Tuesday, January 27, 2015

LANGKAH MENDESAK PERLU DIAMBIL PRESIDEN DALAM KASUS KPK-POLRI


           
 1. Menyetop pelumpuhan atau pelemahan operasional KPK akibat kriminalisasi sejumlah pimpinannya.
2. Segera menyepakati dengan DPR pengangkatan dengan segera kedua calon pimpinan KPK terpilih yang telah ditunda pengesahannya oleh DPR beberapa waktu yang lalu guna mengisi kevakuman kepemimpinan KPK setelah pengunduran diri sementara pimpinan KPK yang sekarang karena dinyatakan tersangka oleh Bareskrim  Polri.
 3.Bila masih kurang perlu mengangkat “anggota-anggota pengganti” KPK berdasarkan kewenangan Presiden sesuai psl.33 UU No.30 Th. 2002 tentang KPK.
 4. Prinsip : Operasional KPK harus tetap jalan. Bahkan lebih dipergalak  dengan mengangkat figur-figur yang lebih tegas dan keras. Bila perlu dari kalangan polisi militer !!.
     Biar kaum anti KPK tahu, bahwa KPK tidak tergantung pada orang-orang. Setiap satu personil KPK dikriminalisasi, muncul personil KPK yang baru. Sehingga mereka sadar, bahwa taktik kriminalisasi tidak efektif  lagi  untuk memperlemah KPK.
5. Biarkan pribadi para pelapor dan terlapor dan Bareskrim Polri  yang lagi senang meladeni "permainan" ini sibuk dengan urusan mereka. Tetapi sementara itu KPK maju terus.
6.  Kasus saling  lapor-melapor dan "mengkriminalisasi" ini kiranya dapat menyadi peringatan bagi setiap orang agar selalu menghindarkan diri dari perbuatan tercela, karena suatu ketika rekam jejaknya mungkin akan diungkit-ungkit orang
7.  Menyempurnakan Pepres No.17 Tahun 2011 tentang KOMPOLNAS, dengan memperkuat dan mempertegas kemandirianya sehingga mampu melaksanakan tupoksinya mengawasi institusi Polri. Antara lain dengan :

a. Mewajibkan semua lembaga negara khususnya di lingkungan Polri untuk mematuhi semua  apa yang diperlukan Kompolnas dalam rangka melakukan tugasnya, disertai dengan sanksi bila lalai.

b.Memberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan kepada KOMPOLNAS.

c.Meniadakan unsur Pemerintah dalam kepemimpinan organisasi KOMPOLNAS, demikian pula sekretariat dan anggarannya. Maksudnya, agar Kompolnas sebagai institusi penegak hukum terhindari dari intervensi politik, termasuk dari Pemerintah.
8. Karena sudah terbukti prestasinya dan mendapat dukungan luas, sedangkan korupsi tampak cenderung terus meningkat, maka eksistensi KPK  agar dipermanenkan dengan memprosesnya masuk dalam konstitusi.

Hal-hal di atas sekaligus sebagai respons atas keluhan para pimpinan Kompolnas selama ini yang menganggap disepelekan dan minta dibubarkan saja.

7. Dalam hal KPK sedang memproses kasus korupsi yang menyangkut personil dari organisasi penegak hukum lainnya, maka selama itu semua proses hukum yang menyangkut personil  KPK tidak boleh ditangani lembaga penegak hukum lain yang bersangkutan. Tetapi harus dilimpahkan kepada lembaga penegak hukum ketiga yang netral. Misalnya bila menyangkut  institusi KPK dan POLRI, maka pelimpahan dapat ke  Kejaksaan, BPK, atau Polisi Militer. Hal ini untuk mencegah agar tidak saling menjegal. 
           Pemadam kebakaran yang sedang sibuk memadamkan api, jangan dihentikan karena persoalan sepele yang pernah dilakukan jauh sebelumnya.***

Catatan :
Dengan pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, perhatian dunia  kini sedang tertuju pada masalah hukum di Negeri kita. Kalau begini cara kerja para penegak hukum kita, akan kembali dipertanyakan dunia apakah proses hukum atas warga mereka yang telah dan akan dihukum mati sudah benar ? Sangat memalukan !!!

KEPIAWAIAN JOKOWI SEDANG DIUJI



Dalam carut-marut hubungan KPK-POLRI akhir-akhir ini, Jokowi ditempatkan pada posisi sulit. Dia dituntut untuk segera mengambil kebijakan dan keputusan. Tetapi keputusan itu bukan hanya harus dapat dterima oleh kedua pihak, tetapi juga oleh masyarakat umum dipandang cukup elegan dan benar-benar dapat dilaksanakan.
Telah banyak saran-saran dikemukakan. Tetapi diantaranya banyak yang bila dilaksanakan, malahan dapat menimbulkan masalah baru. Diantaranya menyangkut dasar hukum. Sebab kalau salah, Presiden dapat diinterpelasi. Dan memang itulah yang ditunggu-tunggu oleh pihak-pihak yang selama ini  belum menerima kepemimpinan Jokowi-JK.
Hal ini memang disadari Presiden. Oleh karena itu ia sangat berhati-hati mengeluarkan pernyataan. Kalaupun ada, dianggap terlalu umum, datar, normatif, dan dianggap kurang praktis.
­Asal mula
Asal mula dari perseteruan ini diawali oleh pernyataan pers  Abraham Samad dan Bambang Wijayanto selaku Ketua dan Wakil Ketua KPK tentang telah ditetapkannya Komjen Pol. Bambang Gunawan (BG) sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Padahal BG baru saja diusulkan Presiden kepada DPR sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jendpol. Sutarman yang akan pensiun, bahkan sudah mulai diproses DPR.
Tidak jelas, mengapa KPK melakukan pada saat itu. Mungkin karena terdesak waktu untuk mencegah. Sebab bila diumumkan ketika sudah diangkat menjadi Kapolri, dampaknya  akan  lebih besar. Mungkin juga sebagai reaksi menolak kebijakan Presiden, karena sebelum itu, BG sudah diberi catatan merah dan dilaporkan oleh KPK ke Presiden ketika ia diajukan sebagai calon  menteri kabinet.
Memang patut disesalkan mengapa Jokowi tidak memperhatikan cacatan merah KPK itu, padahal sebelumnya selalu ditekankannya untuk tidak mengangkat pembantu-pembantunya yang dikemudian hari hanya akan menimbukan beban masalah yang tidak perlu.
Apapun alasannya, KPK telah dianggap seperti sedang membuka konfrontasi dengan Presiden. Presiden pun dipandang tidak lagi menghiraukan peringatan KPK.  Dan karena BG adalah mantan ajudan Presiden ke-5 RI Megawati Sukarnoputri yang sekarang masih Ketum PDI Perjuangan, maka scopenya menjadi tambah melebar.
Spekulasi beredar bahwa pengusulan BG itu atas tekanan dari PDIP kepada Jokowi. Spekulasi itu lebih menguat lagi ketika keluar pernyataan Plt Sekjen PDIP Hasto Kristianto yang membeberkan aktivitas politik Abraham Samad (AS) pada masa kampanye Pilpres yang lalu. Hal ini menyebabkan posisi AS sebagai Ketua KPK terancam.
Dalam suasana KPK terjepit seperti ini, pihak-pihak yang dirugikan KPK atau tidak menghendaki keberadaan KPK, mengambil kesempatan untuk tambah melumpuhkan kekuatan KPK. Laporan demi laporan tentang “tindak pidana” yang terjadi bertahun-tahun lewat, dituduhkan kepada para pimpinan KPK lainnya. Sesudah Abraham Samad, menyusul terhadap Bambang Wijayanto, kemudian Adnan Pandu Praja, Zulkarnain  dan sesudah itu entah siapa lagi. Dan anehnya, Bareskrim Mabes Polri dengan senang hati menyambut saja semua itu dan memprosesnya dengan cepat.
Mestinya Polri tidak begitu saja asal-asalan menerima setiap laporan untuk diproses. Apalagi kalau yang menyangkut nama baik seseorang. Sebab kalau nanti semua tuduhan dikalahkan di pengadilan, hanya akan menurunkan kewibawaan Polri.

Makanya tidak salah kalau Presiden Jokowi meminta agar para institusi penegak hukum, termasuk Polri dalam melakukan tugas dan fungsinya bertindak secara profesional dan menjaga kewibawaannya.

Anehnya, perseteruan para petinggi KPK dan Polri yang sekarang ini sudah yang ketiga kalinya. Dan semua itu terjadi ketika KPK sedang coba mengungkap kasus korupsi yang melibatkan oknum petinggi Polri.

Pertama kasus  mantan Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji dan KPK yang membongkar kasus Gayus Tambunan yang melibatkan dua jendral bintang satu Polri. Bibit dan Chandra, keduanya pimpinan KPK  dan Komjen Susno sendiri jadi korban kriminalisasi.

Kedua, kasus korupsi simulasi SIM yang melibatkan Irjenpol Djoko Susilo. Dan ketiga sekarang, kasus  rekening gendut menyangkut  Komjenpol BG. Korbannya di pihak  KPK  sang Ketua dan dua bahkan mungkin tiga Wakil Ketuanya. Maka menjadi pertanyaan,  dalam hal pemberantasan korupsi, di mana posisi Polri. Ketika KPK mau membantu membersihkan oknum-oknum terkait kasus korupsi di lingkungannya, bukannya berterima kasih, tetapi malah menyerang balik.  ***


Thursday, January 15, 2015

JOKOWI BLUNDER ATAU LAGI BERMAIN POLITIK TINGGI ??



Ketika Presiden Jokowi mengajukan Komjenpol Budi Gunawan (BG) ke DPR sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jendpol Sutarman, lalu kemudian keluar  pernyataan KPK bahwa Komjen Pol. BG ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, serta-merta muncul komentar bahwa Presiden Jokowi telah ceroboh.

Dia dinilai tidak konsisten dengan tradisi minta klarifikasi KPK yang dimulainya. Karena ketika memilih calon menteri kabinetnya,   ia meminta klarifikasi dari KPK dan PPATK. Tetapi untuk calon Jaksa Agung dan calon Kapolri tidak.

Sebetulnya Jokowi bisa berkilah, meminta atau tidak meminta klarifikasi kepada KPK adalah semata-mata kebijaksanaanya sesuai kebutuhan. Tidak pernah ia menyatakan meminta klarifikasi dari KPK atau PPATK sebagai SOP (standar prosedur operasi) tetap dalam merekrut pembantunya, sehingga orang bisa mengklaimnya. Ia bisa saja cukup minta klarifikasi dari Polri, Kejaksaan dan bahkan Komnas HAM.

Jokowi juga dinilai tidak konsisten dengan janji anti korupsinya pada masa kampanye Pilpres. Karena rupanya Komjenpol BG dahulu termasuk calon menteri yang minta diklarifikasi oleh Jokowi, tetapi ternyata distabilo merah oleh KPK. Berarti Jokowi sudah tahu BG di mata KPK sebagai figur yang bermasalah.

Banyak orang dibuat bingung dengan langkah yang diambil Jokowi ini. Baik para politisi di lingkungan KIH maupun KMP. Bahkan juga para pengamat handal dari kalangan kampus.

Dan di tengah kebingungan itu, para politikus dalam KMP yang selama ini terkenal sangat vokal mengecam Jokowi, sekali ini anehnya memuja-muji setinggi langit sosok usulan Jokowi ini. Sementara para politisi KIH termasuk dari PDIP seperti agak gamang. Ketika Komisi III meloloskan BG dalam proper test para vokalis politikus KMP nampak semringa menggandeng BG di depan pers, sedangkan orang-orang KIH biasa-biasa saja.

Berbeda dengan para pengamat lainnya, penulis malah melihat sebaliknya. Nampaknya justru Jokowi sedang “memainkan” taktik politik tinggi. Ibarat permaianan catur, para master mungkin akan menilai tindakan bodoh dan heran ketika Bobby Fisher  yang Grandmaster itu  pada awalnya mengorbankan beberapa anak caturnya. Tetapi kemudian baru manggut-manggut setelah melihat hasil akhirnya. Tidak salah kalau untuk politik seringkali predikat “percaturan” selalu jadi acuan, karena trik-trik politik memang selalu mirip dengan trik-trik catur.

Bisa jadi, Jokowi kini sedang menjajagi dan menilai sejauh mana peta semangat anti korupsi di semua lini institusi negara dan masyarakat. Baik di Kepolisian, Kompolnas, DPR maupun partai politik. Mana yang murni obyektif dan mana yang munafik. Dengan mengetahui itu, maka sasaran operasi mentalnya nant bisa lebih terarah.

Bisa saja Jokowi segera meralat dan menarik kembali pencalonan BG setelah ada statemen KPK. Tetapi itu tidak diakukan. Dia juga ingin tahu sikap Komisi III dan  Sidang Paripurna DPR-RI masa kini paska perang dingin KIH-KMP.

Yang sudah pasti, para politikus KMP dan KIH  nampaknya sudah bersatu mesra di Komisi III ketika menggolkan secara aklamasi Komjenpol BG sebagai calon tunggal Kapolri. Apakah ini hasil sampingan Jokowi merukunkan KIH-KMP ?

Jokowi membuka front dengan KPK seperti dugaan Dr.Tjipta Lesmana ? Belum tentu. Boleh jadi Jokowi sedang memainkan gaya Ahok, mantan Wakilnya yang kini menjadi Gubenur DKI Jakarta.

Dengan memulai memanas-manasi dan berpura-pura membuka front dengan KPK dan BPKP, nyatanya kemudian Ahok memakai kedua lembaga pengawasan  angker itu sebagai tangan dalam membenahi aparatur Pemda DKI. Itwiprop dinilainya sudah tidak mampu.

Penulis yakin Jokowi tak akan luntur dari semangat anti korupsinya. Mungkin dalam hati kini Jokowi kini ada  rasa tambah hormat dan kagum akan keberanian dan semangat KPK. Dan bahwa KPK memang lebih handal daripada institusi pengawasan lainnya. Ibarat promosi sabun cuci, “KPK membersihkan lebih bersih korupsi yang ditinggalkan institusi pengawas yang lain”

Jokowi kini sudah dapat memastikan bahwa Kompolnas ternyata tidak efektif dalam melakukan fungsinya sehingga perlu direformasi bahkan bila perlu dibubarkan. Demikian pula Inspetorat Jendral Polri perlu dibenahi.

Membenahi institusi Polri yang akhir-akhir ini banyak yang menilai pelayanannya belum memuaskan, memang tidak mudah. Idealnya memang dari atas. Tetapi dengan banyaknya issue-issue “rekening gendut” yang melibatkan para perwira tinggi Polri, efektivitas pola ini menjadi meragukan. Tetapi  pembenahan ini menjadi kewajiban Presiden yang membawahi Polri. Masalahnya, mulai dari mana dan dengan cara bagaimana.

Presiden Jokowi sudah memutuskan, akan menunggu dahulu hasil Rapat Paripurna DPR baru dia mengambil keputusan. Boleh jadi, bila Sidang Paripurna DPR juga meloloskan Komjenpol BG sebagai calon Kapolri, Ia akan menunda pelantikannya sampai berakhirnya masa jabatan Jendpol Sutarman bulan Oktober 2015 sambil mengikuti proses hukum kasus Komjen BG di KPK.

Proses ini dapat dijadikan kesempatan pula untuk melakukan pembersihan di lingkugan Polri manakala Komjenpol BG dapat menjadi “Mr. Blower” yang membantu mengungkap mungkin ada sisi-sisi gelap dalam tubuh Polri yang perlu dibuat terang.

Dapatlah dimengerti bila ada yang meragukan hasil klarifikasi intern yang dilakukan Polri dalam kasus ini. Baik oleh Bareskrim maupun Kompolnas. Fakta menunjukkan umumnya institusi pengawasan intern gagal dalam melakukan fungsinya. Entah Badan Kehormatan atau Komisi Etik di lembaga tinggi negara, Inspektorat Jendral dan Itwiprop.

Siapa yang dapat menjamin kalau para perwira Polri yang melakukan klarifikasi  terhadap Komjen BG itu bersih, dan bukan pula orang-orang yang patut pula diklarifikasi ??

Seperti juga Ahok, mungkin juga Jokowi akan senang bila KPK ikut gentayangan di sejumlah lembaga pemerintahannya, khususnya yang selama ini dianggap menjadi “sarang mafia”. Menterinya yang menangani pembinaan aparatur dan lembaga-lembaga pengawasan internalnya akan lebih dimudahkan tugasnya. ***




Contact Form

Name

Email *

Message *