 agama yang telah diakui pemerintah. Apakah boleh diisi sebagaimana
adanya termasuk agama-agama suku, ditulis Ketuhanan YME , ataukah dapat
dibiarkan kosong.
Mengapa sampai timbul pro kontra ? Bagi yang menghendaki tetap ada kolom
agama, menganggap itu adalah menyangkut hak azasi warga negara, sejak dahulu
sudah selalu ada di KTP. Kalau tidak ada kolom agama, apabila misalnya terjadi
musibah jauh dari keluarga, bagamana cara pelayanan pemakaman dilakukan karena
agamanya tidak jelas.
Bagi yang menyarankan agar kolom agama ditiadakan beralasan, masalah
agama adalah masalah individual tiap orang sehingga tak harus diurus negara.
Disamping itu masalah agama sering kali pula menjadi sumber pertikaian,
khususnya bagi mereka yang belum tolerant terhadap penganut agama
minoritas atau penganut aliran
kepercayaan. Sikap tidak tolerant itu biasanya diekspresikan dengan
tindakan-tindakan anarkis seperti mengadakan sweeping KTP yang berujung pada tindak kekerasan.
Alasan terakhir ini sebetulnya tidak perlu terjadi dan dapat dicegah bila
alat negara cukup tegas dan berani bertindak terhadap orang-orang yang bertindak di luar hukum tersebut.
Yang berpendapat sebaiknya kolom agama dikosongkan saja khusus bagi penganut di luar 6 agama yang resmi, khawatir
kolom itu akan diisi dengan macam-macam aliran kepercayaan yang mereka tidak
sukai. Sebab, itu berarti negara secara tidak langsung telah mengakui eksitensi
mereka.
Kalau kita perhatikan, Undang-Undang Dasar 1945 pada ayat-ayat pasal 29 tentang
agama, di sana disebut “Ketuhanan yang maha esa“(ayat 1) serta “agama dan
kepercayaannya”(ayat 2). Sedang dalam rumusan Pancasila pada Pembukaan
(Preambule), di sana justru tidak ada kata agama.
Yang tercantum adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berarti ada pengakuan
adanya “agama” dan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam pengertian luas, dalam
kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bisa berarti termasuk juga ke enam agama
yang diakui Pemerintah. Tetapi dalam pengertian khusus dapat pula berarti aliran
kepercayaan yang beragam, yang nyatanya hingga kini tetap eksis dalam
mayarakat tradisional.
Maka apabila kolom agama tetap dibiarkan ada, alternatif pengisiannya bisa memilih salah satu : agama yang dianut, atau Ketuhanan
YME.
Dalam pilihan kedua ini dapat diartikan mencakup seluruh agama-agama
suku/kepercayaan yang tidak termasuk keenam agama yang telah diakui Negara. Dan
mereka yang dimaksud terakhir ini mestinya dapat menerimanya bila eksistensi
mereka ingin tetap dapat diakomodir.
Di lingkungan agama Kristen Protestan misalnya, terdapat aliran-aliran
pemahaman yang agak berbeda seperti Pantekosta, Sidang Allah, Bethel dll.
Disamping itu ada lagi aliran-aliran kharismatik seperti Mawar Sharon, Bethani
dll tetapi dalam badan hukum mereka bersatu dalam nama Bethel. Meski berbeda-beda, namum dalam KTP semuanya
menulis seragam “Kristen Protestan”.***