Menilik
namanya, Majelis Permuyawaratan Rakyat,
MPR harusnya memang
sebuah forum musyawarah. MPR = forum musyawarah rakyat. Karena rakyat Indonesia dari Sabang sampai
Merauke lebih dari 250 juta, dan tidak
mungkin mengumpulkan mereka semua dalam satu tempat, untuk mengurusi semua masaah. Maka disepakatilah
suatu sitim perwakilan.
Namun hal-hal yang secara teknis masih dapat dilaksanakan secara langsung oleh
rakyat, seperti Pilpres, Pileg dan
Pilkada, tetap dilakukan langsung oleh rakyat. Tetapi dalam hal-hal yang secara teknis tidak memungkinkan,
memang harus melalui perwakilan yaitu MPR
dan DPR/DPRD.
Seorang anggota DPR l mewakili sekian
juta atau ribuan pemilih. Wakil-wakil rakyat
ini mestinya membawakan aspirasi rakyat
yang memilih mereka di MPR dan DPR. . Merekalah yang mewakili rakyat yang 250 juta itu
mengatur porsi anggaran untuk
hal-hal yang dibutuhkan rakyat,
membuat peraturan perundangan-undangan yang dapat menunjang pencapaian
kebutuhan rakyat serta mewakili mereka dalam mengawasi
secara rutin Pemimpin (
Pemerintah) yang juga mereka pilih langsung agar benar-benar melakukan tugas mereka untuk
melayani mereka (rakyat) dan tidak
menyimpang.
Tapi apa yang kita saksikan dalam
proses persetujuan UU MD3,
Pikada dan pemilihan pimpinan DPR yang lalu, nampaknya faktor keterwakilinya aspirasi rakyat
tersisih. Yang muncul bermain
adalah elit-elit partai yang kalah dalam Pilpres yang lalu. Karena jumlah partainya lebih banyak,
mereka dapat meloloskan RUU dan tata tertib yang sarat dengan
ketidakadilan. Lalu dengan alasan legalitas yang cacat itu, kini
mereka mau merangsek lagi untuk membubarkan
KPK, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi yang
tidak memenangkan mereka pada Pilpres yang lalu. Alasan mereka
adalah untuk kembali ke UUD 45
sebelum amandemen. Mengapa, karena memang dalam UUD 45 asli itu belum ada MK maupun Komisi Yudisial serta KPK.
Bukti bahwa aspirasi rakyat para
pemilih anggota DPR tidak terwakili,
adalah banyaknya anggota DPR terpilih nyaris tidak dilantik karena
berbeda pendapat dan sikap dengan pimpinan
partai mereka yang mempunyai kepentingan tertentu. Untunglah
dengan kewenangan KPU mereka masih mendapatkan hak itu untuk dilantik.
Dalam sidang pembahasan
UU Pilkada dan pemilihan pimpinan DPR yang lalu-lalu, nampaknya prinsip musyawarah/mufakat tidak berjalan semestinya. Faktanya
pada ruang sidang terjadi hujan enterupsi,Banyak
pula anggota DPR yang tidak dapat bersikap dan
tidak berani menyatakan pendapat sesuai hati nurani dan
aspirasi para konstituetnya, karena takut
direcall atau
dipecat oleh elit partai mereka. Padahal mereka adalah wakil dari
ribuan bahkan jutaan rakyat pemilih.
Kalau
mau adil, sebagaimana Presiden dan para
Kepala Daerah yang juga dipilih langsung oleh rakyat diminta melepaskan ketergantungan mereka pada Partai pengusung
mereka dan beralih menjadi milik seluruh rakyat,- mestinya demikian pula dengan
para anggota DPR. Sekalipun mereka masuk
menjadi anggota DPR melalui jalur partai, namun ketika mereka dipilih oleh
rakyat, maka mestinya mereka menjadi milik rakyat dan bukan menjadi alat elit
partai lagi yang bahkan sampai bisa memecat mereka.
Pada pembahasan
UU Pilkada dan pemilihan pimpinan DPR yang lalu, nampaknya prinsip musyawarah/mufakat tidak berjalan semestinya. Faktanya
pada ruang sidang terjadi hujan enterupsi, yang sebagian besar hanya diabaikan Ketua sidang. Agaknya, akan lebih baik bila istilah loby
diganti saja dengan “Forum
Musyawarah/Mupakat” sesuai jiwa konstitusi.
Dalam setiap pengambilan keputusan hendaknya didahulukan
musyawarah mupakat, karena dengan demikian hasilnya dapat diterima semua pihak
sehingga tidak terjadi ketegangan yang gerkepanjangan. Para pendiri
negeri ini telah memprakteknya asas musyawarah mufakat itu. Bukan
menang-menangan. Kalau mereka mau
menang-menangan, Republik ini tentu telah lama menjadi Negara Islam. Bahasa nasional Bahasa Jawa. ***
No comments:
Post a Comment