4.1. Selamat
Tinggal Poso
Setelah
berlayar seminggu tibalah kami di Surabaya. Di pelabuhan Tanjung Perak aku
berjumpa dengan Madison Katili teman sekolah sejak di SMP
sampai SMA. Hanya Madi duduk di kelas
IIIc sedang saya IIIb.
Kami
tak lama bercakap-cakap karena Pak Tonggiro segera mengajak aku ke Hotel.
Besoknya kami berangkat dengan kereta
api dari Stasion Semut. Pengalaman pertama naik kereta api. Penuh
berdesak-desakan. Pak Tonggiro tertidur memangku tas kulitnya sambil terangguk-angguk oleh
goncangan kereta. Pagi-pagi ia terkejut. Ternyata tas kulitnya digores pencuri
dengan silet. Sarung batiknya hilang. Untung dompetnya tempat uang kami dimasukkan masih ada.
Pemandangan
masih gelap ketika kami tiba di Stasion
Gambir,. Kami beristrahat sejenak sambil sarapan dan minum di depan Stasiun. Inilah perkenalanku pertama dengan
Jakarta. Di sebelah barat nampak benda aneh,
besar menjulang tinggi, hitam remang-remang. Bagaikan pohon rindang yang
cabang-cabangnya baru ditebas. Makin terang makin jelas, ternyata itu sesungguhnya sebuah
proyek besar yang sedang dikerjakan.Tiang-tiang penyangganya masih
terpasang tetapi aku belum tahu kalau kemudian akan berupa tugu. Monumen
Nasional. Teman seperjalanan dari Departemen Pertanian membantu kami menawar
becak ke Senayan sedang ia sendiri akan langsung pulang ke rumahnya di Grogol.
Kami lewat depan Balaikota
dan aku pikir kantor Pemerintah Dati II
Poso masih lebih bagus dan lebih luas Di
kiri kanan Jalan Jendral Sudirman masih banyak semak belukar dan pepohonan. Di
Jembatan Semanggi, seorang polisi lalulintas membantu menunjukan kami jalan masuk ke kompleks Istora Senayan lalu mencari jalan
Atletik.
Gedung utama Senayan tentu saja
selalu menjadi perhatianku. Stadion ini terletak tidak berapa jauh diujung
Jalan Atletik tempatku kini menumpang di keluarga kakak sepupuku, anak bungsu kakak
laki-laki tertua ayahku..
Aku
telah membaca, di tempat itulah diselenggarakan Asian Games dan Conefo gagasan
Bung Karno belum lama berselang. Maga, kakakku tentara yang bertugas di Sukabumi pernah mengirimkan Kartu pos yang
bergambar stadion utama Senayan. Memang megah.
Khawatir tersesat, aku belum berani pergi jauh-jauh. Apalagi rumah-rumah di
kompleks ini sama persis semuanya. Baik blok-bloknya, bentuk bangunan, teras. tanaman-tanaman
hiasnya, kursi perabotan didepan rumah semuanya sama, dan tanpa pagar. Nama
jalan dan nomor rumah belum lagi
kuingat, sehingga suatu hari ketika aku disuruh membeli sesuatu aku hampir
tersesat. Untunglah setelah cukup lama hilir-mudik, puteri kakakku yang masih
kecil keluar di teras depan.
Isteri kakak sepupuku seorang Roro, puteri asal Kendal,
Jawa
Tengah. Ia biasa memanggil suaminya Mas Narumi. Mereka telah
mempunyai tiga orang puteri yang masih kecil-kecil. Disitu telah
ada pula Siman, kemanakan Mas Narumi. ***
No comments:
Post a Comment