Monday, September 28, 2020

Sejarah Perjuangan Suku Mori-Bahono versi TBB (13-Habis) : Lagasi, Kepala Suku Terakhir Wafat

 12.

T

ahun (1920) , Ue Lagasi tiba-tiba meninggal dunia. Ia dikebumikan dengan upacara adat di Pekuburan Sosopa, dekat perbukitan yang mengeluarkan air panas.

Meski telah pergi, anjurannya untuk masuk gereja terus berjalan. Dan tahun  1926 seluruh suku Bahono mulai memasuki lembaran baru. Mereka mengikuti babtisan air, baik dewasa maupun anak-anak. Sebagai Penatua pertama, ditunjuk Simpugi (Malau Lagasi ) yang bertugas sebagai pembantu pelayan gereja sampai Jepang masuk di Indonesia.

               Dengan wafatnya Ue Lagasi sebagai Kepala Kampung pertama di Uluanso,  ia digantikan seorang sesepuh bernama Mangoli Kelo. Tetapi Kepala Kampung kedua ini meninggal dunia pula lalu digantikan oleh adiknya Malotu Kelo. Di tengah pemerintahan Jepang yang kejam, ia digantikan kemanakannya, Sumbarigi Kelo.

Gereja, sekolah maupun pemerintahan makin bekembang dan terus terjadi perobahan sampai beakhirnya penjajahan Belana tahun 1942, penjajahan Jepang tahun 1943 sampai tahun 1945 dan Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Roda pemerintahan, gereja dan pengembangan ilmu pengetahuan / sekolah dan lain-lainnya berjalan bersama dan saling menunjang. Suku Bahono terus tumbuh berkembang dan berkembang, kawin-mawin dengan warga suku-suku tetangga bahkan di perantauan. 

Marga-marga utama para sesepuh suku Bahono adalah seperti berikut :                        

           


            

 


 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

Sunday, September 27, 2020

Dibalik Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi (AJLK) dan mundurnya Febri Diansyah

 Menarik juga mengikuti pemaparan Febri Diansyah mantan Jubir KPK Kamis malam hingga subuh tanggal 24 September 2020 lalu di salah satu TV swasta mengenai pembentukan Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi (AJLK) 2020. Menariknya, bukan hanya karena topiknya “Memahami Oligarki, Ketatanegaraan, Ekonomi & Politik”, yang memang tepat waktu untuk sekarang, tetapi juga karena yang ditampilkan sebagai narasumber cukup kompteten. Independensi mereka  tak diragukan. Sebutlah Jeffrey Winters, dari Northwestern University, AS yang banyak menulis tentang Indonesia, Zainal Mochtar dari FH-UGM, ekonom Faisal Basri dan Najwa Shihab, jurnalist senior yang juga populer dengan acara “Mata Najwa”-nya saat ini.

Tambah menarik lagi karena penayangan itu dilakukan justeru pada saat-saat Febri Diansyah baru saja diviralkan telah mengajukan surat pengunduran diri dari komisi anti korupsi itu. Apakah Febri sedang memanfaatkan sisa waktunya melaksanakan apa yang dapat dilakukan untuk pemberantasan korupsi di KPK sebelum keluar keputusan mengenai pengunduran dirinya ? Yaitu menjadi moderator  webinar pembentukan AJLK 2020 itu ?

Mengikuti pemaparan para narasumber diatas, telah membuka kesadaran bahwa hingga masa pemerintahan Jokowi inipun rupanya jaringan mafia korupsi, bukanlah makin berkurang tapi malah makin menjadi-jadi. Apalagi setelah KPK dilumpuhkan dengan adanya revisi Undang-undang KPK yang lama.

Rupanya telah terladi kolaborasi kejahatan  tersamar yang sistematis, yang melibatkan oknum-oknum berpengaruh di semua lini. Mulai dari para pengusaha hitam, oknum-oknum pembuat peraturan perundang-undangan di lembaga legislatif, oknum pejabat di lingkungan pemerintahan (eksekutif) maupun oknum-oknum di lembaga penegak hukum.Ungkapan mantan Wakil Presiden Adam Malik, “semuanya bisa diatur”, seperti yang diucapkannya ketika menjadi Ketua Sidang Umum PBB di New York, telah disalahgunakan. Bahwa dalam melakukan korupsipun segala sesuatunya bisa diatur. Melalui suap, draft produk hukum DPR bisa diatur sehingga kemudian memberi peluang koruptif  bagi para pengusaha hitam, oknum-oknum dan oknum-oknum di pemeritahan maupun penegak hukum. Undang-undang bisa disetir agar para koruptor yang tertangkap bisa tak dituntut ataupun kalaupun dituntut. cukup dengan hukuman ringan saja.

Maka dengan menyimak pemaparan para narasumer diatas, dapatlah dipahami mengapa banyak lembaga-lembaga negara yang mestinya independen tetapi tak berdaya. Seperti berbagai Komisi dan Dewan Kehormatan di lembaga-lembaga negara atau Komisaris di perusahaan-perusahaan negara. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Tak memiliki wewenang menjatuhkan sanksi, sehingga keberadaan mereka hanya merupakan pemborosan. Demikian juga lembaga-lembaga pengawasan internal seperti Inspektorat mulai dari tingkat Kementerian sampai lembaga pemerintahan daerah terendah, terbukti juga tidak mampu membendung praktek suap yang akhirnya juga berujung pada tindak pidana korupsi. Pertanyaan, kemana mereka berada ketika kasus korupsi terjadi di depan hidung mereka ?

Ketika hal itu terjadi, mestinya pimpinan lembaga pengawas internal itu langsung dicopot. Meskipun tidak terlibat secara langsung, tetapi secara fungsional ia harus bertanggung jawab. Menurut penulis, sudah demikian banyak teori-teori dan teknik-teknik mengungkap tindak pidana korupsi. Tidak kurang-kurang pula ahli-ahli managemen dan ahli hukum dengan titel-titel kesarjanaan bertengger diawal dan akhir nama mereka. Tetapi korupsi tetap saja ada. Masalahnya, rupanya bukan pada tingkat pengetahuan, tetapi pada sikap mental. Orang-orang berpendikan tinggi tetapi bila mentalnya bobrok justru berbahaya. Lebih baik memilih orang yang berpendidikan pas-pasan saja tetapi jujur. Memang idealnya  orang pintar  sekaligus juga jujur dan bermental baik. Sekarang orang-orang seperti Bung Hatta sudah langka. Meski sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri, bahkan membeli mesin jahitpun isterinya tak mampu. Ada juga orang seperti Ahok (BTP). Tapi orang ini, belum apa-apa sudah mendapat tantangan. Terutama dari mereka yang menginginkan jaringan korupsi terselubung ini tetap berjalan langgeng. Kalau Febri Diansyah kecewa dengan kinerja KPK sekarang sehingga memilih mundur dan Ahok Komut Pertamina yang pernah mengaku sebagai Auditor kecewa terhadap kebijakan Direksi yang tetap menggaji tinggi orang yang tak jelas kerjanya,  dapat dimengerti. Penulispun sebagai auditor internal, pernah mengalami kekecewaan serupa. Pegawai yang telah berbulan-bulan tidak masuk kerja dan telah direkomendasikan untuk diberhentikan, malah gajinya selama menghilang tetap dibayarkan. Bahkan memperoleh kenaikan pangkat lagi !

Sebenarnya kita menaruh harapan tinggi kepada pemerintah dan partai berkuasa saat ini. Partai yang dominan di lembaga legislatif seyogyanya bersama presiden pilihannya sekarang mestinya mampu menata kembali kondisi ketatanegaraan kita saat ini. Mengevaluasi kembali semua peraturan perundang-undangan yang membuat lembaga negara benar-benar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak lagi hanya bagaimana melanggengkan kelangsungan kekuasaannya semata yang hanya bersifat sementara. Tetapi menciptakan peraturan penundang-undangan yang benar-benar dirasakan menguntungkan dan dapat dinikmati seluruh rakyat.

Partai berkuasa dengan keunggulan suaranya yang dominan, pasti dapat melakukannya bersama Presiden. Kalau mau.***

Dilema “Jaga Jarak” : Apa Boleh Buat Meski Bertentangan dengan semua tatanan Sosial

Kalau hingga sekarang kita menghadapi banyak tantangan dalam menerapkan Jaga Jarak (JJ) salah satu dari Protokol Kesehatan (PK) dalam rangka membendung penyebaran virus Corona 19 – saya dapat memahami. Mengapa ? Karena kalau dipikir-pikir, JJ ini sesungguhnya bertentangan dengan semua tatanan sosial. Baik pergaulan hidup sehari-hari dalam interaksi sesama anggota keluarga, sesama karyawan di perusahaan, organisasi, keagamaan, ekonomi (pasar), pendidikan, kebudayaan, politik dst dst.

JJ sesungguhnya bertolak belakang dengan kodrat manusia sebagai mahluk sosial (homo socius) seperti dirumuskan filsuf Yunani Aristoteles dan Adam Smith. Bahwa manusia itu selalu cenderung bekerjasama, tak bisa lepas dari manusia lainnya. Jadi, beda dengan lutung, sejenis kera besar di hutan yang selalu cenderung menyendiri.

Kata-kata persatuan, gotong-rorong, mempererat, kerjasama, persahabatan, bergadengan-tangan, silakhturahmi, persekutuan, berjamaah, grup, kesatuan dan seterusnya – konotasinya adalah kedekatan. Bagaimana mungkin ekonomi pasar tradisional bisa lancar kalau para pembeli dan penjual di pasar harus saling berjauhan. Bagaimana mungkin suatu sendratari, paduan suara, konsert, sepakbola dan olahraga lainnya, parade militer atau persekolahan bisa lancar bila harus berjauhan.

Konstitusi negara-negara, piagam-piagam internasional, ajaran agama serta norma-norma sosial lainnya semua mengisyaratkan kedekatan, dan bukan pemisahan. Dan di sinilah dilema mengapa selama ini anjuran JJ mengalami banyak tantangan. Apalagi dalam tradisi berbagai masyarakat Indonesia yang beragam adat-istiadatnya. Orang Jawa bilang “Mangan ora mangan pokoke ngumpul”. Kebiasaan saling mendukung dan menunjukan solodaritas dalam kesusahan sahabat atau kerabat, sangatlah sulit bagi kebanyakan orang Indonesia untuk tidak melayat ke rumah keluarga atau sahabat yang meninggal dunia. Bahkan ketika ada yang sakit akibat penyakit menular, seorang sahabat atau anggota keluarga sampai rela mendampingi si pasien dengan mempertaruhkan hidupnya sendiri. Kalau harus mati, biarlah mati bersama. Hanya sayang, orang demikian, hanya memikirkan dirinya sendiri, emosinya sendiri. Tidak sempat mempertimbangkan keselamatan orang banyak. Apabila ia terjangkit dan tetap bisa bertahan hidup, seperti dalam kasus covid 19 saat ini, dan ketika ia kembali ke tengah-tengah pergaulan umum – maka jadilah ia penyebar virus berbahaya ini.

Mengemukakan fakta-fakta diatas, tidaklah berarti penulis menentang anjuran JJ. Hanya ingin mengajak kita menyadari apa sesungguhnya yang menjadi penyebab psikologis keengganan sebagian warga masyarakat untuk secara sadar mematuhi anjuaran JJ. Sehingga dalam menghadapi mereka, tidak asal hantam kromo. Pokoknya, aturan demikian, laksanakan. Tidak cukup hanya menyebarkan aturan-aturan dan menjatuhkan sanksi bagi yang melanggar. Penjatuhan sanksi yang demikian tanpa si pelanggar memiliki pemahaman yang memadai akan maksudnya, justeru akan semakin banyak meningkatkan penentangan. Peraturan pelaksanaan di lapanganpun harus tegas,  jelas dan masuk di akal.

Contoh kasus, ada dokter yang  menyetir mobil sendirian tanpa ada penumpang. Dikenakan sanksi karena tak menggunakan masker. Si dokter tidak menerima. Mungkin dalam pemahamannya,  penggunaan masker hanya dilakukan ketika akan bersinggungan dengan orang lain. Bahkan bila dengan keluarga sendiri dalam mobil tertutup tak perlu pakai masker. Dari sisi dokter ini sendiri, pemahaman ini bisa benar.

Tapi dari sisi para petugas yang harus mengawasi  ratusan bahkan ribuan mobil yang lalu-lalang, tak mungkinlah memeriksa satu persatu semuanya apakah mobil pribadi atau bukan. Apakah taksi online  yang sebentar-sebentar berganti-ganti penumpang. Dan mungkin diantaranya ada yang terpapar virus covid 19. Maka mungkin, untuk praktisnya  pengendara mobil, sendiri atau membawa penumpang diwajibkan saja semuanya pakai masker. Bila kendala yang dihadapi para petugas ini disadari sedikit saja oleh si dokter tadi, maka tak perlulah ia berkeberatan. Apalagi dokter dan petugas mempunyai misi yang sama.

Penolakan dalam bentuk lain, seperti perawatan , tata cara pemakaman jenazah akibat virus cpvid 19 perlu pula dievaluasi apa penyebabnya. Yang sering dikemukakan adanya penanganan yang kurang layak menurut tata cara agama. Maka untuk ini mungkin perlu pelibatan atau pendampingan tokoh agama dalam tim penanggulangan Covid 19 yang memberi keyakinan bagi keluarga yang berduka atau kerabatnya bahwa semuanya telah berjalan dengan wajar. Sehingga tak terjadi lagi, makam dibongkar dan kemudian jenazah diupacarakan lagi kemudian dimakamkan kembali.

Intinya, pemahaman akan perlunya jaga jarak perlu dilakukan melalui pendekatan budaya. Oleh tokoh-tokoh agama / rohaniwan, budayawan, para dokter, ahli pendidikan, psikolog. Pemahaman yang dilakukan oleh satgas selama ini nampaknya kurang efektif karena mereka juga sekali gus sebagai pelaksana penindakan. Dan dalam penindakan ini terkadang terjadi  tindakan yang dasarnya kurang dipahami. Seperti sanksi sosial menyanyikan lagu Indonesia Raya, push-up, mengucapkan ayat-ayat Pancasila, menyapu jalan, membersihkan kali, bahkan ada petugas-petugas yang seperti main ketoprak di jalan. Katanya untuk sosialisasi. Menurut penulis, semua ini hanya kesia-siaan dan hanya memboroskan waktu dan tenaga para petugas mengawasinya. Yang melaksanakannyapun seperti asal-asalan.

Mengapa tidak tegas saja. Kenakan denda yang berat bagi pelanggar melalui pengadilan yustisi. Mereka yang melanggar ditahan sementara sampai mereka membayar denda. Alasan “tidak tahu”, hanya petugas bodoh saja yang masih mau menerima alasan ini. Karena sekarang, begitu orang keluar rumah, khususnya di perkotaan, dia sudah menemui banyak sekali orang memakai masker.

Agaknya perlu pula ada klasifikasi sanksi dalam pelaksanaan protokol kesehatan. Karena sering terlihat ada orang yang seperti ogah-ogahan memakai masker. Tidak sepenuh hati. Masker hanya dijadikan kalung atau hanya menutupi mulut. Atau hanya dikantongi saja. Baru dipakai kalau melihat ada razia. Yang demikian inipun pantas dikenakan sanksi. Hanya mungkin lebih ringan.

Menurut pengamatan, pemakaian masker di pasar-pasar tradisional masih jauh dari memuaskan. Pengawasan juga hampir tidak ada. Memang ada spanduk-spanduk, atau  psoter anjuran memakai masker. Tapi seperti tak ada artinya. Para pedagang kebanyakan tidak menggunakan masker. Atau menggunakan, tetapi tidak sebagaimana mestinya. Padahal, para pedagang itu melayani para warga yang silih datang berganti dan kemudian pulang di tempat masing-masing di perkampungan. Kalau saja ada pedagang yang  ramai dikunjungi pembeli dan terpapar virus covid 19, maka dapat diperkirakan bagaimana penyebaran covid 19 selanjutnya di perkampungan atau di kompleks-kompleks pemukiman.

Alasan yang sering dikemukakan, adalah agak sedikit mengganggu lancarnya pernapasan dan percakapan. Alasan ini memang ada benarnya, tetapi di atas semuanya yang lebih utama adalah keselamatan orang banyak. Mengapa tidak rela berkorban sedikit untuk keselamatan bersama. Mungkin para dokter bisa memberikan tip bagaimana cara menggunakan masker yang baik sehingga kendala kecil di atas bisa diatasi.

Barangkali kini sudah saatnya pemerintah berani mengumumkan bahwa sekarang sudah hampir tak ada lagi udara yang terbebas dari virus corona sehingga setiap kali berada di luar rumah perlu memakai masker !!.

Monday, September 14, 2020

Sejarah perjuangan suku Mori Bahono versi TBB (12): Asal Mula warga Bahono ramai-ramai memeluk Kristen


Bersamaan dengan berakhirnya perang, penyebaran agama Kristen oleh para penginjil khususnya dari Zending Belanda mulai giat dilaksanakan. Dua ahli peneliti Belanda yang telah menjadi pendeta, Dr. Albert C Kruyit dan Dr. N. Adriani kembali lagi meneruskan penelitiannya. Mereka sangat menguasai Bahasa Mori dan Bahasa Pamona (Bare’e).

Mereka membuka sekolah-sekolah Zending dan mulai membangun jemaat-jemaat Gereja Protestan. Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa Mori dan Bahasa Pamona (Bare’e) lalu dibagi-bagikan kepada setiap jemaat. Perjanjian Lama bahasa Mori yang dilengkapi dengan gambar-gambar ilustrasi, sampul tebal dan ukuran kwarto diberi judul “Toetoeloedo Mia nse’elu” (Riwayat Orang-orang Jaman Dahulu), dan Perjanjian Baru dengan judul “Dandi Wo’ohu”(Janji Baru).

Di seluruh tanah Mori, termasuk Mori Selatan, semuanya sudah berdiri jemaat-jemaat Kristen dan Sekolah Zending Tiga Tahun, tetapi.di antara Suku Bahono belum dibuka satu sekolahpun dan jemaat Kristen akibat pengaruh Ue Lagasi.

Ia tidak mengijinkan rakyatnya mengikuti agama yang dibawa orang-orang Belanda karena khawatir ditipu. Ia selalu mengatakan, siapa-siapa yang bersekolah atau masuk gereja nanti akan dibunuh Belanda atau dibawa ke negerinya.

Ia tidak pernah lupa peristiwa beberapa tahun sebelumnya ketika ia dan pengiringnya ditembaki  di Benteng Lasi oleh tentara Belanda yang katanya mau datang dengan maksud damai. Saudara iparnya hampir terkena peluru. Sejak itu ia tidak percaya lagi bahkan benci kepada orang-orang Belanda !

Tetapi pandangan Ue Lagasi ini kemudian berubah ketika mencoba mencari penyebab gagalnya panen rakyatnya pada tiga tahun terakhir. Sedangkan hasil kebun padi suku-suku sekitar yang telah mengikuti agama Kristen selalu bagus. Ada kemungkinan, kata Ue Lagasi, seperti pernah diucapkan Ue Wainugi, isterinya kepada penulis,”Ue Lahumoa, dewa matahari, sudah tidak memperdulikan mereka lagi”.

Lalu kedua suami isteri tu menyuruh dua orang anak muda yang tinggal bersama mereka, yaitu Mabeangi Dempe dan Podusu pergi membeli padi sambil mengamati cara hidup orang-orang gereja suku Ulu “uwoi di kampung Dolupo. Ketika kedua orang suruhan itu kembali, mereka membawa padi yang memang terbukti benar bagus, bulir-bulirnya berisi dan berat diangkat.

Setelah bermusyawarah dengan tua-tua kampung lainnya, diambillah keputusan bahwa “mulai sekarang kita akan mulai mominggu (ke gereja)”.

Dan pada suatu hari, Pendeta Dr. Albert Kruyt dan Dr. N.Adriani yang tengah dalam perjalanan ke Kawata, singgah bermalam di Goda (Persenggrahan/Rumah Singgah) Ulu’anso. Ue Lagasi datang menemui mereka dan berkata dalam bahasa Bahono :”Pandita, kami mingki mpominggu ma mpesikolah”, artinya, “kami ingin masuk gereja dan bersekolah”. Jawab Pendeta, “Humbee, aku lumako paresae ari sikolah ma raha mpominggua (gereja) i Kawata. Pekule kupo maku amba montena guru ma pandita inso i Pendolo iwa i ndi’ai”, artinya, “ Ya, saya setuju, saya akan pergi memeriksa dulu sekolah dan gereja di Kawata. Sekembali saya, saya akan mengutus guru dan pendeta dari Pendolo ke sini”

Ue Lagasi dengan isterinya Ue Wainugi menyuruh anak mereka yang paling tua, Simpugi (Malau), pergi memberitakan kepada seluruh warga suku Bahono yang sehari-harinya berdiam di rumah kebun-kebun mereka. Supaya menyadari bahwa sekarang sudah tiba waktunya semua warga Bahono masuk Gereja dan bersekolah. Boleh dikata, putra pertama beliau inilah yang menjadi pengabar injil pertama dari kalangan suku Bahono.

Tanggal 3 Maret 1922 mulailah dibuka gereja dan Zending School 3 Tahun di Ulu’anso untuk penduduk Ulu’anso dan Kumpi. Khusus untuk orang-orang dewasa diadakan kursus PBH (Peberantasan Buta Huruf).

Orang Bahono merasa bahagia. Tiap tahun, baik di Ulu’anso maupun Kumpi, hari itu selalu diperingati dengan melakukan kebaktian syukur di gereja. Tahun 1926 seluruh orang tua-tua dewasa dan anak-anak mengikuti baptisan air massal pertama di Ulu’anso. Dengan demikian berakhirlah pemujaan kepada dewa Lahumoa matahari. Tetapi kepercayaan atas hukum karma, bahwa yang berbuat kejahatan akan mendapat ganjaran yang berat dari Yang maha Kuasa tetap diyakini.

      Ayah, ibu dan paman Malau (Simpugi) Lagasi serta kawan-kawannya mengikuti sekolah malam. Mereka diajar guru Wendur menulis di atas daun pisang muda dengan menggunakan lidi.

Pada hari Minggu mulai diajarkan dasar-dasar agama Kristen. Antara lain bahwa Tuhan Allah bekerja selama enam hari dan hari ketujuh, yaitu hari Minggu Dia berhenti. Hari ketujuh adalah “ileo mempori” (hari suci). Karana itu hari Minggu adalah hari bergereja. Tidak boleh bekerja dan harus beribadah kepada Tuhan Allah.

Guru-guru yang berjasa merintis pendidikan bagi masyarakat Bahono, adalah :

1920-108 : Wendur, asal Manado, merangkap Guru Jemaat. Tahun 1926 ia mengadakan baptisan massal yang dilayani Pendeta K. Riedel, misionaris dari NZG (Nederlandsche Zending Genootschap).

1926-1931 : Musa Larope, asal Lembobelala.

1931-1935 : Garanti Lagarense, asal Lembobelala

1935-1941 : Laemadi Lengkono, asal Lembo Manente,

1941 : Dansenga, asal Tinompo. Hanya tiga bulan diganti.

1941-1943: Lamale Kurami Tumakaka, asal Tinompo.

1943-1944 : Herling Rabeta, asal Tomata,

1944-1945 : Naigame Peuru, asal Pandiri/Pe’onea,

1945-1947 : Masimuda Porotu’o, asal Korowalelo;

1947- pensiun : Legalia Mandake, asal Wawopada.

Tahun 1950 L. Mandake memindahkan sekolah ke Kumpi karena sering diganggu gerombolan TII/DI dari Nuha/Malili. Ketika orang Bahono mulai mengungsi ke Beteleme tahun 1953 ia pindah lagi ke Undoro. Dan ketika orang Ulu’anso memangun kampung baru di Mora, SR-GKST 3 Tahun Ulu’anso diaktifkan lagi. Ditingkatkan menjadi SR-6 Tahun Ulu’anso dan tetap dipimpin Guru L.Mandake sampai pensiun. Ia selanjutnya digantikan Samuel (Sudaeli) Lapoliwa sebagai Kepala Sekolah.

Keluarga-keluarga suku Ture’a/Bahono yang masih tinggal di Lintumewure sering juga dikunjungi dan diajak mominggu oleh Guru Wendur yang merangkap sebagai Guru Jemaat. Kemudian dilanjutkan penggantinya Musa Larope dan Garanti Lagarense. Demikian pula ketika keluarga-keluarga itu pindah ke Pangempa. Tetapi ketika Garanti Lagarense digantikan Laemadi Lengkono tahun 1935, kunjungan pelayanan itu tidak dapat dilakukan lagi. Mulai saat itulah keluarga-keluarga Ture’a di Pangempa yang semula sudah mendengar Injil tak terlayani lagi sehingga akhirnya mereka beralih memeluk Islam. ***

Tuesday, September 8, 2020

Sejarah Perjuangan Suku Mori Bahono versi TBB (11):Asal Mula Bahono Bergabung dengan Kerajaan Mori

 Pada tahun 1907 seluruh daerah Kerajaan Mori sudah aman. Tak ada lagi perang, baik dengan Belanda maupun antar suku, termasuk suku Bare’e, suku Towatu dan Tomoiki. Suku-suku terakhir ini semula tidak termasuk suku Mori. Tetapi dalam perang antar suku, Raja Marunduh dapat mengalahkan suku-suku ini sehingga dengan sendirinya wilayah mereka menjadi bagian dari Kerajaan Mori. Namun setelah Raja Marunduh takluk kepada Belanda, raja-raja kecil ini merasa tidak terikat lagi dengan raja Petasia itu.

    Saat itu suku-suku ini masih berada di benteng-benteng pertahanan di gunung-gunung. Termasuk suku Tomobahono yang sering juga disebut  Tolasi.

     Pada suatu hari seorang pembesar Belanda mendatangi Rumah Besar (Palampa) di muara sungai Tiwo’a. Itu adalah kedatangan Belanda yang kedua ke Ue Lagasi, Kepala suku Bahono.

Belanda tetap mengakui Ue Lagasi sebagai Kepala Suku dan sekaligus mengangkatnya menjadi Kepala Kampung. Ia diminta untuk memerintahkan rakyatnya pindah dari benteng-benteng pertahanan di gunung dan mulai membangun perkampungan di tanah datar. Belanda akan menjamin keamanan. Ue Lagasi setuju. Maka tahun 1910 mulailah suku Bahono-Lasi membangun kampung di Lintumewure daerah Ture’a. Karena itu orang Bahono-Lasi sering pula disebut Toture’a.

      Tahun 1916 terjadi peristiwa yang menimbulkan kekecewaan dan penderitaan rakyat Bahono akibat politik Belanda yang semau-maunya membagi-bagi wilayah pendudukan mereka tanpa memperhatikan tradisi penduduk setempat. Belanda mulai menjalankan keinginannya dengan memperalat raja-raja sebagai wakilnya. Mereka juga menempatkan pengawas-pengawas yang disebut Petor, baik di Malili maupun di Kolonodale.

       Daerah Ture’a dan kampung Lintumewure seluruhnya termasuk pemerintahan Petor Malili dengan Andi Halu raja Bugis sebagai wakilnya di Tole-Tole.Pada musim panen, suku Bahono/Lasi hendak memungut hasil kebun mereka yang kebanyakan di daerah Kerajaan Mori. Tetapi tiba-tiba dilarang Raja Mori dengan alasan bahwa sesuai dengan perbatasan yang baru, kebun-kebun itu termasuk wilayah Petor Kolonodale. Sedangkan Kampung Lintumewure termasuk Petor Malili.

Raja Mori berpesan, apabila suku Bahono/Lasi bersedia pindah ke daerah wilayahnya barulah mereka boleh mengambil hasil tanaman mereka. Mendengar pesan itu, Ue Lagasi memutuskan menyelenggarakan musyawarah adat (terisoa) yang diikuti seluruh rakyatnya, teristimewa orang tua-tua dan mandur yang bekas panglima perangnya (pongkiari) Ue Baby.

       Rakyat dimintakan pendapat mereka. Apakah sepakat secara sukarela pindah dan membangun kampung baru di tepi sungai Ulu’anso dan  sungai Po’ahaa.

     Seluruh rakyat setuju pindah ke kedua tempat itu, yang termasuk dataran Lembo, Kerajaan Mori/Petasia. Berdasarkan hasil musyawarah adat itu, Ue Lagasi  sebagai Kepala Kampung bersama Ue Baby segera ke Malili meminta surat pindah ke Petor Kolonodale. Usulan pindah dikabulkan dan setelah itu mereka segera berangkat menghadap Raja Mori dan Petor Belanda menyerahkan surat itu.

       Raja maupun Petor menyetujui keinginan rakyat  Bahono dan langsung pula menyetujui dibangunnya  perkampungan baru, Ulu’anso dan Kumpi. Hal ini  mudah dimengerti mengingat antara Ue Lagasi dan Raja Marunduh selalu ada hubungan baik. Bahkan Ue Lagasi pernah  memprakarsai upacara perdamaian antara Raja Marunduh dengan Raja Luwu  di Sungai Kasitawa sehingga Ue Lagasi mendapat julukan :”Tondo dopi Mokole”. Konon, Batho, tangan kanan raja yang sekaligus pengawalnya berasal dari Bahono-Lasama (Lasaeo). Ia telah menjadi kerabat istana. Dan ketika raja Marunduh  mengundurkan diri ke benteng pertahanan Wulanderi, ia menjadi salah seorang  yang memimpin pertahanan dari serangan Belanda di  Ensa Ondau dekat Korompeeli sekarang.

      Rencana penggabungan itu ternyata bukan tanpa hambatan. Sekitar seminggu kemudian pada waktu malam, tiba-tiba datanglah Andi Halu dari Tole-Tole ke Lintumewure dan mengusir seisi kampung. Ia sebenarnya tidak senang dengan kepindahan orang Bahono itu. Ia memberi pilihan. Siapa yang mau pindah, saat itu juga harus segera berangkat keluar. Andi Halu ketika itu dikawal polisinya yang bernama Tomakaraja.

       Mengetahui kejadian itu, Ue Lagasi turun dari Palampa (rumah panggung) kediamannya. Ia memerintahkan seluruh rakyat turun dan mengosongkan kampung. Ia menyuruh rakyat membunyikan  tawa-tawa (gong) dan meminta segera berangkat malam itu juga dan tinggal di kebun masing-masing dekat perbatasan wilayah Petor Malili dan Petor Kolonodale.

       Ketika meninggalkan kampung Lintumewure, tak henti-hentinya rombongan membunyikan tawa-tawa. Saat itu Ue Lagasi berteriak-teriak :”Tewulu padekawa”. Artinya “perahu Datu berangkat/berlayar ke laut”. Kata-kata ini sebagai ejekan kepada Andi Halu yang mengusir rakyat tanpa mengenal peri kemanusiaan.

        Tahun 1919 semua bangunan rumah-rumah sudsah selesai dan rakyat Bahono mulai menempati Kampung Ulu’anso dan Kumpi.

        Sebagian besar pemukim asal Benteng Pa’ano memilih Kampung Ulu’anso. Sebagian lagi memilih Kampung Kumpi seberang sungai Kasitawa, kira-kira dua kilometer dari Ulu’anso. Mereka umumnya berasal dari Benteng Waawulo. Sebagai kepala kampung Kumpi yang pertama Ue Lagasi menunjuk Ue Langkamuda.

      Mulailah suku Bahono membangun hidup baru dengan mengolah tanah yang subur mulai dari Kororeo sampai Uwoi Mowewu atau Wita Motaha. Banyak yang kemudian memiliki daerah peternakan.atau walaka. Marga Lapoliwa misalnya memiliki peternakan di Bahono, Lembono dan Soline. Sedangkan Marga Lagasi  peternakan sapi di Wita Motaha.

        Di Lintumewure sampai saat ini (2005) masih terlihat bekas kampung orang-orang Ture’a – Lasi yang mendiami tempat itu antara tahun 1911 – 1916. Pohon-pohon tanaman tahunan seperti mangga, durian dan langsat masih ada. Rumpun sagu peninggalan Ue Latingka kini masih ada dan dijaga salah seorang keturunannya, Lasiondi, pensiunan guru di Nuha.***

 

 

 

 


Friday, September 4, 2020

PRIHATIN DENGAN KEJAKSAAN AGUNG

 Ketika melihat gedung Kejaksaan Agung tengah dilahap api beberapa waktu lalu, teringat kembali saat tahun 1973 saya selama beberapa hari  berada di gedung yang naas itu. Atas undangan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) bersama rekan-rekan wartawan lainnya, kami diikutsertakan dalam pelatihan  pelaksanaan Instruksi Presiden No.6 Tahun 1971 tentang usaha mengatasi, mencegah dan memberantas masalah-masalah dan pelanggaran-pelanggaran jang timbul dalam masyarakat.

Saat itu ancaman serius yang sedang dihadapi negara adalah mulai merebaknya peredaran narkotika, uang palsu dan penyelundupan. Semua pimpinan lembaga negara yang berkaitan dengan itu seperti  Kejaksaan Agung, POLRI, BAKIN dan lain-lain diinstruksikan bergabung dalam BAKOLAK (Badan Koordinasi Pelaksanaan) Inpres No,6 Tahun 71 di bawah koordinasi Ketua BAKIN.

Terletak di daerah elite Kebayoran Baru dekat Stasiuh Blok M Jakarta, gedung Kejagung nampak anggun berwibawa. Terletak di salah satu pojok persimpangan jalan Trunojoyo-Sisingamangaraja, cukup dekat dengan Markas Besar POLRI. Tentu ini cukup ideal untuk kelancaran tugas kedua lembaga yang memang saling terkait.

Kini sebagian gedung itu sudah rapuh. Kemungkinan tak bisa lagi sekedar direnovasi. Mungkin harus diruntuhkan lalu dibangun ulang. Tetapi yang lebih memprihatinkan lagi adalah posisi Kejaksaan Agung sendiri yang kini nampak gamang. Pertama, ketika Kejagung gagal mengeksekusi vonis terpidana Djoko Tjandra dalam kasus penyuapan / korupsi. Lebih parah lagi ketika kemudian terungkap adanya pejabat, jaksa yang nampaknya cukup berpengaruh di lembaga agung itu,  ternyata terlibat dalam persekongkolan menggagalkan penegakan hukum terhadap terpidana tersebut. Ironis, karena  Kejagung mestinya melakukan eksekusi vonis itu sesuai fungsinya.

Sangat disayangkan. Padahal, Kejaksaan Agung bersama aparat di bawahnya, sesuai undang-undangnya, semestinya mewakili pemerintah dan Negara dalam menegakan hukum, dan mengamankan aset-aset negara. Kejaksaan mewakili setiap warganegara yang dirugikan dalam menuntut keadilan di pengadilan dan menjamin keputusan hakim dilaksanakan.

Tapi kredibilitas Kejaksaan Agung kian merosot saja. Apalagi ketika pimpinan Kejaksaan Agung nampaknya enggan menyerahkan pejabatnya Jaksa P yang telah berstatus tersangka itu untuk diperiksa lembaga independen seperti Komisi Kejaksaan yang dibentuk Presiden dan Bareskrim POLRI. Alasannya, mereka memiliki wewenang memeriksa sendiri dan mempunyai aparat yang kompeten untuk itu. Meskipun kebijakan itu akhirnya dibatalkan, namun kepercayaan atas independensi Kejagung telah terlanjur jatuh. Meski dicoba menunjukan kecepatan proses pemeriksaan dan mempertotonkan penahanan, tetapi apakah pengembangan pemeriksaan benar-benar telah dilakukan sungguh-sungguh dan tidak pilih-pilih orang - masih dipertanyakan.

Tentu saja orang-orang jujur di Kejaksaan Agung masih lebih banyak . Dan meskipun pejabat internal yang menangani kasus ini cukup kompeten dan jujur, namun agaknya sangatlah sulit untuk melepaskan diri dari rasa kesetiakawanan sebagai sesama korps Adiyaksa. Hal ini sudah bisa terbaca dari pernyataan Korps pegawai Adiyaksa yang diketuai wakil Jaksa Agung yang menyatakan akan memberikan pembelaan kepada tersangka jaksa P.

Maka dapatlah dimaklumi kalau banyak pihak menganjurkan agat KPK mengambil-alih penanganan kasus ini. Sebagai lembaga penegakan hukum ekternal, KPK mestinya lebih independen, tanpa beban solidaritas personal dan bebas mengembangkan perkara ke siapa saja yang terindikasi terlibat. Dan pada pihak lain, para  jaksa internal yang menangani kasus ini akan terbebas dari beban psikologis ketika harus mememproses hukum rekannya sendiri. Tak akan ada  kecurigaan bahwa mereka hanya melakukan sandiwara pemeriksaan. Di lain pihak, para warga Adiyaksa bahkan warga negeri ini umumnya –  yang mencintai lembaga Kejaksaan Agung, tentu berharap lembaga ini, kali ini,  benar-benar dapat dipersihkan dari oknum-oknum pengkhianat yang mencederai nama baik Kejaksaan Agung. Dan yang paling mungkin dan dapat segera melakukan saat ini hanyalah KPK.***

Tuesday, September 1, 2020

Sejarah Perjuangan Suku Mori Bahono versi TBB (10): BENTENG BAHONO DISERANG, TENTARA BELANDA KOCAR-KACIR

K

egiatan orang-orang Belanda yang kurang menghormati adat-istiadat di kerajaan Mori / Petasia maupun  Palopo makin meresahkan rakyat termasuk di orang Bahono di Lasi. Ditambah lagi dengan kehadiran kekuatan militer mereka.

       Tentara Belanda pernah coba menyerang benteng Pa’ano, benteng pertahanan Bahono-Lasi. Sebelumnya mereka menyebarkan berita-berita propaganda bahwa Belanda akan membawa perdamaian di kawasan itu. Karena itu, ketika pasukan Belanda muncul dilembah Lembono, Ue Lagasi yang dikawal Panglima Ue Baby serta saudara iparnya Ue Lagale bermaksud turun menyambut mereka.

       Dari atas benteng, jelas terlihat pasukan Belanda itu cukup banyak, berbaju kehijau-hijauan dan bersenjata lengkap. Sedangkan Ue Lagasi dan kedua pengawalnya disertai beberapa orang anggota lasykar yang hanya bersenjatakan ponai dan tombak. Tetapi diatas benteng terdapat meriam-meriam yang pelurunya dari potongan-potongan besi yang dimasukkan dari larasnya. Pada waktu pasukan Belanda melihat ke atas, dan melihat kedatangan Ue Lagasi, bersama pengawalnya, seketika itu juga mereka menyerang dengan rentetan tembakan.

      Ue Lagasi segera berbalik memerintahkan panglimanya, Ue Baby, membalas dengan membakar patron yang sudah siap diisi sabut kelapa. Tiba-tiba meletuslah mulut meriam-meriam itu yang mengeluarkan penggalan-penggalan besi menyala seperti bara api menyambut pasukan musuh. Dan bersamaan dengan itu kayu penahan timbunan-timbunan batu di atas benteng di lepas. Maka terjadilah longsoran batu-batu besar kearah datangnya musuh. Dengan adanya perlawanan sengit itu pasukan Belanda mundur dan tidak pernah muncul lagi. Namun salah satu peluru musuh konon sempat mengenai ponai (pedang) Ue Lagale lalu melenting ke udara. Pedang tidak rusak tetapi sarungnya rusak.

       Perbuatan itu membuat Ue Lagasi sangat marah. Ia samasekali tidak mempercayai lagi  orang-orang Belanda.Apalagi serangan itu dilakukan ketika suku Bahono sedang berperang dengan suku Towatu. Perang itupun tidak lepas dari politik adu-domba Belanda untuk melemahkan Raja Marunduh dengan raja-raja kecil (Karua) yang semula setia kepada Raja Mori / Petasia.

         Raja-raja kecil yang menjadi penghalang menurut pihak Belanda, adalah Kepala Suku Towatu, Tomoiki dan Tolasi-Bahono. Disebarkanlah desas-desus bahwa para Kepala Suku ini menghina raja Petasia. Raja-raja kecil inipun satu sama lain diadu-domba. Akibat adudomba itu terjadilah perang segitiga. Raja Marunduh berperang dengan Karua Tole dan Suku Towatu berperang dengan Suku To Lasi / Bahono. Terjadinya perang suku menyebabkan kekuatan raja-rajanya bertambah lemah. Kesempatan itu lalu digunakan Belanda mulai menyerang benteng-benteng pertahanan orang-orang Mori.

        Tahun 1907 jatuhlah tanah Mori ke tangan penjajah Belanda dengan korban tidak sedikit pada kedua pihak.***

Contact Form

Name

Email *

Message *