Sunday, April 26, 2020

Novelku Terbaru : NURHAYATI (3): KISAH CINTA NUR DAN ADI

Adi mendengar kabar hilangnya Nur setelah meninggalkan rumah sakit. Iapun ikut berupaya mencari informasi. Tapi tak berhasil. Apalagi kejadiannyya sudah lama.Sudah ditanyakan ke kantor-kantor polisi tetapi mereka juga belum berhasil menemukan. Pantas saja Nur tidak muncul-muncul saat-saat kritisnya di rumah sakit. Untuk menghilangkan kekalutan pikIrmannya ia beberapa kali ia sengaja pergi menyendiri ke Taman Surapati Menteng. Duduk di bangku marmar tempat mereka biasa dia duduk bersama dahulu. Dia bisa duduk di situ merenung berjam-jam. Dulu mereka kerap mampir istrahat di situ sewaktu mengantar atau menjemput Nur pulang dari tempat senam kebugaran di Cikini. Sekarang dia sendirian saja. Sambil senyum-senyum sendiri ia ingat ketika suatu kali ia menjemput dan akan mengantar pulang Nur pulang. Sebelum pulang, mampir dulu ke tempat tinggal Adi di Paseban. Keluar dari rumah dengan naik motor - sekelompok anak muda mengganggu mereka. “Cihuuui.... montok !”, teriak salah seorang, sementara yang lainnya tertawa. Adi tidak marah. Sebaliknya ia tersenyum dan melambaikan tangan. Memang Nur ketika itu tidak sempat berganti pakaian. Tidak juga memakai jaket. Bentuk tubuhnya yang montok memang nampak begitu jelas dalam baju kaosnya yang hitam lengan panjang namun ketat. Di bawahnya ia memakai celana jean warnah putih.. Suatu waktu Adi pernah pura-pura mau menggoda ketika Nur berbaring di tempat tidurnya yang hanya pas-pasan untuk satu orang. Adi meraba pinggangnya yang masih terbungkus baju kaos senam, tapi Nur mengingatkan : “Awas dosa”. Dan Adi memang tidak berniat sungguh-sungguh. Hanya tertawa. Nur sangat dicintainya dan pikirnyya, kelak akan menjadi isterinya. Seorang isteri yang terhormat. Ia yang akan melahirkan anak-anaknya. Ia tak mau menodai calon isterinya. Apalagi kalau kelak ia juga memiliki anak-anak perempuan. Ia mau menjaga kesucian pernikahan. Makanya ia selalu berusaha membatasi diri. Semula hubungan Adi dan Nur biasa saja. Mereka pertama berkenalan di sebuah perpustakaan. Kedua-duanya memang senang membaca. Terutama Novel hasil karya para sasterawan. Adi menukai novel-novel karangan Hamka, Nur Sutan Iskanar, Armin Pane dan lain-lain. Demikian juga karya-karya pengarang asing seperti William Shakespeare. Demikian juga ceritera Wayang seperti Mahabrata dan Barathayudha. Meskipun Adi sudah duduk di kelas terakhir SMA dan Nur dibangku terakhir SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun mereka juga rajin mengikui kursus-kursus. Mulai dengan Kursus Kader Masyarakat (KKMA) kemudian KKMB yang diselenggarakan Jawatan Pendidikan Masyarakat . KKMA diakui setingkat dengan SMP sedangkan KKMB setingkat dengan SMA.Mata pelajarannya umumnya ilmu Sosial seperti etika, norma-norma pergaulan, kepemimpinan dan ilmu pendidikan.Selama kursus itulah hubungan pribadi Nur dan Adi makin erat. Mereka sering belajar bersama dan saling membantu dalam segala hal. Sebelum berkenalan dengan Nur, Adi tinggal bersama kakaknya yang perempuan Wely. Suaminya bekerja di sebuah perusahaan konstruksi dan banyak menerima borongan membangun perumahan. Kakaknya menempati rumah sederhana yang dibangun bersama teman suaminya di atas sebidang tanah kosong di kawasan Cilandak Jakarta Selatan. Rumah itu dibangun kemudian dibagi dua untuk mereka tinggali keluarga masing-masing. Letaknya tidak terlalu jauh dari rumah sakit Fatmawati. Suatu hari kakaknya menerima surat dari kampung di Sulawesi. Ayahnua sakit keras. Kalau bisa mereka diharapkan pulang. Rupanya ayah mereka hanya sakit malaria dan segera dapat disembuhkan. Meskipun ayah mereka sudah sembuh, Weli dan suaminya memutuskan tidak akan kembali lagi ke Jakarta. Mereka akan tetap di kampug menemani orangtua serta mengolah tanah persawahan mereka. Tinggallah Adi sendiri. Bagaimana kelanjutan sekolahnya ? Kepada siapa lagi ia berharap.? Namun Adi bertekad untuk tetap sekolah dengan berusaha mencukupkan kebutuhan sendiri. Apalagi sudah di kelas tiga SMA. Setahun lagi diharapkan selesai. Baik nafkah sehari-hari, pakaian, biaya sekolah dan kebutuhan lainnya harus dia cari sendiri. Untung ada rumah sendiri serta kebun singkong dan pisang peninggalan kakak dan pamanya. Itulah yang menjadi modal dasarnya. Dengan itu dia dapat tetap makan. Ubi kayu dapat dia rebus untuk dimakan. Tapi juga dapat diparut dan dijadikan sagu. Sagu adalah makanan pokok nomor dua penduduk di kampung Adi sesudah beras. Soal makan, Adi merasa tidak kekurangan. Malah berkelebihan. Maka ia berpikir bagaimana kalau dijual. Namun ia enggan memikul singkong ke pasar. Mungkin penjualannya memerlukan lebih banyak waktu. Sebagai gantinya ia kei beberapa warung kue yang biasanya menggunakan singkong sebagai bahan. Ia berani menawarkan harga yang lebih murah, lagi pula masih segar. Usaha ini ternyata berhasil. Bahkan pada akhinya mereka sendiri yang datang ke kebunnya. Mereka senang karena Adi menjual per pohon. Disamping mendapat singkong mereka juga boleh mengambil daunnya untuk sayur atau untuk dijual lagi. Pisang Ambon dan pisang sepatu cepat laku di pasar. Karena itu, kalau sudah masak, Adi memikulnya ke pasar ketika hari masih subuh. Ia letakkan dagangannya di lantai pasar terbuka itu. Dekat-dekat dagangan tidak sejenis milik orang lain yang mempunyai alat penerangan lalu berdiri agak jauh. Kalau ada yang tertarik, Adi cepat-cepat datang melayani. Adi khawatir ada teman-teman sekelasnya datang belanja ke pasar dan memergokinya berjualan di pasar. Ia malu bila dijadikan olok-olokan di sekolah sebagai pedagang pasar. Karena itu, bila hari sudah mulai terang, sisa dagangannya diobral atau dibawa pulang untuk dibawa kembali ke pasar hari berikutnya. Kadang-kadang Adi memakai pakaian penyamaran seperti pedagang-pedagang biasa. Ia selalu berharap janganlah kIrmanya ada orang yang mengenalnya secara pribadi, khususnya teman-teman sekolah. Apalagi teman puteri. Teman-teman sekelas Adi sebenarnya sudah tahu kalau Adi mempunyai kebun. Awalnya ketika direktur sekolah menganjurkan membuka kebun sekolah. Dan yang praktis adalah membuka kebun singkong. Soal bibit ? Adi menyanggupi berapa saja. Maka teman-temannya pun minta diajak ikut mengambil bibit ke pondoknya. Sebenarnya Adi malu kalau teman-teman, yang sebagiannya dari keluarga berada datang ke pondoknya. Apalagi di situ ada puteri seorang Bupati. “Musin hujan ini jalannya berlumpur “ , kata Adi. “Boleh, tapi cewek-cewek tidak boleh karena licin”. “ Eh, ngana so bisa kawin kalau begini”, kata teman sesama asal dari Sulawesi sesampai di kebun dan pondoknya. Adi hanya tertawa saja. “Tapi dalam hatinya ia berpikir, mungkin juga”, ia teringat pada Nur. Sejak itu jadilah Adi sebagai penyumbang singkong setiap kali teman-teman sekolahnya ingin makan kolak. Biasanya sehabis kerja bakti atau berolah raga. Melihat hasilnya memuaskan, Adi memperluas lagi kebunnya. Bukan saja diperluas tetapi juga mencoba menanam tanaman laku dijual lainnya seperti kacang tanah. Di kampungnya, kacang tanah merupakan salah satu sumber menghasilkan uang yang bagus. Dijual berupa kacang kulit per kaleng minyak tanah. Dalam tempo tiga bulan sudah dapat dipanen. Dia berpikir, kalau hasilnya bagus dapat dijual ke Mines, anak tetangga sebelah yang setiap malam menjajakan kacang goseng di depan Bioskop Adi Keayoran Baru Blok A. Nampak kacangnya tumbuh bagus. Tetapi sayang. Meski tanamannya tumbuh baik, hama tikus menggerogotinya setiap malam sehingga akhirnya dihentikan. Rumah dan kebun Adi terletak pada tanah terlantar di lereng bukit. Kemiringan sekitar empat puluh lima derajat, banyak ditumbuhi alang-alang dan semak-belukar berduri. Di puncaknya yang memanjang tedapat jalan setapak dan deretan pohon-pohon jati. Tanah ini seperti tidak bertuan. Ternyata setelah alang-alang dan belukarnya ditebas dan dibakar, dipacul dan ditanami tanahnya cukup subur. Rumput alang-alang dan belukar kemudian berubah menjadi kebun singkong dan kebun pisang yang memberi hasil tak berkesudahan. Pulang dari sekolah, Adi seringkali pula mencari buah-buah kelapa jatuhan di antara semak-semak untuk dimasak menjadi minyak. Minyak itu kemudian djual ke warung. Pohon-pohon kelapa yang tampaknya terlantar seperti tidak lagi diacuhkan pemiliknya tidak luput dari perhatiannya. Sekali seminggu, Adi menyusuri semak belukar di bawah pohon-pohon kelapa terlantar itu. Kalau beruntung ia dapat kembali dengan memikul enam sampai sepuluh buah kelapa kering yang jatuh. Kelapa-kelapa itu diparut, diperas minyaknya dengan air dan kemudian santannya dibiarkan semalam agar airnya mengendap. Hari berikutnya minyak diatasnya ia pisahkan. Air dibuang dan minyak masih mentah itu dimasak lagi sebentar untuk mendapatkan minyak goreng. Biasanya tiap tiga butir kelapa dapat dihasilkan satu botol minyak, tergantung jenis kelapanya. Minyak kelapa itu kemudian dijual ke warung yang sudah menjadi pelanggannya membeli singkong. Pemilik warung ini pertama kali dia kenal ketika baru pulang setelah sua5tu hari Adi mengikuti temannya yang berlibur ke Sukabumi. Dalam perjalanan pulang mereka lewat sebuah desa, yang warganya banyak menjual madu. Desa itu yang berhawa sangat dingin diwaktu malam memang terkenal sebagai penghasil madu. Karena harganya murah Adi membeli beberapa botol. Tentu saja madu asli. Eh, agak tercengang juga Adi ketika dibawanya ke warung langganannya. Pemilik warung berani memberi harga empat kali lipat dari harga pembeliannya. Adi berpikir, mengapa tidak menggunakan kesempatan baik ini. Sayang libur sekolah akan segera berakhir. ”Coba kalau libur”, “ Bisa bolak-balik membeli madu”. Di kaki bukit itu terdapat kali kecil. Di kiri-kanannya terdapat pohon-pohon sagu. Sewaktu-waktu pemiliknya datang mengambil daun-daunnya untuk dibuat atap saung. Atau adakalanya melakukan penebangan pohon yang sudah tua untuk diambil sagunya. Pelepah-pelepahnya dibiarkan berserakan. Bagi Adi itu merupakan sumber rezeki yang memang selalu ditunggu-tunggu. Melalui perantaraan Pudu, adik tetangga yang juga kawan sekerja pamannya dahulu, Adi berkenalan dengan beberapa kontraktor bangunan lainnya. Pada hari-hari libur dan selepas sekolah, pemborong bangunan itu mengijinkan Adi bekerja pada poyek-poyeknya dengan perhitungan jam-jaman Pembayaan upah setiap akhir minggu. Segala macam pekerjaan Adi lakukan. Mengangkut air dari kali untuk pencampur semen, mengikuti truk mengangkut tanah urug , mengaduk semen dan belajar menyusun bata. Nah,pemborong-pemborong ini rupanya senantiasa memerlukan etenit untuk plaond bangunan poyek mereka. Dan yang paling disukai yang terbuat dari kulit pelepah sagu. Mungkin karena warnanya yang coklat mengkilat seperti dipolitur dan tidak luntur. Karena itu harganya lebih mahal daripada eternit bambu. Tahu peluang ini, maka pelepah-pelepah sagu yang berserakan itu dikumpulkan Adi. Kulitnya dilepaskan lalu ia menganyamnya menur motif yang banyak digunakan. Pemborong-pemborong ini mau menampung berapapun dengan hitungan harga per meter persegi. Disamping bekerja bangunan, di hari-hari libur pendek adakalanya Adi juga terkadang mengikuti pekerjaan-pekerjaan borongan. Pernah bersama empat teman, Adi mendapat pekerjaan borongan memaras semak-belukar, merintis pembukaan jalan sepanjang beberapa kilometer. Pernah pula Adi menerima borongan dari Kantor Kelurahan memaras pinggIrman jalan raya di kawasan Pondo Labu Jakarta Selatan. Bahkan mengumpulkan batu beberapa kubik dari kali. Namun Adi merasa seperti dia dicurangi. Hasil pengukuran dari pihak Kelurahan diberitahukan selalu kurang dari panjang jalan yang dikerjakan. Padahal Adi merasa telah mengukurnya seteliti mungkin. Dia sendiri tak diajak ikut menyaksikan pengukuran petugas Kelurahan. Tapi Adi tidak protes. Ia tak mau hubungan dengan Kelurahan terganggu. Karena Adi juga sering meminta bantuan dari mereka. Di rumah - Adi juga memelihara ayam kampung. Ia buatkan kandang dari bambu seukuran kamar. Tapi, sering dibobol musang. Akibatnya ada yang hilang dan yang lainnya beterbangan di tengah kegelapan . Pada malam-malam berikutnya mereka takut untuk tidur lagi di kandang. Mereka naik dan bertengger di atas pohon bambu atau mangga yang tinggi-tinggi. Lama kelamaan menjadi liar dan juga menjadi sasaran pencuri. Untuk peternakan ayam ini sedikitpun Adi tak dapat menikmati hasilnya. Begitulah segala perjuangan Adi untuk memenuhi sendiri kebutuhannya dan membiayai sekolahnya sampai tamat SMA. Adi memang sudah bertekad untuk berusaha mandiri. Tidak mau membebani orangtuanya yang sudah tua ataupun saudara-saudaranya di kampung. Ketika sekali sempat pulang kampung Adi berusaha meyakinkan orangtuanya bahwa ia mampu membiayai hidup dan sekolahnya. Bahkan katanya, ia juga masih bisa menambah pengetahuannya dengan mengikuti kursus-kursus seperti Kursus Kader Masyarakat A dan B. Dengan ijazah itu nanti ia bisa menjadi guru kalau mau. Teman-temannya memang pernah ikut praktek mengajar ke beberapa sekolah, tapi dia sendiri tak sempat ikut karena sedang ikut ujian ulangan sekolah. Orangtuanya mengkhawatirkan Adi yang masih sekolah dan belum bekerja. Mereka menanyakan apakah tidak sebaiknya pulang dan pindah sekolah ke kampung. Permintaan itu bukan tanpa alasan. Belum lama berselang Adi pernah sakit. Ia dIrmawat di rumah sakit. Saat itulah Nur makin sering mengunjungi Adi. Dialah yang selalu datang mengurus keperluannya. Bahkan ketika keluar dari rumah sakit dialah yang menjemputnya. Ketika sampai di rumah Adi demam dan panas. Dicoba dikompres dengan air dingin tidak juga turun-turun panasnya. Obatnya pun sudah diminum. Maka Nur pun berbaring menghimpit tubuh Adi yang tengah meringkuk dalam selimut. “Kutindis kau biar hangat”, katanya pada Adi. Memang tak lama kemudian demam dan panas badannya menurun. Setamat SMA, Adi mulai mencoba mengadu untung melamar kerja di perkantoran. Sebagai lulusan baru yang belum memiliki pengalaman kerja, ternyata tidaklah mudah bagi Adi. Tapi untunglah pada suatu hari ia berkenalan dengan seorang mahasiswa di kawasan Salemba. Anak Padang, namanya Ardi, mirip-mirip namanya. Dalam ngobrol mengenai daerah asal masing-masing, Adi mengatakan keinginannya untuk bekerja – dan apakah Ardi pernah mendengar ada lowongan ?. Ardi tidak memberikan jawaban pasti. Tetapi ia mengajaknya ke kantor suratkabar yang sedang dibacanya. Sekretaris perusahaan koran itu sangat ramah. Suatu sifat khas orang Solo. Namanya Satyagraha Hurip. Tapi biasanya ia lebih akrab dipanggil Oyk oleh teman-temannya sesuai nama samaran dalam buku-buku novelnya. Singkatan dari ‘Orang yang kecil’ Ternyata di koran itu memang sering berdatangan para penulis terkenal dan Budayawan. Jawaban Oyik ternyata diluar dugaannya. Jauh melebihi dari yang diharapkan. Langsung diterima .”Kalau bisa mulai bekerja hari ini”, kata wong Solo itu ramah. Bukan main bersyukurnya Adi. Tanpa pikir panjang lagi ia langsung setuju diajak ikut naik mobil pik up ke percetakan. Sekitar sebulan kemudian ada masalah. Tanah tempat tinggal Adi dan tetangganya termasuk kebunnya sudah akan digunakan oleh pemiliknya. Adi ditawari ganti rugi. Dengan berat hati, Adi menyetujuinya. Namun ia minta waktu sampai ia mendapatkan tempat tinggal baru. Terpaksa Tempat tinggal baru ?. Ada iklan yang menawarkan kamar kost. Dia menulis surat tapi tak ada balasan. Adi memang belum terlalu paham mengenai kos-kosan. Seorang pegawai percetakan memberitahukan akan bekas warung dekat rumahnya Grogol mau dijual. Meski bekas warung itu sangat tidak memenuhi syarat kesehatan terpaksa dia bayar juga karena sudah mendesak. Parit di depan tergenang dan berbau busuk. Sumurnya berdekatan dengan jamban yang terletak di luar dan juga dipakai para tetangga. Adi biasa lebih memilih mandi dan mencuci pakaian di kantor. Sedang untuk air minum dan memasak beli air pikulan. Sejak itulah kesehatannya mulai terganggu. Lebih-lebih setelah bekerja malam di percetakan. Tidak terbiasa terkena angin malam. Dokter yang memeriksa memintanya untuk segera dIrmawat. Adi memilih berobat ke RS. Fatmaati tempatnya dulu pernah berobat. Tapi rumahsakit ini kini jauh dari tempat tinggalnya yang baru di Grogol dan juga tempat kerjanya di Jalan Kramat Raya. Karena itu jarang ada orang datang membesuknya. Baik tetangga ataupun teman sekantor Semua diperiksa. Perut, nadi, mata dan dada. Setelah itu contoh darah diambil. Besoknya urine, faeses dan rontgen. Dalam hati Adi bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih pada petugas-petugas rumah sakit ini. Karena nampaknya mereka benar-benar bersungguh-sungguh untuk mengetahui secara menyeluruh penyakit yang dideritanya.. Suhu badannya tinggi sekali. Mereka memasangi termometer, mengompres kepalanya dengan es. Mereka menungguinya karena Adi sendirian. Rupanya penyakit Adi cukup serius.Semula ia mengIrma hanya malaria bawaan dari kampung seperti pada perawatannya sebelumnya. Di kampungya memang banyak nyamuk karena dekat sawah. Waktu di Sekolah Dasar dahulu ia sering terserang penyakit itu. Tapi hasil ronsen dan laboratorium kali ini, menunjukkan bukan malaria, tetapi Types Abdominalis dan saluran pernapasan. Bahkan telah menjalar sampai ke paru-paru. Dia perlu dIrmawat beberapa minggu. Dan setelah keluar pun, perlu berobat jalan selama paling sedikit dua tahun. Makanan Adi diatur ketat. Tidak boleh menerima makanan dari luar. Pada mulanya tidak jadi masalah. Karena Adi memang tidak mempunyai selera makan. Mereka memberinya segelas minuman seperti cendol tapi tak dijamahnya samasekali. Menu rutinnya, seporsi kecil bubur susu kekuning-kuningan dan segelas jus pepaya. Hanya dicicipi sedikit. Terkadang tidak sama sekali. Adi memang tidak ingin makan apapun. Bubur susu dan setengah gelas sari pepaya, itulah menunya, setiap siang dan sore selama tiga minggu pertama, Adi menggerutu. Lama-lama membosankan.juga. Tidak ada variasinya. Lagi pula, bagaimana makanan ini dapat memulihkan kembali tubuhk yang sudah menyusut.drastis. Terasa seperti tidak makan sama sekali. Obat-obat berbagai jenis yang banyaknya segenggam yang harus ditelan setiap kali lebih terasa masuknya dalam perut. Kini timbul pengalaman aneh. Keringat Adi timbul luar biasa banyaknya. Selimut, seprei dan kasur basah. Kasur dibalik dan keringat disekahnya. Tetapi keringatnya lagi-lagi terus keluar membasahinya. Adi menjadi risih dengan pasien-pasien yang lain. Ia pindah ke tempat tidur di sebelahnya yang sudah kosong. Tapi tidak lama kemudian kasur itu basah lagi. Mengenai biaya rumahsakit ? Untunglah pimpinan kantor Adi cukup baik hati. Selama sakit, gajinya tetap akan dibayarkan sebesar enampuluh persen . Selebihnya akan disisihkan untuk biaya perawatan. Bahkan ketika mendengar lingkungan tempat tinggalnya buruk, iapun diperbolehkan - bila keluar dari rumahsakit nanti - ikut menempati kamar kosong di rumah yang sengaja dikontrak di Jalan Paseban untuk pegawai bujangan. Ada dapur bersama, kamar mandi maupun toilet di luar.. Adi tidak berani mengabarkan musibah ini ke orangtuanya. Takut kedua orangtua itu terus-terusan mencemaskan dia. Selama perawatan itu hanya Nur yang sering datang menghibur, menguatkan dan membawakan apa-apa yang diperlukannya. Gadis yang dahulu dikenalnya di Perpustakaan ini, - dia juga yang selalu menengoknya dalam perawatannya yang pertama. (bersambung-Adi Sakit Berat)

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *