Ada-ada saja perbuatan di Pekiau, kucing
lelaki kesayangan keluarga ini. Sudah tiga hari ia tidak muncul-muncul ke rumah.
Sudah dipanggil-panggil untuk makan,
pake ikan lagi, tidak juga ada sahutan.
Mungkin ini tingkah anak tetangga lagi.
Beberapa waktu lalu, ia pernah disandra anak tetangga itu gara-gara kelinci
kesayangannya lepas dan menghilang. Ketika sang kelinci balik lagi, barulah si
sandra dibebaskan. Tapi kali ini si anak tetangga mengaku tidak terlibat,
langsung ataupun tidak langsung.
Sehari
kemudian, kami mendengar suara mengaum-ngaum seperti suara si Pekiau. Tapi
tidak begitu jelas suara itu datangnya dari mana. Ketika itu hari sudah malam
dan kami, berdua dengan isteri, sedang siap-siap pergi ibadah. Terpaksalah
operasi SAR ditunda.
Keesokan
harinya sore hari, suara itu terdengar lagi. Agaknya datang dari arah perkampungan
di balik tembok kompleks kami. Agar memudahkan pengintaian, aku mendatangan
tangga alminium dari rumah. Dari balik tembok setinggi lebih dari 3 meter itu
kami naik bergantian mengintai sambil memanggil-manggil namanya.
Ketika isteri saya naik dan
memanggil-manggil namanya, barulah ia nampak menongolkan kepalanya yang hitam
keabu-abuan. Ya, wajar saja. Isteri sayalah yang selama ini memberi mereka ransum tiga kali sehari lengkap
dengan lauk-pauknya. Juga suka membelai-belai mereka. Jadi kalau mereka lebih
dekat pada dia masuk diakal sehatlah, bukan ?.
Sedangkan aku, antara
suka dan tidak suka dengan kucing. Tatkala mereka mendemonstrasika n kebolehan mereka bergulat, latihan berkelahi dan memanjat,
senang juga karena lucu. Tetapi ketika mereka mulai tidak tertib, naik meja makan sembarangan,
menggaruk-garuk sampai rusak bolsak yang kami beli dengan susah-payah
amarahku memuncak. Dan bila itu terjadi, aku mengambil sapu lidi dan
memukulkannya keras-keras pada kursi. Maka merekapun bubar lari
tunggang-langgang mencari selamat.
Nah, lanjut ceritera, si Pekiau ini
agaknya terjebak di atas genteng sebuah rumah kosong dan sedang berusaha turun. Mungkin ia terlalu jauh pergi pacaran, lalu bingung
dimana jalannya untuk balik pulang.
Kami tidak segera dapat menolongnya
karena ada kendala teknis. Karena di samping tembok setinggi itu, ada juga parit lebar berair
campur lumpur sehingga tidak diketahui kedalamannya. Lalu sejajar dengan parit itu ada gang sempit,
kemudian pagar lalu rumah tempat si Pekiau terjebak.
Bagaimana strategi penyelamatan yang
tepat ?? Kalau melalui gang, harus berputar dulu sekitar 2 km dengan memikul
tangga. Kalau melewati tembok, diatas tembok itu juga dipasangi pecahan-pecahan
beling. Kalau tidak hati-hati, pangkal paha sampai perut bisa sobek. Terus bagaimana menyeberangi parit lebar ke gang dari tembok tinggi berbeling itu.
Teringat masih ada tangga bambu setinggi
4 meter di rumah. Segera kupikul, naik ke atas tangga alminium dan kemudian
pelan-pelan menyandarkannya ke sebelah luar
tembok dengan kaki-kakinya perpijak di dasar parit. Untung ujungnya masih
terjangkau dari atas tembok.
Maka dengan hati-hati sekali aku naik,
menyeberangi atas tembok kemudian beralih turun keluar melalui tangga yang satu
lagi. Harus hati-hati karena tidak jelas apakah dasar parit itu cukup keras.
Kalau tidak , bisa merosot dan terjatuh di air kotor itu atau kepala
membentur sisi gang dari beton.
Syukurlah aku bisa turun dengan selamat
sampai ke bawah. Melompat ke atas gang,
menjangkau tangga bambu itu lalu
menyandarkannya ke tembok rumah kosong
dimana Pekiau terjebak. Aku harus hati-hati, selain genteng itu cukup tinggi, tangga itupun sudah
agak rapuh karena tua. Lagi pula harus
berpegang dengan satu tangan, karena tangan yang satu lagi harus menjangkau si
Pekiau yang belum lagi nampak. Hanya
suaranya saja yang terdengar. Aku hanya bisa meraba-raba, sampai akhirnya
kepalanya dapat kusentuh.
Tapi jangkauannya masih agak jauh,
sehingga aku terpaksa turun dulu untuk memindahkan sandaran tangga. Akhirnya
leher si Pekiau dapat kupegang dan berusaha mengangkatnya turun. Tapi si Pekiau
ini, entah karena takut jatuh, atau takut saya marahi, ia berpegang kuat-kuat
dengan keempat kaki tangannya dengan cakarnya itu sehingga kami harus tarik-menarik
dulu. Namun akhirnya aku juga yang keluar jadi pemenang.
Sebenarnya ketika operasi penyelamatan
itu berlangsung, hari sudah mulai gelap. Tapi Untunglah lampu luar rumah kosong
itu sudah menyalah sehingga turut membantu
jalannya operasi.
Setiba di bawah bagaimana menyeberangkan
si Pekiau ? Timbul akal. Si Pekiau aku suruh mencengkram di ujung tangga lalu
tangga kusandarkan di tembok pagar berbeling itu. Sementara itu sang isteri
segera menggapainya dari atas tangga dari
sebelah dalam tembok. Maka si Pekiau pun
selamat sudah.
Sekarang, bagimana aku dapat kembali ? Ujung tangga bambu tua itu ternyata tidak
cukup tinggi untuk dapat memungkinkan aku berpijak kemudian pindah ke tangga
alminium sebelah. Apalagi bagian atas tempok itu penuh beling tajam. Maka aku
coba memajukan tumpuan tangga lebih dekat ke tempok. Memang cukup memberi kemungkinan
untuk berpijak dan menyeberang, tetapi beling-beling itu tetap sangat berbahaya.
Maka akupun minta tolong sang isteri
mengambilkan sebanyak mungkin kain-kainan untuk menutupi beling-beling itu guna
memperkecil bahayanya. Dan dengan itu
maka beranilah aku menyeberangi dengan mengangkangi tembok itu dan turun
kembali ke dalam kompleks. Maka operasi penyelamatan yang mendebarkan itu pun
berhasil dengan sukses tanpa ada korban, baik
yang diselamatkan maupun tim penyelamatan.
Anehnya, selama operasi berlangsung tidak
ada tetangga yang keluar. Mungkin mereka sudah tidur semua. Yang muncul adalah
petugas Security kompleks yang berseragam muncul menanyakan apa
gerangan yang terjadi. ***
No comments:
Post a Comment