Heboh besaran gaji Dewan Pengarah
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) akhir-akhir ini menurut hemat saya
disebabkan beberapa hal. Kurangnya
informasi tentang BPIP, lemahnya pengorganisasian, dan kurang taktisnya dalam
penetapan waktu pengumumannya.
Pada saat ekonomi negara sedang lesuh
dan di negara tetangga pemimpinya mengumumkan pemotongan gaji para petingginya
untuk meringankan beban negara, tetapi kita di Indonesia justru sebaliknya. Mengumumkan pemberian gaji kepada para petingginya dalam jumlah yang
spektakuler !
Ditambah lagi rakyat belum mengetahui
bagaimana kinerja BPIP. Apa saja yang telah dihasilkan oleh BPIP. Bahkan siapa
saja tokoh-tokohnya baru saat-saat terakhir masyarakat mengetahuinya.
Umumnya rakyat sangat menghormati
tokoh-tokoh sepuh seperti KH. Ma’ruf Amin, Ketua MUI, Said Agil Siradj ketua
umum PBNU, Pdt. Y.A. Yewangoe yang mantan Ketua PGI, M.Mahfud MD mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi, mantan Wapres Try Sutrisno
dan lain-lain termasuk mantan Presiden RI Megawati Sukarnoputeri.
Rasanya rakyat tak akan keberatan
kalau negeri ini membagikan sekedar dana kehormatan kepada para negarawan senior
ini. Ketika pada masa sepuh mereka masih
mau ikut menyumbangkan waktu, pikiran dan tenaga mereka untuk keselamatan dan
kesejahteraan negeri ini di masa depan.
Masalahnya saat diumumkannya kurang tepat atau kurang taktis. Mengapa ? Hari-hari ini adalah masa tahun politik, di
mana pihak pendukung petahana dan kaum
oposisi sedang berusaha merebut simpati dan kepercayaan rakyat untuk memperoleh
sebanyak mungkin pemilih pada Pilkada, Pileg dan Pilpres yang akan datang.
Seiring dengan itu kaum oposisi juga
giat mengamati kelemahan dan kekurangan pihak pemerintah petahana kemudian mengumbarnya ke publik untuk
menurunkan ektabilitas lawan.
Di lain pihak, petahana juga semakin giat
melakukan segala upaya untuk menunjukkan prestasi-prestasi yang telah mereka
capat selama hingga saat ini.
Makanya, tidaklah heran kalau pihak
oposisi dengan sigapnya langsung menyambar issue
ini sebagai amunisi baru untuk
menyerang lawan politik mereka.
Informasi yang tidak lengkap atau
setengah-setengah mengenai BPIP dengan mudahnya ditafsirkan macam-macam
sehingga apa yang disebarkan menyimpang dari yang sebenarnya.
Nama Megawati Sukarnoputeri yang
ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pengarah, lebin banyak dikenal sebagai Ketua
Umum PDIP dan puteri Presiden pertama RI Ir. Soekarno yang diakui sebagai penggali
butir-butir Pancasila.
Tanpa setahu Ibu Megawaty, sebagai
Ketua Dewan Pengarah BPIP ia diberi gaji Rp 112.548.000 sebulan. Lebih tinggi
sedikit dari anggota Dewan Pengarah Rp 100.811.000 dan Ketua BPIP yang
kedudukannya setingkat menteri dengan gaji Rp 7.500.000.
Andakata saja yang menjadi Ketua Dewan
Pengarah dan kmudian ditonjolkan dengan gaji sebesar itu bukan Megawati, misalnya Mahfud MD, Try Sutrisno atau yang
lainnya, mungkin reaksi tidak akan seheboh ini.
Penulis
yakin bukan mau-maunya Ibu Mega ingin jadi Ketua Dewan Pengarah. Perlu
diinformasikan bahwa menurut Pasal 8 Perpres No.7/2018 tentang BPIP, Ketua Dewan Pengarah dipilih
dari dan oleh anggota Dewan Pengarah melalui mekanisme internal Dewan Pengarah.
Jadi, kurang lebih sama dengan cara
pemilihan Ketua KPK atau Mahkamah Konstusi.
Karena itu semestinyalah ketika
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai hak keuangan BPIP itu dibarengi pula
bahkan didahului dengan informasi kinerja dan apa saja hasil kerja BPIP sejak
dibentuk. Sejak masih sebagai Uni Kerja Presiden yang dibentuk Mei 2017 lalu
ditingkatkan menjadi BPIP 28 Pebruari 2018 hingga kini.
Jadi tidak langsung hanya susunan
personalianya, tupoksi dan besar gaji
yang bahkan lebih tinggi dari gaji Presiden dan Ketua DPR. Kalau dirapel untuk sekian bulan jadi berapa ?
Maka dengan kondisi demikian, lawan-lawan
politik mungkin saja dapat menduga yang macam-macam dan kemudian dilemparkannya
ke publik. Misalnya, sekarang adalah tahun politik. Partai, para caleg,
cagub/cabup/Walikota perlu dana kampanye. Sedang sekarang orang-orang KPK makin
meramba dari pusat ke Propinsi, Kabupaten dan Kota bahkan sampai Desa-desa.
Penyadapan
makin canggih dan informan KPK tak dapat lagi ditandai. Mungkin kolega sendiri,
bawahan bahkan rakyat biasa. Akibatnya para pejabat tidak bisa lagi sekarang
bermain-main dengan APBN, APBD atau suap-menyuap , kalau tidak mau kena OTT (operasi tangkap
tangan) oleh KPK.Maka harus dicari teknik lain.
Bukan
menjadi rahasia umum lagi bahwa para pemimpin biasanya mau rela menyumbangkan
hak pribadinya untuk keperluan pihak atau tujuan lain.
Makanya
setiap seorang pejabat bicara harus jelas bicara dalam status apa. Apalagi
tokoh-tokoh Dewan Pengarah BPIP adalah
pemimpin umat yang mengemban berbagai status.
Ibu Megawati misalnya, ketika berbicara
tentang Pancasila di suatu acara, apakah ia bicara sebagai pribadi puteri Bung Karno penggali Pancasila ?
Sebagai Ketua Umum PDIP atau
sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP.
Demikian pula tokoh-tokoh lainnya. Bicara di
forum internasional di luar negeri
atau suatu forum lain sebagai nara sumber,
apa disponsori atau atas undangan pihak
lain, mewakili organisasi tertentu atau sebagai
pejabat BPIP ?
Maka akibat ketidak-jelasan itulah maka
Amien Rais dengan lantangnya bisa menuding: ”hanya ongkang-ongkang, hanya tukar
pikiran, namun dapat 100 juta lebih”. Mungkin beliau mengira, kalau seorang
pemmpin partai bicara, bicaranya meluluh hanya tentang partainya saja.
Penyebutan gaji untuk hak keuangan BPIP
juga tak luput dipersoalkan. Pihak MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia
) yang berniat menggugat Perpres tsb ke Mahkamah Agung, merasa tidak etis
penyebutan gaji untuk para sesepuh itu. Menurutnya lebih baik dengan istilah
lain yang lebih pas seperti “Uang Kehormatan” atau sejenisnya.
Disini memang ada juga dilema berkaitan
dengan nomenklatur dalam tata usaha
keuangan negara. Baik Menteri Keuangan maupun Kementerian terkait lainnya
semuanya terikat harus memakai bahasa undang-undang, bahasa pasal, sehinga tidaklah semudah
itu dapat mengganti istilah yang sudah baku.
Untk
keluar dari kemelut ini, menurut penulis mungkin dapat diambil kebijakan
:
1.
Dewan
Pengarah BPIP menunda menerima hak keuangan dimaksud sambil menunggu keputusan
Mahkamah Agung mengenai gugatan dari MAKI dll yang diharapkan dapat diproses
secepatnya.
2.
Kepemimpinan
di Dewan Pengarah BPIP secara bergiliran/peiodik yang dapat diatur secara
internal.
3.
Pogram
kerja dan capaian tupoksi BPIP didokumentasikan dengan baik.
4.
Perlu
ada juru bicara BPIP dan atau forum BPIP di media masa untuk mengkomunikasikan
materi-materi dan capaian pembinaan ideologi Pancasila agar benar-benar sampai kepada
masyarakat. ***
No comments:
Post a Comment