Sunday, April 26, 2020

Novelku Terbaru : NURHAYATI (5) : ANAK MAKASAR NAN BAIK HATI

Duduk bersamamu seperti ini menyenangkan Nur”. Bisik Husni sambil meraih tangan Nur. “Kau ramah, pintar dan cantik lagi. Enak diajak ngobrol. . SekIrmanya hubungan ini bisa kita lanjutkan.......” “Kau juga baik dan santun Husin.” Sore itu pantai Losari tidak lagi begitu ramai. Angin laut bertiup sepoi-sepoi membuat suasana lebih sejuk. Di sana-sini hanya nampak beberapa anak berlari-larian. Nur membiarkan saja tangannya digenggam Husni di pangkuannya. Mukanya terarah ke Pulau Kahyangan tak begitu jauh dari pantai. Sesekali ia menundukkan kepala seperti berpikir. Tangan kirinya menopang kepalanya. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya, menarik tangan dan balik dia yang memegang tangan Husni. Matanya menatap tajam ke wajah Husni. “Aku tahu, kau orangnya baik Husni. Tapi.....”, Husni memotong, “tapi apa Nur ?” “Kau belum tahu bagaimana aku di sini. Aku tidak punya siapa-siapa. Aku telah kehilangan orangtua.. Juga seseorang yang ......kusayangi.” “Maksudmu ?, tanya Husni, merasa seperti ada orang ketiga di hati gadis ini. Nur tidak menjawab, hanya menunduk. Ia terbayang Adi yang ia tinggalkan ketika kesehatannya belum begitu pulih. Pernah ia bermimpi melihat Adi di Pantai Marina naik perahu tersenyum melambai-lambaikan tangan mendekati kade untuk mengajaknya ikut naik bersama. Tetapi tba-tiba datang ombak menggulung perahu mereka. Nur dapat diselamatkan tetapi Adi belum ditemukan sampai ia terkejut bangun dan duduk. Ternyata hanya mimpi. Namun mimpi itu terus-menerus menghantuinya di Makasar. Apakah sakitnya kambuh lagi, ataukah sudah.....? “Baiklah kalau begitu. Ceriterakanlah apa yang ingin kau ceriterakan”, Husni kemudian menghentikan lamunannya. Sekali-sekali Husni manggut-manggut. Menatap wajah Nur yang mulai menitikan air mata. Ia seperti paham apa yang dIrmasakan gadis di sampingnya. “Aku mengerti sekarang Nur. Aku tahu apa yang ingin kau katakan. Tak apa-apalah”, kata Husni akhirnya. “Ya , seperti kubilang tadi, kau orangnya baik. Tapi saat ini aku belum dapat berpikir dan memutuskan apa-apa. Belum dapat memberi jawab ya atau tidak. Aku masih selalu memikirkan ayah dan ibuku. Bagaimana mereka sekarang. “Kau tidak perlu menjawab sekarang. Aku akan menunggumu sampai kau dapat memikirkannya dengan tenang.” Husni coba menghibur. “Untuk sekarang ini aku harapkan pengertianmu. Kita sebagai teman baik saja dulu. Sebagai sahabat.” Ia menunduk, terang-terangan menangis di pangkuan Husni. Tidak jelas apakah karena masih terbayang-bayang wajah Adi dalam mimpi tadi atau sedih karena ikut merasakan kekecewaan Husni ? “Baiklah. Kalau begitu”, jawab Husni ikut menitikan air mata, sedih. “Kau telah ceriterakan semuanya. Adakah sesuatu yang dapat kuperbuat untukmu ?”, tanya Husni pelan. “Kalau tak salah engkau rindu sama ibu dan ayahmu. Maksudmu ingin balik lagi ke Jakarta ?”. “Tapi kau tahu kan”, jawab Nur kembali duduk. “Saya tinggal di mana sekarang. Ikut sama keluarga Om Sikin sebagai orangtua angkat saya. Apakah mereka akan mengijinkan. Lagi pula ongkosnya. Dan akan ikut siapa ?”. “Ya,....nanti kita coba cari jalan keluarnya.”, kata Husni sambil berdiri. “Sudah malam, mari kita pulang”, lanjut Husni seraya menarik tangan Nur dan menggandengnya pulang ke rumah. “Saya ada paman di Jakarta. Pak Maka. Andi Makasau. Barangkali saya bisa bantu. Tapi akan saya hubungi dulu”, kata Husni memberi harapan sebelum berpisah. iba di Jakarta. Semuanya nampak sudah berubah. Begitu juga bentuk rumah orangtua Nur. Rupanya rumah itu sudah dijual dan penghuninya sudah orang lain. “Ma’af bu. Ada ibu ?”, tanya Nur ragu-ragu sebab mengIrma mungkin wanita ini pembantu rumah tangga. “Mbak ini siapa ?. “Saya Nur, ayah saya pak Haji Sanusi. Kami dulu tinggal di sini”. “Oh, Pak Sanusi”, jawab ibu itu paham. “Pak Sanusi dan keluarga sudah tidak di sini.. Rumah ini sudah kami beli.” “Kapan dibeli bu ?“. “Dua tahun lalu.” “Sekarang orangtua saya di mana bu ?” “Kami tidak tahu. Sebelum kami pindah ke sini, rumah ini sudah dikosongkan”. Dengan lunglai, Nur pamit digandeng Husin. “Gimana ini Nur. Kita kembali lagi ke Makasar ?”, Husin bingung. “Tidak, saya mau di Jakarta saja”, jawab Nur tegas. “Tinggal sama siapa ? “Saya kost saja”. “Tidak”. Jawab Husin. “Kau tinggal sama keluarga paman saja. Saya kIrma mereka tidak keberatan. Kau lihat. Dari kemarin mereka baik sekali padamu, bukan ?”. Tiba-tiba dari rumah sebelah ada orang memanggil Nur. “Nur ! kemana saja “, seorang perempuan sebaya Nur mengajaknya mampir. Wati teman tetangganya dahulu datang berlari-lari kecil menyambutnya. Mereka berangkulan erat-erat. Kemudian tertawa satu sama lain meskipun air mata masih menggenang di wajah mereka. “ Famili ?”, tanya Wati kepada Nur sambil menoleh ke Husin yang sedari tadi hanya berdiri menyaksikan drama pertemuan kedua bersahabat itu. “ Bukan, teman baik’’, jawab Nur sementara Husin menguluran tangan berjabat tangan dengan Wati, “Husin”, ia mempekenalkan diri. Wati senyum manggut-manggut seraya melirik kepada sahabatnya yang juga ikut tersenyum. “Hayo mari semua ke rumah”, Wati mengajak mampir sambil masuk rumahnya teriak-teriak : “Ma...!.Pak......, ada Nur Ma ! Nur pulang...”. Sekejap ayah dan ibu Wati yang diikuti adik-adiknya serentak keluar menyambut Nur. Sambil memeluk Nur, ibu separuh baya itu coba menenangkan. Sebab ia tahu benar berbagai musibah yang pernah menimpahnya dan kedua orangtuanya. Mereka sendiri belum tahu apa yang terjadi dengan Nur setelah kepergiannya. Dan apakah Nur sudah tahu tentang kedua orangtuanya yang sudah tiada. Demikian juga perampokan dan penculikan itu. “Sabar Nak....., semuanya akan baik-baik saja”. “Ia Tante....”, kembali ia merebahkan diri ke rangkulan ibu Wati. “Tapi ibu dan ayah tinggal di mana sekarang Tante....?, Nur mendongakan kepalanya, ingin cepat mendapat jawaban. Nani, ibu Wati sejenak terdiam melihat ke arah suami dan Wati, kemudian menggandeng Nur duduk ke sebuah bangku panjang dekat mereka. “Sebaiknya kau istrahat saja dulu nak..., kau pasti lelah. Engkau dapat menemani Wati di kamarnya, ya...?” Saat yang sama Wati muncul dari dalam membawa tatakan berisi beberapa gelas minuman air putih. “Benar Nur... kamar saya besar..., cukup untuk kita berdua”, sambut Wati senang. Tapi Nur tidak sabar, bahkan ia mulai menduga ada sesuatu yang disembunyikan. Kalau tidak mengapa ibu sahabatnya ini seperti mau mengelak. “Te... sudah lama saya tidak ketemu mereka dan Nur sangat merindukan mereka. Mereka tinggal di mana sekarang ?” Tinggal di mana sekarang ? Wah, apa yang musti kukatakan, sudah tinggal di pemakaman ? Bagaimana harus mengatakan kalau mereka sudah tiada ? Nani, yang dahulu adalah juga teman baik ibunya Nur tidak dapat berkelit lagi sekarang. Adik-adik Wati nampak mulai sedih dan terharu. Cepat-cepat diajak masuk oleh ayah mereka. Takut malah mereka yang menangis duluan nanti. Tinggal mereka bertiga : Nur , Wati dan ibunya. Agak berjauhan, Husin tetap duduk terdiam seperti patung. Dipersilahkan mengambil minuman yang sudah terhidang didepannya tapi dia hanya mengangguk sopan. “Kita harus tunduk dan menerima takdir dari Yang Mahakuasa nak....” Sambil mengelus-elus bahu Nur, Ibu Nani melanjutkan, “dan kita harus tabah dan sabar...”. “Maksud tante ?” “ Mereka....., mereka.....”, “mereka apa, tante...... Sudah tak ada ?”, Nur cepat memotong. “ Ya...., seperti itulah.....” “Tidak..................!!., tidak.........”, teriaknya histeris. “Ini Nur Ma.....! Ini Nur Pak..... ampuni Nur Papa. ! Mengapa kalian tinggalkan Nur sendiri....”, suaranya melemah kemudian pingsan. Semua terkejut. Husin sekejap bangkit membantu ayah Wati mengangkat Nur berbaring ke tempat tidur Wati. Ibunya berlarian membawa minyak eau de cologne Digosok-gosokannya ke hidung Nur sementara Wati disuruhnya menggosokan minyak kayu putih di pundak Nur. Husni dan ayah Wati tetap berdiri terpaku. Menunggu barangkali Nur perlu dibawa ke rumah sakit ? Untunglah Nur dapat siuman kembali dan minta diberi minum. Tak lama kemudian ia bangun dan perlahan-lahan melangkah kembali ke ruang tamu diapit Wati dan Ibunya. “Sudah lumayan sekarang... Maaf bapak dan tante, karena Nur sudah terganggu tadi.....”, sambil kedua tapak tangannya dIrmapatkan meengarah kepada kedua orangtua tua sambil menunduk seperti menyembah. “ Oh, tidak apa-apa. Kami bersyukur kau sudah lebih baik”, jawab kedua orangtua itu cepat sambil geleng-geleng kepala. Sambil seperti berpikir beberapa saat, Nur memandang Husin lalu memanggilnya mendekat. “Sini Sin !”, sambil tangan kanannya memberi isyarat. “Ada apa ?” tanya Husin heran setelah duduk disampingnya. “Kau memang orang baik. Bukan saja sebagai teman baik atau sahabat, tetapi sekarang kau saudaraku. Kau kakakku !” Husin kaget tak menyangka Nur akan berbuat begitu. Lebih terkejut lagi ketika Nur berkata,”Saya ada peniti disini”, sambil mencopot kancing peniti dari bajunya. “Kau mau apa Nur ?”. tanya Husin berdebar-debar. Tapi Nur tidak menjawab. “Mana tanganmu”, seraya menarik tangan kanan Husin yang mulai agak ketakutan. Kemudian Nur menusukkan ujung peniti itu ke ujung jari telunjuknya sehingga keluar darah. “Sekarang gilIrmanmu. Kau kan laki-laki..., bukan ?” . Meski sedikit ngeri mendapat tantangan seperti itu, akhirnya Husni dengan agak gemetar menirukan juga seperti dilakukan Nur. Dan ketika darah hendak menetes , cepat-cepat Nur menempekan ujung jarinya yang juga sudah berdarah itu ke ujung jari Husin yang berdarah tadi. Dengan demikian darah mereka jadi menyatu. Nur lalu merangkul Husin yang tadi mulai was-was barangkali Nur sudah terganggu jiwanya oleh stress mendalam yang baru saja dialaminya. Semua baru bernapas lega ketika Nur dengan tenang menjelaskan “Inilah cara Nabi ketika mulai menjalin persaudaraan dengan sahabat-sahabat beliau..”.”Dan...”, kepada Husin ia menambahkan” persaudaraan kita ini , keluarga Bapak Ibu di sinilah menjadi saksinya”.Wah wah wah. Beberapa saat semua bisa lebih santai. Husin maupun Nur sudah bisa minum tapi belum menyentuh kue-kue tradisionil yang dihidangkan. “Sebenarnya, Nur masih ingin tahu sebab orangtua saya sampai meninggal kedua-duanya . Mereka di makamkan di mana....”. Khawatir akan terulang kejadian seperti tadi, Ibu Wati segera memotong. “Bisa, nanti diceriterakan semuanya – tapi tidak sekarang. Masih banyak waktu. Kedua beliau dimakamkan di Tanah Kusir. Nanti kalau Nur sudah tenang, kita ziarah ke sana. Istrahat saja dulu”. Husin nampak mengangguk ikut mendukung. “Baik tante, terima kasih”, jawab Nur setuju. Sudah menjelang sore dan Husin mulai melihat-lihat jam tangannya. “Jadi, Nur mau bersama Wati saja di sini . Apakah masih perlu saya ikut menemani atau saya boleh pulang ?”. Wati, ibunya dan Nur berbisik berunding sebentar. “Nanda Husni tinggal di mana di sini ?”. “ Di Tanjung Priok sama Paman saya”, jawab Husin. “Oh...jauh. Barangkali sebaiknya kai ikut istrahat saja di sini. Besok pulang”. “Terima kasih tante. Tapi saya bilang tadi sama Paman mau pulang. Kalau Nur tidak apa-apa, saya sebaiknya balik. Takut ditunggu”. “Ya tante, saya baik-baik saja sekarang. Dia bisa pulang, nanti ditunggu-tunggu”. “Baiklah, tapi sering-seringlah ke sini ”, pesan ayah Wati.. Husin bangkit berdiri pamit lalu berjalan diikuti Nur dan kedua orangtuanya sampai depan pintu pagar. “Terima kasih Sin, jangan lupa besok ke sini” sambil membalas lambaian tangan Husin dari dalam mobil yang sudah mulai bergerak.(bersambung – Pertemuan Nur dan Adi yang mengharukan).

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *