Dalam perkembangan sejarah TNI dan
Kepolisian RI, kerjasama antara kedua institusi ini cukup sering kita saksikan
dan baca melalui siaran media massa. Seperti misalnya dalam melaksanakan
penertiban PKL, pembebasan tanah negara yang diduduki secara liar dan unjuk
rasa massa seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Ketika satuan-satuan Satpol PP
yang dibantu Polri dalam keadaan kepepet
maka datanglah satuan-satuan TNI mem-backup.
Suatu penampilan yang patut diapresiasi.
Tahun 60-an Polri digabungkan dengan
TNI dalam institusi Angkatan Bersenjata RI (ABRI). Tapi pada masa kepemimpinan
Kepolisian dibawah Jendral Polisi Hugeng Imam Santoso, POLRI dipisahkan kembali
menjadi institusi tersendiri di bawah Presiden. “I am not a Commander any more, I am just a Police in Chief”,
penegasan Hugeng pada suatu saat kepada para wartawan.
Mengapa Polri dahulu digabungkan dengan
TNI kemudian dipisahkan lagi ? Sebab penggabungan : pertama, untuk kepentingan
politik, guna menyatukan semua potensi bersenjata. Karena ketika itu Indonesia
masih terus dibayang-bayangi konfrontasi dengan Belanda sehubungan dengan
pembebasan Irian Barat. Pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan juga
belum dapat dituntaskan. Lalu konfrontasi dengan Malaysia yang didukung
Inggeris dan sekutunya. Dan kemudian terjadi peristiwa G.30.S/PKI. Kedua, menghentikan adanya persaingan
antar institusi bersenjata, khususnya antara TNI dan Polri.
Pada tahun 50-an dalam institusi Polisi
Negara RI telah dikenal adanya Mobrig (Mobil Brigade) berseragam hijau dengan
persenjataan prajurit mereka rata-rata sudah serba otomatis. Sedangkan
persenjataan prajurit TNI rata-rata
masih memegang senjata panjang carbine jenis LE yang magazinenya hanya berisi 5
peluru. Dan penembakannyapun belum otomatis. Dengan demikian kemampuan tempur Mobrig
dianggap lebih unggul.
Selain Mobrig, yang titik berat tugas
mereka menghadapi kelompok-kelompok pengacau bersenjata, dalam institusi Polisi
Negara ada lagi pasukan Perintis sebagai satuan tempur. Sebagai satuan siap tempur
mereka juga dilengkapi helm anti peluru, namun pakaian seragam mereka tetap sama
seperti seragam polisi biasa, hanya saja persenjataan standar anggotanya masih
senjata laras panjang seperti pada TNI.
Dalam perkembangan berikutnya Mobrig
berubah nama menjadi Brigade Mobil (Brimob) hingga sekarang. Kemudian, pada
tahun 70-an di bawah Kombes Anton Sudjarwo dibentuklah pasukan khusus Resimen
Pelopor dengan seragam loreng, yang diseleksi ketat dari lingkungan Brimob.
Sementara itu di kalangan TNI sudah
terbentuk pula satuan-satuan khusus klasifikasi Komando. Seperti Resimen Para
Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASUS), Korps Komando Angkatan Laut
(KKO, sekarang Marinir) dan Komando Pasukan Gerak Tjepat (PGT-AURI, sekarang PASKHAS).
Pada saat yang sama, di lapangan
kerap terjadi insiden-insiden sampai tembak-menembak. Di Poso tahun 60-an
pernah Asrama Polisi depan Gedung Bioskop Nirmala dikepung sepasukan TNI.
Konon, pernah pula terjadi bentrokan bersenjata satuan-satuan Mobrig dan AD di
Ambon. Sampai-sampai Komandan Kapal Perang Angkatan Laut yang diberi kuasa oleh
pimpinan TNI di Jakarta melerai, mengultimatum kedua satuan yang bertikai itu.
Apabila tidak bersedia mengundurkan diri, kota Ambon akan dibombardir dari
laut.
Untuk menghentikan insiden-insiden
yang sama, maka keempat institusi bersenjata itu kemudian digabungkan menjadi
satu dalam institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dipimpin
seorang Panglima ABRI di bawah langsung Presiden/Panglima Tertinggi ABRI.
Pada perkembangan berikutnya, timbul
banyak ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja Kepolisian. Banyak pengamat
menyimpulkan, hal itu disebabkan antara lain karena keberadaannya dalam ABRI. Ini
menyebabkan Polri tidak leluasa untuk mengembangkan diri. Diantaranya karena
porsi anggaran yang terbatas dan harus berbagi dengan Angkatan lainnya.
Maka kemudian Polri pun dipisahkan
menjadi institusi mandiri kembali. Kalau tahun 50-an berada di bawah
Kementerian Dalam Negeri, maka sekarang langsung di bawah Presiden. Sedangkan
AD, AL dan AU kembali lagi menjadi TNI dipimpin seorang Panglima TNI yang
membawahi para Kepala Staf AD, AL dan AU.
Seiring dengan itu, berkembang
tuntutan agar TNI mereformasi diri. Kalau kepada mahasiswa waktu itu dituntut
untuk “back to campus” daripada demonstrasi melulu, maka TNI dituntut
untuk “back to barrack”. Maka ketika
itu dilaksanakan, doktrin Dwi Fungsi ABRI, mau tak mau juga harus ditinggalkan,
karena Fungsi Karya-nya dihapuskan. Para anggota TNI aktif harus keluar dari semua
jabatan institusi sipil, termasuk penghapusan Fraksi TNI\Polri dari MPR/DPR. Akibatnya
TNI seolah terputus dari kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
Kesejahteraan anggota TNI hanya
bergantung pada APBN. Mereka tak boleh lagi melakukan kegiatan-kegiatan “bisnis”
lainnya secara legal di tengah-tengah masyarakat untuk menambah kesejahteraan
mereka. Dibandingkan dengan rekan-rekan mereka dari Kepolisian yang masih tetap
di tengah-tengah masyarakat, kesejahetraan para prajurit TNI agak ketinggalan.
Untuk menutup ketertinggalan itu ternyata ada oknum-oknum TNI yang secara
diam-diam melakukan kegiatan-kegiatan sampingan. Disamping yang positif, ada
pula yang terlibat kegiatan ilegal seperti menjadi backing para penyelundup
bahan bakar bersubsidi.
Nah, ketika Kepolisian berupaya
memberantas usaha-usaha ilegal itu, maka mereka terpaksa harus berhadapan
dengan oknum-oknum backing itu. Sering
terjadi para oknum ini melibatkan pula institusinya. Dan dengan alasan
solidaritas korps, anggota-anggota lainnya langsung melakukan aksi “pembalasan”
tanpa menyelidik dulu apa latar-belakangnya.
Lalu bagaimana upaya untuk pencegahan
? Disamping untuk jangka panjang memperbaiki keesejahteraa prajurit TNI dan
melakukan kegiatan-kegiatan sosial persahabatan bersama, seperti yang sudah banyak
dilakukan, agaknya dapat pula dilakukan mutasi kesatuan secara keseluruhan.
Dalam kasus di Batam, untuk Polri
agaknya agak sulit karena keterkaitan erat antara organisasi Kepolisan Daerah
dengan Pemerintah Daerah. Sedangkan kesatuan TNI, organisasinya relatif lebih
mobil, lebih mudah melakukan mutasi antar kesatuan. Maka dari itu, apabila
mungkin kesatuan TNI di Batam sekarang dimutasikan seluruhnya dan digantikan
dengan kesatuan Divisi lain dari luar Batam. Atau paling tidak, batalion yang
sekarang digantikan oleh batalion lain dari divisi yang sama.
Hal ini belajar dari pengalaman di
Poso, ketika satuan-satuan TNI dari BN.502 Brawijaya berbuat blunder disana
yang membuat rakyat marah.Mereka segera digantikan BN 508 dari divisi yang sama
dan kemudian digantikan lagi oleh BN.604 Tanjungpura dari Kalimantan.
Disamping itu, pihak Polri di manapun
perlu senantiasa mempunyai hubungan kerjasama yang baik dengan institusi TNI di
daerah. Apabila dalam suatu operasi diperkirakan ada keterlibatan oknum aparat,
agar mengikutsertakan personil Polisi Miiter. ***
No comments:
Post a Comment