1.1. Indahnya Bunga dan Burung
Warna-warni
K
|
apal
Tindahia perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan
Poso. Orang-orang pengantar di pelabuhan tampak betambah kecil. Matahari
dengan sinarnya yang kuning keemasan mulai masuk ke laut di balik tanjung
sebelah barat. Setengah jam kemudian lampu-lampu di sepanjang pantai Jalan Penghibur serentak menyala, makin lama
makin banyak membuat pemandangan dari arah laut sungguh semarak. Alunan ombak
yang tidak seberapa besar membuat bayangan lampu-lampu itu tampak di bawah air
bagaikan dua rahang buaya raksasa dengan
lampu-lampu itu sebagai giginya.
Ketika
kapal membelok melewati tanjung Madale dan masuk ke laut lepas, suasana terasa
menjadi hening. Lampu sudah tinggal
satu-satu, terpencar jauh satu dengan yang lain dengan cahaya samar-samar.
Suasana kembali cerah ketika bulan mulai
terbit. Rupanya bulan purnama. Bentangan
langit bersih dihiasi ribuan bintang-bintang. Cahaya bulan cukup terang sehingga butir-buti air di buritan kapal jelas terlihat.
Penumpang-penumpang
mulai kembali ke tempatnya masing-masing Tetapi aku masih tetap berdiri di
pinggiran geladak kapal. Maklum baru sekali ini aku naik kapal besar mengarungi laut lepas dan aku sungguh
mengagumi panorama alam yang indah itu.
Angin malam yang dingin mulai menerpa. Aku
lalu kembali bergabung dengan penumpang-penumpang lainnya. Semua penumpang
ditempatkan di satu dek. Pak James Tonggiro, tokoh DPRD Poso yang kuikuti tengah
asyik bermain catur dengan seorang penumpang. Tiba-tiba seorang penumpang menepuk pundakku. “Mau ke
mana ?” “Eh, pak Bas, mau ke Jakarta Pak, jawabku. .
Bas Ali adalah
salah seorang Pemborong bangunan terkenal di Poso. Ia biasa memberi aku kesempatan bekerja sambilan di proyek-poyeknya seusai sekolah. Ia akan ke Surabaya bersama keluarganya. “Di Jakarta di mana”, seorang penumpang di samping kami bertanya, karena ia
juga
akan ke Jakarta. “Senayan”, kataku. “Oh, itu tempat orang-orang besar.”,
katanya Aku tak menjawab. Tapi kupikir
mungkin saja. Sebab namanya saja Gelora
Senayan International Village.
Aku
membayangkan bagaimana nanti aku harus menyesuaikan diri di lingkungan yang
baru itu. Aku anak desa, akan melihat kota Jakarta saja sudah seperti mimpi.
Ibukota negara, tempat presiden RI, tempat kemerdekaan RI diproklamasikan, dari
mana Bung Karno selalu berpidato ke seluruh Tanah air. Setiap tanggal 17
Agustus kami murid-murid dan pelajar dan masyarakat di kota Poso berkumpul
didepan Gedung Nasional untuk mendengarkan pidato Bung Karno melalui
radio. Dan sekarang, aku, anak kampung Ulu’anso yang indah, sebentar lagi
akan masuk dan menjadi warga kota termasyhur itu.
Kampungku.
Ulu’anso, termasuk Kecamatan Lembo yang beribukota di Beteleme. Dahulu sebelum
ada pengacauan gerombolah pemberontak, kampungt kami merupakan tempat yang indah, sejuk dan damai. Ketika aku mulai mengenal alam
sekitarku, yang pertama-tama kukenal adalah wajah ibu, ayah dan kakak-kakakku.
Merekalah yang sering menyapa aku dalam
ayunan. Ayunanku terbuat dari kotak bambu. Keempat sudutnya digantung dengan
tali pada sebatang kayu lentur di
langit-langit rumah. Sering kali pada kayu ayunan itu diikatkan bunga
warna-warni dan bahkan pernah pula
burung nuri kecil warna hijau yang berkombinasi kuning dan merah.
Sungguh indah dan mengagumkan. Meski aku belum dapat berkata-kata tetapi
bayangan indah itu senantiasa berkesan sepanjang hidup, lebih-lebih bila
melihat bunga-bungaan ditaman dengan burung-burung pengisap madu serta bulu warna-warni beterbangan sambil
berkicau disekitarnya.
Aku anak ketujuh dari delapan
bersaudara. Kakak pertama Latarima dan
kedua Seti, keduanya laki-laki.
Baru kukenal ketika mereka pulang merantau. Aku sudah berusia enam tahun ketika
itu. Kakak Latarima pulang cuti dengan membawa pakaian serba aneh. Pakaian hijau, mantel, sepatu, pet, ransel, kopelrim,
beberapa alat bela diri serta berbagai jenis makanan kaleng rasum militer Kakak Seti muncul pada suasana pendudukan militer Jepang. Aku
ingat ia selalu berpakaian putih dengan celana panjang. Bila melewati
simpangan jalan harus berdiri sejenak. Kata
ibu, itu adalah tradisi yang harus
dilakukan setiap orang yang baru datang
ke suatu tempat. Tak banyak kesan pertama dari kakakku ini karena tidak lama kemudian
kembali lagi ke-tempat kerjanya di Poso.
Kakak
ketiga, Uranili, adalah puteri
pertama ibuku. Belum sempat kuingat
wajahnya, karena ia segera mengikuti suaminya, guru Porotu’o ke Ungkaeya,
tempat penugasannya yang baru. Sebelumnya ia bertugas di Ulu’anso.
Ada
peristiwa menggelikan namun mengesankan, yang baru kudengar empat tahun
kemudian dari kakak perempuan suami kak Ura.
Konon, ketika semua undangan pesta pernikahan
sedang hening mengikuti do’a makan, aku yang ketika
itu dalam pangkuan ibu memberitahu, “neeto
ine wukuno” . Artinya “ibu ini tulangnya”. Orang-orang
yang mendengar
mungkin menahan tawa.
Tamu-tamu
banyak sekali. Selain seluruh warga Uluanso dan Korowalelo, warga
kampung tetangga seperti Kumpi,
Pangempa dan Nuha juga diundang . Undangan
terbuka tanpa batas. Rumah kami,
rumah panggung yang sudah cukup besar, disambung dan diperluas lagi dengan
bangunan sementara di sekelilingnya, samping kiri-kanan dan depan
sampai pagar halaman.
Kak Maga
(Lamaga) anak
ke enam,
melanjutkan sekolah di Tinompo lalu Kolonodale dan Poso.
Karena itu jarang di rumah. Terakhir ia memberi kabar sudah menjadi siswa SMP
dan diajak ikut dan tinggal di satu keluarga
tentara di
Manado. Kami sempat kehilangan hubungan selama terjadinya pemberontakan
Permesta. Ketika berjumpa kembali ia sudah berseragam militer Divisi Siliwangi
yang berpangkalan di Salabintana, Sukabumi.
1. 2. Ibu kedua tersayang
P
|
ada
umur empat tahun aku terpisah sementara dari keluarga. Kakak ayah, Pak
Tua Si’oli membujuk aku ikut bersamanya
ke Bahono, kawasan tempat perladangannya. Aku
dibujuk untuk menemani (mete’ia) cucu pertamanya dan disana
katanya banyak burung bagus-bagus dan buah-buahan. Ayah dan ibu tidak keberatan. Aku juga tertarik
dan setuju. Memang paman ini sangat ramah, ia
menggendong aku dalam perjalanan yang mendaki dan ia membuatkan aku tongkat
rotan yang bagus.
Suasana
di rumah paman cukup ramai. Anaknya lima orang, yang sulung laki-laki
Kak Tinia sudah kawin yang memberikan cucu pertama bagi paman, sedang Kalinda,
juga laki-laki ialah yang paling bungsu. Namun ia lebih tua tiga tahun dari
aku. Tiga lainnya adalah perempuan.
Paman dikenal sebagai sesepuh di
kawasan Bahono. Keluarga ini memiliki walaka, yaitu penggembalaan kerbau,
dan ternyata mereka juga sebagai keluarga pemburu. Mereka memiliki sekitar dua
puluh anjing pemburu. Hampir setiap malam mereka keluar berburu.
Pada
suatu malam, mereka pulang dengan
membawa hasil buruan sambil membopong seekor anjing yang luka parah terkena
taring babi hutan yang balik menyerang.
Hari-hari berikutnya aku ditempatkan
di rumah Kak Tinia ditepi kebun yang baru dibuka. Di seberang kebun masih
terdapat hutan dengan pohon yang tinggi-tinggi. Pada pohon-pohon itu sering terlihat kera-kera liar
belompatan dan berayun-ayun dengan mengeluarkan suara keras. Pada sisi lain
dari rumah kebun ini, hanya terhampar padang-padang ilalang
yang diselingi pepohonan di beberapa tempat..
Istri Kak
Tinia, Ibu Mariale, seorang ibu yang sangat
ramah.
Bersama kami tinggal pula ibunya yang sangat ia sayangi. Ketika
mereka sedang bekerja di kebun tak jauh dari
rumah, aku diminta menjaga bayinya, Eti,
yang dibaringkan dalam buaian. Sambil menjaga si bayi, melalui jendela aku
tetap
dapat melihatnya bekerja di kebun dan kami dapat terus bercakap-cakap meskipun dengan agak berteriak.
Beberapa kali
aku diajak turun ke kebun. Banyak hal yang baru dan
menarik perhatianku. Buah-buah semangka,
yang kecil-kecil maupun besar-besar bergelimpangan di antara tanaman
padi yang belum seberapa tinggi. Aku senang ketika diajari bagaimana memasang tondo untuk melindungi
anak-anak
buah semangka yang baru bertumbuh itu supaya dapat menjadi besar.
Sesaat, aku merasa
kesepian juga di kebun terasing ini. Tetapi keramahan Mama Eti ini akhirnya
membuat aku lama-lama beta juga. Malah ketika setahun kemudian mereka
memberitahukan aku harus pulang kembali ke rumah orangtuaku, aku juga merasa
berat untuk meninggalkan mereka. Kata mereka, ibu dan ayah telah minta aku
pulang karena aku juga telah mempunyai
adik sendiri yang perlu ditemani. Seminggu setelah aku kembali, kedua suami
isteri datang ke rumah mengantarkan semangka yang pernah aku tondo.
Beberapa tahun kemudian aku
mendengar Mama Eti sakit keras. Banyak
orang datang berkunjung dengan hati tercekam. Telah diusahakan mendatangkan
dokter tapi tak ada kabar kepastiannya. Semua sudah merasa putus asa. Ia minta
dibawa ke ruang beranda depan dan duduk menghada ke luar. Aku
mencoba mendekatinya, tapi tak ada reaksi. Nampaknya seperti ia tidak
mengenalku lagi. Ia akhirnya memang harus kembali ke hadirat Penciptanya,
meninggalkan suami dan anak tunggalnya yang masih kecil. Aku sedih sekali. Ia
adalah ibuku yang kedua yang sangat kusayangi, yang pernah memberi aku rasa
kasih sayang.
No comments:
Post a Comment