DPR-KMP (belum DPR-RI, pen)
dan DPR Sementara versi KIH konon kabarnya sepakat untuk rujuk. Rakyat yang
sudah hampir hilang kesabaran , berharap mudah-mudahan kali ini benar-benar apa
yang mereka ucapkan, akan terwujud dalam pelaksanaannya.
Tandanya akan segera terlihat segera setelah setiap tahap
dilaksanakan. Apabila terlihat ada tanda-tanda kepuasan di kedua pihak, yang
menurut tradisi budaya Indonesia biasanya dipresentasikan dengan saling bersalaman,
maka bolehlah untuk sementara kita
menyimpulkan memang sudah terjadi rujukan atau islah, apapun namanya.
Akan tetapi kalau masih terjadi silang pendapat, saling
salah-menyalahkan, maka itu artinya “perang” belum berakhir. Itu artinya, mesti
ada campur tangan dari luar institusi
yang “belum terhormat” itu. Mungkin dari rakyat, yang sekarang sudah makin
gemas.
Kalau tanda-tanda itu mulai nampak, maka tembok-tembok dan pagar
besi di Senayan itu mesti ditinggikan lagi, mungkin perlu setinggi penjara
Cipinang, Dan, seperti pada masa-masa lalu, idee ini tentu saja akan disambut
senang oleh para pengelola anggaran di sana. Sebab ini berarti proyek. Dan
dalam proyek, biasanya ada “rezeki” tambahan. Rezeki tambahan (dalam tanda
kurung), karena rezeki yang benar mestinya selalu berasal dari Tuhan Yang Maha Pemurah.
Dalam sengketa di institusi DPR ini, pihak KMP selalu mengklaim
diri sebagai yang resmi alias konstitusional. DPR versi KIH mereka sebut “DPR
tandingan” dan ilegal. KIH sendiri menyebut DPR versi mereka “DPR sementara”.
Karena kemelut ini asal-muasalnya bermula dari kebijakan
pimpinan DPR yang kurang akomodatif dan kurang adil, maka sesungguhnya
merekalah yang harus bertanggungjawab atas perpecahan ini. Para anggota di
bawah mereka tidak harus bertanggungjawab. Karena mereka hanya nurut pimpinan
mereka. Kalau tidak, mereka akan dipecat atau direcallI seperti sudah kerap terjadi.
Meski KMP merasa diri sudah konstitusional, namun jelas tersirat
bahwa sesungguhnya mereka menyadari secara de
facto mereka kurang kredibel. Apapun
keputusan yang akan mereka ambil, tidak akan mendapat dukungan. Sebabnya karena
banyaknya anggota DPR yang tidak hadir. Dari KIH saja, sudah hampir separoh
jumlah anggota. Apalagi ketika DPR Sementara KIH membuat pernyataan politik,
mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR.
Itulah sebabnya, maka untuk pemilihan pimpinan Komisi dan alat
kelengkapan DPR (AKD) lainnya, KMP selalu mengisyaratkan agar kubu KIH
menyetorkan nama-nama anggotanya leh dahulu, baru musyawarah untuk mufakat dilakukan
untuk menentukan komposisi pimpinan AKD.
Sebaliknya, pihak KIH menghendaki, komposisi pimpinan AKD
dimusyawarah-mufakatkan dulu baru daftar nama-nama anggota AKD diserahkan.
Mereka khawatir, begitu nama-nama anggota dari KIH didaftarkan, yang berarti
quorum sidang terpenuhi dan semua unsur fraksi lengkap, yang berarti pula legalitas
pengambilan keputusan akan menjadi lebih kuat, maka pihak KMP akan mulai “memainkan”
gaya lama mereka untuk memenangkan kelompok mereka.
Kalau ini terjadi, maka akan tetap terjadi “perang dingin” lain.
Apalagi nanti ketika mulai bekerja khususnya dalam bidang legislasi, anggaran
dan pengawasan yang menyangkut program Pemerintah.
Dalam bidang hukum misalnya, pemerintahan Jokowi-JK sudah
berketetapan hati untuk memperkuat institusi-institusi hukum untuk memberantas
korupsi, memotong semua peraturan perundang-undangan menyangkut birokrasi yang
menghambat jalannya pembangunan dan pelayanan masyarakat.
Dalam bidang anggaran misalnya, bagaimana agar program
Pemerintah dapat diberikan alokasi anggaran yang memadai. Karena disayangkan APBN
2015 produk Pemerintah dan DPR lama tidak sinkron dan tidak mendukung sama
sekali program Nawacita Kabinet Kerja.
Apalagi sekarang mulai muncul dakwaan-dakwaan khususnya dari
para “ahli hukum tata negara” yang sejak dahulu sudah terkenal ketidak netralan
mereka. Mereka menuduh Kartu Indonesia Sehat (KIS) Kartu Indonesia Pintar (KIP)
dan Kartu Keluarga Sehat (KKS) ilegal. Mereka berkoar agar DPR segera
mengajukan interpelasi. Dan sudah dapat dibaca tujuan akhirnya apa.
Padahal, sejak kampanye Jokowi-JK dimulai, ketiga gagasan itu yang paling banyak dijual
Jokowi-JK dan ternyata mendapat dukungan rakyat. Terbukti mereka terpilih
sebagai Presiden/Wakil Presiden. Dan ketika kini Kartu-kartu ini sudah mulai didistribusikan dan malah sudah
banyak yang menguangkannya, kita khawatir bila ini ditunda apalagi dibatakan,
rakyat akan marah.
Para penghambat ini, ketimbang memberi saran yang membangun,
mereka hanya menekankan, ini salah, itu salah, itu ilegal, ini melanggar hukum
dsbnya. Kalau toh ada saran, sarannya apabila dilaksanakan hanya akan
menimbulkan masalah baru atau tidak menyelesaikan masalah sama sekali.
Misalnya, ketika Yusril Iza Mahendra menyarankan agar Pemerintah
segera membicarakannya dengan DPR untuk mencari jalan keluarnya. Sedangkan ia
tahu, di DPR hingga kini masih dalam suasana perang. Saran apaan ini ?
Kalau toh ada peraturan yang kurang sinkron, maka kalau program
itu bagus, untuk rakyat dan kemanusiaan,
maka peraturan itu harus dikalahkan dan disesuaikan.
Jangankan undang-undang, sedangkan Hukum Ketiga dari The Ten Comandements, hukum dasar dari
Tuhan Yang Maha Tinggi itu, dapat dianulir, kalau untuk kemanusiaan. “hukum untuk Manusia,
bukan Manusia untuk hukum”. Begitu
penegasan Yesus Kristus (Isa a.s.) kepada ahli-ahli Taurat orang Yahudi yang
marah ketika Ia secara terbuka menyembuhkan orang lumpuh di hari Sabat dalam
rumah ibadah.
Teguran yang sama kepada “orang-orang
taat hukum secara membabibuta” itupun dilakukan pula ketika pada suatu hari Sabat, murid-murid Yesus
memetik dan memakan biji-biji gandum karena kelaparan.[i]Mereka tidak tahu apa sesungguhnya yang menjadi dasar penetapan hukum
sepuluh itu, yaitu Hukum Kasih.***
No comments:
Post a Comment