Sesuai rencana, setelah menjadi
PNS di Pemda DKI, aku sudah mulai ada waktu senggang sepulang ke rumah. Aku
sudah dapat ikut kegiatan-kegiatan di gereja bersama keluarga. Baik ibadah-ibadah
dan latihan Paduan suara dan Persekutuan Kaum
Bapak( PKB)
Saat tiba pemilihan
presbiter baru, tak kusangka aku ikut
terpilih. Malah kemudian menjadi pengurus di Komisi Pelayanan dan Kesaksian,
Koordinator Sektor Pelayanan, dan
Pelaksana harian Majelis Jemaat (PHMJ).
Setiap Jemaat GPIB
meyakini, seorang presbyter, sekalipun dihasilkan melalui pemilihan oleh warga jemaat,
namun pemilihan itu tetap di bawah
tuntunan Roh Kudus. Jemaat menganggap setiap Presbyter adalah
pilihan Tuhan sendiri dan wajib dihormati.
Seseorang Presbyter sejati tak berani menolak atau melalaikan tugas - kewajibannya.
Apalagi pada Ibadah Peneguhan telah
mengucapkan janji di depan Tuhan dan JemaatNya akan menerima tugas jabatannya “dengan segenap hati”. Menolak atau melalaikan tugas pelayanan sama saja dengan menolak perintah Kristus ! Selain
itu ada ganjaran yang akan dihadapi apapila melalaikan tugas seperti
digambarkan pada Kitab Yehezkiel 34 mengenai gembala yang baik dan jahat. Oleh
karena itu tugas pelayanan harus didahulukan daripada yang lain. Bila ada
halangan, selalu akan diupayakan sedapat mungkin agar tugas pelayanan tetap
berlangsung dengan baik.
Semula aku berpikir,
Majelis gereja yang kumpulan para
presbyter merupakan lembaga sakral. Suasana pergaulan serba rukun, damai, sejuk
dan penuh persahabatan. Sepanjang semuanya sehati-sepikir, suasana itu nyata.
Tetapi ketika
terjadi perbedaan pendapat yang berkembang
menjadi perselisihan,
suasana
dapat berubah
menjadi sebaliknya. Dan itulah
yang terjadi ketika aku menjadi salah seorang fungsionaris Pelaksana Harian
Majelis Jemaat (PHMJ). Ketua Majelis Jemaat, seorang pendeta, dimutasi tiba-tiba dengan cara yang janggal
oleh Majelis Synode sebagai lembaga eksekutif tertinggi gereja. PHMJ
dibekukan. Kami semua dinonaktifkan sebagai presbiter.
Memang dilema. Disatu pihak, kami harus tetap
menjaga keutuhan, kerukunan dan suasana saling kasih-mengasihi dalam persekutuan
Jemaat sesuai ajaran Kristus. Kami juga
harus taat kepada pimpinan organisasi gereja. Tetapi di lain pihak kami juga harus
menentang segala hal yang tidak sesuai firman Tuhan. Ya diatas yang ya, tidak diatas yang tidak ! Pokok masalahnya, cukuplah kalau di sini hanya dicatat bahwa
pada mulanya semua berawal dari masalah
pertanggungjawaban keuangan Panitia Pembangunan, kemudian melebar ke hal-hal lain.
Aku pernah bertanya
kepada beberapa pendeta yang netral. Apakah langkah kami keliru dan sebaiknya
diam saja ?? Tetapi dijawab, kalau diam justru itu yang aneh.
Sebagai fungsionaris
PHMJ aku ikut sibuk dalam upaya penyelesaian kemelut itu. Sering terpaksa pulang
larut malam dan kurang istrahat. Dalam situasi seperti itu, aku terkadang bertanya
dalam hati, apakah dengan menjadi presbyter seperti ini aku bukannya makin berdosa
di hadapan Tuhan ? Kenyataan, suasana kasih makin meredup dalam Jemaat. Bagaimanapun, itu tanggung jawab kami sebagai Majelis
Jemaat. Ini mendukacitakan hati kami. Bukankah
lebih baik menjadi anggota Jemaat biasa saja? Aku seperti menyesal telah bersedia menjadi Presbiter
dan berpikir kelak tak akan bersedia lagi.
Tetapi dalam hati,
seperti ada yang mengingatkan, bahwa
dalam rumah Tuhan pun seperti halnya di Bait Allah di Yerusalem, tidak semua yang
ada di sana orang suci-suci semua. Bukankah Tuhan Yesus juga dihakimi dan
dijatuhi hukuman mati di Bait Allah oleh Majelis Agama yang dipimpin Imam
Besar ? Tetapi disana masih
ada tokoh-tokoh agama yang baik,
seperti Nikodemus, anggota Majelis Besar Yusuf
Arimatea, ada nabiah Hana dan Imam Zakaria.
Di mana ada
anak-anak Tuhan menabur firman Tuhan, di sana juga selalu menyusup
pengikut-pengikut iblis yang berusaha menggagalkan. Ini sudah diingatkan dalam Kitab Suci. Namun ini
tidak harus menjadi alasan bagi seorang pengikut Kristus sejati untuk tidak
bekerja di ladang Tuhan. Bahkan justru makin dibutuhkan untuk membendung pekerjaan
iblis itu. Dengan kesadaran itulah maka ketika terpilih lagi dalam pemilihan
presbyter berikutnya aku tetap menyatakan bersedia..
Setelah aku
pensiun tahun 2000 tugas pelayanan di Jemaat Marturia berakhir karena kami
pindah ke Bogor. Namun pelayanan ini kemudian berlanjut lagi di GPIB Zebaoth
Bogor dan berakhir lagi tahun 2012 ketika
kami pindah ke Depok.
Meski jabatan
presbyter berakhir, tidaklah berarti tugas pelayanan dan kesaksian sebagai
pengikut Kristus berakhir. Aku selalu ingat janjiku akan ikut dalam pelayanan Tuhan ketika aku memutuskan untuk mundur dari dunia
pers dan beralih menjadi PNS. Tuhan menolong mewujudkan janji itu.
Niatku semula memang
mau jadi Pendeta. Tetapi Tuhan telah memberikan bidang pelayanan yang lain.
Tidak saja di lingkungan pelayanan gerejani tetapi juga di luar. Pelayanan bidang
kemanusiaan seperti pada Yayasan Tanggul Bencana PGI. Sebagai wartawan yang
melakukan social control di
tengah-tengah masyarakat dan pengawas (auditor) sepanjang karier sebagai abdi
negara di Pemda DKI Jakarta. ***
No comments:
Post a Comment