Thursday, April 30, 2020

JANGAN MUDIK JADI BANDAR VIRUS CORONA

Sekarang sudah terbukti. Orang-orang yang telah memaksakan diri mudik pulang kampung, sekalipun sebelumnya sudah dicegah, ternyata benar-benar telah membawa petaka bagi rumah orangtua, saudara-saudara, famili bahkan warga sekampungnya. Padahal, tak kurang tokoh-tokoh agama, gubernur, bupati, Walikota sampai Presiden menghimbau agar kali ini tidak mudik dulu. Mengingat bahaya yang akan ditimbulkannya. Yaitu penyebaran virus corona. Celakanya, yang mudik itu berasal dari zona merah dan telah tertular sehingga ketika tiba di kampung, yang menjadi korban pertama adalah orangtua sendiri, kakak-adik, ponakan-ponakan dan famili-famili terdekat. Mereka datang untuk bersilahturahmi karena lama tidak bertemu. Atau mungkin pula berharap bisa beruntung dapat oleh-oleh dari kota. Hal yang memang sungguh indah dalam situasi normal. Tapi, seperti yang mulai banyak diberitakan media televisi akhir-akhir ini, ternyata bukan kebaikan yang terjadi. Tapi malapetaka. Ada satu keluarga yang lolos dari penyekatan aparat keamanan atas fasilitas sebuah biro perjalanan. Setiba di kampung kepala keluarga yang terdiridari delapan orang itu sakit dan meninggal dunia. Setelah diperiksa ternyata positif terjangkit virus corona. Menyusul seluruh anggota keluarganya diperiksa dan ternyata semuanya sudah terpapar juga. Tak berhenti disitu. Semua kerabat, famili dekat, tetangga dikenakan sebagai ODP (orang dalam pengawasan) dan diwajibkan melakukan karantina mandiri. Bahkan sedang dipertimbangkan agar wilayah itu diberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Dalam kasus ini saja, semua orang jadi tambah direpotkan. Warga setempat jadi tambah resah dan dibatasi ruang geraknya. Aparat keamanan tambah disibukkan. Melakukan pelacakan, pemantauan dan pengawasan. Pihak rumahsakit , para dokter dan paramedis lainnya tambah sibuk lagi. Dengan terbatasnya alat pelindung diri (APD) bisa jadi akan bertambah lagi dokter dan paramedis menjadi korban meninggal dunia. Makanya bagi yang masih berniat mudik, agar berpikir ulang. Jangan sampai pulang dan menjadi bandar virus korona di kampung halamannya. Virus yang dapat membuat punah keluarga sanak famili di kampugnya. ***

Tuesday, April 28, 2020

Peristiwa Paling Berkesan Sebagai Wartawan : (2) NONTON LENONG SEMALAM SUNTUK DIATAS REL

Sebagai orang baru di Jakarta, aku belum mengetahui seluk-beluk sewa-menyewa atau mengontrak rumah. Seorang ibu yang memasang iklan di koran aku surati tetapi tidak memberikan balasan. Akhirnya seorang pekerja di percetakan memberi tahu ada tetangganya di Gang Sinyar Grogol akan menjual bangunan warungnya. Kondisinya sangat tidak memenuhi syarat kesehatan. Terbuat dari gedek dengan atap daun sagu. Luas lantainya yang berupa tanah hanya berukuran dua kali tiga meter. Tidak ada jendela samasekali. Disamping kiri dan depan terdapat parit yang lumpurnya hitam tergenang. Baunya menyengat, terkadang menusuk hidung sampai ke dalam. Tidak ada halaman, tanpa pagar. Hanya parit kecil itu saja yang membatasi dinding dengan jalan. Rupanya gubuk ini bekas warung sayur. Ada sumur tanpa dilapisi beton disamping gubukku, tapi airnya hampir-hampir kering. Tidak cukup untuk mandi, apalagi harus berbagi dengan tetangga, sebuah keluarga dengan seorang anak di belakang gubukku. Ruang tertutup untuk mandi juga tidak ada. Disebelahnya terdapat jamban yang digunakan bersama. Demikian dekatnya sehingga air sumur di sebelahnya bisa tercemar. Karena itu aku lebih suka mandi di kantor. Sedangkan untuk minum dan masak, aku membeli air kalengan yang dijual tukang pikul keliling.Pakaian-pakaian kotor juga kucuci di tempat kerja lalu kubawa pulang. Kujemur dalam gubukku karena di luar tak ada tempat menjemur pakaian. Demikian sulitnya mendapatkan air, pada suatu petang dengan handuk di bahu aku menuju Kali Grogol untuk mandi. Dari atas jembatan kereta api aku lihat air kali besar itu kuning warnanya dan sesekali kulihat benda menjijikan hanyut. Di sepanjang tepinya banyak saja orang yang mandi dan mencuci. Tetapi aku tetap enggan turun menyentuh air itu. Aku berbalik untuk pulang. Tiba diujung gang, nampak orang-orang ramai menonton pertunjukan lenong. Tanpa baju dan hanya berselimutkan handuk, aku ikut bergabung. Duduk diatas rel kereta api. Kian lama lakon-lakonnya kian mengasyikan. Sesekali kami terganggu dan harus menyingkir ketika kereta api akan lewat. Tanpa terasa hari telah menjelang pagi. Ruang yang sangat sempit hanya mampu menampung sebuah velbed tentara titipan kakakku, sebuah koper kecil pakaianku dan sebuah kompor. Disitulah aku berkurung setiap pulang kerja. Tak ada sama sekali ruang terbuka untuk bergerak santai. Sebelah kiri diapit pagar dan parit. Sebelah belakang dengan dinding rumah tetangga, dan didepan diapit parit kotor dan gang yang persis di muka pintu masuk gubukku. Apa boleh buat. Dengan penghasilan yang masih terbatas aku harus menerima keadaan apa adanya. Untuk menghemat, pergi pulang kerja harus berjalan kaki sejauh sekitar sepuluh kilometer setiap hari, dari Grogol ke Jalan Hayam Wuruk. Aku amat tertolong ketika kakakku memberi surat kuasa untuk mengambil jatah berasnya setiap bulan di Sukabumi. Ada juga jatah kacang hijau dan sabun. Saat itu kesatuannya, dari Divisi Siliwangi, sedang bertugas operasi di Sulawesi Selatan, kemudian Ambon dan Pakanbaru. Meski terbantu, kebutuhan sehari-hari belum mencukupi. Untuk mencukupinya, aku sering mengumpulkan sobekan-sobekan kertas gulungan dan koran cetakan percobaan yang tak terpakai. Semuanya kujual kiloan kepada seorang pedagang langganan di pasar. Uang tambahan ini kugunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Lauk yang sudah matang di warung, sarapan pagi, minyak tanah, arang untuk setrika pakaian, uang pendaftaran dan uang kuliah, jaket mahasiwa, biaya praktikum dan transportasi.***

Novelku Terbaru : NURHAYATI (3) : Menanti kekasih di Taman Surapati

Adi mendengar kabar hilangnya Nur setelah meninggalkan rumah sakit. Iapun ikut berupaya mencari informasi. Tapi tak berhasil. Apalagi kejadiannyya sudah lama. Sudah ditanyakan ke kantor-kantor polisi tetapi mereka juga belum berhasil menemukan.Ia ke rumah Nur di Kebayoran tapi rumah itu sudah dijual. Dan mereka tidak tahu kemana Nur dan orangtuanya pindah. Pantas saja Nur tidak muncul-muncul saat-saat kritisnya di rumah sakit. Kini ia merasa kehilangan. Untuk menghilangkan kekalutan pikirannya ia beberapa kali pergi menyendiri ke Taman Surapati Menteng. Duduk di bangku marmar tempat mereka biasa duduk bersama dahulu. Dia bisa duduk di situ merenung berjam-jam. Dulu mereka kerap mampir istrahat di situ sewaktu mengantar atau menjemput Nur pulang dari tempat senam kebugaran di Cikini. Sekarang dia sendirian saja. Sambil senyum-senyum sendiri ia mengenang kembalu ke belakang ketika suatu kali ia menjemput dan mengantar pulang Nur pulang. Sebelum pulang, mampir dulu ke tempat tinggalnya di Paseban. Keluar dari rumah dengan naik motor . Sekelompok anak muda mengganggu mereka. “Cihuuui.... montok !”, teriak salah seorang, sementara yang lainnya tertawa.Ia tidak marah. Sebaliknya ia tersenyum dan melambaikan tangan. Memang Nur ketika itu tidak sempat berganti pakaian. Tidak juga memakai jaket. Bentuk tubuhnya yang montok memang nampak begitu jelas dalam baju kaosnya yang hitam lengan panjang namun ketat. Di bawahnya ia memakai celana jean warnah putih.. Suatu waktu Adi pernah pura-pura mau menggoda ketika Nur berbaring di tempat tidurnya yang hanya pas-pasan untuk satu orang. Adi meraba pinggangnya yang masih terbungkus baju kaos senam, tapi Nur mengingatkan : “Awas dosa”. Dan Adi memang tidak berniat sungguh-sungguh. Hanya tertawa. Nur sangat dicintainya dan pikirnyya, kelak akan menjadi isterinya. Seorang isteri yang terhormat. Ia yang akan melahirkan anak-anaknya. Ia tak mau menodai calon isterinya. Apalagi kalau kelak ia juga memiliki anak-anak perempuan. Ia mau menjaga kesucian pernikahan. Makanya ia selalu berusaha membatasi diri. Semula hubungan Adi dan Nur biasa saja. Mereka pertama berkenalan di sebuah perpustakaan. Kedua-duanya memang senang membaca. Terutama Novel hasil karya para sasterawan. Adi menukai novel-novel karangan Buya Hamka, Nur Sutan Iskandar, Armin Pane dan lain-lain. Demikian juga karya-karya pengarang asing seperti William Shakespeare. Demikian juga ceritera Wayang seperti Mahabrata dan Barata Yudha. Meskipun Adi sudah duduk di kelas terakhir SMA dan Nur dibangku terakhir SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun mereka juga rajin mengikuti kursus-kursus. Mulai dengan Kursus Kader Masyarakat A (KKMA) kemudian KKMB yang diselenggarakan Jawatan Pendidikan Masyarakat . KKMA diakui setingkat dengan SMP sedangkan KKMB setingkat dengan SMA. Mata pelajarannya umumnya ilmu Sosial seperti etika, norma-norma pergaulan, kepemimpinan dan ilmu pendidikan. Selama kursus itulah hubungan pribadi Nur dan Adi makin erat. Mereka sering belajar bersama dan saling membantu. Semula Adi tinggal bersama kakak perempuannya, Weli. Suaminya bekerja di sebuah perusahaan konstruksi dan banyak menerima borongan membangun perumahan. Kakaknya menempati rumah sederhana yang dibangun bersama teman suaminya di atas sebidang tanah kosong di kawasan Cilandak Jakarta Selatan. Rumah itu dibangun kemudian dibagi dua untuk ditinggali keluarga masing-masing. Letaknya tidak terlalu jauh dari rumah sakit Fatmawati. Suatu hari kakaknya menerima surat dari kampung di Sulawesi. Ayahnya sakit keras. Kalau bisa mereka pulang. Rupanya ayah mereka hanya sakit malaria dan segera dapat disembuhkan. Meskipun ayahnya sudah sembuh, Weli dan suaminya memutuskan tidak akan kembali lagi ke Jakarta. Mereka akan tetap di kampug menemani orangtua serta mengolah tanah persawahan. Tinggallah Adi sendiri. Bagaimana kelanjutan sekolahnya ? Kepada siapa lagi ia berharap.? Namun Adi bertekad untuk tetap sekolah dengan berusaha mencukupkan kebutuhan sendiri. Apalagi sudah di kelas tiga SMA. Setahun lagi diharapkan selesai. Baik nafkah sehari-hari, pakaian, biaya sekolah dan kebutuhan lainnya harus dicari sendiri. Untung ada rumah sendiri serta kebun singkong dan pisang peninggalan kakak dan pamannya. Itulah yang menjadi modal dasarnya. Dengan itu dia dapat tetap makan. Ubi kayu dapat di rebus untuk dimakan. Dapat juga diparut dan dijadikan sagu. Sagu adalah makanan pokok penduduk nomor dua di kampung Adi sesudah beras. Soal makan, Adi merasa tidak kekurangan. Malah berkelebihan. Maka ia berpikir bagaimana kalau dijual. Namun ia enggan memikul singkong ke pasar. Pikirnya tentu penjualannya memerlukan lebih banyak waktu. Sebagai gantinya ia ke beberapa warung kue yang biasanya menggunakan singkong sebagai bahan bakunya. Ia berani menawarkan harga yang lebih murah. Lagi pula masih segar. Usaha ini ternyata berhasil. Bahkan pada akhinya mereka sendiri yang datang ke kebunnya. Mereka senang karena Adi menjual per pohon. Disamping mendapat singkong mereka juga boleh mengambil daunnya untuk sayur atau untuk dijual lagi. Pisang Ambon dan pisang sepatu cepat laku di pasar. Karena itu, kalau sudah masak, Adi memikulnya ke pasar ketika hari masih subuh. Ia letakkan dagangannya di lantai pasar terbuka itu. Dekat-dekat dagangan tidak sejenis milik orang lain yang mempunyai alat penerangan. Lalu ia berdiri agak jauh. Kalau ada yang tertarik, ia cepat-cepat datang melayani. Adi khawatir ada teman-teman sekelasnya datang belanja ke pasar dan memergokinya berjualan di pasar. Ia malu bila dijadikan olok-olokan di sekolah sebagai pedagang pasar. Karena itu, bila hari sudah mulai terang, sisa dagangannya diobral. Atau dibawa pulang untuk dibawa kembali ke pasar hari berikutnya. Kadang-kadang Adi memakai pakaian penyamaran. Layaknya pedagang-pedagang biasa. Ia selalu berharap jangan kiranya ada orang mengenalnya secara pribadi, khususnya teman-teman sekolah. Apalagi teman puteri. Teman-teman sekelas Adi sebenarnya sudah tahu kalau Adi mempunyai kebun. Awalnya, ketika direktur sekolah menganjurkan membuka kebun sekolah. Dan yang praktis kebun singkong. Soal bibit ? Adi menyanggupi berapa saja. Teman-temannya minta diajak ikut mengambil bibit ke kebunnya. Sebenarnya Adi malu kalau teman-teman, datang ke pondoknya. Mereka semuanya dari keluarga berada. Apalagi di situ ada puteri seorang Bupati. “Musim hujan ini jalannya berlumpur “ , kata Adi. “Boleh, tapi cewek-cewek jangan karena licin”. “ Eh, ngana so bisa kawin kalau bagini”, kata teman sesama asal Sulawesi sesampai di kebun dan pondoknya. Adi hanya tertawa saja. “Tapi dalam hati ia berpikir, mungkin juga”, ia teringat pada Nur. Sejak itu jadilah Adi sebagai pemasok singkong setiap kali teman-teman sekolahnya ingin makan kolak. Biasanya sehabis kerja bakti atau berolah raga. Melihat hasilnya memuaskan, Adi memperluas lagi kebunnya. Bukan saja diperluas tetapi juga ia coba menanam tanaman lainnya yang laku dijual seperti kacang tanah. Di kampungnya, kacang tanah merupakan salah satu sumber menghasilkan uang yang bagus. Dijual berupa kacang kulit per kaleng minyak tanah. Dalam tempo tiga bulan sudah dapat dipanen. Dia berpikir, kalau hasilnya bagus dapat dijual ke Mines, anak tetangga sebelah yang setiap malam menjual kacang goseng di depan Bioskop Abdi di Blok A Kebayoran Baru. Nampak kacangnya tumbuh bagus. Tetapi sayang. Hama tikus menggerogotinya setiap malam sehingga akhirnya dihentikan. Rumah dan kebun Adi terletak pada tanah terlantar di lereng bukit. Kemiringan sekitar empat puluh lima derajat, banyak ditumbuhi alang-alang dan semak berduri. Di puncaknya yang memanjang, terdapat jalan setapak dan deretan pohon-pohon jati. Tanah ini seperti tidak bertuan. Setelah alang-alang dan belukarnya ditebas dan dibakar, dipacul dan ditanami ternyata tanahnya cukup subur. Rumput alang-alang dan belukar kemudian berubah menjadi kebun singkong dan kebun pisang yang memberi hasil tak berkesudahan. Pulang dari sekolah, Adi seringkali pula mencari buah-buah kelapa jatuhan di antara semak-semak untuk dimasak menjadi minyak. Minyak itu kemudian djual ke warung. Pohon-pohon kelapa yang tampaknya terlantar seperti tidak lagi diacuhkan pemiliknya tidak luput dari perhatiannya. Sekali seminggu, Adi menyusuri semak belukar di bawah pohon-pohon kelapa terlantar itu. Kalau beruntung ia dapat kembali dengan memikul enam sampai sepuluh buah kelapa kering yang jatuh. Kelapa-kelapa itu diparut, diperas minyaknya dengan air dan kemudian santannya dibiarkan semalam agar airnya mengendap. Hari berikutnya minyak diatasnya ia pisahkan. Air dibuang dan minyak masih mentah itu dimasak lagi sebentar untuk mendapatkan minyak goreng. Biasanya tiap tiga butir kelapa dapat dihasilkan satu botol minyak, tergantung jenis kelapanya. Minyak kelapa itu kemudian dijual ke warung yang sudah menjadi pelanggannya membeli singkong. Pemilik warung ini pertama kali dikenalnya ketika baru pulang dari Sukabumi. Suatu hari Adi diajak temannya berlibur ke kota dingin itu. Dalam perjalanan pulang, mereka lewat sebuah desa. Warganya banyak menjual madu. Desa itu yang berhawa sangat dingin diwaktu malam memang terkenal sebagai penghasil madu. Karena harganya murah, Adi membeli beberapa botol. Tentu saja madu asli. Eh, agak tercengang juga Adi ketika dibawanya ke warung langganannya. Pemilik warung berani memberi harga empat kali lipat dari harga pembeliannya. Adi berpikir, mengapa tidak menggunakan kesempatan baik ini. Sayang libur sekolah akan segera berakhir. ”Coba kalau masih libur”, “ Bisa bolak-balik membeli madu”. Di kaki bukit itu terdapat kali kecil. Di kiri-kanannya terdapat pohon-pohon sagu. Sewaktu-waktu pemiliknya datang mengambil daun-daunnya untuk dibuat atap saung. Adakalanya mereka menebang pohon sagu yang sudah tua untuk diambil sagunya. Pelepah-pelepahnya dibiarkan berserakan. Bagi Adi itu merupakan sumber rezeki yang memang selalu ditunggu-tunggu. Melalui perantaraan Pudu, adik tetangga kawan sekerja pamannya dahulu, Adi berkenalan dengan beberapa kontraktor bangunan. Pada hari-hari libur dan selepas sekolah, pemborong bangunan itu mengijinkan Adi bekerja pada poyek-poyeknya dengan perhitungan jam-jaman. Pembayaan upah setiap akhir minggu. Segala macam pekerjaan Adi lakukan. Mengangkut air dari kali untuk menyampur semen, mengikuti truk mengangkut tanah urug , mengaduk semen dan belajar menyusun batu bata. Nah,pemborong-pemborong ini rupanya senantiasa memerlukan eternit untuk plafond bangunan poyek mereka. Dan yang paling disukai yang terbuat dari kulit pelepah sagu. Warnanya coklat mengkilat seperti dipolitur dan tidak luntur. Karena itu harganya lebih mahal daripada eternit bambu. Tahu peluang ini, maka pelepah-pelepah sagu yang berserakan itu dikumpulkan Adi. Kulitnya diambil lalu dianyam menurut motif yang banyak digunakan. Pemborong-pemborong ini mau menampung berapapun dengan hitungan harga per meter persegi. Disamping bekerja bangunan, di hari-hari libur pendek adakalanya Adi juga mengikuti pekerjaan-pekerjaan borongan. Pernah bersama empat temannya mendapat pekerjaan borongan memaras semak-belukar, merintis pembukaan jalan sepanjang beberapa kilometer menuju lokasi tempat akan dibukanya proyek baru. Sekali pernah Adi sendirian menerima kerja borongan dari Kantor Kelurahan, memaras pinggiran jalan raya di kawasan Pondok Labu Jakarta Selatan. Kemudian mengumpulkan batu beberapa kubik dari kali. Namun Adi merasa seperti dicurangi. Hasil pengukuran dari pihak Kelurahan diberitahu selalu kurang dari panjang jalan yang dikerjakan. Padahal Adi merasa telah mengukurnya seteliti mungkin. Dia memang tak diajak ikut menyaksikan pengukuran itu karena sudah mulai masuk sekolah. Tapi Adi tidak protes. Ia tak mau hubungan dengan Kelurahan terganggu. Karena Adi juga sering meminta bantuan mereka. Di rumah , Adi juga memelihara ayam kampung. Ia buatkan kandang dari bambu seukuran kamar. Tapi, sering dibobol musang. Akibatnya ada yang hilang. Yang lainnya beterbangan di tengah kegelapan . Pada malam-malam berikutnya mereka takut untuk tidur lagi di kandang. Mereka naik dan bertengger di atas pohon bambu atau pohon mangga yang tinggi-tinggi. Lama kelamaan menjadi liar dan juga menjadi sasaran pencuri. Untuk peternakan ayam ini sedikitpun Adi tak dapat menikmati hasilnya. Begitulah segala perjuangan Adi untuk memenuhi sendiri kebutuhan dan membiayai sekolahnya sampai tamat SMA. Adi memang sudah bertekad untuk berusaha mandiri. Tidak mau membebani orangtuanya yang sudah tua ataupun saudara-saudaranya di kampung. Saat itu ia telah berkenalan dengan Nur. Adi pernah sekali pulang kampung. Ia didesak ikut pulang kampung. Tapi ia berusaha meyakinkan orangtuanya bahwa ia mampu membiayai hidup dan sekolahnya. Bahkan katanya, ia bisa menambah pengetahuannya dengan mengikuti kursus-kursus seperti Kursus Kader Masyarakat A dan B. Dengan ijazah itu ia sudah bisa menjadi guru kalau mau. Teman-temannya memang pernah ikut praktek mengajar ke beberapa sekolah, tapi Adi tak sempat karena sedang ada ujian-ujian ulangan di sekolah. Orangtuanya khawatir karena Adi masih sekolah dan belum bekerja. Kalau sakit bagaimana.“Apakah tidak sebaiknya pulang dan pindah sekolah di kampung ? , tanya ayahnya pada suatu hari. Permintaan itu memang cukup beralasan. Tapi Adi menjawab sudah tanggung. Tinggal setahun lagi mudah-mudahan SMAnya tamat. Sebetulnya alasan sebenarnya ia tak mau berpisah dengan Nur. Ia merasa bisa mengurus dirinya sendiri selama masih ada Nur. Ia terbayang kembali wajah kekasihnya itu. Yang selalu mengunjunginya ketika dirawat seminggu di rumahsakit Fatmawati karena sakit malaria.. Adi belum memberitahukan hubungannya dengan Nur. Tak ingin melukai hati ibunya yang pernah mau menjodohkannya dengan seorang gadis sekampung. Meskipun gadis itu tak kalah cantik dan baru lulus sekolah guru, tapi hatinya lebih terpaut pada Nur. Suatu hari, Adi merasakan demam tinggi dan sakit kepala. Ketika diperiksa di rumahsakit, ia diminta untuk langsung dirawat. Ternyata mengidap sakit malaria. Nur lah yang sibuk mengurus keperluannya. Mengambil, mencuci dan mengantarkan pakaiannya. Untunglah hanya beberapa hari dirawat dan boleh dilanjutkan dengan rawat jalan.Ketika keluar dari rumah sakit Nur juga yang menjemputnya. Ketika sampai di rumah, demamnya kambuh lagi dan panas. Dicoba dikompres dengan air dingin tidak turun-turun juga panasnya. Obatnya pun sudah diminum. Maka Nur pun berbaring menghimpit tubuh Adi yang tengah meringkuk dalam selimut. “Kutindis kau biar hangat”, katanya pada Adi. Memang tak lama kemudian demam dan panas badannya menurun. Setamat SMA, Adi mulai mencoba mengadu untung melamar kerja. Sebagai lulusan baru dan belum memiliki pengalaman kerja, tidaklah mudah bagi Adi. Ia sempat bekerja di suratkabar Pelopor. Sekitar sebulan kemudian ada masalah. Tanah tempat tinggalnya termasuk kebunnya sudah akan dipakai sendiri oleh pemiliknya. Adi ditawari ganti rugi. Dengan berat hati, Adi menyetujuinya. Namun ia minta waktu sampai ia mendapatkan tempat tinggal baru. Terpaksa Tempat tinggal baru ?. Ada iklan yang menawarkan kamar kost. Dia menulis surat tapi tak ada balasan. Adi memang belum terlalu paham mengenai kos-kosan. Seorang pegawai percetakan memberitahukan akan bekas warung dekat rumahnya Grogol mau dijual. Meski bekas warung itu sangat tidak memenuhi syarat kesehatan, terpaksa dia bayar juga karena sudah mendesak. Parit di depan tergenang dan berbau busuk. Sumurnya berdekatan dengan jamban yang terletak di luar dan juga dipakai bersama tetangga. Adi biasa lebih memilih mandi dan mencuci pakaian di kantor. Sedang untuk air minum dan memasak beli air pikulan. Sejak itulah kesehatannya mulai terganggu lagi. Lebih-lebih setelah bekerja malam di percetakan. Tidak terbiasa terkena angin malam. Selain sakit kepala, perutnya juga sering sakit. Dokter yang memeriksa memintanya untuk segera dirawat. Adi memilih berobat ke RS. Fatmawati tempatnya dulu pernah berobat. Semua diperiksa. Perut, nadi, mata dan dada. Setelah itu contoh darah diambil. Besoknya urine, faeses dan rontgen. Dalam hati Adi bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih pada petugas-petugas rumah sakit ini. Karena nampaknya mereka benar-benar bersungguh-sungguh untuk mengetahui secara menyeluruh penyakit yang dideritanya.. Suhu badannya tinggi sekali. Mereka memasangi termometer, mengompres kepalanya dengan es. Mereka menungguinya karena Adi sendirian. Rupanya penyakit Adi cukup serius.Semula ia menduga hanya masuk angin karena kerja malam atau sakit malaria bawaan dari kampung seperti pada perawatan sebelumnya.Atau. Di kampungya memang banyak nyamuk karena dekat sawah. Waktu di Sekolah Dasar dahulu ia sering terserang penyakit itu. Tapi hasil ronsen dan laboratorium kali ini, menunjukkan bukan malaria, tetapi Types Abdominalis dan saluran pernapasan. Bahkan telah menjalar sampai ke paru-paru. Dia perlu dirawat beberapa minggu. Dan setelah keluar pun, perlu berobat jalan selama paling sedikit dua tahun. Makanan Adi diatur ketat. Tidak boleh menerima makanan dari luar. Pada mulanya tidak jadi masalah. Karena Adi memang tidak mempunyai selera makan. Mereka memberinya segelas minuman seperti cendol tapi tak dijamahnya samasekali. Menu rutinnya, seporsi kecil bubur susu kekuning-kuningan dan segelas jus pepaya. Hanya dicicipi sedikit. Terkadang tidak sama sekali. Adi memang tidak ingin makan apapun. Bubur susu dan setengah gelas sari pepaya, itulah menunya, setiap siang dan sore selama tiga minggu pertama, Adi menggerutu. Lama-lama membosankan.juga. Tidak ada variasinya. Lagi pula, bagaimana makanan ini dapat memulihkan kembali tubuhk yang sudah menyusut.drastis. Terasa seperti tidak makan sama sekali. Obat-obat berbagai jenis yang banyaknya segenggam yang harus ditelan setiap kali lebih terasa masuknya dalam perut. Kini timbul pengalaman aneh. Keringat Adi timbul luar biasa banyaknya. Selimut, seprei dan kasur basah. Kasur dibalik dan keringat disekahnya. Tetapi keringatnya lagi-lagi terus keluar membasahinya. Adi menjadi risih dengan pasien-pasien yang lain. Ia pindah ke tempat tidur di sebelahnya yang sudah kosong. Tapi tidak lama kemudian kasur itu basah lagi. ( bersambung : Adi Sakit Keras )

Monday, April 27, 2020

Peristiwa Paling Berkesan Sebagai Wartawan (1) BLUNDER, AYAT ALQUR'AN TERTUKAR AYAT ALKITAB

Suasana di rumah Pak Tom, panggilan akrab pak JK.Tumakaka, nampak ramai. Semua orang nampak riang gembira seperti sedang ada kumpulan keluarga. Pak Tom menerima kami dengan ramah. Badan tinggi besar, berkumis sedang, sifat dan kebapakan Ia memperkenalkan kami kepada isterinya dan anggota keluarganya yang lain. Isterinya asal Malang juga ramah. Pak Tom mengajak kami ke ruang kerjanya yang lebih tenang dan mulailah kami terlibat dalam saling ceritera yang akrab. Beliau ketika itu sudah menjadi Menteri/Sekjen Font Nasional dan sering berhubungan dengan Presiden, Bung Karno. Ketika kuceriterakan sedikit asal-usul keluargaku, ia begitu antusias. Ternyata ia kenal semua kakak-kakakku yang sebaya dengan dia semasa ayahnya menjadi guru di kampung kami, Uluanso. Beliau juga menceriterakan kesan-kesan yang menyenangkan Kami terkadang menggunakan bahasa daerah dan sesekali ia tertawa senang. Ia kemudian mengatakan bahwa kami bedua dapat diterima bekerja sebagai korektor di surat kabarnya, Harian Pelopor. Tapi sesudah Tahun Baru, karena saat itu sedang sibuk-sibuknya menyambut Natal dan Tahun Baru. Namun diminta mulai besok sebaiknya sudah ke percetakan melihat-lihat dahulu apa dan bagaimana pekerjaan seorang korektor. Ketika pertama kali memasuki gedung percetakan Daya Upaya di gedung De Uni (tempat Hotel Jayakarta sekarang), napas terasa sumpek. Di sana sini terlihat mesin-mesin berwarna hitam. Ada yang tak digunakan dan tertutup terpal hitam dan sederetan lainnya yang sedang digunakan nampak mengepul-ngepulkan asap timah berwarna putih. Agak ke kiri ada sebuah mesin sangat besar bergemuruh seperti air terjun dan menurut keterangan itulah pencetak akhir suratkabar yang disebut mesin Rotasi. Terpesona juga aku pertama kali melihatnya karena bekerjanya demikian cepat. Kertas gulungan besar yang terpasang pada mesin, hanya dalam waktu satu-dua jam telah berubah menjadi koran-koran yang tersusun rapih dan siap untuk diedarkan. Pekerja-pekerja tampak sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Banyak yang hanya menggunakan baju singlet karena hawa panas mesin. Disamping mereka, selalu tersedia segelas susu murrni. Karena menurut keterangan hanya inilah yang dapat menetralisir uap timah yang terhirup masuk dalam tubuh. Di sebuah meja panjang dengan lampu neon panjang-panjang tergatung di atasnya, beberapa orang tengah duduk dengan kertas-kertas dan alat tulis. Rupanya mereka itulah yang bekerja sebagai korektor. Pak Tom memperkenalkan kami dan menyuruh mereka mengajari kami. Pekerjaan ini ternyata tidak begitu sulit.Hanya mengoreksi kesalahan-kesalahan cetak dari mesin agar sesuai dengan naskah aslinya. Yang perlu diperhatikan adalah ketelitian. Hanya lingkungan kerjanya agak menyesakan. Bunyi deru dan peletak-peletuk mesin mula-mula mengganggu pendengaran. Karena koran kami terbit pagi hari, kami harus bekerja malam hari. Udara pengap dan dingin. Untuk menjaga kondisi kesehatan, selalu tersedia susu murrni dan bubur kacang hijau. Ketika tugas kami selesai, sambil menunggu proses pencetakan dan hari siang, kami menggelar kertas diatas meja atau lantai semen dan tidur. Makin lama ada daya tarik tersendiri bekerja di surat kabar ini. Tempat ini ternyata merupakan gudang berita yang serba baru. Ada buletin-berita kantor berita Antara yang diantar tiga kali sehari,. Ada bagian monitoring berita-berita radio dalam dan luar negeri, koran-koran lain yang diterima sebagai nomor tukar, berita-berita informasi dari berbagai instansi pemerintah dan swasta, kedutaan-kedutaan dan kantor berita asing. Belum lagi berita-berita yang ditulis oleh wartawan kami sendiri. Teknik menulis berita-berita itu sendiri sudah menarik. Ada beberapa rubrik dalam koran kami yang kupikir aku juga dapat mengisinya. Aku sering mengajukan bahan untuk kolom kecil “Kota di sana-sini”dan ternyata dimuat. Aku juga adakalanya mengisi renungan pendek pada ruangan Mimbar Kristen setiap hari Sabtu. Tentu saja naskahnya selalu diteliti lebih dahulu oleh pengasuhnya. Malahan kemudian aku juga diberi tanggung jawab pengisian ruangan “Renungan Hari Ini”. Ruangan ini diisi setiap hari satu ayat Alkitab dengan gambar kecil gereja diatasnya, dan disebelahnya satu ayat Alqur’an dengan gambar kecil mesjid di atasnya. Suatu hari letak ke dua ayat Kitab Suci itu tertukar sehingga hari itu redaksi menerima banyak protes telepon dari pembaca. Pengalaman tak terlupakan. Tentu saja aku kaget dan segera diralat dengan permohonan maaf. ***

Sunday, April 26, 2020

Novelku Terbaru : NURHAYATI (9) : INDAH PADA AKHIRNYA

Seorang gadis muda menyambut mereka masuk ke sebuah ruangan yang dingin ber-AC di lantai dua sebuah kantor di kawasan Cempaka Putih. “Sebentar lagi pak Pendeta dan pak Kiai akan datang”, katanya sambil mempersilahkan Nur dan Adi duduk. Sebuah meja bundar ukuran sedang. Dibawahnya beralaskan lembaran karpet berwarna hijau. Pada salah satu dinding, berdiri dua lemari kaca. Penuh dengan berbagai buku. Ada yang tebal-tebal mirip ensiklopedi, ukuran sedang maupun brosur-brosur. “Oh ini rupanya kantor “interfeit”, organisasi komunikasi antar kepercayaan itu”, kata Adi dalam hatinya seraya memperhatikan sekeliling. Tiba-tiba pintu terbuka. “Selamat pagi.....”, seorang laki-laki berjanggut tipis berkemeja putih lengan panjang menyapa. “ Ini Adi yang menelpon kemarin ?” “Betul pak. Saya bersama Nur”, jawab Adi sambil berdiri menyalami diikuti Nur. “Ini pak Kiai Haji Syafei”, kata seorang bapak yang mengikutinya di belakang. “Oh ya, dan ini pak Pendeta Handoyo.” Ganti pak Kiai memperkenalkan. “Apa yang kami bisa bantu”, pak Kiai memulai setelah mereka duduk. Adi dan Nur saling berpandangan. Seakan saling bertanya siapa yang cocok mewakili berbicara. Adi nampak agak gugup. Bagaimana mengawali menyapa pak Kiai. Nur paham, maka ia menjawab : “Assalamu alaikum pak Haji. Saya dan Adi saling mencintai. Kami berniat mau menikah. Tapi ada masalah”. Sambil melihat ke Adi ia menambahkan, “Kami beda agama. Adi Nasrani dan saya Islam. Kami ingin tetap pada keyakinan kami masing-masing setelah menikah”. Pak Kiai dan Pak Pendeta manggut-manggut. “Memang ini masalah pelik. Banyak orang telah mengalaminya.”. jawab pak Kiai. Ia melanjutkan, “Banyak tantangannya. Dari dalam maupun dari luar. Dari dalam, antar sampean berdua sendiri dalam menghadapi berbagai masalah rumah tangga nanti. Sedang dari luar, tantangannya macam-macam. Seperti masalah pengesahan perkawinan oleh Catatan Sipil. Begitu juga lingkungan masyarakat yang berbeda pandangan. Termasuk mungkin dari sebagian kalangan keluarga sendiri. Sampean harus menyepakati dulu bagaimana mengatasi hal-hal yang mungkin terjadi bila sampean jadi berumahtangga nanti. Apa sampean sudah membicarakannya ?”, tanya pak Kiai. “Inya Allah sudah pak Kiai”, jawab Nur. Kedua rohaniwan itu, sejenak bermupakat. Penampilan mereka cukup sederhana. Keduanya nampak akrab, seperti mereka bukan dari latar belakang berbeda. “Baiklah, kami akan membantu memberikan masukan. Mudah-mudahan dapat membantu sampean dalam memilih jalan keluar.”, Sambil menoleh ke pak Pendeta, pak Kiai melanjutkan, “Baiklah pak Pendeta akan memberi penjelasan dulu dari segi pandangan Kristen. Sesudah itu baru dari saya. Kebetulan ada kerja yang perlu diselesaikan”, kata pak Kiai, kemudian mengundurkan diri kembali ke ruangannya. “Baik. Tapi saya ingin tahu dulu sedikit latar belakang keluarga berdua”, kata Pendeta Handoyo yang berpakaian batik lengan pendek. Tak nampak seperti seorang rohaniwan. Lalu dengan perasaan haru dan sedih, Nur meneriterakan kisah keluarganya. Apa yang telah dialami serta kedua orangtuanya yang telah tiada. Adi menceriterakan, kisahnya merantau di Jakarta sampai ia berkenalan dengan Nur. “Saya pertama mengenalnya ketika bertemu di pepustakaan. Kami juga mengikuti kursus yang sama. Bahkan dia juga sering menolong saya ketika dua kali dIrmawat di rumah sakit”. “Begini”, kata pak Pendeta. “Dalam kitab suci Kristen memang dianjurkan, seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang isteri yang seiman. Namun dalam kasus pasangan berbeda iman, masih diberikan kelonggaran. Penganut Kristen, laki-laki maupun perempuan, boleh menikah dengan seorang pasangan yang tidak seiman. Asalkan mereka benar-benar saling menyukai. Isteri seorang Kristen yang tidak seiman akan menjadi kudus karena suaminya. Demikian pula suami yang bukan Kristen akan kudus oleh karena isterinya yang Kristen. “ , “Adi bisa baca itu itu dalam surat Paulus ke Jemaat di I Korintus7 :1-14. Keduanya bisa diberkati di gereja.”, kata pak Pendeta sambil memandang Adi.. “Jadi boleh pak Pendeta ?”, Adi mulai bertanya. “Bisa dari pandangan Kristen.” “Dari pandangan Islam, sedikit berbeda”, lanjut pak Kiyai yang sudah kembali duduk mendampingi Pendeta Handoyo. “Laki-laki Muslim boleh menikah dengan wanita penganut Nasrani. Tetapi seorang wanita Muslim tak boleh menikah dengan pria Nasrani”. “Lalu apa yang dapat kami lakukan pak Kiai ?”, Adi kembali bertanya. “Undang-undang Perkawinan di negeri kita menyatakan. pernikahan dilakukan menurut agama yang akan menikah. Sebagian orang menafsirkan itu bahwa kedua calon mempelai harus seagama. Tapi sebagian lagi menafsirkan tidak harus seagama. Pihak pemerintah rupanya mengikuti penafsIrman pertama. Karena itu Catatan Sipil tidak akan melayani dan akan menolak mengesahkan pernikahan pasangan yang berbeda agama. Ini sudah sering terjadi”. “Jadi tantangannya berat”, pak Kiai menambahkan. “Jadi .....?, Pak Kiai paham yang akan ditanyakan Adi lalu melanjutkan : “Kami pernah menikahkan yang berbeda agama di sini. Tapi kami mendapat banyak protes”. “Kami tak dapat memberi saran. Tapi mungkin dapat memberi contoh bagaimana beberapa pasangan menyelesaikan kasus seperti yang sampean hadapi.”, kata pak Pendeta. “Ada negara yang bersedia mengesahkan pernikahan pasangan yang bukan warganegaranya. Seperti di Singapura, Australia dan beberapa negara lain”, pak Kiai menambahkan. “Jadi, kami bisa seperti itu ?, tanya Adi serius. “Kenapa tidak, kalau sampean mau. Yang pasti pernikahannya sah”, pak Kiai menegaskan. Nur dan Adi saling berpandangan. Nampak keduanya puas dan gembIrma mendapat jawaban terakhir ini. Rupanya mereka telah mendapatkan jalan keluar yang akan mereka jalani. Rasanya mereka ingin berpelukan. Tapi malu di depan kedua rohaniwan menjelang usia sepuh itu. Berrulang-ulang mereka berterima kasih. Kemudian mencium tangan keduanya lalu pamit menuruni tangga. Selesai

Novelku Terbaru : NURHAYATI (8) : DI RADIO KEMENANGAN

Nur dan Adi mengitari beberapa warung di sekeliling lapangan pakir. Nur mencari-cari barangkali ada warung Coto Makasar. Waktu di Makasar di sepanjang pantai Losari banyak ditemukan di mana-mana. Nur sering diajak ke sana dan ia mulai menyukai makanan berbaur ketupat itu. Setelah makan, biasanya dihidangkan es palubutung sebagai penutup. Tapi di sekeliling lapangan parkir itu hanya ada soto Madura dan beberapa warung Tegal.. Hari itu kali kedua Adi menemani Nur ke Tanah Kusir. Ziarah ke makam kedua orangtuanya. Waktu datang pertama seminggu sebelumnya mereka hanya bisa menabur kembang. Pada kedatangan kedua itu mereka lebih teliti memperhatikan kondisi makam. Sesudah itu mereka berbincang dengan para pegawai pengelola makam. Minta penjelasan tentang status makam, perawatan dan kewajiban ahli waris para almarhum. “Kupikir, pusara kedua almarhum itu perlu dipugar Nur”, kata Adi sementara mereka menunggu pelayan restoran mengantarkan pesanan mereka. “Di sekeliling kedua makam sebaiknya diberi pembatas beton yang dilapisi mar-mar. Batu nisannya juga diganti dengan yang lebih bagus. Nama-nama almarhum ditulis berwarna kuning emas”. Nur hanya menyimak saja. Sesekali ia menatap mata Adi dan mengangguk tanda menyetujui. “Tetapi......,” katanya kemudian, “Adi kan tahu keadaan Nur sekarang. Tentu memerlukan biaya besar. Sedangkan Nur belum bekerja”. “Ya Nur....., aku kan temanmu sejak dulu. Tentu saya akan membantumu sebisaku”, kata Adi, nampak sungguh-sungguh. “Tapi, apa katamu tadi ? “, tanya Adi cepat. “Bekerja.....! Mau ingin bekerja....? Nur hanya mengangguk. “Gimana dengan kuliah mu dulu. Tidakkah sebaiknya kau selesaikan dulu ?” “Tidak. Stop dulu ! ”, jawab Nur. ”Otak masih sumpek nih”, sambungnya sambil tangan kanannya menekan ke dahinya. “Jadi bekerja saja dulu. Nur juga tidak ingin membebani keluarga Wati terus-menerus. Bukan saudara tetapi mereka sangat baik”. “Ya ya ya. Aku paham”, Adi manggut-manggut. “Apa pernah dengar ada lowongan Di ?“ Adi menatap wajah Nur, yang ketika itu mulai agak ceria lagi. Rambutnya yang seminggu lalu sedikit kusut, kini telah tertata rapih kembali. “Benar-benar kau serius mau bekerja Nur ?”, tanya Adi mau meyakinkan diri. “Ya benar. Nur serius...”. “Maunya kerja apa ?”. “Sekarang belum ada pilihan. Bagaimana mau milih. Pokoknya kalau pekerjaannya cocok, saya ambil “. “Baiklah kita coba usaha. Tapi saya tidak janji”. Kata Adi lalu menambahkan, “Ada teman, sebagai staf pimpinan di sebuah stasion televisi di wilayah Jakarta Selatan. Satu lagi sebagai Direktur perusahaan Studio Radio Siaran di kompleks Taman Ismail Marzuki Cikini. Mau pilih mana ?”. “Kalau tampil sebagai penyiar atau pembawa acara di layar televisi, Nur belum siap”, katanya tertawa. “Muka masih berantakan”, sambungnya. “Bagaimana kalau di Radio saja dulu”. “Kau ada-ada saja Nur”, sahut Adi sambil mengeluarkan telepon genggam dari dalam tas pinggangnya. “Hallo....! Ini Radio Kemenangan ?” “Ya ya, benar. Maaf, dari mana ini pak ?”, terdengar suara wanita dari seberang sana. “ Bisa bicara dengan pak Budi ? Ini Adi teman beliau”. “Hallo Adi. Apa kabar, Kau di mana ini ?”, terdengar suara pria yang tak asing lagi di telinga Adi. “Kabar baik boss ! Saya lagi di Tanah Kusir nih.” “Di Tanah Kusir ....? Ada berita duka ?, suara pak Budiman merendah. “Bukan...” Adi tertawa kecil. “Lagi menemani adik yang baru tiba dari Makasar. Ziarah ke makam orangtuanya.” “Oh....ya. Tapi kau bilang tadi adik, lalu kau bilang lagi , orangtuanya. Bingung aku. Mestinya kalu bilang orangtua kami”. Adi tertawa. “Adik cewek ketemu gede kali ini”, Adi tertawa lagi. “Tahu saja kau Bud”. “Begini Bud”, suara Adi kini terdengar lebih serius.”Kau bilang kemarin kau butuh tambah pegawai administrasi. Sudah dapat atau belum ? Kalau belum, adik ini berminat. Budi tidak menjawab tapi langsung saja bertanya. “Pendidikan jurusan apa dia....?”. Adi menoleh sebentar ke Nur dan bertanya setengah berbisik. “Akunting !”, jawabnya kemudian singkat. “Baiklah. Boleh datang kapan saja. Kapan kau bisa antar adikmu itu ?” “Ok Bud, nanti kutelpon dulu. Terima kasih atas kebaikanmu”. “Baik, auf wieder sehen, sampai ketemu lagi”, suara Budi mau mengakhiri pembicaraan. “Sampai ketemu”, jawab Adi kepada teman sekelasnya di SMA itu dulu. Mereka memang sama-sama menyukai pelajaran bahasa Jerman. Nur yang sedari tadi mengikuti pembicaraan telepon itu hanya tersenyum-senyum. Sekali-sekali ia mencubit pundak Adi sambil menahan tawa ketika Adi mengaku-ngaku ia sebagai adiknya. Sekembali dari Radio Kemenangan, Nur nampak lebih gembira. Gelak tawa Nur dan Wati sore itu kerap tedengar. Adi sesekali menimpali melebih-lebihkan kata-kata Nur dengan guyonan membuat semua tertawa. “Tadi Adi bilang sama Pak Budi, saya adiknya”. “Adik apaan”, kata Nur menertawai Adi. “Tapi pak Budi mengerti. Dia bilang, adik ketemu gede kali”. Adi nampak hanya senyum-senyum kecut. Tapi Adi tidak berdiam diri.Dia mau membalas. “Tadi waktu pak Budi baca-baca surat lamaran, Nur bilang di Makasar ada kakaknya. Kakaknya itu baik sekali. Dialah yang menemaninya sampai Jakarta.”. “He ! apa kau bilang ?”, tukas Nur cepat sambil mencubit tangan Adi yang duduk di sampingnya. “Bohong dia !”, teriaknya kepada Wati. Wati hanya tertawa geli. Ia mengerti, mungkin Adi ingin - Nur memperjelas hubungannya dengan Husni. Sebab Adi tahu betul Nur anak tunggal. Agaknya Nur pun dapat menangkap maksud sindIrman Adi. “Oh......, itu masalahnya”, katanya. “Nanti Nur ceriterakan”, katanya sambil tangannya menepuk lutut Adi.“Ini sudah urusan rumahtangga. Orang luar tidak boleh ikut-campur”, selah Wati tertawa sambil melangkah masuk ke dalam. “Memang ini perlu dijelaskan supaya tidak salah paham. Benar Husin yang mengantar saya ke Jakarta. Karena tidak ada orang lain bisa menolong. Dan dia mau.”, kata Nur. “Dia memang bukan keluargaku. Tetapi dia orang baik.”, Nur melanjutkan. “Semula dia memang mengharapkan aku membalas cintanya. Tetapi kubilang , aku akan balik ke Jakarta. Aku rindu dan mau kumpul lagi dengan ayah ibuku. Kukatakan, aku juga kehilangan seseorang ....”. Sambil berpaling ke Adi, Nur berkata, “Tentu Adi tahu siapa yang Nur maksudkan”. Adi hanya mengangguk. “Telah kubilang kepada Husin, hati saya masih tetap di Jakarta dan tidak ada pikIrman lain. Karena itu kuminta kepada Husin agar menganggap Nur sebagai sahabat saja, bahkan seperti adik”. Kata Nur, merasa seperti sedang membela diri. “Husin ternyata berjiwa besar. Ia memahami dan setuju dengan permintaan saya. Malahan ia menawarkan dapat mengantarkan saya ke Jakarta. Ya saya mau. Jadi, Nur yang sekarang adalah tetap Nur yang dulu ! Tidak berubah “. Tiba-tiba Adi bertepuk tangan. “Hebat....”, katanya. “Sebelum kutanya sudah jelas semuanya”. Jawab Adi. “Kau barangkali yang berubah sekarang Di”. “ Ya, memang banyak perubahan”. “Maksudmu ?”, tanya Nur was-was. “Bukan Adi yang berubah. Yang berubah, keadaan dan kita. Kita tambah pengalaman. Sekali dua kali, kita mungkin harus memberi pengorbanan untuk suatu cita-cita”, kata Adi. “Maksudmu ?”. “Contohnya Nur dalam mempertahanankan hubungan kita. Kau beda pendapat dengan ayahmu dan kau pergi. Kau jatuh ke tangan orang-orang tidak benar dan membawa kau ke tempat yang engkau tidak tahu sebelumnya. Orang-orang itu malah menyalahgunakan keterangan Nur waktu ditahan. Malam itu mereka merampok rumah orangtuamu. Dan akibatnya sudah kita tahu.” Adi tak mau melanjutkan, bahwa ayahnya mengalami depresi yang mendalam kemudian sakit dan meninggal akibat kehilangan Nur dan peristiwa perampokan itu. Apalagi Nur sudah menunduk sedih. “Waktu kau pergi dulu, semua orang sibuk mencarimu. Tapi tak ada informasi samasekali. Begitu pula ketika aku keluar dari rumah skit. Tanya di kantor-kantor polisi, mereka tidak tahu. Rupanya tetangga dan orangtuamu dulu hanya melapor soal penculikannmu ke piket TNI di Gambir. Karena kata perampok, Nur ditahan dan aman di Garnisun. Tapi Polisi rupanya hanya konsentrasi soal perampokan. Mengenai pengusutan penculikanmu tidak jelas kelanjutannya. Nur terdiam, menyimak setiap kata-kata Adi. Sedih, tersentuh hatinya, membayangkan beban derita kedua orangtuanya saat itu. Adi juga sejenak terdiam. Ketika berbicara mengenai pengorbanan, ia juga teringat Irma. Menghadiahkan dua set pakaian wanita yang dibelinya disebuah butik di Megaria saat ulang tahun.Menonton film di bioskop kelas satu. Bahkan untuk mengusahakan tiket untuk Irma yang akan pulang kampung ia harus mengutang. Sebab bukankah Irma akan menjadi calon isterinya ? Namun begitu, Adi tak pernah menyesal. Ia menganggapnya wajar saja. Sebagai biaya suatu percintaan yang tulus. Kalau tak mau berkorban, jangan pacaran. Nur pun teringat kepada Husin. Meskipun ia telah menolak cintanya, tetapi dengan ikhlas Husin tetap rela mengorbankan waktu dan biaya mengantarkannya pulang ke rumah orangtuanya di Jakarta. “He he ini pada diam-diaman ini. Kenapa ?“, tiba-tiba Wati keluar membawakan dua gelas teh hangat. “Terima kasih Wati”, jawab Nur dan Adi barengan. “Gimana, semua baik-baik saja ?”. Nur hanya mengangguk. “Ayo minum”, Wati mempersilahkan lalu balik lagi ke dalam. “Sekarang kita akan mulai dari awal yang baru”, kata Adi melanjutkan. “Awal ketika kita terpisah dahulu. Itu kalau kau masih mau Nur”. “Kalau masih mau, apa maksudmu ?” “Melanjutkan niat kita dahulu. Tapi dalam situasi baru”. “Dulu kita ada masalah karena ayah tidak merestui. Sekarang masalah itu sudah lewat. Tapi mungkin akan ada tantangan lain”, Adi menambahkan. “Apa kau sudah siap Di ?”, mata Nur menatap mata Adi. “Kenapa tidak. Dulu siap, sekarang juga siap”. “Sekarang apa rencanamu ?” Nur lanjut bertanya. “Bukan rencanaku tapi rencana kita”. Lonceng jam dinding antik di atas pintu berbunyi. Adi menengok jam tangannya, sudah jam sembilan malam. “Bisa kita sampai di sini dulu ?”. Nur mengangguk. Adi bangkit berdiri mau pamit pada tuan rumah didampingi Nur. Hari berganti hari. “Bagaimana rasanya kerja di Studio. Pak Budi nakal, nggak ?”, begitu Adi memulai pembicaraan. Mereka melangkah ke tengah taman. Lalu duduk di kursi beton berlapis keramik yang menghadap ke Jalan Imam Bonjol. Sore itu Adi memang sudah menelepon Nur akan menjemputnya pulang selepas jam kerja. Sampai di Taman Surapati, mereka memutar dan parkir di samping taman. Dulu mereka memang sering mampir ke situ ketika Adi menjemput Nur pulang dari senam kebugaran di Cikini. “Ya menyenangkan, bercanda di radio memutar lagu-lagu baru dan banyak lagi. Teman-teman baru juga menyambut baik. Pak Budi menurut saya baik dan humoris. Memangnya kenapa ?”. ”. Adi hanya manggut-manggut saja. “Jadi Nur sudah merasa betah di sana dan mau jadi penyiar ?” “Ya.. itu soal nanti. Cuma sekarang bagaimana dengan rencana kita ke depan seperti yang kau katakan ?”, Nur balik bertanya. “Hubungan antara kita nampaknya tidak ada masalah lagi. Kecuali mungkin dalam hal pilihan”. “Pilihan apa ?” “Nur kan tahu, kita beda keyakinan. Saya pikir ini harus kita pikirkan. Kita sepakati dulu bagaimana solusinya”, kata Adi. “Mungkin orang luar nanti akan ikut mempersoalkan. Karena itu sebaiknya kita mantapkan dulu sikap kita bersama. Kalau sudah sepakat, kita akan satu suara dalam menjawab mereka.” “Menurutmu bagaimana ?”, tanya Adi. Tapi sebelum Nur menjawab ia melanjukan : “Kebanyakan orang berpendapat, kalau seagama itu lebih ideal. Sebagian lagi menyebut pasangan yang berbeda agama bisa membina rumah tangga yang rukun dan bahagia. Syaratnya, harus ada toleransi dan saling menghormati pebedaan. Saya tidak ingin menanyakan apakah pendapat yang pertama dapat kita ikuti. Pilihan yang mungkin adalah yang kedua. Soal bagaimana pelaksanaannya, agar diakui sah di mata hukum dan diterima di mata umum, perlu kita lakukan konsultasi dengan tokoh-tokoh yang lebih paham. Bisa juga kita dengar pengalaman dari keluarga-keluarga pasangan yang berbeda agama tetapi tetap langgeng”. “Bagaimana pendapatmu Nur ?” “Sama. Sependapat”, jawab Nur yang sedari tadi hanya tekun mendengar. “Cuma,” kata Nur lagi; “yang saya belum tahu, bagaimana dengan anak-anak kita nanti”. “Anak-anak kita ? He he he, belum menikah saja sudah bilang anak-anak kita”, Adi memotong. Keduanya tertawa. “Maksud Nur kalau sudah menikah. Adiyuni, Adiyuni..hi.”, Nur berpaling mencubit pipi Adi sambil mengatupkan giginya keras-keras. Adi hanya tertawa memegang tangan Nur. “Kupikir begini... Agama ini adalah hak asasi setiap orang. Termasuk anak kita....nanti.” Sejenak ia melirik Nur, barangkali ia mau balik membalas sindIrmannya tadi. Tapi Nur diam saja. “Bagaimana kalau kita serahkan saja kepada pilihan masing-masing. Nanti mau ikut Nur atau ikut Adi terserah mereka.” “Mengenai pendidikan agama ?” “Kita harus menjelaskan bahwa kita berasal dari keluarga yang berbeda agama. Karena itu memang fakta. Meski begitu kita bisa selalu hidup bersama rukun dan damai. Dan itu harus kita tunjukkan dan buktikan kepada anak-anak”. “Tapi anak-anak biasa lebih dekat kepada ibunya. Apa kau tidak keberatan kalau semuanya mengikuti Nur ?” “Tak masalah. Yang penting kita memberikan penjelasan yang jujur kepada anak-anak. Kita harus memberikan penjelasan bahwa kedua agama kita mempunyai banyak persamaan meski ada juga perbedaan. Terutama persamaan harus kita tanamkan di hati semua anak-anak kita dan.......”, “Semua anak-anak kita.... Memangnya kau menginginkan berapa anak ?, Nur menyelah. “Ah, kau ini. Ini serius Nur...dengar dulu”, Adi sedikit gusar. “Baik boss, terus...” “Kita harus bilang bahwa semua agama itu mengajarkan kebaikan. Hormat kepada Tuhan, hormat kepada orang yang lebih tua terutama orangtua sendiri dan menjaga hubungan baik dengan semua orang tanpa membeda-bedakan.” “Kalau ada yang bertanya, agama mana yang lebih benar...?” “Setiap pemeluk agama akan mengatakan agama yang dianutnyalah yang paling benar. Karena itu anak-anak harus kita ingatkan dari awal. Jangan pernah mengatakan kepada orang tidak seagama, agamanyalah yang paling benar. Kalau di lingkungan seagama tidak masalah”. “Kalau misalnya Nur ditanya mengenai suatu ajaran agama Kristen, bagaimana ?” “Sebaiknya Nur suruh menanyakannya kepada saya. Kalau perlu akan saya minta bantuan Pendeta. Begitu juga kalau anak-anak ada yang bertanya kepada saya tentang ajaran Islam akan saya suruh menanyakannya ke Nur . Bila perlu ke Ustad. Jadi mereka harus mendapat pemahaman yang benar”. “Jadi di rumah kita Natalan dan di bulan Ramadhan kita puasa dan berlebaran ?” “Ya, Natalan bisa dIrmayakan, asal tidak telalu menyolok. Bisa pasang pohon terang. Tapi bisa juga tidak kalau ada yang keberatan. Pada bulan puasa, yang tidak berpuasa menghormati dan menyediakan semua yang diperlukan bagi yang puasa. Setiap orang harus ikut membantu dalam penyiapan perayaan agama. Dan memberi keleluasaan dan menciptakan suasana yang baik dalam menjalankan ibadah. Seperti mengaji, sholat, membaca kitab suci dan yang lainnya. Mungkin pengajian atau ibadah keluarga. Sambil semua ini berjalan, akan tiba saatnya setiap anak dapat memutuskan pilihan agamanya sendiri”. “Ya, kedengarannya memang semua dapat dilakukan.” Nur menyelah. “Mudah-mudahan kita dapat melakoninya dengan baik”, Nur menambahkan seraya menyandarkan tubuhnya ke Adi. “ Tahu ndak Nur.” “Apa..”, tanya Nur manja. “Waktu aku sakit dulu, ketika kau berbaring menindis aku untuk menghangatkan badanku, bukannya demamku turun malah tambah merinding...” “Kenapa ?” “Soalnya kan, saya masih sangat muda saat itu. Masih belum pernah menyentuh seorang gadispun. Apalagi belum pernah dIrmangkul wanita muda dan cantik seperti itu. Jadi gemetaran aku.” Nur tertawa sambil merangkul Adi lebih rapat. “Makanya urus cepat”, bisiknya. Adi balas memeluk dan mengecup bibir Nur. Lampu-lampu taman mulai menyala. Tanda sudah mulai malam. Adi menggandeng kekasihnya ke mobil mengantarkannya pulang ke rumah Wati.(bersambung-INDAH PADA AKHIRNYA)

Novelku Terbaru : NURHAYATI (7) : "HARUS SARJANA"

Kemana saja kau bung?”, tanya Drs. AMS, Rektor Peguruan Tinggi Publizistik (PTP) mendahului bertanya ketika Adi datang menghadap ke kantornya di Menteng.“Biasa pak, sibuk dapat tugas kesana-kemari”, jawab Adi, sebab mengerti Rektor yang juga Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi suratkabar Abadi itu paham bagaimana sibuknya bertugas sebagai wartawan. Di PTP beliau memberi mata kuliah Sejarah Pers. Perawakannya kecil, murah senyum. Kepada mahasiswanyapun ia senang guyonan. Tetapi sebagai pemimpin suratkabar, ia tegas dan berani menentang kebijakan penguasa yang dianggapnya sewenang-wenang. Karena itu suratkabarnya dilarang terbit dan ditutup. Menyusul Harian Indonesia Raya yang getol membongkar korupsi di Perusahaan minyak negara. “Saya ingin lanjut kuliah lagi pak. Meneruskan kuliah saya dulu.”, katanya. “Sudah lulus untuk beberapa mata kuliah dan saya ingin menyelesaikan yang belum selesai”. “Tapi anda sudah lama tak ikut kuliah. Berapa tahun itu”, jawab Rektor. “ Sekitar tiga tahun pak”, jawab Adi. “Sebetulnya tidak bisa. Tetapi kita bisa beri dispensasi dengan satu syarat. Anda harus membayar semua uang kuliah hingga saat ini, termasuk tahun-tahun Anda tidak mengikuti kuliah”. “Apa tak bisa diberi keringanan pak ?”, tanya Adi. “Ya, kebijakan perguruan memang begitu”, jawabnya. Ia tahu Adi agak kecewa, tetapi ia tetap senyum. “Baiklah pak, akan saya pikir-pikir, terima kasih”, jawab Adi sambil berdiri pamit. Ia kecewa tak diberi keringanan. Namun ia mengerti bekas almamaternya itu sedang membutuhkan banyak dana untuk pembangunan kampus baru di kawasan Lenteng Agung Depok. Ia teringat kembali saat ia pertama ikut bergabung sebagai calon mahasiswa PTP. Ia pikir saat itu, sebagai wartawan ia bisa mendapatkan mendapatkan dispensasi untuk tidak ikut masa perkenalan mahasiswa yang sangat menyebalkan itu. Sebab rekan sekantornya, mas Subekti, bukan saja sebagai Ketua Panitia Mapram ketika itu tetapi juga sebagai Ketua Senat Mahasiswa PTP. Tentu pikirnya, ia akan bersedia memberikan dispensasi sehingga ia tetap dapat menjalankan tugas kantornya meliput berita. Tetapi ini tidak. Segera setelah selesai apel, Adi dan rekan-rekan mahasiswa baru terus disuruh jongkok oleh para senior. Mereka disuruh mengenakan rompi karung, menggunakan topi murahan dan mengisap dot. Rambut calon mahasiswa laki-laki diguntang-gunting sembarangan sedang yang puteri di ikatkan beraneka warna tIrmas-tIrmas kain, menjadikan mereka nampak seperti perempuan sakit ingatan. Kurang ajar ini, gerutu Adi dalam hatinya. Kalau begini mendingan saya tidak jadi ikut. Celakanya ia diperintahkan senior memperlihatkan diri ke kantornya. Menjadikan dirinya jadi tertawaan seperti badut di hadapan seluruh rekan sekantor. Celakanya lagi, si Ed juru photo jangkung yang kemudian beralih pindah ke Majalah Tempo menyuruhnya duduk jongkok membelakangi bak sampah kemudian jepreet...dan dimuat lagi di koran kami. “Keterlaluan kau Ed. Awas kau....”, gumamnya pada Ed yang hari-harinya banyak dihabiskan di kamar gelap. Malam hari di halaman kantor PWI Jalan Merdeka Selatan, semalaman mereka disuruh berjoget dengan iringan musik keras. Salah seorang rekannya pingsan dan nampak dibaringkan di atas meja panjang. Untung tak lama kemudian siuman. Siang harinya mereka disuruh keliling menjual majalah dengan tetap menggunakan pakaian dinas berompi karung. Setelah itu disuruh mengayun sepeda ke Senayan pulang pergi. Sebetulnya Adi belum mahir betul naik sepeda. Masih suka melak-melok ke kiri ke kanan. Siang itu ia terpaksa menyewa sepeda di depan pertigaan Jalan Raden Saleh dengan menitipkan uang jaminan. Alangkah cemasnya ketika mau berangkat dari Jalan Merdeka Selatan. Ia disuruh membongceng seorang cama puteri. Namun dengan segala upaya menjaga keseimbangan, akhirnya ia mampu juga mengayu sepeda sewaan itu ke Senayan. Saat mendaki di Jalan Blora, melintas sebuah truk militer Angkatan Laut disamping kanannya. Para penumpangnya tertawa-tawa ramai-ramai meneriaki dan memanggil-manggil namanya sambil melambai-lambaikankan tangan. “Wah kena lagi aku”, gerutu Adi sambil terus mengayu. Rupanya keluarga Pak Sabar, calon mertua sepupunya yang tinggal di Cilandak. Plonco ini rasanya jauh lebih berat daripada acara mapram (masa prabakti) mahasiswa baru yang dijalani Adi waktu masuk ke Universitas Pancasila di Jalan Borobudur beberapa tahun sebelumnya. Namun semua derita itu akhirnya terobati ketika Adi bersama Nurlela dinobatkan masing-masing sebagai King dan Queen. Dua mahkota kuning menghiasi kepala mereka. Mengelilingi api unggun diiringi lagu Sine Aun Sin terasa sungguh hikmat malam itu. Sore hari, ketika keluar untuk kuliah perdana dengan memakai jaket almamater berwarna biru dengan simbol universitas, ia malah ditertawakan pemilik rumah kontrakan mereka di Paseban. “Putih kayak Cina”, katanya, melihat kepala Adi yang botak. Sebelumnya ia berambut agak gondrong bergelombang. Terpaksa harus dicukur habis setelah sebelumnya digunting sembarangan oleh para senior saat mapram. Sampai saat mau tidur, Adi menimbang-nimbang. Untuk memenuhi persyaratan kampus, ia harus menumpulkan uang cukup besar. Dari mana bisa dapat uang seanyak itu. Jangankan untuk tiga tahun, untuk setahun atau dua belas bulan saja, akan sulit mengadakannya. Lanjut kuliahpun, ia khawatir akan mengalami halangan seperti sebelumnya. Ia tak akan mungkin menolak penugasan ke luar Jakarta. Kalau masih di Jakarta, masih bisa. Karena kuliahnya malam hari. Belum lagi masalah hubungannya dengan Nur yang baru kembali ke Jakarta. Meski belum jelas kelanjutan hubungan mereka, namun Adi merasakan, sikap Nur pada dirinya tidak berubah. Disamping rasa cintanya yang tak mau hilang-hilang, ia juga merasa prihatin dengan keadaan Nur yang kini tinggal sebatang kara - ditinggal meninggal oleh kedua orangtuanya. Nur, teman belajarnya sewaktu kursus bersama. Gadis yang selalu diantarnya ke mana-mana, gadis yang merawat dan peduli atas dirinya sewaktu sakit, - masakan ia akan meninggalkannya begitu saja ? Ia berharap, halangan yang pernah mereka hadapi dahulu, dapat mereka bicarakan lagi jalan keluarnya. Sekarang menjadi urusan hanya mereka berdua. Sampai disitu, Adi merasa, hubungan khusus dengan Irma agaknya memang agak sulit dilanjutkan. Kecuali keluarganya melonggarkan persyaratan mereka. Ini harus dibicarakan baik-baik dengan Irma. Sampai saat itu, Adi belum pernah membicarakan kepada Irma masa lalunya bersama Nur. Minggu sore itu, Irma ada di rumah kontrakan mereka. Adi datang dengan sepeda motor baru, yang diberikan kantor untuk keperluan tugasnya sehari-hari. Obrolan mulanya hanya yang ringan-ringan. Seperti ceritera lucu-lucu tentang psikotes yang tengah dilakukan Irma menguji orang-orang yang akan mengajukan lamaran ke perusahaan. “Bagaimana dengan rumah yang akan dibangun di Cipinang ?”, tanya Irma. Kapling itu adalah tanah hibah yang diberikan Pemerintah Daerah kepada para anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia ) karena Pemda merasa para wartawan telah ikut berjasa mengkomunikasikan segala kebijakan mereka kepada masyarakat. Kompleks perumahan itu dibangun Departemen Pekerjaan Umum dengan pembiayaan salah satu bank negara. Tapi tiba pada tahap ketiga, prosesnya terlalu lama. Maka Adi memutuskan untuk membangun sendiri rumahnya. Ketika Irma diajak ke tempat Adi, mereka pernah membicarakan rencana pembangunan rumah itu, - yang akan mereka diami setelah menikah nanti. Adi meminta Irma ikut merancang tata ruangan nya. “Dengan demikian, rasa ikut memiliki mulai ada sedari sekarang”, kata Adi ketika itu. “Lumayan. Rumah kecil di atas tanah dua ratus meter cukup untuk sebuah rumah tangga baru”, ia menambahkan. Tetapi Irma hanya tertawa. Malu, karena katanya - mereka akan melewati rumah kenalannya sesama orang Dayak se-gereja. Rupanya Irma sudah pernah ke kompleks wartawan itu mengikuti acara paguyuban warga asal daerahnya di Jakarta. Sesaat, Adi ingin mengejar apakah kenalan itu pria atau wanita. Dan kalau pria apakah sudah berkeluarga atau belum. Kalau belum apakah ia teman biasa atau lebih dari pada itu ?. Tetapi niatan itu kemudian diurungkan. Bukan saja malu kalau ditertawakan dan dikatakan cemburu - tetapi pikirnya - kalaupun ia pacarnya, adalah wajar. Seorang gadis berkulit putih mulus dengan hidung rada mancung mirip miliknya Lady Diana, wajar saja kalau banyak pemuda semacam dirinya ingin memilikinya. Yang penting, hubungannya dengan Irma akhir-akhir ini semakin dekat. Ia membayangkan dirinya bak seorang satria dalam pewayangan yang penuh percaya diri - dan siap setiap saat bertarung dalam suatu perang tanding yang jujur untuk memperebutkan putri raja nan jelita. “Sekarang sudah dimulai dengan pembangunan fondasinya”, jawab Adi kemudian setelah terjaga dari lamunannya. Keduanya diam sejenak. Lalu Adi memulai. “Sebenarnya saya ingin membicarakan soal persyaratan orangtua kemarin.”, kata Adi dengan wajah serius. “Susah Irma...”, katanya melanjutkan. “Persyaratan kampus terlalu berat.Terus terang saya sulit memenuhinya. Mereka minta saya membayar lunas dulu uang kuliah selama tiga tahun. Meskipun tak mengikuti kuliah. Karena itu saya tak berani memberikan janji”, Adi menjelaskan. “Apakah persyaratan itu tak bisa dibicarakan lagi dengan orangtua ?”, tanya Adi kemudian. Sebab pikIrnya, kalau sudah saling menyintai, segala rintangan macam apapun akan mereka hadapi bersama. “Saya tak berani menanyakan. Karena itu sudah hasil musyawarah keluarga besar”, jawab Irma. “Kalau begitu, bagaimana pendapatmu Irma”, tanya Adi kembali. “Justeru saya mau balikkan pertanyaannya. Menurutmu, bagaimana ?” “Saya tak tahu. Kalau begitu, nampaknya sudah takdir. Kita harus menjalani jalan hidup kita masing-masing”, kata Adi dengan nada sedih. “Namun demikian tidaklah berarti persahabatan harus putus, bukan ? Disaat salah satu menghadapi kesulitan, kita bisa saling membantu”, Adi menambahkan. “Hidup masing-masing katamu ! Lalu, Adi mau ke mana. Adakah calon lain ?”, Irma bertanya. “Dahulu memang ada, sekarang hanya kau Irma”. “Sudahlah kalau begitu. Kembali saja lagi ke pacarmu dulu itu”, jawab Irma dengan nada meninggi. Ia mengalihkan pandangannya ke luar. “Terima kasih atas segala perhatian dan bantuan Anda selama ini”, kata Irma menambahkan. Sekarang ia menyapa Adi dengan kata Anda. “Kok jadi begitu jawabnya, Ir ?” “Ya, memang. Sekarang, apakah saya harus mengganti biaya tiket pesawat dulu itu ?” “Oh tidak”, jawab Adi cepat. Kedua tapak tangannya digerak-gerakannya mengarah ke Irma yang nampak mulai marah. Tak menyangka soal tiket itu diungkit lagi. “Bagi seorang pria - itu adalah suatu tanda pengorbanan yang ikhlas buat seorang yang dicintainya. Dan tidak dapat dibayar kembali dengan uang”, kata Adi tetap tenang. “Suatu harga diri. Kalau dikembalikan, itu suatu penghinaan”. Setelah itu Irma diam saja. Tak lagi bertanya ataupun memperdulikan pertanyaan Adi. ButIrman-butIrman air nampak jelas mengalir di pipi putih tertangkap oleh sinar lampu minyak yang terletak di atas meja. Rupanya ia menangis. Rumah kontrakan itu rupanya rumah baru, belum sempat dipasangi instalasi listrik. Sehingga untuk sementara Irma dan temannya menggunakan lampu minyak. Di kompleks Akademi tempat tinggal mereka dahulu, biasanya Irma menemani Adi mengobrol di sebuah teras lebar dan terbuka. Tidak ada lampu menyala di situ atau memang sengaja dimatikan. Cahaya lampu hanya datang dari lampu samping rumah di sebelah sehingga suasananya jadi romantis dan remang-remang. Mereka biasa bertemu di situ setiap malam minggu. Karena pada malam-malam lainnya mereka perlu istIrmahat yang cukup untuk tidak terlambat masuk kerja besoknya. Pada malam-malam rendesvouz seperti itu mereka bisa mengobrol bebas bahkan sampai jam sepuluh malam. Padahal, Irma sebenarnya sering agak terganggu oleh nyamuk-nyamuk nakal yang terkadang juga tertarik dan berusaha menyelinap masuk mendarat di kedua kaki yang putih mulus di bawah rok Irma. Terkadang Adi mesti ikut menunduk mengusir para pengganggu itu – dan Irma hanya tertawa geli ketika sekali sekali tangan Adi – sengaja atau tidak sengaja – menyentuh kaki yang berkulit halus itu. “Soalnya kulit saya putih”, kata Irma, “kalau digigit nyamuk nanti bekasnya hitam dan kelihatan jelek”, ia menambahkan sambil tertawa. “Ya ya ya tuan Putri”, sahut Adi ikut tertawa. Kadang-kadang mereka pergi menonton film dan setelah itu makan ke restoran Cina yang tak begitu jauh dari situ. Irma biasanya suka memesankan Capcay atau Mie Goreng buat mereka. Meskipun Adi sebenarnya lebih menyukai Masakan Padang, seperti nasi rendang, cingcang dan kepala ikan kakap, namun ia menurut saja. Adi tak pernah mengajaknya ke rumah makan yang menghidangkan semua jenis makanan itu sebab pikirnya, mungkin Irma tidak suka makanan pedas-pedas. Dalam soal film, Irma rupanya menyenangi film-film romantis dan misteri. Semisal film “Anjeliq and the Sultan” yang kisahnya mirip-mirip “Romeo and Juliet” karya William Shakespeare yang terkenal itu. Irma juga mengajak menonton film “The Miracle” mengenai penjelajahan seorang relawan yang berani dikecilkan sebesar sebuah sel kemudian dimasukan ke tubuh seorang relawan lain sahabatnya melalui kelenjar mata. Relawan sebesar sel manusia itu kemudian diminta menjelajah dengan membawa kamera mini ke seluruh organ tubuh sahabatnya, memotret dan terus-menerus mengirimkan gambarnya ke pusat Monitor yang terus mengikuti dan mengarahkan pergerakannya. Semua itu divisualisasikan pada sebuah layar lebar. Waktunya jelajahnya sudah diprogramkan. Banyak rintangan dan terkadang mendapat serangan sel darah putih yang mengIrma relawan penjelajah itu sebuah sel asing yang jahat pembawa penyakit. Bila terlambat kembali ke tempat pemberangkatan di mata , ia akan kembali pada ukuran normal, membesar dalam tubuh sahabatnya - yang berarti kematian bagi sahabatnya itu. Memang menegangkan dan Adi juga ikut menikmati. Namun Adi sebetulnya lebih menyukai film-film perang modern semacam Pear Harbour, Raid on Rommel, Normandy, Mereka Kembali, Janur Kuning, Rambo dan Pemberontakan G.30.S/PKI. Meski demikian ia juga tak pernah mengajak Irma menonton film-film seperti itu sebab pikirnya mungkin ia merasa ngeri melihat film-film kekerasan. Tetapi semua kenangan itu akan segera tinggal hanya kenangan. Karena Irma akhirnya buka suara juga. “Anda boleh pulang sekarang,” . Suaranya lemah, tapi bagi Adi kedengarannya seperti vonis hakim. Ia tak berani lagi membujuk Irma mempertimbangkan kembali keputusannya. Adi khawatir dalam kemarahannya Irma akan histeris seperti yang pernah terjadi ketika si Ningsih sekretarisnya yang cantik tiba-tiba mengamuk menangis di kantor akibat pertengkaran sebelumnya dengan pacarnya. Rumah panggung kontrakan Irma berdiri menghadap lapangan kIrma-kIrma seluas lapangan tennis. Di sekelilinginya berdiri rumah penduduk yang semuanya menghadap ke depan. Pada saat sore-sore seperti itu biasanya mereka kumpul duduk-duduk bersantai ngobrol di teras. Dan kalau mereka membuat keributan, akan sangat memalukan. Lingkungannya tidak seperti di kompleks Akademi dahulu ketika mereka bisa bebas berdiskusi. Tak tahan berlama-lama dalam situasi seperti itu, Adi akhirnya mohon pamit untuk pulang. Tak ada pilihan lain. Ia bangkit berdiri - mengulurkan tangan dengan ragu-ragu untuk bersalaman. Irma dengan sopan ikut berdiri menjabat tangan Adi. Bahkan ia tidak menolak ketika Adi merangkul bahunya. Adi pulang dengan pikIrman galau. Apakah aku baru saja berbuat kesalahan ? Menyakiti hati seorang wanita yang sebetulnya aku mulai mencintainya ?. Apakah mestinya ada jalan lain ? Apakah Irma sebetulnya berharap ia tidak harus cepat putus asa untuk menyelesaikan studinya ? Dan untuk itu ia mau menunggu sampai kapan pun ? Tapi semuanya sudah terjadi. Ini tidak boleh terulang lagi, begitu Adi bergumul dalam hati dan pikIrmannya sampai akhirnya tertidur di kamarnya. (bersambung – Nur di Radio Kemenangan)

Novelku Terbaru : NURHAYATI (6) : JUMPA YANG MENGHARUKAN

Sebuah mobil sedan biru metalik suatu sore berhenti di depan rumah Wati. Dari dalam keluar seorang pemuda berpakaian sederhana. Baju putih lengan panjang, celana jean biru dan sepatu kets. Sejenak ia berhenti. Berdiri saja di depan pintu pagar yang tingginya hanya setinggi bahu. Ia tidak mengetuk pintu, mengucapkan salam atau memanggil seseorang. Ia seperti ragu-ragu. Tapi seorang anak kecil membuka pintu rumah, menengok ke depan dan kemudian masuk lagi. “Mbak Wati, ada tamu”., teriaknya. “ He Adi ! Mari masuk”, Wati bergegas ke depan seraya membukakan pintu pagar. Sampai di teras, Wati menghentikan Adi. “Tunggu dulu...”, katanya sambil cepat-cepat melangkah masuk ke dalam mau mendahului. Tapi di depan pintu ia hampir bertubrukan dengan Nur yang sudah pula berlari kecil keluar. “Ada Adi ada Adi”, bisik Wati “Ya ya..”sahut Nur lalu sambil lari keluar memeluk Adi yang memang telah lama dia nanti-nantikan. Adi juga memeluk Nur, seperti layaknya seorang kakak-adik yang telah lama berpisah dapat bertemu lagi. Nur menangis terisak-isak dalam rangkulan Adi. Sedangkan Adi nampak berusaha tegar. Namun matanya nampak ikut berkaca-kaca dan meneteskan air mata. “Kau baik-baik saja, Nur ?”, tanya Adi kemudian. “Ya, lebih baik sekarang.”, katanya sambil keduanya bergandengan tangan masuk ke dalam. Ayah dan ibu Wati serta adik-adiknya semua keluar berdiri menyaksikan perjumpaan mengharukan itu, namun sekaligus juga terbesit rasa sukacita yang mendalam. “Sudah nggak ada..., nggak ada. Mereka sudah pergi....Adi ‘’, Nur menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya sambil menunduk dan menangis. “Ibu dan ayah telah pergi meninggalkan aku”, Nur terus mengeluarkan isi hatinya. “Tega-teganya mereka !”, katanya sambil terisak. “Sabar Nur, semua sudah terjadi. Kita harus menerimanya dengan ikhlas”, Adi mencoba menenangkan. “Itu karena salahku.... Ampuni Nur, Papa.. Ampuni aku Ma”. “Dulu Nur pergi meninggalkan Papa dan Mama. Nur tahu, Papa Mama akibatnya menderita. Sekarang mereka yang meninggalkan aku..”. Suasana sesaat hening. Hanya Adi dan Wati tetap duduk diam menemani Nur, duduk di kiri kanannya. Yang lainnya sudah undur dari ruang tamu. Tiba-tiba Nur mengangkat mukanya yang masih lembam. Sambil menyekah air mata yang masih menggenang di matanya ia menatap Adi. “Maukah Adi menolong Nur...?” “Tentu saja. Tak usah ditanyakan lagilah.Apa yang bisa kubantu ? Katakan saja”, sahut Adi penuh perhatian. “Nur ingin ziarah ke makam Papa dan Mama”, tatap Nur berharap. “Ya siap kapan saja”, jawab Adi sambil merapihkan rambut Nur yang terurai menutupi wajahnya. Lama sekali Nur terpekur, bergantian di pusarah ayah dan ibunya. Keduanya memang berdampingan. Ia menyIrmamkan minyak wangi, menabur bunga seraya mengusap-ngusap batu nisan yang bertuliskan nama kedua orangtuanya. Adi dan Wati yang ikut menemani tetap berdiri mendampingi. Mereka ikut menabur bunga , menyIrmamkan minyak wangi dan mencabuti rumput liar yang mulai tumbuh di pinggIrman pusarah. Sesekali kereta api melintas. Dekat pemakaman itu memang melintas rel kereta api. Disitulah dahulu pernah terjadi tubrukan kereta barang dan kereta penumpang yang mengakibatkan korban jiwa sekitar dua ratus orang. “Nur, sudah mau magrib” , Wati akhirnya membisiki Nur. Nur mengerti. Dengan tubuh lemas, ia berdiri. Sekali lagi ia mengusap nisan ayah dan ibunya sambil bergumam. Sampai di jalan yang membatasi petak-petak makam, ia menoleh sesaat ke belakang. Seakan mau menandai dan mengingat-ingat lokasi makam kedua orangtua yang sangat disayanginya itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Tanah Kusir Nur lebih banyak diam Pulang dari rumah Wati, Adi berpikir keras. Apa yang sebaiknya dia harus lakukan. Dan bagaimana hubungannya dengan Irma.Apakah perlu mendekatinya lagi ? Telah kembalinya Nur membuat pertimbangannya harus lebih hati-hati. Sebulan sebelumnya, Irma memintai pertolongannya memesankan tiket pesawat terbang karena dipanggil orangtuanya pulang. Meskipun asisten ahli psikiater terkenal itu berjanji akan mengganti harganya, namun Adi menjawab tak usah. Adi semula memang sudah berniat, setelah lama tidak mendengar kabar mengenai keberadaan Nur, akan lebih serius lagi menjalin hubungan dengan gadis Kalimantan itu. Kalau berjalan lancar ia akan melamarnya sebagai teman hidupnya. Seiman, cukup cantik dan juga terasa banyak persamaan. Memang ada sedikit berbedaan dalam soal selera. Baik jenis makanan maupun jenis hiburan seperti film. Tidak masalah. Tapi sudah dua minggu ini Irma tak ada kabar. Janji hanya pulang seminggu. Namun ketika ditelepon ke kantornya seminggu kemudian, diberitahu belum masuk juga. Tunggu seminggu lagi tak ada berita. Adi ke tempat tinggal Irma di kompleks sebuah kampus akademi di Jalan Kebon Sirih Barat. Tetapi mereka tidak tinggal di sana lagi . Sudah pindah ke kawasan Kampung Bali. Semula Irma tinggal bersama seorang temannya di kompleks akademi itu - berdampingan dengan rumah satu keluarga sessma suku , yang juga menjadi dosen di akademi itu. Kedua gadis itu diijinkan tinggal sementara di situ karena mereka alumninya. Mereka baru saja menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana muda. Suatu sore Adi berhasil juga menemukan tempat tinggal Irma yang baru. Sebetulnya, Adi agak kecewa kepada Irma tidak memberitahukan kepulangannya serta kepindahan mereka. “ Ir, kok pulang tidak bilang-bilang”, katanya. “Padahal, sudah beberapa kali menelpon menanyakan ke kantor”. “Sorry ya. Semuanya serba mendadak. Jadi belum sempat kasih kabar. Inipun masih sibuk bebenah”, jawab Irma sambil sedikit tertawa, memahami perasaan Adi. Memang di ruang tamu masih nampak tersandar beberapa lembar tripleks yang belum sempat dipasang. “Ketika tiba kembali dari Kalimantan, teman saya memberi tahu kami harus segera pindah. Ruangan yang kami pakai sudah akan digunakan kampus untuk perluasan ruang kuliah.” Adi manggut-manggut paham. “Kami diberi batas waktu. Karena itu kami sibuk mencari tempat baru. Dan akhirnya dapat di sini”. Irma menjelaskan sambil buru-buru masuk ke dalam karena temannya memanggil.. Tinggal Adi duduk menunggu. Tiba-tiba lampu minyak besar di atas meja menyala besar. Ada butir-butir jelaga menyembur ke atas. Lewat semprong yang nampak mulai menghitam. Kaget melihat itu, Adi memanggil Irma. “Ir, kenapa ini lampu. Nyalanya membesar”. “Oh, minyaknya habis”, jawab Irma yang datang terburu-buru. Ia segera membawa lampu itu ke dalam. Tak lama kemudian ia balik lagi dengan membawa lampu yang sudah menyala normal. Irma duduk kembali menemani Adi. Kalau di kampus Akademi dahulu – malam-malam mereka biasa duduk berdampingan mengobrol. Tapi di situ mereka duduk di dua kursi yang agak berjauhan. “Bagaimana kabar orangtua. Mudah-mudahan sudah sehat”, Adi meneruskan pembicaraan.. “Syukurlah, Puji Tuhan, mereka baik-baik saja”, jawab Irma. “Ya, ikut bersyukur”, lanjut Adi. Agak lama terdiam, Irmawaty mengakui kalau ia dipanggil sebetulnya ada hubungannya dengan hubungan mereka. “Haaa .....?”, Adi terkejut ingin tahu. Tak mengIrma kabar hubungan mereka secepat itu sampai ke orangtua Irma yang jauh di Kalimantan Tengah. Mungkin dari tetangga Irma yang dosen ? “Lalu bagaimana.....?” Adi sedikit gugup. Kalau orangtua Irma merestui dan minta segera dilaksanakan, bagaimana. Ia merasa belum mempunyai persiapan ! “Prinsipnya, orangtua saya setuju......”, dada Adi tambah berdebar. “Tetapi,...mereka ada syarat.”, sambung Irma. “Syarat apa ?”, Adi cepat memotong. Syarat apa lagi ini. Dulu dengan Nur yang tidak seiman, minta syarat harus seiman. Sekarang sudah dapat yang seiman. Minta syarat apa lagi. Adi bertanya-tanya dalam hatinya. “Mereka minta carilah pasangan seorang sarjana”, jawab Irma pelan. “Sarjana....?”, jawab Adi pelan tak menduga. Namun dia berpikir mungkin ada jalan keluarnya. Faktanya, saat itu ia memang baru memiliki ijazah SMA. Jadi tidak setingkat dengan Irma yang sudah bertitel B.A. Perasaan Adi agak sedikit tersentuh dianggap tak setaraf, meskipun tak diucapkan. Adi ragu, apakah ini hanya alasan karena keduanya tidak berasal dari adat budaya yang sama. Ataukah memang benar demikian harapan orangtua Irma ?. Atau barangkali keinginan Irma sendiri ? “Saya sebetulnya sudah kuliah sampai tingkat sarjana, tingkat V”, kata Adi menjelaskan perihal pendidikannya. Ia memang sudah lima tahun kuliah di Perguruan Tinggi Publizistik (PTP) yang diakui sama dengan perguruan tinggi negeri oleh Pemerintah. Perkuliahannya di Jalan Menteng Raya. Tapi tak sempat-sempat ikut Ujian karena kesibukan pekerjaannya. Sebentar-sebentar ditugaskan ke luar Jakarta. Ke Kalimantan Barat, Sulawesi, Bali dan keliling Jawa. Ada beberapa mata kuliah yang belum diselesaikan sebagai syarat untuk ikut ujian sarjana. Bahkan Ujian sarjana muda saja belum. Padahal, menurut salah seorang dosennya, seorang Kolonel, Kertas kerja yang pernah diajukan Adi untuk lulus ke kandindat Bakareorat, sudah cukup bagus. Bahkan layak diajukan sebagai skripsi untuk ujian Sarjana Muda. Tinggal melengkapinya saja. Optimis masalah studi itu bisa diselesaikan dengan cepat – Adi meminta waktu untuk menyelesaikanna. Irma setuju dan ia akan menunggu Adi menyelesaikannya. Sudah jam sepuluh malam. Karena itu Adi mau pamit pulang. Apalagi setelah Irma berkata, ia sedikit khawatir akan ada dugaan buruk terhadap dia dan temannya. Gadis warga pendatang baru - menerima laki-laki yang bukan keluarga atau suami malam-malam di tempat kontrakannya. Rumah kontrakan itu sebuah rumah panggung dan memang dikelilingi rumah-rumah yang padat penghuninya, kebanyakan penduduk asli. (bersambung – Ada Irma antara Adi dan Nur)

Novelku Terbaru : NURHAYATI (5) : ANAK MAKASAR NAN BAIK HATI

Duduk bersamamu seperti ini menyenangkan Nur”. Bisik Husni sambil meraih tangan Nur. “Kau ramah, pintar dan cantik lagi. Enak diajak ngobrol. . SekIrmanya hubungan ini bisa kita lanjutkan.......” “Kau juga baik dan santun Husin.” Sore itu pantai Losari tidak lagi begitu ramai. Angin laut bertiup sepoi-sepoi membuat suasana lebih sejuk. Di sana-sini hanya nampak beberapa anak berlari-larian. Nur membiarkan saja tangannya digenggam Husni di pangkuannya. Mukanya terarah ke Pulau Kahyangan tak begitu jauh dari pantai. Sesekali ia menundukkan kepala seperti berpikir. Tangan kirinya menopang kepalanya. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya, menarik tangan dan balik dia yang memegang tangan Husni. Matanya menatap tajam ke wajah Husni. “Aku tahu, kau orangnya baik Husni. Tapi.....”, Husni memotong, “tapi apa Nur ?” “Kau belum tahu bagaimana aku di sini. Aku tidak punya siapa-siapa. Aku telah kehilangan orangtua.. Juga seseorang yang ......kusayangi.” “Maksudmu ?, tanya Husni, merasa seperti ada orang ketiga di hati gadis ini. Nur tidak menjawab, hanya menunduk. Ia terbayang Adi yang ia tinggalkan ketika kesehatannya belum begitu pulih. Pernah ia bermimpi melihat Adi di Pantai Marina naik perahu tersenyum melambai-lambaikan tangan mendekati kade untuk mengajaknya ikut naik bersama. Tetapi tba-tiba datang ombak menggulung perahu mereka. Nur dapat diselamatkan tetapi Adi belum ditemukan sampai ia terkejut bangun dan duduk. Ternyata hanya mimpi. Namun mimpi itu terus-menerus menghantuinya di Makasar. Apakah sakitnya kambuh lagi, ataukah sudah.....? “Baiklah kalau begitu. Ceriterakanlah apa yang ingin kau ceriterakan”, Husni kemudian menghentikan lamunannya. Sekali-sekali Husni manggut-manggut. Menatap wajah Nur yang mulai menitikan air mata. Ia seperti paham apa yang dIrmasakan gadis di sampingnya. “Aku mengerti sekarang Nur. Aku tahu apa yang ingin kau katakan. Tak apa-apalah”, kata Husni akhirnya. “Ya , seperti kubilang tadi, kau orangnya baik. Tapi saat ini aku belum dapat berpikir dan memutuskan apa-apa. Belum dapat memberi jawab ya atau tidak. Aku masih selalu memikirkan ayah dan ibuku. Bagaimana mereka sekarang. “Kau tidak perlu menjawab sekarang. Aku akan menunggumu sampai kau dapat memikirkannya dengan tenang.” Husni coba menghibur. “Untuk sekarang ini aku harapkan pengertianmu. Kita sebagai teman baik saja dulu. Sebagai sahabat.” Ia menunduk, terang-terangan menangis di pangkuan Husni. Tidak jelas apakah karena masih terbayang-bayang wajah Adi dalam mimpi tadi atau sedih karena ikut merasakan kekecewaan Husni ? “Baiklah. Kalau begitu”, jawab Husni ikut menitikan air mata, sedih. “Kau telah ceriterakan semuanya. Adakah sesuatu yang dapat kuperbuat untukmu ?”, tanya Husni pelan. “Kalau tak salah engkau rindu sama ibu dan ayahmu. Maksudmu ingin balik lagi ke Jakarta ?”. “Tapi kau tahu kan”, jawab Nur kembali duduk. “Saya tinggal di mana sekarang. Ikut sama keluarga Om Sikin sebagai orangtua angkat saya. Apakah mereka akan mengijinkan. Lagi pula ongkosnya. Dan akan ikut siapa ?”. “Ya,....nanti kita coba cari jalan keluarnya.”, kata Husni sambil berdiri. “Sudah malam, mari kita pulang”, lanjut Husni seraya menarik tangan Nur dan menggandengnya pulang ke rumah. “Saya ada paman di Jakarta. Pak Maka. Andi Makasau. Barangkali saya bisa bantu. Tapi akan saya hubungi dulu”, kata Husni memberi harapan sebelum berpisah. iba di Jakarta. Semuanya nampak sudah berubah. Begitu juga bentuk rumah orangtua Nur. Rupanya rumah itu sudah dijual dan penghuninya sudah orang lain. “Ma’af bu. Ada ibu ?”, tanya Nur ragu-ragu sebab mengIrma mungkin wanita ini pembantu rumah tangga. “Mbak ini siapa ?. “Saya Nur, ayah saya pak Haji Sanusi. Kami dulu tinggal di sini”. “Oh, Pak Sanusi”, jawab ibu itu paham. “Pak Sanusi dan keluarga sudah tidak di sini.. Rumah ini sudah kami beli.” “Kapan dibeli bu ?“. “Dua tahun lalu.” “Sekarang orangtua saya di mana bu ?” “Kami tidak tahu. Sebelum kami pindah ke sini, rumah ini sudah dikosongkan”. Dengan lunglai, Nur pamit digandeng Husin. “Gimana ini Nur. Kita kembali lagi ke Makasar ?”, Husin bingung. “Tidak, saya mau di Jakarta saja”, jawab Nur tegas. “Tinggal sama siapa ? “Saya kost saja”. “Tidak”. Jawab Husin. “Kau tinggal sama keluarga paman saja. Saya kIrma mereka tidak keberatan. Kau lihat. Dari kemarin mereka baik sekali padamu, bukan ?”. Tiba-tiba dari rumah sebelah ada orang memanggil Nur. “Nur ! kemana saja “, seorang perempuan sebaya Nur mengajaknya mampir. Wati teman tetangganya dahulu datang berlari-lari kecil menyambutnya. Mereka berangkulan erat-erat. Kemudian tertawa satu sama lain meskipun air mata masih menggenang di wajah mereka. “ Famili ?”, tanya Wati kepada Nur sambil menoleh ke Husin yang sedari tadi hanya berdiri menyaksikan drama pertemuan kedua bersahabat itu. “ Bukan, teman baik’’, jawab Nur sementara Husin menguluran tangan berjabat tangan dengan Wati, “Husin”, ia mempekenalkan diri. Wati senyum manggut-manggut seraya melirik kepada sahabatnya yang juga ikut tersenyum. “Hayo mari semua ke rumah”, Wati mengajak mampir sambil masuk rumahnya teriak-teriak : “Ma...!.Pak......, ada Nur Ma ! Nur pulang...”. Sekejap ayah dan ibu Wati yang diikuti adik-adiknya serentak keluar menyambut Nur. Sambil memeluk Nur, ibu separuh baya itu coba menenangkan. Sebab ia tahu benar berbagai musibah yang pernah menimpahnya dan kedua orangtuanya. Mereka sendiri belum tahu apa yang terjadi dengan Nur setelah kepergiannya. Dan apakah Nur sudah tahu tentang kedua orangtuanya yang sudah tiada. Demikian juga perampokan dan penculikan itu. “Sabar Nak....., semuanya akan baik-baik saja”. “Ia Tante....”, kembali ia merebahkan diri ke rangkulan ibu Wati. “Tapi ibu dan ayah tinggal di mana sekarang Tante....?, Nur mendongakan kepalanya, ingin cepat mendapat jawaban. Nani, ibu Wati sejenak terdiam melihat ke arah suami dan Wati, kemudian menggandeng Nur duduk ke sebuah bangku panjang dekat mereka. “Sebaiknya kau istrahat saja dulu nak..., kau pasti lelah. Engkau dapat menemani Wati di kamarnya, ya...?” Saat yang sama Wati muncul dari dalam membawa tatakan berisi beberapa gelas minuman air putih. “Benar Nur... kamar saya besar..., cukup untuk kita berdua”, sambut Wati senang. Tapi Nur tidak sabar, bahkan ia mulai menduga ada sesuatu yang disembunyikan. Kalau tidak mengapa ibu sahabatnya ini seperti mau mengelak. “Te... sudah lama saya tidak ketemu mereka dan Nur sangat merindukan mereka. Mereka tinggal di mana sekarang ?” Tinggal di mana sekarang ? Wah, apa yang musti kukatakan, sudah tinggal di pemakaman ? Bagaimana harus mengatakan kalau mereka sudah tiada ? Nani, yang dahulu adalah juga teman baik ibunya Nur tidak dapat berkelit lagi sekarang. Adik-adik Wati nampak mulai sedih dan terharu. Cepat-cepat diajak masuk oleh ayah mereka. Takut malah mereka yang menangis duluan nanti. Tinggal mereka bertiga : Nur , Wati dan ibunya. Agak berjauhan, Husin tetap duduk terdiam seperti patung. Dipersilahkan mengambil minuman yang sudah terhidang didepannya tapi dia hanya mengangguk sopan. “Kita harus tunduk dan menerima takdir dari Yang Mahakuasa nak....” Sambil mengelus-elus bahu Nur, Ibu Nani melanjutkan, “dan kita harus tabah dan sabar...”. “Maksud tante ?” “ Mereka....., mereka.....”, “mereka apa, tante...... Sudah tak ada ?”, Nur cepat memotong. “ Ya...., seperti itulah.....” “Tidak..................!!., tidak.........”, teriaknya histeris. “Ini Nur Ma.....! Ini Nur Pak..... ampuni Nur Papa. ! Mengapa kalian tinggalkan Nur sendiri....”, suaranya melemah kemudian pingsan. Semua terkejut. Husin sekejap bangkit membantu ayah Wati mengangkat Nur berbaring ke tempat tidur Wati. Ibunya berlarian membawa minyak eau de cologne Digosok-gosokannya ke hidung Nur sementara Wati disuruhnya menggosokan minyak kayu putih di pundak Nur. Husni dan ayah Wati tetap berdiri terpaku. Menunggu barangkali Nur perlu dibawa ke rumah sakit ? Untunglah Nur dapat siuman kembali dan minta diberi minum. Tak lama kemudian ia bangun dan perlahan-lahan melangkah kembali ke ruang tamu diapit Wati dan Ibunya. “Sudah lumayan sekarang... Maaf bapak dan tante, karena Nur sudah terganggu tadi.....”, sambil kedua tapak tangannya dIrmapatkan meengarah kepada kedua orangtua tua sambil menunduk seperti menyembah. “ Oh, tidak apa-apa. Kami bersyukur kau sudah lebih baik”, jawab kedua orangtua itu cepat sambil geleng-geleng kepala. Sambil seperti berpikir beberapa saat, Nur memandang Husin lalu memanggilnya mendekat. “Sini Sin !”, sambil tangan kanannya memberi isyarat. “Ada apa ?” tanya Husin heran setelah duduk disampingnya. “Kau memang orang baik. Bukan saja sebagai teman baik atau sahabat, tetapi sekarang kau saudaraku. Kau kakakku !” Husin kaget tak menyangka Nur akan berbuat begitu. Lebih terkejut lagi ketika Nur berkata,”Saya ada peniti disini”, sambil mencopot kancing peniti dari bajunya. “Kau mau apa Nur ?”. tanya Husin berdebar-debar. Tapi Nur tidak menjawab. “Mana tanganmu”, seraya menarik tangan kanan Husin yang mulai agak ketakutan. Kemudian Nur menusukkan ujung peniti itu ke ujung jari telunjuknya sehingga keluar darah. “Sekarang gilIrmanmu. Kau kan laki-laki..., bukan ?” . Meski sedikit ngeri mendapat tantangan seperti itu, akhirnya Husni dengan agak gemetar menirukan juga seperti dilakukan Nur. Dan ketika darah hendak menetes , cepat-cepat Nur menempekan ujung jarinya yang juga sudah berdarah itu ke ujung jari Husin yang berdarah tadi. Dengan demikian darah mereka jadi menyatu. Nur lalu merangkul Husin yang tadi mulai was-was barangkali Nur sudah terganggu jiwanya oleh stress mendalam yang baru saja dialaminya. Semua baru bernapas lega ketika Nur dengan tenang menjelaskan “Inilah cara Nabi ketika mulai menjalin persaudaraan dengan sahabat-sahabat beliau..”.”Dan...”, kepada Husin ia menambahkan” persaudaraan kita ini , keluarga Bapak Ibu di sinilah menjadi saksinya”.Wah wah wah. Beberapa saat semua bisa lebih santai. Husin maupun Nur sudah bisa minum tapi belum menyentuh kue-kue tradisionil yang dihidangkan. “Sebenarnya, Nur masih ingin tahu sebab orangtua saya sampai meninggal kedua-duanya . Mereka di makamkan di mana....”. Khawatir akan terulang kejadian seperti tadi, Ibu Wati segera memotong. “Bisa, nanti diceriterakan semuanya – tapi tidak sekarang. Masih banyak waktu. Kedua beliau dimakamkan di Tanah Kusir. Nanti kalau Nur sudah tenang, kita ziarah ke sana. Istrahat saja dulu”. Husin nampak mengangguk ikut mendukung. “Baik tante, terima kasih”, jawab Nur setuju. Sudah menjelang sore dan Husin mulai melihat-lihat jam tangannya. “Jadi, Nur mau bersama Wati saja di sini . Apakah masih perlu saya ikut menemani atau saya boleh pulang ?”. Wati, ibunya dan Nur berbisik berunding sebentar. “Nanda Husni tinggal di mana di sini ?”. “ Di Tanjung Priok sama Paman saya”, jawab Husin. “Oh...jauh. Barangkali sebaiknya kai ikut istrahat saja di sini. Besok pulang”. “Terima kasih tante. Tapi saya bilang tadi sama Paman mau pulang. Kalau Nur tidak apa-apa, saya sebaiknya balik. Takut ditunggu”. “Ya tante, saya baik-baik saja sekarang. Dia bisa pulang, nanti ditunggu-tunggu”. “Baiklah, tapi sering-seringlah ke sini ”, pesan ayah Wati.. Husin bangkit berdiri pamit lalu berjalan diikuti Nur dan kedua orangtuanya sampai depan pintu pagar. “Terima kasih Sin, jangan lupa besok ke sini” sambil membalas lambaian tangan Husin dari dalam mobil yang sudah mulai bergerak.(bersambung – Pertemuan Nur dan Adi yang mengharukan).

Novelku Terbaru : NURHAYATI (4) : MALAM SEPERTI DITEROR

Selain banjir keringat ada yang lebih aneh. Malam hari merasa seperti diteror. Terlalu menakutkan. Datangnya malam berarti akan datangnya saat-saat mencekam. Adi merasa takut menghadapinya seorang diri. Ia merindukan sekali pada saat-saat seperti itu ada orang yang dipercayai mendampinginya agar dapat tidur tenteram. Tetapi siapa ? Selama ini, hanya Nur saja yang sekali-sekali datang membesuknya. Tapi sekarang sudah lama tidak muncul. Adi tidak tahu mengapa. . Kalau Nur datang, ia ingin sekali mengadukan apa yang dirasakan setiap malam. Namun pikirnya percuma juga. Sebab Nur tak bakal diijinkan orangtuanya keluar malam. Adi merasa, musuh-musuhnya ada di mana-mana. Termasuk perawat-perawat yang kini mulai dicurigai bersekongkol dengan roh-roh jahat yang tak terlihat. Roh-roh ini seperti dapat mendengar. Melihat dan mengawasi Adi melalui kabel-kabel listrik yang tersambung ke rumah sakit ini. Bahkan melalui jendela dan sela-sela lobang angin. Mereka seakan mengancam,”awas kalau berani mengadu. Sebentar malam tunggu balasannya”. Pernah Adi bertengkar dengan seorang perawat. Hanya karena persoalan garpu. Pikirnya, tentu para perawat lainnya dan para dokter akan membela rekan sekerja mereka. Semuanya lalu membencinya. Adi benar-benar merasa terasing. Teman-teman sekantor maupun pimpinan, hanya sekali datang menjenguk Mungkin karena banyak kesibukan. Semua kekalutan pikiran ini terbawa ketika mau tidur. Sering Adi memeriksa sekeliling tempat tidurnya. Adakah suatu alat yang dipasang yang membuat dia tak bisa tenteram setiap malam ? Tidak ada. Tak ada kabel dan memang tidak ada apapun. Adi tidak mengerti. Dia tidak melihat apa-apa. Tetapi setiap malam seperti dicengkeram sesuatu yang mengandung arus listrik. Suatu malam, pernah seperti ia mendengar suara kakak sepupunya datang dari kampung hendak menjumpainya dengan motor Vespa. Tetapi petugas-petugas rumah sakit tidak mengijinkannya masuk. Ia dengar mereka bertengkar hebat dengan petugas-petugas rumah sakit. Tentu saja membuat Adi marah. Tetapi dia tidak berdaya, seperti disandera. Pernah juga seperti ia mendengar suara ibu dan kakak perempuannya bertengkar dengan petugas rumahsakit di luar. Mereka datang dari kampung hendak membesuknya. Mereka sudah masuk halaman rumah sakit, tetapi tidak diperkenankan masuk ke ruang perawatan. Dari dalam, jelas dia dengar mereka memanggil-manggil namanya sambil menangis. Mereka mengetok-ngetok jendela, memohon kepada para perawat untuk diperkenankan masuk menemuinya. Tetapi petugas-petugas rumah sakit tetap berkeras, tidak mau membukakan pintu. Dari dalam, Adipun tidak tinggal diam. Ia memprotes. Karena tidak dikabulkan, ia mendesak minta pulang malam itu juga. Dia mengemasi barang-barangnya ke dalam ransel. Sambil berkemas, Adi mendengar banyak suara hiruk-pikuk melalui pengeras suara. Diantara suara-suara itu seperti ada suara anak-anak yang memanggil namanya sambil mengejek.. Adi melangkah keluar dengan marah. Tetapi para perawat dan Mantri mencegahnya. Ia meronta, tapi tidak mempunyai kekuatan lagi. Pandangannya tiba-tiba gelap. Tak sadarkan diri. Tak tahu apa-apa lagi. Ketika sadar, ia menemukan dirinya, duduk di ruang jaga. Ranselnya ada di rak. Seorang lelaki berseragam putih-putih, usia sekitar limapuluh tahun duduk dihadapannya. Tidak jelas apakah ia dokter atau mantri. Dengan nada lembut laki-laki itu mula-mula bertanya, “Nur itu siapa ?”. “Mengapa ?”, Adi balik bertanya sambil mengangkat muka. “Kau sering memanggil-manggilnya ketika tidur”.“Itu teman baik saya”, jawab Adi merendah. I “Ibu dokter sebetulnya tidak memarahimu. Ia malahan sedih melihat keadaanmu. Sampai-sampai ibu dokter menangis”. Kata-kata ini membuat hati Adi menjadi lebih tenang. Ia menuruti saja bujukan laki-laki berseragam putih itu agar kembali ke tempat tidur. Begitulah setiap malam. Adi seperti diteror atau dikejar-kejar oleh orang atau suara-suara bising yang mengganggu. Sering ia ketakutan seperti dikejar-kejar orang jahat. Pada saat-saat seperti itu, ia terkadang ingat pada ibunya. Beliau selalu penuh perhatian pada anak-anaknya. Apalagi kalau sakit. Ibunya sibuk sekali kesana-kemari mencari obat. Beliau pasti akan sedih sekali kalau melihat keadaannya seperti ini. Tapi sudah sejak awal Adi tak ingin membuat sedih orangtuanya. Ibu yang sudah mulai memutih rambutnya. Takut kedua orangtua itu terus-terusan mencemaskan dia. Tubuh Adi terus menyusut dan menyusut. Dia perhatikan, kedua lengan dan kakinya. Benar-benar tinggal tulang berlapis kulit. Ia raba pula bahu, belikat dan dada. Tulang-tulangnya bertonjolan. Tak dapat dibayangkan bagaimana saat itu wajahnya. Disitu dia tak pernah melihat cermin. Waktu sakit dan dirawat di rumahsakit Poso dahulu, ia pernah bersebelahan dengan seorang pasien muda berbadan tinggi tetapi sangat kurus.. Demikian kurusnya sehingga nampak sudah bagaikan kerangka hidup. Pasien itu akhirnya meninggal. Menurut beberapa pasien, itu akibat kecobohannya sendiri. Sore sebelumnya diam-diam ia pergi keluar rumah sakit dan meminum jamu. Adi membayangkan tubuhnya kini seperti itu. Padahal ketika masih di SD, dia pernah merasa gusar melihat di kaca badannya yang terlampau gemuk. Kalau bergerak, lapisan pada kedua pipinya bergerak. Begitu pula pada paha di atas lutut. Tapi kini sebaliknya. Badan lemah. Tak diperkenankan lagi turun dari tempat tidur. Andaikatapun diperbolehkan rasanya ia tak akan kuat lagi. Untuk mandi setiap pagi disediakan air dengan lap kain basah di tempat tidur. Untuk buang air senantiasa disediakan pispot. Penurunan kondisi badan yang demikian cepat, memang merisaukan juga. Diam-diam mulai timbul kekecewaan Adi pada rumah sakit ini. Ketika masuk, keadaan tubuhnya belum sekurus ini. Mengapa setelah di rumah sakit ini berat badannya turun dengan sangat cepat ? Salah satu sebabnya, Adi pikir, karena takaran makanan yang terlampau sedikit. Makan siang selalu terlambat diantar. Tak jelas apakah pengaturan waktunya memang begitu. Umumnya sesudah jam dua siang. Sudah lama menunggu, yang datang tetap menu itu-itu juga. Bubur susu dan sari pepaya. Adi mulai iri melihat pasien-pasien sekamarnya. Makanan mereka beraneka macam. Dari tatakan alminium yang dibagi-bagikan, ia lihat, selain nasi, ada telor rebus, sayur, hijau, daging atau entah apa lagi. Pikir Adi, biarpun pengantaran makanan selalu terlambat, mereka belum akan lapar. Ia lihat diatas lemari mereka selalu tersedia banyak makanan selingan seperti roti, biskuit, apel dan pisang yang dibawakan keluarga mereka. Aku ?, kata Adi dalam hati, biskuit saja tidak boleh. Sekalipun dicelup dahulu dalam gelas susu supaya lembut. Ia mau usul agar ia dapat makan nasi lagi. Sudah lama merasakan makan nasi.Tapi ibu dokter, ahli gizi yang mengatur makanannya tak mengijinkan. Seminggu kemudian baru diberi bubur beras. Itupun sangat lunak seperti makanan bayi. Mungkinkah mereka mengira ia tak akan mampu membayar biaya rumah sakit seperti pasien-pasien lain ? Tapi selama ini belum pernah ada yang mempermasalahkan uang atau biaya, keluh Adi. Ia mendongkol sekali. Ketika seorang karyawan sekantor datang membesuk, ia minta dibelikan ubi rebus. Dan ketika datang lagi, teman itu datang membawa sekantong singkong rebus.. Adi tak perlu menunggu lama sampai malam karena jam besuk cuma sampai sore. Tengah malam, ketika semua perawat berada di ruang jaga, singkong rebus itu dilahap Adi satu per satu. Dikunya halus-halus secara sembunyi-sembunyi sambil berbaring dalam kelambu. Rasanya nikmat. Selera makannya saat itu sudah timbul lagi. Berbeda jauh ketika baru masuk. Siang hari merupakan jam-jam yang cukup tenang. Tak ada gangguan-gangguan yang menakutkan seperti pada malam hari. Pada saat-saat begini, baru Adi menyadari keadaannya yang sesungguhnya. Tubuhnya telah demikian kurus, tangan dan kakinya tinggal tulang berbalut kulit. Ia menduga mungkin penyakitnya telah mengakibatkan gangguan psikhis sehingga menimbulkan halusinasi-halusinasi yang mencekam itu. Ataukah karena pengaruh obat hampir segenggam sehari yang harus diminumnya ? Adi tidak tahu apakah ia masih dapat sembuh. Adakalanya Ia berandai-andai, bagaimana kalau Tuhan yang Mahakuasa memanggilnya dalam keadaan demikian. Tapi kemudian ia sadar tak perlu terlalu memikirkannya terlalu jauh. Itu urusan Tuhan. Karena itu ia selalu pasrah saja pada Tuhan. Tak ada perasaan takut. “Kalau waktunya telah tiba Tuhan akan memanggil, aku harus menerima, katanya dalam hati. Dia selalu meyakinkan diri, bahwa Tuhan tidak akan membiarkan umat yang berharap kepadaNya berlama-lama menderita dan akan segera melepaskan pada waktuNya. Jadi hanya dibutuhkan kesabaran menanti pertolonganNya. “Ya, hidupnku hanya tergantung pada Tuhan. Sejak kecil aku memang selalu ingin mencari kebenaran Tuhan dengan belajar Alkitab.”, Adi seperti berkata pada dirinya sendiri. Karena itu setiap ada ulangan pelajaran agama di sekolah nilainya selalu tinggi. Ia selalu tertarik membaca Alkitab. Awalnya karena ia senang dengan ceritera-ceritera perang dan film perang. Dalam Alkitab banyak kisah-kisah perang dengan pahlawan-pahlawannya yang perkasa. Seperti Musa, Gideon, Simson, Debora, Daud, dan para panglima-panglimanya. Banyak membaca Alkitab ini makin lama makin membuatnya lebih mengenal Tuhan! “Ternyata Dialah sesungguhnya yang berperang di balik semua keperkasaan itu. Dia ternyata bukan hanya kuat perkasa, tetapi juga mahakuasa dan maha kasih. Selalu menyertai umatNya. Lebih-lebih yang menderita seperti aku sekarang. Aku percaya Yesus selalu menyertai dan menolong”, Adi merenungkan sejenak kisah-kisah Alkitab seperti yang pernah dibacanya.. Siang itu Adi kembali tekun membaca Kitab Suci. Alkitab yang diberikan kakaknya seorang bintara sebelum berangkat ke garis depan di saat perang Dwikora. Adi terkesan membaca Kitab Mazmur pasal 139 : 1-12. Mazmur ini memberitakan, Roh Tuhan selalu menyertai umatNya. Baik ketika duduk, berdiri, berbaring, di kegelapan, diujung laut, di langit bahkan di tempat orang mati. Adi membaca ayat-ayat ini berulang-ulang bahkan menghafalnya. Luar biasa. Kalau begitu disinilah makna nama Imanuel, Tuhan beserta kita. Nama yang disampaikan malaikat Gabriel kepada Maria, untuk Anaknya,. “Oh, kalau begitu Ia juga menyertai aku dan tahu keadaanku. Apalagi aku senantiasa menyeru namaNya.” kata Adi dalam hatinya. Ketika tangan-tangannya yang lemah dan matanya yang kurang tidur malam hari makin redup, Adi tertidur. Alkitab tetap didekap di dadanya. Wajahnya menampakan kedamaian dan ketenteraman. Di pagi hari yang cerah Adi diijinkan keluar duduk-duduk di taman. Kepala masih pening-pening. Semua bangunan sekeliling nampak masih seperti bergerak turun naik. Tetapi tidak lama setelah cahaya matahari pagi menyelimuti tubuh Adi, tiba-tiba sesuatu yang aneh dia rasakan ! Segala sesuatu seperti terdiam. Bangunan, pohon-pohon tak lagi turun naik. Seperti laut berombak, tiba-tiba berubah tenang. Burung-burung kutilang beterbangan. Bercumbu di sela pohon pepaya yang banyak terdapat di sekitar rumahsakit. Di salah satu pintu rumah sakit, nampak banyak orang keluar-masuk. “Mereka adalah orang-orang yang masih sehat dan bebas. Bisa kemana saja seperti burung-burung itu”, pikir Adi. Ia ingin segera keluar dari rumah sakit ini. Ingin menikmati kebebasan. Ia ingin makan lebih banyak untuk memulihkan kembali tubuhnya yang sangat kurus agar bisa normal seperti semula. Dan ingin segera mengejar keterlambatan kuliahnya. Juga praktikum - praktikum mikrobiologi dan kimia analisa. Kesehatannya memang sudah berangsur membaik. Ia tahu sebenarnya ia belum akan sanggup merawat dirinya sendiri. Tapi ketika perawat datang memeriksanya, ia menyampaikan pesan dokter, Adi boleh pulang. Tetapi di rumah harus tetap minum obat dan menjaga pola makan dan tidak lupa balik kontrol ke rumah sakit Pagi-pagi, Adi mengemas pakaian dalam ransel dan diberikan persediaan obat. Ia melangkah meninggalkan rumah sakit yang penuh misteri itu. Soal biaya rumah sakit tak jadi masalah karena untungnya telah diselesaikan petugas kanto sebelum koran Pelopor dilarang. Untuk keperluan sehari-hari, belum ada masalah. Gaji yang diterima sebelum dan selama dirawat masih utuh. Ditambah enam puluh persen gajinya selama dua bulan dirawat. Ia sengaja mengambil jalan belakang sebab biasanya jalan depan selalu ditutup. Di gang menuju zal tempatnya dirawat ada peringatan tertulis “awas typhus abdominalis ! Berbahaya”. Mungkin ini sebabnya orang enggan ke zal mereka.. Berbeda dengan pasien-pasien lain, tak ada yang menjemput. Semula ia berharap sekali Nur akan datang menjemputnya. Tapi lagi-lagi tidak muncul entah mengapa. Dengan ransel tergantung dibahu Adi menuju jalan raya, melintasi halaman rumah sakit yang luas. Lututnya terasa kaku. Rasanya belum terlalu kuat menopang tubuhnya yang juga masih lemah. Napasnya agak sesak. Telinga seperti bergema dan kepalanya pening. Bayang-bayang yang menakutkan di rumahsakit, mulai timbul kembali di kepalanya. Apakah mahluk-mahluk aneh di rumah sakit itu dapat memantau keberadaannya ? Melalui kabel-kabel listrik dari rumah sakit itu ? Di sebuah warung Tegal ia lihat ada mentimun muda. Segar, pikirnya. Ia singgah. “Sudah lama aku terbelenggu dengan diet yang keras”, katanya dalam hati. Entah berapa jam Adi duduk disitu. Dan tak ingat lagi berapa buah mentimun dan ubi rebus yang sudah dia habiskan. Dari warung ia langsung naik oplet kemudian bertukar bus dekat pangkalan Blok M.. Bus penuh sesak. Penumpang berdiri berdesak-desakan dengan anak-anak yang baru pulang sekolah. Ditambah pegawai yang baru pulang kerja. Adi tahu badannya masih sangat lemah. Tapi mana ada bus yang penumpangnya sedikit lengang. Semua penuh penumpang berjejal. Adi terpaksa. berdiri. Goncangan bus membuat kepalanya tambah pusing. Dan ketika kondektur akan menyerahkan pengembalian uang karcis, penglihatannya gelap dan keseimbangan tubuhnya hilang. Sisa-sisa kesadarannya ia gunakan untuk cepat-cepat melorotkan badannya ke bawah. Duduk jongkok diantara kaki-kaki orang agar tidak terjatuh menimpa penumpang yang duduk di kursi di belakangnya. Melihat rubuh, ada tangan seseorang menahan pundaknya. “Duduk di sini mas”. Ada suara perempuan samar-samar terdengar. Saat bersamaan, penumpang laki-laki yang memegangnya tadi membantunya duduk. Ia merunduk terus. Keringat mengalir di pipi dan membasahi bajunya. “Sakit Mas ?”, tanya perempuan yang memberikan kursinya tadi. “Ya Bu”, jawab Adi sambil menyekah keringat di mukanya. “Terima kasih. Baru keluar dari rumah sakit”.. Ia menatap orang yang menolongnya. Oh, wanita yang menawarkan kursinya ternyata seorang perempuan hamil tua. Pembicaraan terhenti karena bus telah menepi di halte depan Unversitas Indonesia. Adi turun dan istrahat sebentar di bawah pohon rindang. Adi lelah, lapar dan haus. Ada sebuah warung di dekat tempat itu. Ia segera pesan makanan. Tapi, ah, makanan ini pedas, terlalu pedas. Dokter, mantri sampai perawat-perawat telah berpesan jangan makan yang pedas-pedas. Sebenarnya ia ingin mematuhi pesan ini, tetapi makanan ini sudah telanjur dihidangkan. Sayang kalau dibuang. Lagi pula ia harus berhemat. Akhirnya dia makan juga. Selesai makan kemana ? Ke rumah yang dikontrakan suratkabar Pelopor di Paseban ? Tapi sebagian barang-barangnya masih di Grogol. Maka Adipun memutuskan tetap ke pondoknya di Grogol.. Adi merasa lelah dan terus tidur. Tetapi badannya terasa panas dan kepalanya seakan berputar-putar. Seluruh anggota tubuhnya terasa kaku. Malam tiba tetapi ia tetap tak dapat tidur. Bayang-bayang mahluk yang mengejarnya kembali menghantui pikirannya. Di luar seperti ada orang memanggil-manggil. Adi keluar. Dingin dan becek. Tanah menempel pada sandalnya menandakan baru habis hujan. Akhirnya terang matahari pagi mulai nampak lewat lubang-lubang angin. Adi mencoba bangun tetapi kekuatan badannya hilang samasekali. Kepalanya masih pusing. Ia menyadari keadaannya kembali sangat buruk. Ia merintih dan air matanya terasa panas membasahi pipinya. Tetapi tak ada gunanya menangis. Badannya semakin lemas, mungkin karena lapar. Mau tak mau harus mencari makanan. Dengan hanya memakai kaus, celana panjang dan sandal jepit Adi memaksakan diri datang ke sebuah warung kecil. Hanya ada pisang goreng dan kopi. ia sangat lapar dan terpaksa makan apa adanya saja. Kepala semakin pusing. Adi teringat pesan dokter, hari itu dia harus membawa obat suntik untuk disuntikkan.di rumah sakit . Tapi rumah sakit Fatmawati terlalu jauh. Dan kondisi tubuhnya makin lemah. Karena itu Adi putuskan ke Rumah Sakit Tjiptomangunkusumo saja di Jalan Diponegoro. Ia tak sempat lagi pulang mengganti pakaian dan kebetulan obatnya ada dalam kantong celananya’. Sampai di depan rumah Sakit, loket belum buka maka ia putuskan langsung saja ke rumahsakit Fatmawati. Naik oplet dari Blok M, ia merasa benar-benar sudah kepayahan sehingga minta diturunkan. Maksudnya mau balik pulang saja tidur di pondoknya. Tapi Grogol sudah terlampau jauh. Kaki rasanya sudah seperti lumpuh. Pagi itu dia hanya duduk diam, jongkok pas di depan pintu pagar sebuah rumah. Seorang ibu melihat dan kemudian memanggil suaminya. Keluarga itu nampaknya menaruh belas kasihan. Mereka mempersilahkan Adi masuk. Tetapi sebelum itu ia ditanyai beberapa pertanyaan. Mungkin ingin tahu apakah Adi masih waras atau tidak. Akhirnya keluarga baik hati itu mengantar Adi ke sebuah kamar kecil di belakang dekat kamar mandi pembantu. Bibi tua pembantu disitu disuruh merawat Adi. Tiap hari dimasakan bubur halus dengan sayur bayam. Mereka melihat ada resep obat di kantongnya. Maka mereka pun lalu mengurusnya ke rumah sakit Fatmawati. Setelah seminggu kesehatan Adi terasa mulai ada perubahan. Hanya malam hari gangguan-gangguan seperti di rumahsakit terkadang masih ada. Malam hari pertama seperti ada yang membawa Adi memanjat tembok setinggi sekitar dua meter di belakang rumah lalu melompat ke bawah. Jatuh di semak-semak di tanah kosong. Adi berjalan sampai di ujung jalan. Suasana masih gelap. Belum ada lampu penerangan jalan. Tetapi lampu-lampu jalan besar sudah nampak terang benderang di kejauhan. Adi merasa kedinginan. Tiba-tiba sadar dimana ia berada. Ia cepat-cepat pulang. Untung pintu pagar tidak terkunci dan ia bisa masuk lagi lewat teras samping. Bermimpi ? Rupanya tidak. Karena sandal yang dipakainya dan bekas-bekas jejaknya berlumpur. Bukti bahwa ia memang benar-benar keluar malam itu karena sebelumnya turun hujan. Ketika mulai membaik ia menemui suami isteri yang baik hati itu. Mengucapkan terima kasih dan mohon pamit. Kini ia akan langsung ke rumah kontrakan suratkabar Pelopor sebelum dilarang terbit. Masa kontrak rumah itu masih setahun lagi. Kondisinya lebih baik. Lagi pula di situ sudah tinggal beberapa teman sekerjanya di Pelopor dahulu. Koran Pelopor dilarang terbit setelah ada pergantian penguasa. Wartawan-wartawan dan karyawan lainnya ditampung di koran yang baru diterbitkan. Tapi pengelola suratkabar baru itu tak bersedia lagi menerima Adi bekerja. Alasannya semua lowongan sudah terisi. Tapi untunglah pada suatu hari ia berkenalan dengan seorang mahasiswa di kawasan Salemba. Anak Padang, namanya Ardi, mirip-mirip namanya. Dalam ngobrol mengenai daerah asal masing-masing, Adi mengatakan keinginannya untuk bekerja – dan apakah Ardi pernah mendengar ada lowongan ?. Ardi tidak memberikan jawaban pasti. Tetapi ia mengajaknya ke kantor suratkabar yang sedang dibacanya. Sekretaris perusahaan koran itu sangat ramah. Suatu sifat khas orang Solo. Namanya Satyagraha Hurip. Tapi biasanya ia lebih akrab dipanggil Oyk oleh teman-temannya sesuai nama samaran dalam buku-buku novelnya. Singkatan dari ‘Orang yang kecil’ Ternyata di koran itu memang sering berdatangan para penulis terkenal dan Budayawan. Jawaban Oyik ternyata diluar dugaannya. Jauh melebihi dari yang diharapkan. Langsung diterima .”Kalau bisa mulai bekerja hari ini”, kata wong Solo itu ramah. Bukan main bersyukurnya Adi. Tanpa pikir panjang lagi ia langsung setuju diajak ikut naik mobil pik up ke percetakan. Tiga tahun kemudian kejadian serupa tapi tak sama terulang. Suratkabar Harian Kami bersama beberapa suratkabar lainnya dilarang terbit. Terpaksa Adi menganggur untuk kedua kalinya. Ia masih dalam status rawat jalan dan harus membeli obat suntik setiap minggu. Untunglah masih ada sedikit sisa gaji selama dirawat. Tiba-tiba Adi teringat Nur. Heran mengapa gadisnya itu tidak pernah ada kabarnya lagi. Iapun pergi ke rumah Nur. Tapi alangkah kecewanya. Penghuni rumah itu sudah berganti orang lain. Rumah sudah dijual. Dan penghuni baru itu tidak tahu pemilik lama pindah ke mana. (bersambung – Drama cinta Nur dan Husni)

Contact Form

Name

Email *

Message *