S
|
elain ayah,
ibu, kakak-kakakku dan Mama
Eti, teman sekolah dan
sahabat-sahabat sepermainanku sungguh membuat masa kecilku sebagai suatu masa
yang betul-betul indah dan mengesankan.
Dengan teman-temanku, aku dapat menjelajahi seluruh pelosok hutan, sungai,
gunung dan lembah yang masih asri dikampung kami. Air yang memotong jalan
kampung kami biasa kami minum langsung tanpa dimasak. Berasal dari hutan
lindung yang diawasi ketat, sejuk dan dalam hujan selebat apapun, tak pernah
banjir dan airnya tetap jernih. Dari
balik batu yang hitam-hitam dapat ditemukan kepiting-kepiting atau udang. Pada air yang tenang, banyak ikan-ikan
sikonui, yang dapat membuat orang dapat duduk
betah berjam-jam memancing.
Aku dan teman-temanku sering
menjelajahi sungai ini sampai ke pinggir hutan untuk mencari wuku
hulu, potongan teras bekas pohon damar. Benda ini berwarna kuning
keemasan, keras, dan paling disenangi anak-anak seusiaku untuk membuat hule atau gasing.
Gasing adalah salah satu alat permaianan
yang dapat dimainkan dengan beberapa jenis permainan. Ayah kadang-kadang pulang
dari kebun dengan membawakan hule atau pololi. Namun cara memainkan pololi
terbatas, hanya cukup diputar dengan tangan. Lain dengan hule yang diputar dengan tali. Menarik dan
ramai dimainkan oleh anak-anak bahkan sampai laki-laki dewasa.
Main rotan, adalah
sejenis permainan yang juga banyak digemari, baik laki-laki maupun perempuan,
anak-anak maupun
dewasa. Memainkannya sederhana, alatnya hanya dua potong rotan sebesar
jari, panjang masing-masing 30 cm dan 10 cm serta sebuah lubang kecil.
Hanya dibutuhkan ketrampilan memukul potongan yang pendek agar sejauh mungkin
untuk menghasilkan nilai setinggi mungkin sedang pihak lawan ketrampilan
menangkap potongan rotan yang pendek
setelah dipukul ke udara. Menangkap dengan satu tangan nilainya 12 dan dua
tangan hanya 5. Selain itu permainan
anggota lawan juga batal, sehingga harus digantikan anggota lainnya.
Ada banyak lagi permainan-permainan
khas kampung kami yang sering dimainkan anak-anak turun-temurun. Seperti main
logo, dengan alat yang terbuat
dari tempurung, main kemiri, yang mirip dengan main
kelereng dengan alat dari buah kemiri, main
sampa lolako dan main gobangan, yang menggunakan
mata uang yang tak digunakan lagi.
Belum lagi permainan-permainan yang
umum seperi main bola, kasti bahkan
perang-perangan. Kami membuat senjata dari sepotong bambu bulat kecil kemudian
diisi dengan peluru dari kunyit atau bahan lain
yang menimbulkan rasa gatal dari lubang bambu yang lebih besar dan
kemudian disodok dengan tangkai kecil sehingga menimbulkan bunyi letusan.
Ada kalanya kami membuat rumah-rumahan di atas pohon,
memasang jerat ayam hutan atau burung tekukur, mandi-mandi di sungai besar yang ada pusaran airnya atau
mencari ikan di sungai-sungai berawa. Kami
sering pula menjelahi hutan mencari
rotan atau buah-buahan dengan berjalan kaki atau membawa kerbau sebagai
tunggangan kami. Durian, mangga, rambutan, nanaka, bokoto,
namo, ruomo,
wua
ahi, hanya ada di
tempat-tempat
tertentu dan setiap kami sudah mengetahuinya. Kami jadi tahu semua jenis
pohon-pohon yang buah atau daunnya dapat dimakan, mana yang berkhasiat obat, mana yang disukai hewan ternak, mana
yang beracun bahkan tak boleh disentuh. Kami juga sering mengunjungi dan bermain-main dengan dampa
di Sosopa. Dampa ini dibangun
diatas aliran sungai air panas, terdiri dari pagar berkeliling dan pada
muaranya di buatkan pintu gantung yang besar dan berat dan kemudian
disambungkan dengan tali ketengah-tengahnya berupa jebakan. Kawanan kerbau liar
sangat suka mandi-mandi ke tempat
ini. Dan kalau sudah masuk dan menyentuh
tali jebakan, pintu seberat 1-2 ton
itu akan tertutup.
Pokoknya, tiada hari yang kosong tanpa kesibukan
permainan. Adakalanya orangtua harus mencari kami karena lama belum tiba
dirumah. Pernah kami dimarahi karena membuat jebakan dari batang pohon
besar dan jebakan bermata bambu
runcing yang kami pasang di jalan yang juga sering dilalui orang.
Bahkan pernah aku dengan beberapa teman dihukum berdiri dengan kaki
sebelah berjam-jam di depan kelas karena
ada warga yang melaporkan kami telah
menginjak-injak padi ketika kami melalui
kebunnya.
Penjelajahan kami, tidak saja di hutan, di kali, di gunung dan dilembah, tetapi juga bangunan-bangunan
yang penuh misteri, termasuk loteng rumah-rumah orangtua kami. Loteng
rumah-rumah orangtua kami yang besar-besar, konon sering dijadikan tempat
penyimpanan barang-barang antik, dan
kami ingin tahu dan melihat sendiri. Penjelajahan itu kami lakukan karena
kecuali hari minggu, penduduk semuanya tinggal di rumah kebun. Nah, sepulang
dari sekolah dan makan bekal kami di
rumah salah seorang dari kami, dengan
panduan anak pemilik rumah
kami naik ke loteng mengadakan
penjelajahan. Aku ingat,
di
loteng rumah kami aku pernah melihat alat permainan kecapi
kuno, pedang dengan rambut pada ujung gagangnya, tombak, perisai dan sekotak
perhiasan manik-manik, gelang tangan dan gelang kaki. Ibuku pada masa mudanya
pintar menari dan beliau sampai akhir
hayatnya tetap menyimpan selendangnya.
Kami tak berani
mengambil benda-benda itu karena ketika itu dianggap keramat.
Loteng rumah Luma juga kami jelajahi.
Ayah teman ini paling disegani di
kampung kami sebagai ketua adat dan
sesepuh kepala kampung. Kami tak menemukan sesuatu yang luar biasa. Lain dengan ketika Rusia mengajak
kami menjelajah loteng rumahnya. Kami terkejut ketakutan dan bergegas turun
karena dalam keremangan, kami menemukan
peti mati seperti yang kami biasa lihat diusung ke pemakaman. Kakek
teman ini tidak lain adalah pamanku sendiri, kakak kedua ayahku dari delapan
bersaudara.
Pengalaman ini membuatku trauma.
Pernah berhari-hari aku tidak berani melalui jalan yang biasa kulalui ketika pulang sekolah, karena
dekat pinggir jalan ada sesuatu yang
tersandar di pohon seperti peti mati. Ternyata kemudian hanya balok besar untuk
tiang rumah.
Pada hari-hari tertentu, kami mengembala kerbau masing-masing. Kami harus menjaga agar tidak
membawa kerbau yang saling bermusuhan.
Selain kerbau, ayah mempunyai kuda dua
ekor. Kuda kami jinak. Tapi aku takut
mendekati mereka takut melihat giginya
yang besar-besar. Kalau berjalan cenderung lari. Aku pernah disuruh menuntunnya
dengan tali dimuka. Makin aku coba menjaga jarak, makin ia mendekat. Aku menengok
kebelakang, moncongnya yang besar sudah
di atas kepalaku dan seperti akan
menginjak-injak aku dengan kuku keempat kakinya yang tajam-tajam. Aku segera menghindar ke samping dan
melepaskan
talinya.
Ayah hanya kecut dan rupanya ia mengerti
karena setelah itu ia tak ernah lagi
menugaskan merawat kuda-kudanya.
Apalagi kedua kuda ayah suka
berkelahi dan kejar-mengejar dengan kuda lain. Terdengar bunyi gemuruh ketika
melanggar semak pepohonan, sepak-menyepak dan gigit-menggigit dengan ringkikan memekak telinga.***
1.4. Di sekolah
A
|
ku ingat ketika
hari pertama aku akan masuk sekolah. Kakak-kakakku memakaikan aku baju baru,
baju putih dengan celana gantung warna abu-abu motif garis-garis halus.
Sekolah kami hanya sampai kelas
tiga. Guru hanya satu orang, sekali mengajar dua kelas. Kelas satu hanya sampai jam sepuluh dan sesudah itu disambung
kelas dua. Kelas tiga dari pagi sampai jam satu. Aku ingat bagaimana guru kami Bapak Mandake,
pertama-tama mengajar kami berhitung dengan menggunakan kait-kait yang
digantung di papan tulis. Kami juga
diwajibkan senantiasa membawa potongan-potongan
lidi sepanjang 15 cm yang dimasukan dalam tabung bambu untuk alat berhitung.
Ia mengajar kami membaca
dan menulis. Aku ingat ketika ia memperkenalkan huruf “U” yang disebutkannya
sebagai “topi yang berkaki di langit”.
Aku agak kesulitan mengikuti pelajaran.
Ketika buku-buku bacaan dikeluarkan dari lemari
dan dibagikan untuk dibaca, aku merasa buta
sama sekali. Aku lebih tertarik melihat gambar-gambar.
Namun aku juga
tak dapat menggambar dengan baik.
Kami masing-masing diberi batu tulis dan
kalam batu untuk menulis dan menggambar.
Diatas batu tulis itu kami dapat
menulis atau menggambar dan
dapat dihapus dengan air untuk digunakan kembali. Untuk itu setiap ke
sekolah kami diharuskan membawa air
dalam botol kecil. Beberapa dari kami menambahkan gula merah sehingga dapat
pula diminum.
Pada jam pelajaran menggambar bebas, aku
kagum bagaimana temanku, Linto, dapat
mengambar kucing begitu bagus.
Pada jam belajar menyanyi, murid-murid seluruh kelas digabungkan. Kami
dibiasakan mengikuti not-not empat nada di papan tulis. Umumnya lagu rohani, lagu
anak-anak dan lagu kebangsaan. Dari buku Nyanyian Rohani sebanyak seratus nomor
hampir seluruhnya dapat kami
nyanyikan.
Pada waktu-waktu tertentu kami disuruh
maju menyanyi sendiri-sendiri di depan kelas. Murid yang malu atau tidak bisa
menyanyi dihukum berdiri dibalik papan tulis sampai pelajaran selesai.
Setiap selesai satu pelajaran, kami
keluar istrahat selama sekitar satu jam. Menurut istilah sekolah kami,
“bersenang”. Kami memang menyenangi
kesempatan itu. Kami menggunakannya untuk bermain atau makan siang dari
bekal yang kami bawa dari rumah.
Disiplin, kesehatan dan kebersihan
sangat diperhatikan. Sebelum masuk sekolah, setiap murid berkumpul diujung
kampung dan kemudian berbaris sambil
menyanyi menuju sekolah. Di
depan sekolah, kami berbaris melebar, mengangkat kedua punggung telapak tangan
untuk diperiksa kebersihan kuku-kuku kami. Guru
memeriksa dengan teliti satu persatu sambil memegang penggaris kayu.
Bila menemukan murid yang ujung kuku
jarinya hitam,
jari itu akan dipukul dengan penggaris. Kadang-kadang juga ia memeriksa leher
kami. Ia akan menyuruh kami turun ke
kali dekat sekolah untuk membersihkan
bila dileher kami ada daki.
Rambut murid laki-laki tidak boleh
panjang. Guru senantiasa menyediakan gunting. Bila rambut kami kedapatan
panjang pada waktu apel, akan digunting.
Biasanya dari depan ke belakang, dari
kiri ke kanan lalu melingkar dari telinga ke telinga sehingga membentuk
seperti perampatan jalan. Orangtua atau kakak-kakak kami biasanya hanya geli
menertawakan ketika kami pulang. Mau tidak mau mereka akan mengunduli kami. Tak pernah ada yang
protes.
Pada hari-hari tertentu kami
mengadakan senam taiso, yang dipandu
seorang murid senior. Biasanya oleh
Kalinda, yang juga kakak sepupuku. Ia seorang yang berwibawa. Ia pernah
menemukan parang tertancap di lapangan sehingga melukainya. Ujung kakinya
berdarah. Ia mencabutnya lalu melemparkannya jauh-jauh ke kali. Ia juga adalah
pemimpin musik bambu sekolah kami. Ia juga
pernah menjadi pemeran utama dalam sandiwara lapangan penyalipan Kristus.
Setiap hari Sabtu guru menyuruh kami
membawa seikat daun amplas yang banyak
terdapat di pinggir-pinggir sungai. Semua bangku dan meja sampai mimbar dan
bingkai batu tulis kami kami gosok sehingga selalu nampak seperti baru. Pada
hari-hari tertentu kami juga disuruh
membawa parang untuk memaras
lapangan rumput sekolah yang sangat luas.
Tiga kali setahun kami menerima raport dan harus dikembalikan lagi ke
sekolah setelah ditandatangani orangtua atau
wali. Selalu timbul masalah karena orangtua dan
kedua kakak perempuanku merasa
enggan menanda-tanganinya.
Padahal ayah sudah pernah mengikuti kursus PBH dan kedua kakakku sudah tamat
kelas tiga. Untung ada warga yang selalu berbaik hati untuk kami mintai
bantuannya menan-datanganinya.
Pak Mandake, guru kami, sangat
perhatian dengan muridnya. Aku dua kali
terkena bisul kulit yang
membesar di paha sehingga lumpuh sama sekali. Aku terpaksa tidak dapat
mengikuti pelajaran sehingga dua kali pula tidak dapat naik kelas. Dua kali tidak naik kelas dua. Suatu hari
Pak Guru datang ke rumah menanyakan aku dengan memegang parang. Aku takut,
kukira dia dalam keadaan marah. Rupanya ia baru datang dari kebun dan ibu memberitahukan aku masih
sakit. ***
No comments:
Post a Comment