Setelah kelahiran anak kami yang pertama, aku menyadari tanggungjawabku sebagai
ayah dan Kepala Keluarga semakin besar. Bukan hanya harus mencukupi kebutuhan
dasar keluarga seperti sandang pangan dan tempat tinggal, tetapi juga rasa aman
dan nyaman, perhatian, rekreasi, kesehatan dan pendidikan. Baik umum maupun
rohani.
Bersama isteri, kami sudah sepakat, aku saja yang bekerja
dan isteri dapat sepenuhnya mengurus rumah tangga terutama merawat anak-anak.
Apalagi tatkala masih bayi dan anak batita (bawah tiga tahun). Kalau sakit atau
merasa tidak nyaman, mereka tak bisa bicara, tahunya hanya menangis dan
menangis. Sebagai orangtua yang belum berpengalaman, kami masih perlu banyak
bertanya pada yang lebih paham.
Ibu isteriku sudah
tiada. Beliau meninggal menjelang hari pernikahan
kami. Untunglah masih ada neneknya. Sejak
suami nenek ini, seorang sesepuh asal Timor dan mantan Nakhoda meninggal,
cucu pertamanya yang kelak menjadi isteriku inilah yang menemaninya.
Kami tetap tinggal
di rumah beliau selama dua tahun pertama, dan dialah selalu memberi kami
nasehat. Namun begitu, ketika anak kami yang pertama lahir, isteriku masih
merasa perlu mendapatkan pendampingan seorang zuster. Selama dua minggu sang
zuster bolak balik ke rumah untuk memandikan dan merawat sang bayi, termasuk
membantu pemulihan kesehatan isteriku.
Kesehatan sang
bayi sampai usia lima tahun, ternyata sangat rawan. Suatu kali pernah aku
mendapat telepon di kantor, Kris yang baru berusia setahun panas tinggi.
Padahal sehari sebelumnya baru saja kami periksakan ke dokter anak.
Dengan kecepatan
tinggi aku memacu sepeda motor dari Jalan Kramat VIII ke Tanjung Priok lewat
Jalan Martadinata. Truk-truk trailer yang mengangkut kontainer dari pelabuhan
terpaksa kusalip untuk bisa tiba lebih cepat di rumah.
Sampai di rumah,
Kris tengah digendong seorang ibu, tetangga sebelah rumah. Mamanya hanya
menangis panik. Kris segera kugendong. Wah panasnya tinggi sekali, entah berapa
derajat. Matanya memerah dan air matanya mengalir. Aku putuskan untuk segera
membawanya kembali ke dokter, seorang dokter anak yang lain. Puji Tuhan,
setelah diberi obat suhu badannya mulai menurun.
Entah sudah berapa
kali waktu tengah malam aku harus menggendong anak kami ke Unit Gawat Darurat
rumah sakit lalu mengantri obat di
Apotik.
Pernah, ketika malam
hari aku tengah mengisi bensin di Pompa bensin. Tiba-tiba muncul dua pemuda
bersepada motor hendak merampok uang Pom bensin itu dengan golok di tangan. Aku
yang tengah menggendong ananda Rut yang sakit terjebak. Maju tak bisa, mundur
tidak bisa. Untunglah seketika itu juga ada
seseorang yang muncul dengan mengacung-
Acungkan pestol. Kedua orang muda itu
ketakutan dan terus pergi.
Ketika isteriku
baru saja melahirkan Dian, anak bungsu kami dan masih memerlukan perawatan di
Klinik, Kris dan Rut anak kedua, tiba-tiba dua-duanya sakit panas tinggi. Aku
terpaksa membawa mereka ke dokter secara bergantian. Aku merasa sedih ketika
dalam becak Rut mengajak bercakap-cakap setengah mengigau, padahal suhu
badannya sangat tinggi.
Sebelumnya pernah
pula kami demikian cemas dengan anak kami kedua ini. Kami baru pulang dari
dokter karena panas tinggi. Setelah minum obat, suhu badannya mulai menurun.
Merasa lega, kami tidurkan dia di box. Tapi tiba-tiba aku terkejut melihat Rut
menggapai-nggapaikan kedua tangannya. Matanya membelalak seperti ketakutan. Aku
mengangkatnya, sekujur badannya kejang-kejang sambil tangannya terus menggapai.
Aku memanggil-manggil namanya, tak ada suara.
Aku berteriak
memanggil mamanya di kamar yang tengah tertidur kelelahan. Karena tak juga
terbangun, aku menendang pintu karena kedua tanganku tengah menggotong tubuh
anak kami yang masih kejang. Begitu terbangun aku minta dibuatkan kompres air
hangat dari termos. Syukurlah, setelah dikompres dahinya, barulah tubuhnya
mulai lemas dan sadar kemali. Mengapa ia seperti ketakutan, katanya seperti ada
laba-laba besar mau menyerangnya.
Sekali waktu lagi,
ketika Rut dirawat di rumah sakit UKI karena gejala types, aku dapat giliran berjaga
malam hari. Aku tidur beralas koran dilantai keramik. Ketika hendak bangun pagi
subuh, aneh kepala pusing, setiap kepala bergerak akan muntah. Para suster
kemudian membawa aku ke ruang gawat darurat. Mereka memberi aku obat dan memintaku
tetap berbararing istrahat.
Hari itu
bertepatan dengan hari Natal. Serombongan paduan suara pemuda berkeliling
ruangan pasien melantunkan lagu-lagu Natal. Sebagai presbyter, pagi itu
seyogyanya aku
ikut bertugas melayani ibadah. Ketika
dikabarkan aku di ruang UGD (Unit Gawat Darurat), mereka bertanya-tanya, yang
dirawat di rumah swakit sebetulnya Rut atau ayahnya ?
Sebelum peristiwa
itu, si bungsu, Dian pernah menjalani perawatan selama dua minggu. Dia divonis
kena Deman Berdarah (DBB) dan harus dirawat dengan infus di rumah sakit yang
sama.
Ketegangan dimulai
ketika Jumat itu aku mengurus surat
rujukan di Puskesmas Cipinang Jaya. Mereka menolak memberikan surat rujukan
karena sudah siang. Sedangkan surat rujukan itu harus diserahkan dalam waktu
tiga hari. Kalau tidak, fasilitas Askes tak kan diberikan padahal anak kami
sudah di rumah sakit. Sabtu dan Minggu libur. Kalau baru diberikan hari Senin
sudah kedaluarsa. Karena tak dilayani juga, aku langsung minta mundur dari
keanggotaan Puskesmas itu.
Cemas atas kondisi
kesehatan anak bungsu kami yang kian memburuk, aku minta dispensasi kepada
petugas rumah sakit untuk menunda pembayaran
uang jaminan sebagai pasien umjum. Hari itu kami tidak memiliki uang
cukup. Famili-famili yang kami hubungi juga tak dapat membantu.
Untunglah ketika
aku mendesak agar dipertemukan dengan pimpinan rumah sakit, akhirnya para
petugas dapat memberi kami tenggat waktu mengurus surat rujukan.
Timbul masalah
lain. Rumah sakit kehabisan stok cairan infus ! Yang sedang terpasang tinggal
sedikit sedangkan wajah dan perut Dian makin membiru. HB darahnya terus menurun
yang terlihat pada skala alat infus.
Aku berkeliling
Jatinegara dan sepanjang Jalan Otista Raya mencari apotik yang masih memiliki
cairan infus langka itu. Akhirnya, Puji Tuhan, dapat juga di Kramat Jati.
Setiba di rumah
sakit, ibu-ibu PW (Persekutuan Wanita) GPIB Marturia baru saja pulang sesudah
berdoa memohon kesembuhan anak kami. Ketika
mereka datang, Dian yang panas tinggi tak ada yang mendampingi. Dokter jaga yang dipanggil, hanya datang
sebentar terus pergi Mamanyasedang kelimpungan kesana kemari
mencari batu es buat kompres. .Karena tak ada, ia menerobos pintu belakang ke
warung dan disitu hanya ada telur ayam dan madu.
Kuning telor ayam
dan madu itu diminumkan ke Dian kemudian Ketua PW Ibu Lena Riboch memimpin doa
mohon kesembuhan. Namun sebelumnya terdengar ia
berkata kepada anak kami , “ kau
akan mati, karena itu kau harus
menyerahkan diri dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan”. Syukurlah setelah
itu suhu badan Dian makin menurun.
Selama saat-saat
sangat musykil itu, Kris dan Rut yang masih Balita, kami titipkan ke tetangga
kami, keluarga Bapak H.Abbas Ali. Hewan-hewan kesayangan kami tak terurus lagi.
Anjing penjaga yang kami ikat di teras, mati tergantung. Rupanya ia mencoba
melompati pilar, tapi talinya tak cukup panjang untuk sampai ke bawah. Seekor
lagi yang masih kecil, mati tenggelam di kolam belakang. Mungkin ia mau minum
tapi terpeleset jatuh dan tidak sanggup naik lagi.
Perawatan Dian di
rumahsakit UKI sudah yang kedua. Yang pertama ketika ia masih berusia satu
tahun. Juga karena DBD. Kami sangat sedih melihat si kecil dipasangi jarum infus pada kedua pergelangan
tangannya kemudian diikat kiri kanan di sisi tempat tidur. Dia terpaksa
terus-menerus telentang. Tak bisa berbalik atau berbaring. Untuk sekedar
menenangkan dan menghiburnya, kami belikan sebuah boneka cantiki dengan pakaian
merah cerah. Kami tempatkan di atas lemarinya. Anak-anak lain sebangsalnya ikut mengaguminya. Pergumulan mengenai
kesehatan anak-anak ini baru mulai mereda sejak mereka mulai memasuki usia
remaja.
Tantangan dalam
upaya memenuhi kebutuhan rumah tangga juga tak kalah hebat. Memang, selama
beberapa waktu sebagai PNS, nampaknya masalah ekonomi keluarga masih dapat dikendalikan. Ketika diangkat
menjadi pegawai definitif, mulai ada peningkatan kesejahteraan seiring dengan
kenaikan gaji
dan tunjangan-tunjangan lainnya. Lebih-lebih setelah aku mengajukan
penyesuaian gaji dengan dasar pendidikan S-1 yang baru kuperoleh.
Ditambah lagi penyesuaian masa kerja
dengan memasukkan separuh dari
masa kerja tujuh belas tahun di Swasta dan tunjangan jabatan struktural.
Namun ketika Chris
kuliah di ITB Bandung dan tahun
berikutnya anak kedua di Politeknik perguruan yang sama, kesulitan keuangan
mulai terasa. Semula Chris lulus ujian masuk
STT Telkom Bandung dan langsung mendaftar. Tetapi ketika namanya
tercantum pula dalam daftar lulusan test masuk Teknik Informatika ITB, ia menarik
diri dari STT sehingga nyaris uang masuk tiga juta rupiah hangus. Untunglah
pada saat-saat terakhir ada anak seorang
kiayi dari Garut setuju mengadakan kompensasi.
Christ dan Ruth kost di tempat yang berbeda. Masing-masing
harus memiliki komputer. Saat itu komputer masih langkah dan cukup mahal. Terpaksa
kami harus meminjam di Bank DKI. Selesai itu mengajukan pinjaman lagi ke BNI.
Dalam keadaan
normal, diperhitungkan pengicilan angsuran itu dapat berjalan lancar. Tetapi
apa mau dikata. Tahun 1998 terjadi krisis moneter yang berkepanjangan. Sejumlah
tunjangan pegawai tak lagi dibayarkan dengan alasan Pemda kekurangan uang.
Akibatnya, sisa
pinjaman bank yang tinggal separuh, tak dapat diangsur lagi. Denda demi denda
menyebabkan total utang pinjaman kembali seperti semula lagi. Sedangkan biaya
kost, kuliah, uang makan, transport kedua anak di Bandung harus tetap dikirim.
Warung sembako di
rumah yang semula dimaksudkan untuk menambah penghasilan keluarga, lama-lama
modalnya terkuras sampai akhirnya tutup.
Upaya minta
bantuan pada famili tidak semuanya berhasil. Akhirnya terpaksa meminjam dari
beberapa teman sesama presbyter gereja.
Kami juga
mengajukan permohonan bantuan bea siswa ke pimpinan kedua perguruan tempat
study anak kami. Untuk Christ berhasil. Meski sedikit, namun agak meringankan.
Ananda Dian di SMA
sudah mendapat peringatan karena menunggak
uang SPP beberapa
bulan. Kami pun
mengajukan permohonan keringanan.
Untuk semua ini kami harus menyertakan Surat Pernyataan Tidak Mampu yang
diketahui Ketua RT/RW. Dengan menguburkan semua perasaan-perasaan “gengsi”,
kami lakukan semua itu demi masa depan anak-anak.
Semua barang-barang
berharga di rumah sudah terjual. Kulkas, mesin cuci, pesawat televisi,
perhiasan-perhiasan isteri, sampai-sampai cincin kawin dan cincin kenangan
sewaktu dilepas pensiun oleh Pemda DKI juga sudah terjual. Tak ada lagi barang
yang dapat dijual. Hanya tinggal rumah tempat kami bernaung.
Aku coba
mengupayakan pinjaman di bank dengan jaminan tanah dan bangunan rumah kami. Tak
berhasil karena kami baru memiliki serifikat Hak Guna Bangunan (HGB).
Kami bertanya kepada
anak-anak, adakah diantara mereka ada yang secara sukarela meminta cuti sekolah
untuk setahun saja. Tidak ada yang menjawab. Itu artinya semangat belajar
mereka masih besar dan kami tidak tega untuk mengendurkannya. Bukankah dulu
kami yang selalu menyemangati mereka untuk tekun dan belajar keras ? Sampai-sampai
kami selalu memberikan hadiah bonus untuk setiap nilai mata pelajaran yang
bagus.?
Karena itu langkah
terakhir yang kami dapat lakukan adalah menjual rumah yang telah lebih 20 tahun
kami tempati. Sesudah semua kewajiban biaya studi anak-anak dan hutang bank diselesaikan,
sisanya akan kami belikan rumah tinggal sederhana di luar Jakarta. Pilihan
akhirnya di Desa Tamansari, Ciapus
sekitar 8 km sebelah selatan kota Bogor,
tidak jauh dari lereng Gunung Salak
Kami senang
melihat nilai mata pelajaran agama Kristen dalam raport anak-anak di sekolah
selalu bagus.Pendidikan katekisasi adalah wadah pendalaman isi Alkitab. Apabila
sudah dinyatakan lulus oleh Sidang Majelis Jemaat, dan diteguhkan dalam
Kebaktian peneguhan Sidi Jemaat, sudah dianggap sebagai jemaat dewasa dalam iman. Sebelum peneguhan Sidi,
dalam ibadah khusus itu diminta menjawab kembali beberapa pertanyaan yang
menyangkut dasar-dasar iman Kristen . Kalau menjawab percaya, barulah
diteguhkan. Sejak itu mereka bertanggungjawab sendiri akan dosa-dosa mereka.
Bukan lagi ditanggungkan kepada orangtua.
Memang pada saat
pembabtisan anak semasih kecil, setiap orangtua diwajibkan untuk selalu
mendidik dan membimbing anak-anaknya dalam pengenalan akan Tuhan dan
hukum-hukumNya sampai mereka dewasa dan mengaku sendiri iman percaya mereka.
Bimbingan tidak saja melalui tutur kata, tetapi juga keteladanan. Itu kami
lakukan diantaranya seminggu sekali kami mengadakan ibadah keluarga lalu saling
mendoakan.
Meski
tanggungjawab orangtua seakan-akan dibatasi hanya sampai mereka diteguhkan
sidi, bimbingan orangtua tidaklah harus berakhir. Alkitab memesankan agar
orangtua tidak berhenti mempercakapkan hukum Tuhan kepada anak-anak. Baik pada
waktu duduk, berdiri, berbaring dan seterusnya. Jangankan kepada anak-anak, antar
sesama teman-teman seiman saja wajib selalu mengingatkan firman Tuhan bila
melakukan kesalahan.
Maka sungguh akan
menyedihkan , apabila kelak hasil bimbingan rohani orangtua kepada anak-anak
tidak menghasilkan buah-buah yang baik. Tapi bila sebaliknya adalah merupakan
sukacita dan kebanggaan. Demikian pula, anak atau cucu-cucu akan merasa
terhormat dan bangga bila menjadi
keturunan dari seorang yang terhormat dan baik-baik.“Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu, dan kehormatan anak-anak
ialah nenek moyang mereka” (Ams.17:6).
No comments:
Post a Comment