P
|
ada masa ini, yaitu saat koran kami Harian mpat Lima diputuskan untuk ditutup, justeru aku mulai berpikir mengenai masa depanku. Ketika tiba hari ulang tahunku tanggal 3 April
1978 aku sadar usiaku sudah genap tigapuluh empat
tahun. Sebentar lagi akan memasuki usia empat puluh tahun kalau Tuhan
mengijinkan. Masalahnya apakah aku akan tetap membujang seperti ini ataukah ada
niat untuk berkeluarga.
Tentu saja aku memilih yang kedua karena menurut Kitab Suci, manusia itu tidak baik
hidup sendiri. Dia perlu mendapatkan teman hidup yang sepadan. Tetapi untuk membangun keluarga, menuntut kewajiban dan
tanggung jawab. Terutama untuk mempersiapkan kehidupan anak-anak yang akan
lahir kelak. Untuk itu dibutuhkan kemampuan orangtua, baik fisik, mental,
ekonomi dan perencanaan.
Karena itu
memilih saat usia menikah patut diperhitungkan. Tidak terlalu
muda, tetapi juga tidak terlalu lanjut, sehingga pada saatnya nanti anak-anak
membutuhkan biaya besar, orangtua masih mampu membiayainya. Terutama pada
pendidikan tinggi. Akhirnya aku mengambil keputusan untuk
melaksanakan niat ini sesegera mungkin. Kalau bisa tahun 1978 itu juga. Tapi dengan siapa ?
Aku memang
mempunyai hubungan
dengan beberapa teman gadis. Tetapi hubungan itu akhirnya putus, terbentur oleh berbagai kendala. Seorang gadis
Padang teman kuliah di PTP terbentur oleh
perbedaan agama. Kemudian seorang gadis Jawa kerabat isteri kemanakanku, juga tehalang
perbedaan agama. Lalu ada seorang gadis Batak bekas teman sekantor. Meski seiman, ia agak pencemburu dan akhirnya memilih putus. Lalu ada seorang gadis
Kalimantan, asisten seorang psikolog. Tapi ia
minta aku menyelesaikan dulu pendidikan
kesarjanaanku. Hal ini tak dapat kupenuhi karena kuliahku saja tak menentu.
Lagi pula aku menginginkan segera menikah.
Pada suatu hari ada seorang gadis
Batak datang ke kantor berniat menyampaikan lamaran
kerja. Meskipun tidak jadi diterima, namun melalui gadis ini aku sempat
berkenalan dengan temannya, seorang
gadis yang hanya menyebut namanya
Ana S.D. Dari perkenalan lebih lanjut kuketahui gadis ini adalah puteri pertama
seorang pensiunan dosen Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) di Ancol., mantan Nakoda asal Sangir dan Direktur
Sekolah Pelayanan Menengah
(SPM). Ibunya puteri seorang pelaut asal Timor dan neneknya asal Krawang. Baik ayah, ibu maupun
anak-anaknya aktif di gereja.
Dalam hati aku
merasa inilah gadis yang sepadan denganku untuk teman hidup. Keluarganya pun
nampaknya dapat menerima baik kehadianku. Namun aku belum menetapkan kata
akhir.
Pertama,
aku belum meminta pertimbangan ibu Karena bagaimana pun aku perlu mendapatkan
do’a restunya. Lebih-lebih karena beliau pernah menyarankan calon seorang gadis
sekampung namun kutolak dengan halus. Alasanku masih mau
melanjutkan sekolah.
Kedua, gadis ini menurut adiknya masih memiliki seorang kekasih. Dan yang
ketiga, gadis ini menuntut bila nanti jadi menikah kami tetap tinggal bersama
orangtuanya. Ia menolak kami tinggal di rumah
sendiri yang sedang kubangun di atas kapling di Kompleks Wartawan Cipinang.
Pembangunan Kompleks perumahan ini
adalah hasil kerjasama antara PWI Jaya yang diketuai Pak Zoelhamans, Pemda DKI
di bawah pimpinan Gubernur Ali Sadikin, Bank Bumi Daya dan Departemen Pekerjaan
Umum. Pemda DKI menyediakan tanahnya secara cuma-cuma kepada anggota-anggota
PWI Jaya, Departemen PU membangun dan BBD menyediakan dananya.
Penolakan ini
mengecewakan aku. Ketika aku selalu gagal membujuknya, aku
mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan ini. Aku tidak lagi datang menemuinya.
Namun tiba-tiba ia muncul bersama adiknya ke
rumah kontrakanku sebab menduga aku sakit. Terus terang kukatakan sikapku. Rupanya ia tidak
lagi mengajukan
berbagai syarat setelah
mendengar nasehat ibunya. Akhirnya semuanya berjalan baik kembali.
Beberapa hari kemudian aku menerima
telegram dari keluarga di Uluanso, bahwa
ibunda ada bersama keluarga Kak Maga di Raha, Sulawesi Tenggara. Tidak disebutkan keadaannya. Aku
agak cemas apakah beliau dalam keadaan sakit sehingga perlu perawatan di sana,
sebab beliau jarang bepergian jauh. Aku memutuskan
segera menemui beliau. Maksud kedua memintakan pertimbangannya atas gadis
pilihanku dan bila beliau menyetujui sekaligus memohon do’a restunya.
Besoknya aku berangkat. Dan untuk
tiba di Raha dari Jakarta, dalam sehari aku perlu dua kali berganti pesawat. Dari Jakarta
ke Makasar dengan Garuda, ke Kendari ganti dengan pesawat Merpati dan
selanjutnya dengan pesawat kecil perintis.
Kondisi ibu ternyata cukup baik. Dan
kata-kata Ibunda mengenai gadis pilihanku benar-benar mencerminkan seorang
sifat orangtua yang bijaksana. “Kalau itu memang sudah pilihanmu dan kau anggap
baik, ibu juga menyetujuinya dan ibu doakan semoga kalian nanti hidup bahagia”.
Pulang ke Jakarta, keputusanku untuk
segera menikah sudah mantap. Atas persetujuan Ibu, aku segera meminta dalam
menyampaikan lamaran maupun pelaksanaan acara-acara pernikahan. Aku agak
memaksakan agar dilaksanakan pada tahun
genap 1978 juga ketika aku berusia 34 tahun.
Akhinya disepakatilah tanggal 9 Desember 1978. kesediaan
Kak Narumi dan isteri untuk menjadi Waliku, baik
Sebenarnya pekerjaanku
ketika itu belum begitu mantap. Ada rencana Pak Zul untuk menerbitkan Suratkabar
Mingguan, tetapi belum pasti karena Surat Ijin Terbitnya belum turun. Tetapi dengan berbagai pekerjaan sambilan, aku yakin akan dapat
memenuhi kebutuhan kami nanti. Aku memang menginginkan acara pernikahahan kami
sederhana saja. Undangan agar dibatasi. Aku melihat saat seperti itulah waktu yang terbaik Kalau aku masih sebagai
wartawan, akan sulit bagiku untuk membatasinya.
Ketika melamar, aku hanya menyerahkan uang tiga ratus ribu rupiah kepada keluarga calon
pengantin wanita sebagai penyelenggara. Namun aku juga menawarkan pengadaan
tempat tidur pengantin lengkap dengan perlengkapan meja riasnya dan menyediakan
undangan.
Sehari
sebelum pernikahan aku masih mengantar undangan dengan sepeda motor sampai ke
Cibinong bahkan juga mengantar tambahan beras sekarung dengan sepeda motor ke
bagian konsumsi.
Akhirnya
jadilah pemberkatan pernikahan kami di
Gereja GKI Kwitang oleh Pendeta Dr. Daud Palilu dilanjutkan dengan pencatatan
di Catatan Sipil. Malamnya resepsi di gedung Stania, Menteng.
Atas
fasilitas kak Narumi dan isteri, kami menikmati bulan madu ala kadarnya selama
seminggu di Cibulan. Bahkan mereka sendiri yang mengantarkan kami ke Villa.
Setahun
kemudian, tanggal 22 Desember 1979, tepat pada Hari Ibu, di Klinik “Dian Kasih”
Tanjung Priok, kami dikaruniai seorang putra yang mungil. Aku mencium isteriku,
lalu sebuah vas dengan seberkas bunga yang harum, kutaruh di atas meja kecil,
sebagai tanda bahagia atas kehadiran anak pertama kami ini. Kami beri nama
Christian Abraham, terinspirasi nama dari bapak segenap orang beriman, Abraham..***
|
No comments:
Post a Comment