Tuesday, June 1, 2021

Heboh Pernyataan PGI : ANTARA SUARA KENABIAN DAN SUARA POLITIK

 Tiba-tiba saja, di tengah ramainya polemik sekitar TWK (Test Wawasan Kebangsaan) KPK, mulai bermunculan pula polemik di antara tokoh-tokoh gereja mengenai pernyataan Ketum PGI (Pesekutuan Gereja-gereja di Indonesia) Pdt.Gomar Gultom M.Th menyangkut nasib sejumlah penyidik KPK yang terancam diberhentikan.

Menyaksikan dan mendengar sepintas pernyataan Ketum PGI dalam konperensi pers tersebut, semula penulis menganggap wajar-wajar saja kalau pinpinan wadah berbagai organisasi denominasi gereja di Indonesia  menyatakan sikap kenabian. Membela orang-orang dianggap teraniaya (terzolimi) atau membuat pelanggaran moral yang kelewatan di negeri ini. Sekalipun harus berhadapan dengan pihak penguasa.

Sejak mulai dibahasnya RUU KPK dahulu yang sekarang ini sudah disyahkan dan berlaku, sudah biasa kita lihat ada  tokoh-tokoh agama, baik dari Kristen, Katolik, Islam dan lain-lainnya secara perorangan ikut dalam unjuk rasa. Memprotes rancangan undang-undang yang dinilai RUU ITU akan melemahkan KPK. Hanya bedanya, mereka tampil sebagai pribadi-pribadi, dan bukan mengatasnamakan organisasinya.

Tindakan seperti ini memang bukan tak ada resikonya. Dalam sejarah Alkitab, Yohanes Pembabtis yang dianggap sebagai nabi terakhir sebelum Kristus, harus membayar mahal dengan kepalanya sendiri atas tegurannya kepada raja Herodes Antipas atas perbuatan amoralnya  merampas Herodias isteri saudaranya sendiri, Herodes Pilipus. Begitu juga nabi Yermia harus membayar suara vokalnya terhadap raja  dan para nabi palsu dengan dirantai dalam bak air. Yermia menyampaikan firman Tuhan, adalah lebih baik bagi Israel dan raja untuk tidak mengadakan perlawanan terhadap Babel yang sedang mengancam Israel daripada meminta bantuan kepada Mesir yang dibuatkan akan kalah juga.

Serbuan dari raja Babel Nebukadnezar itu memang atas kehendak Tuhan sendiri, dipakai sebagai ganjaran atas Israel yang terus-menerus membangkang dan tak mendengar firman yang disampaikanNya melalui para nabi.

Kembali ke pernyataan ketum PGI, nampaknya beliau dinilai telah “tergelincir”, dari semula mau membawa suara kenabian ke arah politik praktis. Terutama ketika menyebut, bahwa sudah sejak dulu sudah ada usaha-usaha untuk menyingkirkan ke 75 penyidik yang tak lulus TWK ini” Kata “menyingkirkan”, yang berkonotasi kekuasaan, memang sering kali kita dengar dalam pembahasan politik. Maka tak heran kalau muncul tanggapan-tanggapan kritis dari  para tokoh dan situs-situs apologet Kristen sendiri seperti Pdt. Gilbert Lumoindong, Deny Siregar dan  MD WARUWU. Bahkan juga dari beberapa tokoh vokal agama lain yang selama ini menunjukan rasa solidaritas dan pembelaan terhadap umat kristiani yang diperlakukan tidak adil.

Kritik-kritik untuk diri sendiri (otokritik) seperti ini, menurut penulis sangat wajar. Adil dan kesatria. Jangan hanya mau menunjukan kekurangan, kelemahan dan kesalahan orang lain, tetapi tak jujur mengakui kesalahan sendiri. Para tokoh PKI saja dahulu pernah menulis buku ‘Otokritik” dalam mengevaluasi strategi perjuangan politik mereka.

Pernah beraktivitas di lingkungan PGI, sebagai kontributor Majalah Oikoumene, media resmi PGI, dan aktif di Yayasan Tanggul Bencana yang dahulu bernaung di bawah PGI untuk membantu para korban bencana alam dan korban kerusuhan di Tanah Air, penulis agak terganggu juga dengan kasus ini.

Bagaimana tidak. Berkali-kali berjalan dengan pimpinan PGI dan para tokoh gereja anggotanya ke lokasi bencana alam seperti ke Nias, Purworejo, Lebak dan lain-lain, kami bersama-sama membawa dan menyalurkan bantuan kepada para korban. Bahkan beberapa kali, penulis mendampingi Ketum PGI saat itu membawakan pesan-pesan firman Tuhan melalui siaran Radio Pelita Kasih di Jakarta.

Hanya sayang, tokoh gereja yang baik dan rendah hati khas budaya Jawa yang sudah almarhum ini, yang namanya tak perlu kusebut, pernah juga “kepleset” dalam kebijakannya memimpin PGI.

Ketika Tutut Hardiyanti Rukmana menjabat menteri Sosial dahulu, ia memaklumkan kepada rakyat pengumpulan sumbangan mas untuk menanggulangi gejolak sosial akibat krisis ekonomi di kala itu. Entah dari mana sumber dananya, beliau almarhum sebagai Ketum PGI ketika itu, ikut-ikutan menyumbang emas kiloan. Maka kritikan demi kritikanpun tak ayal terus berdatangan seperti sekarang.

Maka dengan belajar dari kedua kasus ini, agaknya pimpinan PGI perlu lebih mawas diri. Perlu memisahkan, kapan boleh menggunakan dan mengatasnamakan organisasi dan menegaskan ketika ia akan menyuarakan pendapat pribadi. Di pihak lain, para pimpinan organisasi-organisasi denominasi gereja yang tergabung dalam PGI, yang dahulu bernama DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia), tetap memberikan kepercayaan kepada PGI sebagai lembaga. Kiranya tak ada pikiran untuk hengkang lalu membuat organisasi baru yang bisa ditafsirkan sebagai perpecahan).***

Contact Form

Name

Email *

Message *