Mengelola perusahaan Surat Kabar
baru dalam suasana persaingan yang ketat, tidaklah mudah. Meskipun kami telah
menggunakan percetakan yang terbaik.
Hasil penjualan koran dan pemasangan iklan belum dapat menutupi biaya usaha sedang
grafik penerimaan datar-datar saja. Padahal segala upaya perbaikan dan
rangsangan telah kami lakukan.
Baik di bidang Redaksional, sirkulasi dan distribusi
koran maupun periklanan. Kepada setiap wartawan yang menghasilkan berita
ekslusif dan layak menjadi berita utama diberikan bonus. Demikian pula, petugas
sirkulasi yang berhasil mendapatkan langganan sejumlah tertentu. Hal sama juga
berlaku bagi kolportir iklan, diberikan komisi yang menarik.
Kepada
petugas-petugas bidang Ekspedisi (pengriman) dan Distribusi aku anjurkan “motto
3 Tepat” dalam pelayanan mereka. Tepat
Alamat, Tepat Jumlah dan Tepat Waktu.
Aku kerap kali ikut langsung mendatangi agen-agen besar,
mengundang mereka, membagikan kaos-kaos promosi untuk pengecer mereka dan
menggerakkan pengecer-pegecer khusus. Tetapi hasilnya juga kurang memuaskan.
Padahal sebagai Pemimpin Usaha, aku ingin sekali meningkatkan
kesejahteraan karyawan yang juga adalah
teman-temanku. Selalu kuusahakan setiap tahun ada kenaikan gaji. Apalagi
seluruh karyawan termasuk aku secara ekonomi masih belum stabil. Maklum umumnya
karyawan kami termasuk aku adalah bekas-bekas karawan Harian Kami yang dahulu
diberangus, lalu beralih ke PT Enam-Enam kemudian ke koran Empat Lima yang juga
dihentikan penerbitannya. Aku coba membayangkan bagaimana sulitnya mereka yang
sudah mempunyai anak-anak usia sekolah. Aku pernah berkunjung ke rumah seorang
ibu yang selalu melayani konsumsi kami di kantor, menyedihkan.
Namun untuk memperbaiki keadaan itu
kemampuan perusahaan harus meningkat. Dalam suatu pertemuan dengan seluruh
karyawan, aku tegaskan, “Perusahaan
meningkat, Kesejahteraan Karyawan meningkat !!” Oleh karena itu aku
mengajak agar semua sama-sama bekerja keras memajukan usaha ini sebagai milik
bersama dan bekerja jujur.
Ada beberapa yang khawatir akan dilakukan
pengurangan pegawai. Aku katakan, “koran kita adanya ibarat kapal yang
mengarungi lautan yang bergelombang. Memang susah, tetapi dalam keadaan itu,
tak akan ada teman kita yang dibuang ke laut selama bekerja baik !! Yang akan
dikorbankan lebih dahulu adalah beberapa asset. Tetapi kalau ada yang ketahuan
melakukan kecurangan yang merugikan perusahaan, akan dianggap sebagai
pengkhianat dan akan langsung dikeluarkan.”
Kami hanya mempunyai beberapa
kendaraan sepeda motor untuk ekspedisi. Sedang untuk mengedarkan koran dari
Percetakan ke Agen-Agen, ke Ekspedisi Bandara Udara, Kereta Api dan Bus Antar
Kota, setiap kali kami menyewa dua kendaraan mobil pick up untuk sekali pakai.
Aku mengusulkan agar aku diijinkan membeli
satu mobil box kecil untuk operasioal
yang dapat dilakukan dengan cara barter iklan. Kendaraan itu perlu, disamping
menunjang ekspedisi juga untuk operasi sehari-hari guna melakukan
penagihan-penagihan dan mengangkut pulang sisa-sisa koran yang tak terjual. Hal
itu perlu karena dengan menitipkan tugas itu kepada petugas-petugas ekspedisi,
ternyata kurang efektif dan rawan penyelewengan. Banyak tagihan yang tak dapat
diselesaikan dan sisa koran tidak kembali.
Sayang usulku tak disetujui. Padahal perusahaan tidak perlu
mengeluarkan uang tunai. Dapat disetujui tetapi dengan syarat, kami tidak boleh
lagi menyewa kendaraan ekspedisi. Hal ini tak dapat kupenuhi. Dua rute dilayani
satu kendaaan akan beresiko keterlambatan. Karena baik kereta api, apalagi
pesawat terbang sudah memiliki jadwal keberangkatan tetap.
Para Agen dan pengecer koran/Majalah di Bandara, Stasiun kereta api dan bus,
biasanya berkumpul hanya sampai jam 05.00
subuh. Sesudah itu akan menyebar menjajakan dagangan mereka.
Kalau kami datang terlambat, maka koran kami hari itu tak akan dapat
diedarkan.
Pak Zulharmans coba mengatasi situasi dengan menjalin
kerjasama iklan dengan adik iparnya, seorang pengusaha real-estate dan pusat
pertokoan. Melibatkan Tantri Abeng yang populer sebagai “Manager Satu Milyard”
saat itu. Lalu patungan modal dan operasional dengan dua Distributor besar
media cetak. Tetapi semua itu juga tidak mengubah keadaan. Seorang penulis
Komik yang berhasil mengunggulkan Koran Berita Minggu pada jamannya juga
diajak. Tetapi itupun tak membantu.
Keadaan menjadi tambah sulit, ketika Pemimpin Redaksi,
Pak Fanany mulai sakit-sakitan. Praktis semua tugas dan tanggung jawabnya aku rangkap,
karena ia tidak mau mendelegasikan tanggungjawab itu kepada orang lain.
Pekerjaan
ini memaksa aku harus bekerja sampai tengah malam. Apa lagi tugas-tugas
Tata Usaha PT Enam-Enam masih tetap
dibebankan kepadaku.
Meski kami terbit mingguan, tetapi dengan ruangan dua
belas halaman, redaksi bersama semua jajarannya harus bekerja setiap hari.
Aku membagi tugas dan mengordinasikan tugas para reporter,
membaca, menyeleksi, memperbaiki berita-berita yang masuk, membuat rencana tata
letak berita dan gambar, memberi kode-kode huruf pada naskah untuk percetakan
dan memonitor berita terakhir melalui radio. Yang paling sibuk adalah malam
Minggu menjelang terbit hari Minggu. Harus menunggu berita terakhir yang paling
aktual sebagai berita utama (head line).
Setiap hari aku berangkat pagi dan pulang larut malam. Di
luar sudah sunyi sepi. Sampai di rumah anak-anak sudah tidur. Hanya isteri yang
dengan sabar menungguku. Karena kesibukan itu sampai-sampai tak ada waktu untuk
keluarga. Jangankan rekreasi, ikut Ibadah Minggu saja sudah jarang. Apalagi
Ibadah Keluarga setiap Rabu.
Karena lelah, aku
sering tertidur seorang diri pada sandaran kursi di ruang redaksi. Para
wartawan dan karyawan
lainnya sudah pulang. Hanya Pak
Nardi, petugas ekspedisi yang akan mengantarkan naskah-naskah berita ke Percetakan
menemani. Tetapi biasanya menunggu di luar.
Padahal gedung
kantor kami – bekas Kedutaan Besar RRT (Republik Rakyat Tiongkok) yang tutup
sehubungan dengan peristiwa G30S konon angker. Seorang petugas malam yang
sedang tidur-tiduran di atas meja, berceritera suatu malam – sekonyong-konyong
seperti diputar-putar. Ada lagi yang mengatakan bermimpi didatangi seorang
wanita yang berpakaian putih-putih.
Suatu hari, setelah
semua pekerjaan selesai dan Pak Nardi sudah berangkat, aku melonjorkan kaki
sambil istrahat sejenak. Tapi dalam pikiranku, muncul pertanyaan, apakah aku
akan begini-begini terus ?. Rasanya pola
hidup seperti ini tidak wajar. Hati kecilku menjawab, tidak !. Untuk itu aku harus
mencari pekerjaan lain – dimana ada waktu untuk istrahat atau libur, ada waktu
untuk keluarga, ada waktu untuk kegiatan-kegiatan ibadah.
Pekerjaan yang
memenuhi semua itu dan memungkinkan untuk diwujudkan agaknya menjadi pegawai
negeri sipil (PNS). Pulang kerja masih siang, ada masa cuti, hari Minggu libur,
kurasa cukup waktu untuk semua kebutuhan tadi. Kupikir, aku telah menemukan
jalan keluar masalahku. Saat itu keputusanku untuk melamar menjadi PNS sudah
mantap. Aku menundukkan kepala sejenak,
berdoa mohon pertolongan Tuhan, dalam mewujudkannya.
Peluang menjadi
PNS memang terbuka. Suatu hari Pak Syariful Alam, Kepala Humas Pemda DKI
Jakarta yang tengah mendamping Gubernur Ali Sadikin meresmikan Taman Samudra di
Ancol menelpon dan menawarkan aku menjadi pegawai Pemda DKI. Akan langsung
diangkat. Permintaan yang sama pernah juga dikemukakan Ir. Wardiman
yang dikala itu menjabat Kepala Biro II/Staf Gubernur. Ketika itu aku sedang
membantunya menyusun buku “Sistim Komputerisasi Adminstrasi Pemda DKI”.
Tetapi aku belum berminat karena
merasa lebih cocok dengan profesi
jurnalistik.
Namun untuk
kondisi terakhir ini, aku menimbang-nimbang kembali tawaran itu. Kebetulan ,
sebagai tenaga lepas, aku masih tetap menangani urusan redaksional Majalah
Widyapura, yang diterbitkan Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan
(PPMPL) DKI Jakarta. Sejak lama mereka pun memintaku untuk menjadi pegawai
organik mereka.
Permintaan itu kemudian
kuterima. Mereka akan mengurus
semua berkas-berkas lamaran. Aku cukup
mengikuti ujian saringan yang akan segera diadakan. Dari ujian saringan yang
diikuti hampir seribu orang itu aku termasuk yang dinyatakan lulus.
Selanjutnya akan diproses Badan Kepegawaian
Administrasi Negara (BAKN). Ketika hasilnya dikrim kembali ke Bagian
Kepegawaian DKI Jakarta, di luar dugaan, pada Surat Keputusan pengangkatanku
bukannya ditempatkan di PPMPL tetapi sebagai calon PNS Departemen Dalam Negeri
yang ditempatkan di Inspektorat Wilayah Propinsi DKI Jakarta. Petugas
administrasi PPMPL mempertanyakan, tetapi SK BAKN tak dapat diubah lagi. Maka
tetaplah aku di Itwiprop.
Dari segi
finansial, sejujurnya aku merasa penempatan ini suatu berkah tambahan, karena
tunjangan pegawai di Unit ini lebih baik daripada pegawai-pegawai lainnya.
Itwilprop juga ketika itu sangat disegani di lingkungan Pemda DKI.
Lebih dari pada
itu penugasanku di lembaga pengawasan ini, rasanya juga selaras dengan salah
satu fungsi profesiku di pers sebelumnya, yaitu mengemban fungsi kontrol sosial
(social control). Hanya bedanya, kalau di pers mengawasi dari luar
dan hasilnya langsung dipublikasikan kepada umum. Disini kami berwenang
memeriksa dari dalam namun hasilnya bersifat rahasia dan semuanya dilaporkan
kepada Pimpinan Instansi lebih atas.
Karena pendidikan tinggiku tak kunjung usai, aku
masuk dengan dasar pendidikan SMA. Dengan gaji pokok calon PNS
Rp 16.800,00. Bandingkan dengan honorku disatu majalah saja saat itu Rp 200.000,00.
Untungnya, kami dapat jatah sekarung beras 50 kg untuk lima jiwa. Keputusanku
masuk PNS, yang dianggap berpenghasilan kecil saat itu sering dipertanyakan.
Adik iparku menyindir : ”Apa untuk
dapat jatah beras ?”. Memang boleh dianggap keputusanku agak nekat. Namun telah
kuperhitungkan, setidak-tidaknya untuk sementara. Segala kebutuhan keluarga
masih akan dapat ditutupi dari honor-honor tulisanku di mass media. Tentu saja
dengan melakukan penghematan. Yang segera
berubah, adalah kami tidak lagi dapat memakai pembantu rumah tangga.
Keputusanku untuk
berhenti dari BMF, juga mengagetkan Pak Zulharmans selaku Pemimpin Umum BMF dan
Direktur PT.Enam-Enam. Apalagi ketika
itu kami sedang merancang peningkatan koran ini menjadi suratkabar harian, Harian
Neraca. Surat Ijin Terbitnya sudah keluar, dan aku masih ikut merancang
disain namanya.
Semua
tanggungjawabku kemudian dialihkan Pak Zoel
ke kakaknya, Pak Syafrn. Nampaknya Pak Zoel agak berat melepaskanku.
Buktinya, baru enam bulan aku keluar, ia menyuruh orang menelponku menemuinya.
Ia memintaku untuk
kembali lagi membantu dia. Dia akan
mengganti semua fasilitas yang telah kudapatkan di Pemda DKI. Aku penasaran
kenapa dan apa kelebihanku maka ia membutuhkanku, padahal aku biasa-biasa saja.
Lagi pula beberapa orang kepercayaannya, menurutku mereka adalah orang-orang
yang handal. Ia katakan, “pertama kau
mampu menjabarkan gagasan-gagasan yang ku mau. Kedua, kau tekun, ketiga kau
jujur”.
Prinsipnya aku
bersedia kembali lagi dan berat menolak permintaannya karena aku merasa sudah cukupdekat dengan beliau dan menganggap sudah seperti saudara sendiri. Aku
memang lebih sering menyapanya dengan “Bang Zoel”. Meskipun dia sebagai atasan,
selama ini dia selalu memberi aku kebebasan berinisiatif, menegakkan disiplin
pegawai termasuk yang anggota familinya. Bahkan besar gajinya pun dia minta
akulah yang menetapkan.
Meski begitu aku minta waktu lebih dahulu untuk berunding
dengan keluarga. Karena saat itu, aku dan keluarga sudah mulai menikmati kelonggaran
waktu sepulang kerja. Sudah ada lebih banyak waktu untuk bermain bersama, untuk
istrahat, untuk beragai kegiatan ibadah seperti badah Minggu, Ibadah keluarga,
ibadah kategorial, latihan paduan suara
dan lain-lainnya.
Dengan tersedianya waktu dan ketrampilan kerja bangunan
yang kudapat di Poso dahulu, aku mulai
dapat menambah kamar dan merenowasi bangunan rumah kami di Kompleks PWI. Kini
kami juga punya waktu lebih banyak bersama anak-anak. Bermain catur, Halma,
membantu dalam pelajaran dan sekali-sekali
rekreasi.
Anak-anak kami dorong mereka lebih rajin belajar. Bagi yang memperoleh
nilai bagus, kami berikan bonus uang jajan. Makin tinggi nilai raportnya untuk
tiap mata pelajaran makin tinggi bonusnya. Nilai ranking kelas pun dapat bonus.
Hasilnya cukup memuaskan. Sampai-sampai ada tetangga meminta saran bagaimana
untuk mendorong anaknya yang selalu tertinggal pelajarannya agar rajin belajar.
Melihat perubahan itu aku sendiripun sesungguhnya juga sudah sungkan untuk mundur lagi
dari Pemda DKI. Masalahnya, aku telah menempuh berbagai pendidikan dan
latihan ketrampilan. Di sini pun aku mulai
menemukan pengalaman baru. Aku juga sudah
melanjutkan study ke Universitas Terbuka Jurusan Administrasi Negara dan mendekati
akhir. Semua itu kurancang untuk
peningkatan karier.
Apalagi anak kami yang ketiga baru saja lahir tanggal 30
Mei 1983. Seorang puteri yang kami beri nama Meinanti Dian Saraswaty. Nama ini
bukan saja menyesuaikan dengan bulan kelahirannya, tetapi juga terinspirasi
oleh bintang cilik Meinar dalam film
karton “ Si Unyil” yang populer saat itu. Sara, diambil dari nama neneknya, yang
sekaligus juga nama isteri Bapak
Abraham, bapak orang percaya menurut Alkitab. Nama ini lalu
dilanjutkan menjadi Saraswaty,
terinspirasi oleh nama Dewi Kesenian Pulau Dewata Bali. Sebagaimana waktu kedua
kakaknya lahir, dia pun kubawakan seberkas kembang yang harum mewangi dalam
vas.
Dengan bertambahnya anggota keluargaku, kupikir kini aku
sebagai kepala keluarga bertanggung jawab untuk memiliki pekerjaan dan
penghasilan yang stabil. Maka dengan berat hati keberatan keluarga ini
kusampaikan kepada Pak Zoel.
Sejak itu kesehatan beliau mulai menurun. Padahal sebelumnya ia sangat energik. Terakhir aku
menjenguknya ketika dirawat di Rumah Sakit Tjiptomangunkusumo. Dan tidak lama
setelah itu beliau wafat. Sebuah buku memori diterbitkan untuk mengenang
pengabdiannya, khususnya di dunia pers
dan perfiliman nasional. Beliau adalah juga pendiri PT.Perfin
(Perusahaan Film Nasional). Ketika itu ia kerap mengecam dominasi film-film
import yang membuat perfilman nasional sulit berkembang. ***
No comments:
Post a Comment