Hutan rimba yang menutupi deretan pegunungan, lembah, tebing-tebing dan
sungai-sungai besar pulau Sulawesi , merupakan medan yang ideal bagi aktivitas kegiatan bawah tanah.
Maka tak usah heran kalau
gerombolan Kahar Muzakar dulu
dapat bertahan puluhan tahun sebelum pada akhirnya dapat ditumpas melalui operasi gabungan
besar-besaran.
Dan akhir-akhir ini nampaknya para teroris telah pula berencana untuk menjadikan
wilayah ini kelak menjadi basis mereka.
Hal ini terlihat dengan ditemukannya
pelatihan mereka beberapa waktu lalu, penembakan pos-pos polisi serta aksi-aksi
teror lainnya.
Dalam keadaan demikian ini, nampaknya aparat keamanan dan ketertiban
selama ini hanya bekerja sendiri. Tidak melibatkan masyarakat setempat. Padahal
di sana banyak putera-putera Daerah yang
dapat diandalkan.
Terbukti, ketika di penghujung
tahun 50-an pemberontak Permesta menduduki wilayah
Sulawesi Tengah, mereka dapat dipaksa angkat kaki dari sana sebelum tentara Pusat (TNI) muncul karena lagi sibuk dengan
operasi-operasi milter di Sulawesi Selatan.
Mereka tidak nyaman di sana, karena terus-menerus diserang dan dihadang pasukan GPST (Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah) yang mulai bangkit masuk hutan dan berjuang
melawan mereka. Para putra
daerah yang memilih tetap setia pada
NKRI ini, harus mengisi
kekosongan pengamanan. Tentara, yang semula sebagai TNI, kini malah telah berbalik menjadi pendukung
pemberontak, sedangkan kepolisian negara nampaknya tak berdaya.
Disamping berhadapan dengan
pasukan Permesta, anak-anak Sulawesi Tengah ini pada saat yang sama juga
harus menahan arus mundur
sisa-sisa pasukan pemberontak TII
yang terdesak akibat operasi TNI dari Sulawesi Selatan. Jadi, lahirnya GPST
sebetulnya lebih bersifat untuk
mempertahankan diri.
Hanya disayangkan, kemudian pecah
konflik antara anak-anak Sulawesi Tengah ini dengan pihak TNI dan Brimob. Yang terakhir ini agak
segan berhadapan di hutan-hutan,
karena biasanya sehabis operasi mereka
terpaksa pulang dengan membawa rekan mereka yang jatuh korban karena
GPST lebih menguasai medan. Konflik
berawal ketika tuntutan mereka
untuk diresmikan menjadi Devisi tersendiri ditolak Pemerintah Pusat.
Puncaknya terjadi ketika 9
orang tokoh-tokoh Daerah dibunuh secara brutal
di luar kota Poso oleh satuan-satuan dari Batalion 502 Brawijaya. Para
korban kini disemayamkan di Taman Pahlawan Kusuma Bangsa, Kawua Poso. Sampai
dimana penyelesaian hukum atas para pelaku kasus ini hingga kini tidak diketahui.
Malam hari sebelum pasukan pelaku
digantikan, para korban diambil paksa dari
tahanan, dinaikkan di atas truk di bawah terpal. Mereka beralasan, para
tahanan akan dibawa bersama mereka ke Jakarta
untuk diadili di sana. Tetapi nyatanya
mereka dibawa ke arah Tentena dan
kemudian diberondong masuk jurang 22 km
dari Poso.
Untunglah ketegangan yang meliputi
kota Poso akibat peristiwa ini segera
dapat diselesaikan dengan datangnya
satuan-satuan pengganti dari
Batalion 508 Divisi yang sama. Oleh
pendekatan mereka yang lebih manusiawi , disertai
dukungan pemerintah sipil
setempat yang terus-menerus menyerukan
lewat pengeras suara agar rakyat dapat membedakan antara kedua batalion ini,
rupanya cukup mampu meredahkan kemarahan
rakyat.
Bahkan
pasukan-pasukan Bn.508 ini
kemudian berbaur dengan anggota-anggota GPST dan rakyat bergotong-royong mengevakuasi para korban
serta menyelenggarakan pemakaman mereka secara layak.
Dari
peran sejarah pemuda-pemuda yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Sulawesi
Tengah di atas, menunjukkan pemuda-pemuda Sulawesi Tengah sebetulnya memiliki kemampuan untuk membela dan
melindungi diri mereka sendiri apabila diberi
kesempatan dan peran.
Apalagi hanya menghadapi
gerombolan teroris bersenjata.
Pasukan reguler pemberontak
Permesta saja, - yang memiliki persenjataan baru asal Taiwan yang didukung Amerika, - sanggup mereka kalahkan.
Sebagian dari para komandan GPST dahulu
kini masih ada. Mungkin mereka dapat
direkrut kembali sebagai penasehat
bila GPST diaktifkan lagi. ***
No comments:
Post a Comment