Monday, May 25, 2020

Peristiwa paling mengesankan sebagai Wartawan : (13) DIBONCENG WARTAWAN YG KELAK JADI WAPRES

Dalam perjalanan jurnalistik tahun 1967 ke basis pertahanan Korps Komando Angkatan Laut (KKO) atau yang sekarang menjadi Korps Marinir di Kalimantan Barat, semasa transisi berakhirnya konfrontasi dengan Inggeris Malaysia, saya mampir menyaksikan kamp penampungan pengungsi Cina di Pontianak. Ketika itu entah karena persaingan ekonomi, terjadi kerusuhan etnis di pedalaman Kalimantan Barat. Ribuan warga Tionghoa atau disebut Cina saat itu mengungsi ke kota-kota termasuk Pontianak meminta perlindungan pada satua-satuan TNI dan Polri. Suatu malam, bersama dengan beberapa perwira kami duduk makan di sebuah restoran. Di sekitar pinggiran restoran itu nampak puluhan laki-laki, perempuan dan anak-anak duduk berjongkok dalam pakaian mereka yang lusuh dan kotor. Mereka menatapi kami seperti mereka mengharapkan apa saja dari kami. Entah sisa makanan, atau sekedar bantuan uang. Saya sedikit bereaksi, tetapi pimpinan rombongan kami meminta saya diam saja. Tergugah oleh pandangan yang menyedihkan itu, paginya saya telepon rekan Hamzah Haz yang ketika itu sebagai pemimpin Redaksi suratkabar KAMI Kalbar, apakah ia bisa menemaniku meninjau kamp pengungsi. Kerjasama kami seperti itu memang sudah biasa. Karena setelah suratkabar Harian KAMI Pusat berdiri, di daerah-daerah para mahasiwa yang tergabung dalam kesatuan aksi menentang kekuasaan Orde Lama menyusul pula menerbitkan media surat kabar daerah sendiri. Meski masing-masing independen, namun dari segi ideologi perjuangan sehaluan bahkan umumnya mereka juga menjadi kontributor berita untuk Harian KAMI Pusat. Dengan mengendarai sepeda motor Java, rekan Hamzah Haz menjemput saya di teras Univeritas Tanjung Pura almanaternya, di mana saya telah menunggu. Kami menyeberangi sebuah jembatan kayu yang panjang. Mungkin di atas sungai Kapuas sungai terpanjang di Indonesia ini. Kami tiba di sebuah barak dari kayu luas sekitar 50 x 25 meter. Beratap daun sagu dengan dinding yang tingginya tidak lebih dari satu meter. Dapat dibayangkan kalau hujan turun. Apalagi bila dengan angin kencang. Disitu nampak para pengungsi duduk berjejal, seperti orang duduk berjejal diatas truk. Kondisi mereka sangat menyedihkan. Badan kurus-kurus dengan pakaian compang-camping. Sepulang dari barak, saya minta tolong pada rekan yang kelak beruntung menjadi Wakil Presiden RI mendampingi Presiden Magawati Sukarnoputri ini - mengantarkan saya mewawancarai Gubernur Kalbar Ashari ketika itu sekitar masalah pengungsi. Tak lama setelah kondisi pengungsi menyedihkan itu kami laporkan di Harian KAMI, mulailah dilakukan penyaluran ke beberapa daerah diluar Kalbar. Diantara pengungsi Cina ex Pontianak ini awal tahun 2000-an ada satu keluarga yang kutemui secara kebetulan. Mereka sudah hidup mandiri. Satu keluarga lagi kutemui di Depok. Sudah mandiri dan mengaku ex.pengungsi Cina Pontianak. ***

UMAT BERAGAMA MENYIKAPI COVID 19

Hingga Januari 2020 bahkan mungkin Pebruari, agaknya tak seorangpun dapat membayangkan akan terjadi malapetaka penyebaran virus corona yang sejak Maret 2020 lalu telah menimbulkan kematian jutaan manusia di muka bumi. Termasuk juga di tanah air kita. Ketika itu, kalau bukan banjir Jakarta dan rencana ibukota baru, maka yang banyak diperbincangkan adalah masalah kaburnya politisi PDI Perjuangan Harun Masiku dalam kasus penyuapan pejabat KPU atau Omnibus Law yaitu sekitar penyederhanaan berbagai perundang-undangan ke dalam satu undang-undang saja gagasan Presiden Jokowi. Maka setelah ancaman virus corona menyebar, dimulai dengan pemulangan para WNI dari Wuhan Tiongkok, lalu isolasi ABK WNI dari kapal pesiar asing MW.Dream Explorer dan Diamond Princess di Kepulauan Seribu, semua perbincangan itu sontak terhenti. Sejak itu semua terarah pada penanggulangan penyebaran virus aneh ini. Sambil para peneliti dan ahli pharmasi berusaha menemukan vaksin dan obat mujarab untuk melawan penjakit menakutkan ini, pemerintah mulailah menyusun kebijakan-kebijakan untuk maksud yang sama. Menyediakan tenaga-tenaga medis, rumah sakit darurat yang dapat menampung pasien secara massal, alat pelindung diri (APD) buat para tenaga medis, pengalokasian anggaran dan bagaimana masyarakat harus bersikap menghadapi bencana penyakit ini. Seperti meneruskan dan mempublikasikan seluas-luasnya Protokol Kesehatan yang dikeluarkan WHO. Antara lain himbauan memakasi masker, menjaga jarak, sering-sering mencuci tangan dengan sabun, tidak berkerumun dan membatasi bepergian. Dalam upaya mengefektifkan Protokol Kesehatan itu, maka dikeluarkanlah himbauan-himbauan bahkan kebijakan untuk menutup sementara kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah dan berguruan tinggi. Diarahkan untuk belajar di rumah. Demikian pula para karyawan perusahaan, baik swasta maupun BUMN/BUMD, sedapat mungkin diarahkan untuk bekerja di rumah. Pengoperasian angkutan umum seperti kereta api, angkutan bus dan penerbangan komersial diatur ketat dan dibatasi. Bahkan cara beribadah yang melibatkan banyak orang juga diatur. Baik beribadatan rutin maupun tata cara ibadah di hari-hari raya keagamaan. Pada masa ini kaum Kristiani yang mula-mula dihimbau untuk melakukan penyesuaian. Ibadah minggu yang selama ini dilakukan secara bersama dipimpin Pendeta atau Presbyter, kini mereka dihimbau melakukannya di rumah keluarga sendiri dipimpin Kepala Keluarga atau anggota keluarga yang memiliki kapasitas. Bagi umat Kristiani agaknya tidak menjadi masalah. Dengan adanya panduan dari PGI dan Majelis Sinode masing-masing denominasi, semua dapat berjalan lancar. Apalagi tiap organisasi gereja umumnya sudah memiliki dan membagikan buku tuntunan harian kepada setiap keluarga Kristen seperti “Santapan Rohani”, “Sabda Guna Umat” dan lain-lain. Isinya, berupa khotbah singkat untuk pagi dan malam hari disertai lagu-lagu pujian bagi Tuhan. Sedikit bermasalah ketika tiba pada acara Sakramen Perjamuan Kudus( Ekaristi). Karena harusnya, Perjamuan Kudus itu dipimpin langsung oleh Pendeta yang telah ditahbiskan dan tidak boleh digantikan sembarang presbyter lain, kecuali yang ditunjuk secara khusus. Entah kebetulan atau karena memang sudah rencana Tuhan, yang adalah kepala Gereja, di bulan-bulan sulit ini ada tiga hari raya Kristen yang biasanya dirayakan secara khusus di gereja. Yaitu Hari Kematian Yesus Kristus pada Jumat tanggal 10 April 2020 yang biasa juga disebut Jumat Agung, lalu Hari Krebangkitan Yesus Kristus hari Minggu tanggal 12 April 2020 yang biasa juga disebut Hari Paskah. Selanjutnya sesudah empatpuluh hari setelah kebangkitanNya, yaitu tanggal 21 Mei 2020 tibalah peringatan Hari Kenaikan Yesus Kristus ke surga. Dan masih dalam rangkaian itu, sepuluh hari lagi yaitu tanggal 31 Mei 2020 akan tiba peringatan Hari Keturunan Roh Kudus atau yang dikenal juga dengan Hari Pentakosta. Dalam ibadah-ibadah ini, semula memang ada sedikit perbedaan pandangan diantara sebagian besar denominasi gereja dan kelompok lainnya. Yaitu sekitar dilarangnya berkumpul untuk melakukan ibadah bersama. Kelompok terakhir ini cenderung tetap mau beribadah bersama dengan keyakinan “Tuhan akan senantiasa melindungi umatNya dari segala mara bahaya sesuai janjiNya termasuk dari bahaya virus corona”. Masakan lebih takut kepada virus Corona daripada takut kepada Kristus, kata mereka. Sedang golongan terbanyak mengikuti petunjuk Rasul Paulus agar taat kepada arahan Pemerintah yang bertujuan baik. Karena tak ada pemerintah-pemerintah yang tidak ditetapkan Allah. Dan pemerintah adalah hambah Allah untuk kebaikan kita. Ironis memang, karena Paulus sendiri ketika itu ada dalam sekapan pemerintah totaliter Romawi dan pada akhirnya ia memang meninggal dipancung di Roma. Untunglah pada akhirnya kelompok yang tadinya berpandangan lain sepakat mengikuti petunjuk Palulus ini. Sehingga umat Kristiani Indonesia dapat memenuhi sepenuhnya anjuran Protokol Kesehatan untuk tidak beribadah dalam kerumunan. Dan wajar bila para pejabat pemerintah beberapa kali menyatakan penghargaan mereka atas kesepaahaman dan kerjasama ini. Umat beragama lain, seperti umat Muslim sama menghadapi ujian yang sama. Terlebih selama bulan puasa ini. Biasanya sholat berjamaah setiap hari Jumaat, tarawih bersama selepas buka puasa, takbiran dan sembahyang Ied setelah bulan Ramadhan berakhir, Apakah ada ajaran agama memungkinkan dilakukan penyesuaian dan apakah dapat dipatuhi. ***

MAAF, KALAU KUANGGAP BAJINGAN !!

Setiap kali saya dan Oma keluar rumah, selalu kuingatkan Oma agar tak lupa memakai masker. Kubilang, kita sebagai orangtua, karena kami memang sudah usia diatas 70 tahun, malu kalau kita di usia setua ini ditegur orang. Apalagi kalau oleh orang muda. Kita mestinya menjadi teladan bagi orang muda. Mestinya semua orang sudah paham. Dalam masa berbahaya oleh penyebaran virus corona yang telah menimbulkan banyak sekali korban jiwa ini, harusnya semua orang saling melindungi. Selain melindungi diri sendiri dan keluarga yang disayangi, juga orang lain sesama kita. Kita tidak percaya kalau ada orang mengatakan ia tidak tahu kalau keluar rumah harus pakai masker. Karena sudah begitu sering kita dengar dan saksikan para ulama, tokoh masyakarat, pemerintah, para dokter, menyampaikan himbauan melalui televisi, media sosial dan berbagai forum untuk mengikuti Protokol Kesehatan. Bahwa selain memakai masker, perlu jaga jarak. Kalau membuka pintu orang lain atau bangunan fasilitas umum, kita perlu membilas tangan lebih dahulu dengan cairan anti virus (sanitizer) yang disediakan dekat pintu atau yang kita kantogi sendiri dalam botol kecil dari rumah. Itu kalau kita merasa ribet atau malas untuk cuci tangan dengan sabun. Dengan begitu, kita sudah melindungi diri kita sendiri dari ketularan. Sebab siapa tahu ada orang lain sebelum kita yang memegang pintu itu. Padahal ia sudah tertular virus mematikan itu. Atau sebaliknya. Kalau kita yang telah tertular tanpa kita sadari lalu memegang gagang pintu itu, maka berarti kita telah menaruh perangkap berbahaya bagi seisi rumah dan juga buat orang-orang lain berikutnya yang menyentuh gagang pintu itu. Nah, cara untuk tidak menjadi biang keladi malapetaka bagi orang lain, maka satu-satuya cara adalah dengan mencuci tangan lebih dahulu atau membilas tangan dengan sanitizer sebelum membuka pintu. Makanya, jangan tersinggung kalau ada yang memasang pemberitahuan di pintu pagar memohon agar anda mencuci tangan dan memakai masker sebelum memasuki rumahnya. Kemarin, saya menegur seorang tukang parkir di depan toko swalayan agar memakai masker karena ia melayani banyak orang. Dan di hari kedua hari raya Lebaran ini, kami ke pasar. Meski belum seramai hari-hari biasa, tapi kesibukan para pedagang, pembeli dan kesibukan di lapangan parkir mulai terasa. Hanya sayang ! Masih saja ada segelintir orang-orang yang tak memakai masker. Tapi agak terhibur juga. Sekitar 95 % dari mereka yang kuamati, semuanya telah memakai masker. Hanya sebagian kecil itu saja yang membandel. Maaf, boleh dibilang ini orang-orang bebal kalau tak boleh disebut bajingan. Orang-orang tak mau diatur. Orang-orang begini berbahaya dinasehati. Polisi bahkan tentara berseragam saja mereka lawan. Bahkan seorang yang memakai jubah keagamaan sampai-sampai memukul aparat. Padahal mestinya mereka menjadi tauladan ! Memalukan. Satu kritik lagi. Apa saja peran petugas penertiban pasar dan pertokoan seperti swalayan. Mestinya sebagai pemegang otoritas di tempat masing-masing, mereka berhak dan berkuasa untuk melarang orang tak memakai masker masuk kawasan pasar atau swalayan. Kalau mau jualan pakai pasker. Kalau tidak, pulang !. Kalau mau belanja di pasar, masuk harus pakai masker. Kalau tak mau, tidak usah belanja, pulang ! Begitu pula di toko atau swalayan. Alasan tak punya masker ? Tak ada ? Padahal kalau mau, serbet pun bisa. Para pemegang wewenang seperti ini adalah orang-orang tak bertanggungjawab. Tak pantas mereka ada disitu. Karena mereka hanya makan gaji buta.***

Thursday, May 21, 2020

TEGA-TEGANYA ANAK DIBIARKAN TAK BERMASKER DI TENGAH ANCAMAN VIRUS CORONA

Sering kali terlihat di toko swalayan, pasar atau ketika mengantri bantuan sembako gratis di tengah-tengah kerumunan orang, ada pasangan orangtua atau ibu yang menggendong anak balitanya dibiarkan tak memakai masker. Sedang kedua orangtuanya sendiri memakai masker. Seakan yang butuh atau wajib pakai masker itu hanya orang dewasa. Seperti kita naik kendaraan umum saja. Anak kecil yang masih dalam gendongan tak perlu bayar. Karena belum cukup umur. Padahal, anak kecil termasuk yang paling rawan terhadap perubahan cuaca dan bahaya penyakit. Membawa anak kecil itu sendiri, di tengah-tengah ancaman penyebaran virus corona saat ini, sebetulnya sudah mengandung resiko. Ketika melihat kedua orangtua memakai masker di antara kerumunan orang yang lalu lalang berdesakan sambil menggendong anak kecil mereka tanpa pelindung masker, maka timbul pertanyaan di hati, apakah orangtua seperti ini sedang mau mencelakakan anak mereka ?? ***

Wednesday, May 20, 2020

GUBERNUR DKI : INI BARU BENAR

Wejangan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di forum ILC TVOne tanggal 19 Mei 2020 mengenai pelaksanaan PSBB cukup berbobot dan memperlihatkan sifat kepemimpinan. Berbeda dengan penampilan sebelum-sebelumnya. Dia memaparkan kecenderungan penyebaran virus corona sejak Maret 2020 yang terus meningkat. Namun dalam beberapa minggu terakhir ini nampak mulai menurun. Demikian juga pasien sembuh akibat terpapar makin meningkat. Sehingga dia menjanjikan, bila kecenderungan ini terus berlanjut dia akan mempertimbangan pelonggaran PSBB. “Dua minggu ke depan ini adalah masa penentuan”, katanya. Tapi bila yang terjadi sebaliknya, maka masa berlaku PSBB akan diperpanjang. Karena itu ia mengharapkan agar protokol kesehatan seperti menjaga jarak, sering-sering mecuci tangan, memakai masker dan sedapat mungkin tetap di rumah terus dipatuhi. Terlebih pada saat-saat Idul Fitri nanti, agar himbauan pemerintah dan para ulama benar-benar dilaksanakan. Ia mengingatkan peristiwa tragis di suatu negara di luar negeri. Seorang yang terpapar virus corona pulang kampung dan menyalami semua keluarganya. Akibatnya semuanya sakit dan meninggal dunia. Ini jangan sampai terjadi di Indonesia. Perkembangan baik di Jakarta – yang merupakan ibukota negara – akan membawa pengaruh baik pula bagi kota-kota lainnya di daerah. Ia juga menyesalkan adanya beberapa pejabat pemerintah yang suka membuat pernyataan-pernyataan yang tidak ada dasar hukumnya sehingga membingungkan masyarakat. Disamping itu membuat para aparat keamanan di lapangan mengalami kesulitan menanggapi reaksi masyarakat. Maka itu, sebelum membuat pernyataan, Pemda DKI menyiapkan aturannya dulu supaya ada dasar hukumnya. Lalu ia menganjurkan, para petugas di lapangan agar hanya melaksanakan kebijakan yang ada aturannya. “Kita bekerja berdasarkan aturan. Bukan berdasarkan wacana”, katanya. Pernyataan Gubernur ini memang tepat. Hanya sayang, nampaknya kurang didukung sebagian aparatnya di lapangan. Mereka kurang melakukan antisipasi. Seperti yang nampak pada tayangan di televisi di Pasar Tanah Abang beberapa hari terakhir ini. Para pedagang dan warga pembeli berjubel, berkerumun. Protokol kesehatan tentang menjaga jarak tidak dipatuhi. Demikian pula banyak yang tak memakai masker. Seyogyanya, sebelum para pedagang kakilima berdatangan mendirikan tenda-tenda dan lapak di trotoar dan badan jalan, polsus PP, yang didukung Polri dan TNI telah siap-siap mencegah dan melarangnya. Bahkan di saat-saat menjelang hari raya ini perlu disiagakan satuan PP yang selalu memantau dan siap pula bertindak bila ada pelanggaran. Sistem pemantauan seperti yang pernah dicobakan Polantas Polda Metro Jaya dalam memantau pelanggaran lalulintas di zebra cross, agaknya bisa diterapkan pula dalam pemantauan pedagang kakilima di Pasar Tanag Abang ini. Bila dari pusat pemantauan terlihat ada pelanggaran langsung ditegur melalui pengeras suara yang dipasang untuk itu. Dan bila para pedagang kakilima akan diberi kelonggaran, agar diatur supaya protokol kesehatan tetap dilaksanakan. Mungkin dapat dicontoh seperti yang dilakukan salah satu Walikota di Jawa Timur yang tetap mengijinkan pedagang kakilima berjualan. Namun sebelumnya dibuat petak-petak yang mempunyai jarak tertentu satu sama lain. Para pedagang sejenis di kelompokkan dan ditunjuk seorang koordinator merangkap pengawas dan sebagai penanggungjawab dari mereka sendiri.***

Wednesday, May 6, 2020

Peristiwa paling mengesankan sebagai Wartawan (12) MENDEBARKAN, IKUT PESAWAT LATIH GARUDA

Suatu hari terjadi tragedi kecelakaan pesawat Garuda di Lapangan Terbang Kemayoran. Meski dijaga ketat, aku berhasil menerobos masuk dan memotret bangkai pesawat yang naas itu. Maka pagi berikutnya suratkabar kamilah yang paling lengkap memuat berita dan gambar-gambarnya. Badan pesawat terpotong dua. Seluruhnya sudah menghitam bekas terbakar. Tak jelas apakah ada korban penumpang atau awak tewas ketika itu. Rupanya pesawat itu pesawat latih yang sedang dipakai melatih para calon penerbang Garuda (GIA). Namun begitu, pihak Garuda nampaknya tak urung menunda pelatihan para calon-calon pilotnya. Melihat pemberitaan kami yang sedikit lebih ekslusif, mereka menawarkan apakah ada wartawan suratkabar kami yang berani ikut melihat bagaimana cara Garuda mendidik calon-calon pilotnya. Aku menyatakan siap. Tak terpikir saat itu resiko bagaimana kalau siswa penerbang yang akan memegang kemudi pesawat Fokker 27 itu berbuat blunder dan pesawat kami mengalami naas seperti pesawat yang baru kami beritakan sebelumnya. Didampingi seorang pilot pelatih senior, sang siswa pilot mengendarai pesawat kami take-off lalu terbang mengitari Ibukota Jakarta di udara lalu landing, Begitu berulang-ulang, turun naik sampai enam atau tujuh kali. Baik sewaktu take off maupun mendarat, rasanya seperti truk berjalan di atas jalan yang berbatu-batu. Meskipun aku duduk di kursi belakang kokpit di antara sang si calon pilot dan pelatihnya, namun cara pendaratan seperti itu membuat juga dadaku agak berdebar-debar, Tapi syukurlah semua berakhir dengan selamat, ***

Peristiwa paling mengesankan sebagai Wartawan (11) : MELAWAN PADENGE DI TANAH MORI

Suatu hari aku mendapat berita telegram, ibuku sakit keras. Dengan alasan itu aku diijinkan pulang ke kampung. Malahan aku dapat menggunakan tiket cuma-cuma Jakarta - Makasar pulang pergi sebagai hasil kerjasama perusahaan suratkabar kami dengan Mandala Airlines. Ibu ternyata sudah membaik. Malahan aku yang tiba-tiba sakit nyeri otot belakang. Kalau bergerak terasa sangat sakit. Diam-diam ibu dan adik Tumi menyiapkan acara kebaktian doa pengucapan syukur atas kedatanganku dan untuk kesembuhanku. Selepas kebaktian hari Minggu, jemaat bekumpul di rumah. Banyak sekali. Sebagian terpaksa mengambil tempat di luar. Mengherankan, karena yang memimpin kebaktian adalah Kak Madura, putera adik bungsu ayahku. Padahal dulu ia seorang dukun terkenal. Dia pernah memandikanku di tengah kegelapan seraya membaca mantera-mantera. Rupanya telah bertobat dan malahan ditahbiskan menjadi Penatua. Makin hari kesehatanku mulai pulih. Aku telah mengirim telegam ke kantor di Jakarta perihal kesehatanku dan akan terlambat kembali ke Jakarta. Ini memungkinkan aku menggunakan kesempatan beberapa hari melakukan perjalanan jurnalistik. Aku tidak ingin kembali ke suratkabarku tanpa membawa ole-ole laporan jurnalistik. Aku juga ingin berbuat sesuatu untuk perbaikan tanah kelahiranku. Dan kini kesempatan itu tersedia bagiku. Banyak yang dapat kulakukan. Kulihat kehidupan rakyat Tanah Mori tetap memprihatinkan. Prasarana transportasi tambah rusak. Kegiatan ekonomi lesuh. Kota Beteleme yang dahulu dibakar gerombolan perusuh, masih ambrul adul. Demikian pula Kampung Tinompo tempatku sekolah selama tiga tahun lebih makin merosot. Pada hal di daerah-daerah lain pemerintah-pemerintah daerahnya beserta masyarakat sedang berlomba-lomba membangun. Walikota Makasar, Daeng Patompo, Walikota Cirebon Tatang dengan antusias membangun dan mendadani kotanya di sana sini. Mereka tidak mau disebut sedang meniru-niru Gubernur DKI Ali Sadikin yang ketika itu sedang harum namanya karena kesuksesannya membangun Jakarta. Malah Ali Sadikin yang meniru, kata mereka. Dari berbagai keluhan penduduk serta pengamatanku sendiri, yang paling menyengsarakan rakyat Mori adalah praktek padenge. Yaitu pemaksaan rakyat untuk memikul barang bawaan pribadi para pejabat pemerintah dan personil militer dari kampung ke kampung tanpa bayaran sedikitpun ! Semacam pekerja rodi di jaman tentara pendudukan Jepang. Pemaksaan serupa hampir kualami sendiri. Ketika masih sakit aku duduk-duduk di kursi beranda. Tiba-tiba seorang prajurit memanggil-manggil setengah membentak kearahku dari jalan raya. Karena aku tak bereaksi, ia lalu bergegas dengan sikap marah akan memasuki pintu pagar. Ketika kukatakan, aku sedang sakit ia pergi. Aku sama sekali tidak takut. Karena kalau ia melakukan kekerasan, pasti aku akan melayangkan berita protes ke Mabes Hankam dan Mabes AD di Jakarta melalui koran kami. Pada Kartu Pers dari Puspen Hankam maupun Dispen MBAD tegas dinyatakan agar semua pihak di lingkungannya memberikan bantuan dalam pelaksanaan tugas pemegangnya. Aku memutuskan berangkat ke Poso. Berjalan kaki seorang diri mengikuti rute jalan potong seperti yang dahulu sering aku lalui kalau pulang libur sekolah. Dengan demikian aku dapat melihat perubahan yang terjadi dan membandingkannya dengan kondisi sepuluh tahun yang lalu ketika terakhir kutempuh. Ternyata sungguh menyedihkan. Jalan raya yang dahulu masih bisa dilalui mobil, kini di beberapa ruas sudah seperti jalan setapak. Padahal jalan ini jalan negara. Di beberapa tempat aku berjumpa dengan penduduk yang sedang memaras jalan. Sebagian diantaranya orang tua-tua dan pemuda dari Uluanso, kampung kelahiranku. Ada yang sakit tapi tak ada obat. Salah seorang adalah kerabatku sendiri, Bpk. Manara Lado’u suami sepupuku. Lagi menggigil demam. Mereka mengeluh, karena terpaksa meninggalkan selama berhari-hari kebun dan sawah mereka yang sudah siap panen. Padahal rawan dari serangan hama dan binatang-binatang perusak. Tidak ada bayaran dan harus membawa bekal sendiri. Berkali-kali aku berjumpa dengan padenge, yaitu penduduk pemikul barang yang berat-berat diikuti pemiliknya yang melenggang. Entah ia pejabat pemerintah atau anggota militer atau polisi. Yang membuat hatiku tambah marah ketika diberitahu sebagian barang-barang padenge itu barang dagangan. Bukan barang dinas. Jadi keringat rakyat dipakai untuk dagang. Kejam ! Di Poso aku ke kantor Bupati untuk mengetahui apa saja pembangunan yang telah dikerjakan dan apa progam pembangunan pemerintah daerah. Tetapi sungguh mengherankan. Mereka tidak memiliki Repelita ( Rencana Pembangunan Lima Tahun Daerah). “Apa itu Repelita“, tanya balik seorang pejabat Pemda yang kutemui di Gedung Nasional Poso. Padahal ketika itu sudah menjadi keharusan, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah membuat Repelita. Akupun menemui komandan distrik militer Kabupaten Poso, seorang Mayor dan mempertanyakan pemasalahan padenge. Tapi mayor ini yang didampingi beberapa Overste sama tak bisa memberi solusi. Salah seorang diantaranya kuyakini asal Beteleme dari melihat marga di label namanya. “Bagaimana lagi, kata”, kata sang Mayor. Perhubungan sangat susah. Jalan-jalan semua rusak. Tapi ia menjanjikan, ia akan membatasi perjalanan dinas anggotanya. Sekembali ke Jakarta – yang ibukota republik ini - praktek padenge yang kejam ini kuungkapkan secara serial di suratkabar kami, Harian Kami. Dan tak lama setelah itu dilakukanlah rehabilitasi besar-besaran perhubungan darat di Sulawesi Tengah. Khususnya di Kabupaten Poso. ***

Peristiwa Paling mengesankan sebagai wartawan (10): DAMPINGI KOMANDAN KEPUNG MARKAS MUSUH

Tahun 1967, tak lama setelah perubahan politik di Indonesia, aku dikirim meliput operasi tempur KKO (sekarang Marinir) ke Paloh Kalimantan Barat. Aku berangkat ke sana memakai fasilitas dari Markas Besar Angkatan Laut (MBAL). Singgah beberapa hari di Mess Perwira AL di Pontianak, kemudian aku seorang diri berangkat naik truk ke Singkawang. Menjelang malam hari berikutnya, aku menumpang kapal kayu menuju Paloh suatu desa kecil di pesisir pantai Kalimantan Barat. Suatu pelayaran yang sangat mendebarkan. Angin topan dan ombak yang besar. Air laut berulang kali menyembur ke atas dek tempatkku berbaring. Tempatku mendekam seraya berpegang pada tali kapal. Takut terlempar keluar. Sekeliling kapal gelap. Hanya suara debur hempasan ombak dan tiupan angin kencang yang terdengar. Sesekali ada bunyi drum yang saling berbenturaan. Awak kapal tak ada yang kelihatan. Entah di mana mereka. Suara merekapun tak ada. Bagi mereka, mungkin ini hal biasa. Maka akupun berusaha tenang. Namun aku terus berdoa mohon perlindungan Tuhan. Aku samasekali tak bisa tidur dan berusaha agar tidak tertidur. Takut kalau tertidur bisa terlempar keluar dari kapal yang terus-menerus oleng. Baru ketika, ombak agak mereda, barulah aku mulai berani memejamkan mata. Itupun setelah aku mengikatkan perkelangan tanganku ke tali kapal. Menjelang pagi merapatlah kami ke kade pelabuhan. Di sana telah berdiri beberapa anggota KKO. Tak kuduga, disitu juga ada Prasetio rekan wartawan dari suratkabar El Bahar. Rupanya ia sudah datang lebih dahulu. Pasukan KKO (Marinir) ditugaskan melakukan pengamanan pantai. Jangan ada penyusupan gerilyawan PARAKU dari laut serta menahan musuh yang terdesak ke pantai dari operasi pembersihan pasukan AD di pedalaman. Gerilyawan PARAKU ini dahulu adalah binaan pasukan khusus TNI sendiri dalam rangka konfrontasi melawan Inggeris-Malaysia. Tetapi mereka menolak ketika diminta membubarkan diri setelah tercapai perjanjian damai. Berkali-kali aku ikut dalam patroli laut dengan menggunakan perahu motor cepat. Seringkali kami gagal mendekati untuk memeriksa kapal-kapal besar yang melintas di kejauhan. Ombak laut lepas begitu besar. Pernah seorang anggota sampai muntah-muntah kuning tak tahan oleh goncangan ombak. Sesekali lembaran air seperti mau menutupi kami. Kalau sudah begitu tak ada pilihan lain kecuali menghindar. Suatu hari ada info terdengar tembakan dari arah hutan di pedalaman. Maka pasukan pun segera dipersiapkan. Sekitar satu peleton di bawah pimpinan Letnan Leo. Aku coba menggunakan seragam loreng lengkap dengan topi baja. Meski kata rekan dari El Bahar cukup “seram”, namun terasa berat. Maka kulepas dan cukup menggunakan pakaian dan topi biasa. Namun sang Komandan memberikan pestolnya agar kupakai dan minta agar aku selalu berada disampingnya. Satu setengah hari kami berjalan melintasi hutan. Sempat bermalam di sebuah rumah kosong. Anjing pelacak yang dibawa pasukan nampak kepayahan. Terpaksa harus dipanggul. Ketika beristrahat tidur, seorang anggota mengeluh lelah kepada temannya. Komandan mendengarnya dan marah besar. Letnan asal Timor ini berkata keras : ”Kalau kamu memang benar anggota Korps Komando Angkatan Laut Republik Indonesia, besok senjataku kau pikul, rangkap dengan senjatamu”. Sang prajurit hanya diam tak berani menyahut. Sekitar jam sepuluh siang berikutnya, sesudah berjalan penuh waspada beberapa kilometer, kami mulai merangkak maju. Sang Komandan mulai mengatur posisi pasukan. Sebagian bersyaf, sebagian lagi dibawah pimpinan seorang Sersan diperintahkan memisahkan diri dan memutar. Saya sedikit mengerti isyarat-isyarat teknik tempur itu karena dahulu memang pernah mengikuti latihan teknik tempur sebagai sukarelawan Pembebasan Irian Barat. Setiap mengambil posisi, dua prajurit bersenjatakan Bren Yuliana mengawal Komandan dengan moncong senjata berkaki dua itu diarahkan ke belakang. Tak berapa lama merangkak, tibalah kami di sekitar sebuah gua batu besar berbentuk bundar. Mirip gedung Stadion Utama Senayan. Komandan segera mengatur steling sekeliling mulut gua. Mengawasi setiap ada gerakan dari dalam gua. Semua senjata, rata-rata senjata otomatis AK-47, sudah dikokang, siap memuntahkan peluru.Konon, sekali tembak dapat memuntahkan enampuluh butir peluru. Di tengah lantai gua yang rata masih terlihat asap di bekas api unggun. Petanda baru saja ada orang di situ. Bahkan mungkin orangnya masih ada bersembunyi. Tiba-tiba dari dalam bermunculan orang-orang berseragam loreng dengan senjata siap tembak. Aku yang hanya mengenal anggota KKO dari baret merah ungu mereka tak cepat mengetahui siapa mereka. Karena semuanya memakai topi baja. Tetapi sang Komandan segera mengenal. Mereka anggota-anggotanya. Ia lalu berdiri dan melepaskan beberapa kali tembakan. Kode, situasi telah aman. Tak lama kemudian seluruh pasukan sudah berkumpul dan siap-siap kembali ke Markas. Sebagian besar menduga semua ini hanya ulah para pemburu. ***

Tuesday, May 5, 2020

Peristiwa Paling berkesan sebagai wartawan (9) : DIGAMPAR TENTARA

Menjadi wartawan yang meliput berita-berita kriminal, seperti yang aku alami penuh resiko. Pada suatu pagi, seperti biasa aku masuk kantor sebelum mencari berita. Di halaman kantor terlihat beberapa anggota tentara. Tiba-tiba muncul dari dalam Rls. pegawai baru yang belum lama diterima sebagai Seketaris Redaksi. “Nah….., ini dia orangnya Pak, kebetulan sudah datang”. Yang dia maksudkan adalah aku, wartawan yang menulis berita pada koran kami pagi itu mengenai perampokan yang melibatkan oknum tentara. Dalam hati aku menyesali teman ini karena dia telah melakukan pelanggaran berat kode etik pers. Penulis berita menurut Undang-undang harus dirahasiakan kecuali kepada Jaksa Agung. Isi pemberitaan pers pun tak dapat langsung dimintakan pertanggungjawabannya kepada wartawan yang menulis, tetapi harus kepada Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab suratkabar. Dalam beberapa kasus, seperti koran Indonesia Raya dan Nusantara, Pemimpin Redaksinya memilih lebih baik dirinya dihadapkan ke pengadilan daripada menyebutkan identitas wartawan korannya yang menulis berita yang kontroversial. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Salah seorang tentara itu memperlihatkan secarik kertas undangan dari atasannya di Gambir guna menjernihkan berita tersebut. Tanpa berpikiran buruk dan mengharapkan akan mendapatkan berita lanjutan, aku setuju ikut bersama mereka dalam mobil jip. Sampai di pertigaan Jalan Raden Saleh, salah seorang mengusulkan agar aku dibawa ke CPM Guntur tetapi tidak disetujui pimpinanya. Kami singgah sebentar ke Kantor Polisi Kramat. Salah seorang meminta polisi memanggil seorang tahanan. Dan ketika keluar anggota tentara itu memperlihatkan pashoto seorang anggota tentara, dan tahanan itu mengangguk membenarkannya. Sampai di salah satu markas militer di Jalan Merdeka Timur, aku diperhadapkan dengan seorang perwira muda berpangkat Letnan Satu. Perwira ini menerimaku dengan ramah. Dia menyampaikan tanggapannya atas berita yang kutulis dan aku berjanji untuk memuatnya. Tetapi ketika keluar pintu gedung, tanpa terduga aku dicegat beberapa oknum anggotanya. Seorang diantaranya menampar pipi kiriku dan seorang lagi mencoba mencabut pisau komando tetapi dihalangi kawannya. Aku masuk kembali ke dalam, menemui perwira yang mengundangku dan mengajukan protes. “Aku ke sini diundang baik-baik dan dijemput. Mengapa jadi begini !,” kataku keras. Sang perwira hanya dapat meminta maaf dan mengantarku keluar. Di luar, aku lihat para prajurit tadi tengah mengikuti apel. Aku berjalan keluar halaman melewati deretan tank di kiri-kananku dengan laras-laras meriamnya menjulang di atas kepalaku. Kendaraan umum pagi itu belum ada sehingga terpaksa aku pulang dengan berjalan kaki. Pikiranku jadi kacau, kesal dan marah atas keteledoran Sekretaris Redaksi kami yang baru serta tindakan main hakim sendiri para prajurit tadi. Pipiku juga terasa lebam dan sakit. Aku tak mungkin dapat melakukan tugas hari itu. Karena itu aku putuskan langsung pulang ke rumah dan tidur menenangkan diri. Petang harinya baru aku ke kantor. Di sana hanya ada Pak Achmad Syamsudin, Desk Editor yang bertugas menyeleksi berita-berita yang masuk sore itu. Ia terkejut melihat kedatanganku, karena sejak pagi hari itu teman-teman sekantor telah melakukan pengecekan ke instansi-instansi militer dan polisi tempatku biasa mencari berita seperti :Penerangan Kodam V/Jaya, Kepala Dinas Penerangan (Dispen) AD, Dispen Hankam, Penerangan Komdak VII Jaya dan Dispen Mabes Polri. Tetapi mereka tidak mengetahui keberadaanku. Pak Syamsudin yang biasa kami sapa Pak U’u, langsung membuat berita ukuran dua kolom dengan judul besar “Protes Keras”. Ditempatkan di pertengahan halaman depan dan di bingkai. Isi protesnya ditujukan ke Skogar Ibukota di Gambir. Pagi harinya, reaksi atas berita itu cukup banyak. Kepala Dinas Penerangan Kodam Jaya menelpon memintaku datang untuk menyelesaikannya. Tetapi Pemimpin Redaksi kami Bapak Nono Anwar Makarim melarangku pergi. Katanya, selaku Penanggung Jawab, dialah yang harus bertanggung jawab, namun ia tetap minta aku mendampinginya. Di ruang Pendam V Jaya telah menunggu beberapa perwira menengah. Diantaranya ada Kolonel Urip Widodo, Kabiro Sosial Politik Kodam dan Letnan Kolonel Mantik Komandan Satuan Komando Garnisun (Skogar) Ibukota. Kapendam menjelaskan setelah dicek ke Skogar ternyata peristiwa dimaksud tidak pernah terjadi. Namun ketika dicek lebih lanjut ke seluruh kesatuan militer yang berkantor di Gambir, ternyata peristiwa itu terjadi di kantor kesatuan kavaleri. Pelakunya, dua orang kopral, telah dimasukan ke sel. Karena itu diharapkan kejadian itu dianggap selesai. Pernyataan simpati terus berdatangan. Seorang kolonel dari Cijantung menelpon menanyakan tentara dari mana pelakunya dan apakah kami memerlukan bantuan. Tetapi kujawab telah diselesaikan secara damai.***

SISI LAIN DARI LAGU “SOLO-BALAPAN”NYA ALM.DIDI KEMPOT

Mendengar judul lagu “Solo-Balapan” lagu terpopuler dari alm. Didi Kempot yang baru saja meninggalkan kita, saya teringat kisah seorang sahabat yang juga berjudul “Solo-Balapan”. Hanya kalau lagu ciptaan almarhum berkisar pada tema patah hati, maka kisah sahabat asal Jogya ini bertema asmara yang “happy end”. Singkat ceritera, Mas Tijo adalah teman senasib saya bersama rekan-rekan lain dari suratkabar Harian Pelopor. Ketika saya dirawat di rumahsakit tahun 1965, suratkabar kami tersebut diberangus penguasa baru sehingga semua karyawan menganggur. Beruntung Mas Tijo dapat bekerja kembali sebagai wartawan di suratkabar Pelopor Baru. Koran ini satu dari dua suratkabar yang sengaja diterbitkan untuk menampung para karyawan ex. suratkabar Pelopor. Tetapi dengan versi baru dibawah kontrol militer. Koran lainnya adalah Pelopor Jaya yang di bawah kontrol Kodam V Jaya. Keluar dari rumahsakit, saya tak diterima di kedua koran baru itu dengan alasan lowongan sudah tutup. Maka sayapun terpaksa tetap menganggut. Padahal saya masih dalam status rawat jalan akibat penyakit berat yang baru menimpah saya. Tapi Puji Tuhan, kemudian saya dibukakan kesempatan masuk di koran tabloid Harian Kami. Mulanya seperti koran amatiran. Maklum saja dikelola oleh para mahasiswa, aktivis yang ketika itu sehari-harinya hanya demonstrasi karena semua perkuliahan dihentikan. Saat itu redaksinya dipimpin Nono Anwar Makarim. Sekarang beliau menjadi konsultan terkenal. Ia adalah juga ayah dari Nadiem Makarim Menteri Pendidikan Kabinet Jokowi sekarang. Kembali pada ceritera awal, menjelang bulan puasa tahun itu, Mas Tijo mudik dan naik kereta api dari Stasion Gambir dan turun di Stasion Solo Balapan. Dalam perjalanan itu sahabat yang masih lajang dan lumayan tampan ini, rupanya kasmaran dengan seorang gadis Solo. Sepanjang jalan asyik ngobrol. Rupanya ketika sampai di Stasion Balapan Solo ceritera belum habis. Mereka harus berpisah. Rumah sang gadis memang di Solo. Tetapi Mas Tijo masih harus lanjut lagi ke Jogya. Untuk menyambung ceritera yang belum tamat, mereka berjanji untuk melanjutkan lagi bila balik ke Jakarta nanti. Balik kembali ke Jakarta, ba’ Arjuna yang kena panah asmara, ia mengarang ceritera perjalanan Stasion Gambir- Solo Balapan lalu dimuat di suratkabarnya, Harian Sore Pelopor Baru. Setelah terbit, beberapa eksemplar dikirimnyalah ke alamat gadis Solo di kawawan Kramat Jati Jakarta Timur melalui kolportir. Besoknya, kawan ini menerima surat yang isinya puitis. Harap maklum, ketika itu belum ada HP. Apalagi WA. Salah satu kalimatnya berupa pertanyaan : “ Kalo tak salah, gadis Rini itu saya kan Mas ?”. Membaca pertanyaan itu, teman ini tak menjawab. Kami hanya tertawa geli karena jawabannya kami sudah paham sendiri. Ketika Hari Lebaran tiba, ia mengajak saya berlebaran sekaligus berkenalan dengan gadis yang ketika itu sudah menjadi pujaannya. Dapat dibayangkan, bagimana asyiknya kedua pasangan yang sedang terpikat asmara itu. Rupanya sejak itu mereka tak perlu menunggu lama-lama. Mas Tijo pamit dan pulang mudik untuk menikah. Tinggal saya seorang diri di rumah kontrakan yang disediakan koran Pelopor sebelum dilarang untuk kami karyawan bujangan.***

DIDI KEMPOT ALM. YG MENINGGALKAN KESAN MENGHARUKAN

Tiba-tiba saja Didi Kempot yang sedang poputer-populernya, pagi-pagi hari ini tanggal 5 Mei 2020 dipanggil Tuhan Yang Mahakuasa di rumahsakit Kasih Ibu Surakarta. Konon rumahnya tak begitu jauh dari rumah keluarga Presiden Joko Widodo. Bagaimana tak mengejutkan dan mengharukan. Almarhum belum lama ini tampil berjam-jam di Kompas.TV menyelenggarakan konsert amal di rumah untuk mengumpulkan dana penanggulangan virus Corona. Terkumpul dana Rp 7,6 milyar. Jumlah yang fantastis. Memang ia sangat digandrungi banyak penggemar dari seluruh lapirasan masyarakat. Tua muda, pria wanita dan juga seluruh etnis di Indonesia walaupun lagu-lagu umumnya lagu-lagunya dalam bahasa Jawa. Kecintaan terhadap almarhum, nyata dari tak terbendungnya para pelayat ke rumah duka bahkan sampai pada pemakaman. Upaya keras pihak keamanan dan himbauan keluarga agar cukup mendoakan almarhum dari rumah seperti tak bergaung. Seperti mereka lupa adanya ancaman wabah virus corona dan keselamatan mereka sendiri. Diantara tujuh ratus lagu-lagu ciptaannya, nampaknya yang paling disukai penggemar adalah lagu “Solo-Balapan”. Hanya miris juga membaca keterangan almarhum sebelum wafat dalam sebuah media on line. Dari sekian lagu ciptaannya yang sudah menyebar luas itu ia belum pernah menerima royalty. Jadi tanda tanya juga mengapa hak cipta atau jerih para seniman kita tak bisa mereka nikmati. Padahal sudah begitu banyak seniman yang pernah duduk bahkan kini masih duduk DPR. Sebagai yang mewakili para seniman, mereka mestinya dapat membuat aturan-aturan yang melindungi para seniman dan mengawasi pelaksanaannya. ***

Sunday, May 3, 2020

Peristiwa paling berkesan sebagai wartawan (5): Jenderal kaget, dikira aku terorist

Dalam pesawat dari Makasar ke Jakarta, aku mengenal seorang jenderal yang menjabat panglima Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan). Dialah yang mengkoordinasikan semua Kodam di Jawa dan Madura. Ketika aku mendekatinya untuk berwawancara ia malah terkejut. Matanya tajam menatapku. Ia mungkin mengira aku pembajak. Dan dia akan aku jadikan sandera. Maklum ketika itu RPKAD baru saja berhasil melumpuhkan para pembajak pesawat Indonesia Woyla di Bangkok dengan ratusan penumpangnya. Meski aku sudah mengenalkan diri, dan menunjukkan Kartu Pers ku dari Mako Hankam, tetap saja ia enggan kuwawancarai. Kupikir, mungkin dia telanjur terganggu ketenangannya. Maka aku tak jadi memawancarainya.Waktu itu aku memang memakai jaket. Dan di dalam jaket aku menyandang camera. Mungkin ia menduga dalam jaketku yang menggembung itu ada senjata. Untunglah kemudian aku bejumpa dengan seorang pemuda asal Timor, Johanes Auri, yang ternyata bintang sepak bola kesebelasan nasional. Teman-temannya di PSSI sering menjulukinya sebagai “Kuda hitamdari Timur” Ia beceritera tentang suka dukanya sebagai pemain bola nasional, bagaimana ia pernah cedera ketika melawan kesebelasan tangguh “Dinamo Moskow” dari Rusia Ia beceritera tentang penghargaan dan pengagum-pengagumnya termasuk kekasih yang baru saja dinikahinya. Selembar foto pernikahan dipelihatkannya dalam dompet. Ia juga berterima kasih atas perhatian Pertamina yang mengangkatnya sebagai karyawan. ***

Saturday, May 2, 2020

The most Impressive Story as a journalist (8) : Again General suspect I am a terorist

One day when I searched for a friend reporter in the elite area of Menteng central Jakarta by riding a motorcycle. I used the jacket to do not go wind. Therein I bear a camera. This friend only tells the street name and address number of his office. While gliding slowly, I noticed every house on the left and right of the road looking for the friend's office address. And it's not hard to find it. When I returned to the office, I was surprised to be told there were a number of police officers from the crime section of the central Jakarta police station looking for me and asking me to face their office. What is my fault? Upon arriving there, the police officer who summoned the stand from his chair was telling me while laughing amused: "Ha ha ha..... You're apparently..., I guess Who..... ", he said in a brogue of Betawi. This police commissioner is well known. Because as a reporter I often follow their operating activities. He then retold, apparently there was a general in the area of Menteng who was noticing and suspicious viewing me. He called the police to investigate who the owner of the motorcycle had recorded. After scrutinized the owner of our office. And when the head of our office examines who the motor wearer with the mysterious number, it turns out I. " General who it is, I'll get there and I explain. ", I said. "The general might thought I am a sniper". This officer does not want to mention. "Yes, never mind", he said. "You can go home. I am the phone call ". As we laughed then I returned to our office. ***

Friday, May 1, 2020

Peristiwa paling mengesankan sebagai wartawan (6) MENYAMAR, MENGUAK PUNGLI DI TANJUNG PRIOK

Suatu hari aku menemui Dra. Trimurti, pahlawan perintis kemerdekaan yang ikut dalam upacara proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Konon, beliau juga termasuk salah seorang pemudi pejuang yang ikut mendesak Bungkarno dan Bung Hata untuk memproklamasikan kemerdekaan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 namun gagal. Isteri Sayuti Melik yang ikut menyusun teks proklamasi kemerdekaan ini, biasa akrab dipanggil Bu Tri. Meski sudah mulai dimakan usia, beliau masih tetap aktif menulis. Tinggal di kawasan Jalan Lontar Jakarta Pusat, beliau termasuk penulis tetap di Harian Kami. Bahkan ia juga menerbitkan majalah sendiri, majalah Mawas Diri. Dia juga pernah dipercaya menjadi Menteri Tenaga Kerja di jaman pemerintahan presiden RI pertama Bungkarno. Beliau mengajak untuk membongkar praktek pungutan liar dan penyelundupan administratif melalui pelabuhan Tanjung Priok yang tertutup rapat dan sulit dibuktikan. Ia memperkenalkan aku dengan seorang importir mobil. Dan dengan selembar surat tugas, aku menemani seorang staf kepercayaannya yang sedang mengurus pengeluaran mobil import asal Jerman. Dengan penyamaran itu aku bisa melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana masifnya praktek kongkalingkong di Kantor Bea Cukai Tanjung Priok. Sayangnya aku tak dapat merekam gambar situasi di sana karena tak bisa membawa tustel. Karena dengan menyandang tustel, penyamaranku akan diketahui. Di depan loket-loket pengurusan administrasi barang ekspor import barang itu memang mundar-mandir anggota Polisi Khusus yang berhelem putih, mirip anggota Polisi Militer. Tetapi apa yang dilakukannya, bukannya menertibkan orang-orang yang berurusan di depan loket. Lebih tepat disebut sebagai pelindung praktek kecurangan di situ. Bila ada atasan atau pengawas dari luar melakukan inspeksi, maka dengan terburu-buru ia berlari-lari menyuruh keluar semua orang selain petugas keluar dari dalam ruangan lalu berpura-pura antri tertib di depan loket. Setelah petugas inspeksi pergi, orang-orang itu kembali lagi masuk mengerubuni petugas pemeriksa dokumen. Ada laci yang senantiasa dibiarkan terbuka. Sebelum berkas dokemen ditandatangan, terlebih dahulu ada main mata atau secara terang-terangan tawar-menawar lalu disusul dengan menjatuhkan lembaran-lembaran uang ke dalam laci. Kalau lembaran uang tak jatuh-jatuh juga, si empunya dokumen diancam dokumennya akan dikirim ke Kantor Pusat Bea Cukai. Berarti pengeluaran barangnya akan lama tersendat keluarnya dari gudang. Yang berarti pula sewa gudang akan makin tinggi dan bunga pinjaman bank akan bertambah besar. Hal ini membuat para importir terpaksa harus mengeluarkan uang sogok. Tak hanya itu. Saat pemeriksaan dokumen, importir harus membawa contoh barang. Dan barang itu umumnya tidak kembali lagi pada pemiliknya. Langsung berpindah tangan ke pejabat penerima suap. Hal sama juga terjadi pada saat pengeluaran barang dari gudang. Reportase hasil penyamaranku kemudian dimuat dalam tiga kali penerbitan. Kudengar setelah itu Menteri Keuangan Radius Prawiro ketika itu mengeluarkan aturan penyederhanaan prosedur pengeluaran barang di pelabuhan. Bahkan kemudian, selama beberapa waktu pengurusan dokumen pelabuhan diambil alih dari Bea Cukai ke dan diserahkan kesebuah lembaga independen.***

Peristiwa paling mengesankan sebagai wartawan (7) GAMBAR JENAZAH YESUS DI RUANG TAMU HAJI ADAM MALIK

Tiba-tiba terdengar kabar ada rencana Bapak Haji Adam Malik Ketua MPR-RI - yang ketika itu sedang dicalonkan menjadi Wakil Presiden RI - akan menghidupkan kembali suratkabar Harian “Empat Lima” yang dulu tutup. Beliau akan duduk sebagai Penasehat dan Suhadi seorang perwira tinggi ABRI sebagai Pemimpin Umum. Pak Zulharman diminta menjadi Pemimpin Redaksi. Tentu saja Pak Zulharman menerima ajakan tokoh Pejuang 45 yang dihormati itu. Namun dengan satu usulan :Diberi wewenang sepenuhnya menentukan kebijaksanaan redaksional dan susunan personalianya. Dengan serta merta kami sisa-sisa karyawan Harian Kami direkrut kembali. Aku harus memilih ikut menjadi anggota Redaksi koran baru ini atau tetap menjadi Manager SSAA yang sudah mulai berkembang. Meski merasa sayang meninggalkan biro iklan yang telah kami rintis dengan susah payah, namun aku lebih memilih kembali ke lingkungan pers. Ancaman pembreidelan yang selalu menjadi momok karyawan pers, nampaknya kecil kemungkinannya. Bukankah Adam Malik, Ketua MPR menjadi Penasehatnya dan Pemimpin Umumnya seorang petinggi ABRI ! Nama surat kabar dengan logo berwarna bendera merah putih terikat pada bambu runcing di tengah dua kata Empat Lima, terasa memberikan semangat baru kepada kami. Kembali berbuat sesuatu untuk Bangsa dan Negara sesuai profesi kami melalui koran ini. Yang agak merisaukan adalah apakah kebebasan pemberitaan sesuai kode etik Persatuan Wartawan Indonesia dan Undang-undang Pokok Pers yang dahulu kami jadikan pedoman pada koran sebelumnya tetap dapat kami pedomani lagi. Penegasan itu kemudian kami peroleh ketika kami segenap Dewan Redaksi menemui Pak Adam Malik di rumah dinas di Jalan Iman Bonjol Menteng. Aku terheran-heran menyaksikan di ruang tamu tokoh nasional yang haji ini sebuah gambar besar jenazah Yesus Kristus tengah diturunkan ke dalam lubang batu. Terpampang di dinding dalam bentuk sulaman diatas kain beludru. Kupikir, inilah salah satu pencerminan jiwa beliau yang toleran. Inilah kesempatanku yang pertama bertemu beliau. Bekas pemuda pejuang 45, salah seorang pemuda yang berani menculik Bung Karno dan Bung Hata ke Rengasdengklok untuk memaksa mereka memprok-lamasikan kemerdekaan sesegera mungkin. Perjumpaan kedua dan terakhir adalah ketika kami mengadakan rapat di kantor PT. Inaltu, penerbit Harian Empat Lima di Pulogadung. Setelah itu beliau sudah sulit ditemui karena sudah dilantik menjadi Wakil Presiden. Kesan lain yang mengawali kegiatanku di koran baru ini adalah ketika kami mewawancarai Fransisco Lopez da Cruz toko pejuang integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia ketika itu, di salah satu tempat di Kebayoran Baru. Kelak tokoh ini menjadi salah satu Gubernur ketika wilayah itu masih menjadi bagian dari wilayah Indonesia. Apa yang dikhawatirkan sebelumnya benar-benar menjadi kenyataan. Setiap malam seorang mayor dari dinas intelijens datang mengamati bahan berita yang akan diterbitkan. Dan bila ada yang dianggapnya tidak layak, ia minta dicabut. Hal ini sering menimbulkan ketegangan karena kami tetap patuh pada kebijaksaan Pemimpin Redaksi. Kadang-kadang masih saja ada telepon yang minta agar berita ini itu tidak dimuat. Hal ini berdampak buruk pada kegairahan para wartawan mendapatkan berita yang bermutu. Logonya menceminkan semangat empat lima, tetapi berita-beritanya datar-datar saja. Tak heran kalau pemasarannya sulit. Akibat peredarannya yang kurang meluas menyebabkan para pemasang iklan juga enggan menggunakannya. Terjadinya pemborosan yang tidak berkaitan langgsung dengan usaha, tambah memperparah. Karena itu pada rapat terakhi, Drs. Thomas Suyatno sebagai Pemimpin Perusahaan terus terang melaporkan kondisi perusahaan yang terus-menerus merugi. Ekonom yang kelak menjadi Ketua Perbanas dan ketua Yayasan Pendidikan Atmajaya ini mengusulkan agar penerbitan Harian Empat Lima dihentikan saja untuk menghindarkan kerugian lebih besar. Pak Zul mendukug."Daripada menghabis-habiskan uangnya Pak Adam", katanya sehabis rapat. Dengan demikian kami terpaksa non aktif lagi dari profesi kewartawanan. Untung PT.Enam-Enam yang kami dirikan sebelumnya masih ada. Pak Zulharmans sebagai Direktur Utama menugaskan aku menangani Tata Usaha yang mencakup semua unit-unit usahanya., termasuk CSA (Cliping Service Agency) dan Biro Iklan CSAA. ***

Peristiwa paling mengesankan sebagai wartawan (4): “KALAU TAK KELUAR, SAYA YANG KELUAR”

Suatu waktu, aku mengajukan proposal kepada Pak Zulharmans selaku Direktur PT. Enam-Enam untuk mengaktifkan kembali kegiatan Unit Usaha Sixty Six Advertising Agency (SSAA). Target jangka pendekku adalah mengangkat kembali lokomotif unit usaha ini diatas relnya lalu menjalankannya dengan prinsip mulai dari mengusahakan pelangganan iklan kecil-kecil dan iklan mini/baris. Inilah sebagai modal dasar untuk kemudian ditingkatkan untuk mendapatkan klien-klien besar. Ini lebih realistis daripada seperti kebijakan rekan sebelumnya mau langsung menggarap pelanggan-pelanggan iklan besar. Karena lama berusaha tanpa hasil, akhirnya pegawai frustrasi dan kantor tutup. Pak Zul setuju dan malahan sekaligus menugaskanku sebagai Manager. Meski belum memiliki pengalaman, namun usaha ini tenyata dapat menjalan baik bahkan makin berkembang. Kami mulai memiliki pelanggan-pelanggan tetap, mulai dari usaha jual-beli mobil, perusahaan tekstil, konstrusksi, unit Pertamina, peralatan olah raga, instansi Pemerintah, perguruan tinggi dan sekali-sekali perusahaan asing. Seiring dengan itu aku dapat menambah staf satu sampai tiga orang. Di kalangan media, kepercayaan kepada SSAA pun kian baik. Kalau dahulu pada koran-koran terkemuka kami harus membayar dimuka untuk setiap pemasangan iklan, maka kemudian kami boleh membayar setelah pemuatan, bahkan dapat diberi tenggang waktu satu bulan. Bukan itu saja. SSAA bahkan juga diberi sertifikat tanda penghargaan. Pimpinan-pimpinan perusahaan ikut gembira melihat kecenderungan itu. Pak Zul mengakui, meski unit usaha kami kecil, tetapi kontribusinya bagi perusahaan cukup berarti. Suatu saat Pak Zul menegurku di depan para direksi supaya jangan sombong ketika aku menyebut kata “cuma” sewaktu menyebutkan suatu nilai transaksi yang baru dihasilkan. “Itu transaksi besar lho, bukan kecil”, katanya. Lalu kujelaskan bahwa sebelum itu sebenarnya sudah sering ada transaksi-transaksi yang lebih besar dari pada itu. Pak Zul adalah seorang pimpinan yang obyektif dan adil tanpa melihat muka orang, agama atau suku. Hampir semua suku bangsa yang ada di negeri ini pernah ada di bawah kepemimpinannya. Ia juga memberikan keleluasaan penuh kepada pimpinan bawahannya. Sekalipun terhadap keluarganya, kalau salah dikatakan salah dan yang benar dikatakan benar sekalipun itu orang lain. Terbukti ketika ia menitipkan kemanakan-kemanakannya untuk dibantu dan bekeja sebagai staf SSAA. Ia tekankan, sekalipun ia Direktur dan mereka kemanakannya, aku tak perlu ragu-ragu menegur bahkan memberhentikan mereka kalau melanggar. Salah seorang dari kemanakan itu pada suatu waktu tidak masuk bekerja selama tiga hari tanpa pemberitahuan. Para langganan mengadu melalui telepon karena order iklan-iklan mereka tak terlayani. Ketika pegawai bersangkutan ditanyai alasannya tidak masuk dan tidak memberi kabar, ia diam saja. Akhirnya ia menyahut, “Ini kan, perusahaan Oom saya”, katanya. Aku terdiam dan berpikir, ini tak dapat ditolerir lagi. Kalau dibiarkan ia akan tambah besar kepala dan aku akan kehilangan wibawa. Seorang pimpinan tanpa wibawa tak akan berhasil memimpin, dan karena itu lebih baik berhenti. Aku ingat pesan Pak Zul, lalu aku menjawab : “Oh, ini perusahaan Oom-kamu…… Sekarang, keluar !!!” Ia diam saja. Aku berdiri dan berkata lebih tegas “ Kamu keluar, atau aku yang keluar !” Akhirnya ia keluar dan pulang. Aku tak menginginkan hal ini terjadi tetapi apa boleh buat. Tidak ada pilihan lain. Beberapa hari kemudian, aku dipanggil. Disitu hadir juga beberapa anggota Direksi lainnya. “Bagaimana perkembangan usahamu ?” dia bertanya. “Baik, Bang Zul” jawabku sambil tetap berdiri. “Kalau nanti ditemukan yang kurang beres, bagaimana ?”. Karena yakin aku tidak melakukan kesalahan apapun, aku menjawab : “Bang Zul kan Direktur Utama. Terserah Bang Zul saja”. “Ya sudah.”, sambil tangannya memberi isyarat boleh keluar. Pak Fanany, yang ketika itu sudah menjadi kerabat keluarga Pak Zul memberitahukan bahwa masalah peme-catan itu memang telah dibicarakan dalam rapat keluarga, tetapi mereka dapat membenarkan tindakanku.***

Peristiwa Paling Mengesankan sebagai wartawan (3): MASUK DAFTAR HITAM KOPKAMTIB

Pada awalnya kebebasan pers nampaknya akan terjamin dalam pemerintahan baru. Koran Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis dan Pedoman pimpinan Rosihan Anwar yang dahulu dilarang diijinkan terbit kembali. Undang-Undang Pokok Pers diterbitkan. Meskipun adanya Ijin terbit dan Ijin cetak dari Pemerintah tetap diwajibkan, namun pemanggilan terhadap wartawan tidak lagi sembarangan. Hanya Jaksa Agung yang boleh melakukannya, dan itupun hanya boleh terhadap Penanggung Jawab suratkabar. Tetapi lama-kelamaan, pemerintah mulai lagi memperketat pengendalian terhadap pers. Pejabat-pejabat pemerintah sering melarang pemuatan berita-berita tertentu. Surat kabar yang dianggap melanggar dihentikan penerbitannya dengan mencabut ijin cetak atau sekaligus dengan ijin terbitnya. Koran Indonesia Raya yang gencar memuat berita-berita korupsi dibreidel lagi . Menyusul Pedoman, Nusantara, Majalah Ekspres, Majalah Tempo dan beberapa media lainnya termasuk Harian Kami.. Karyawan-karyawan mulai dari wartawan, pegawai administrasi, agen dan pengecer koran, kolportir iklan sampai petugas percetakan terpaksa menganggur. Keluarga mereka kehilangan sumber nafkah. Tidak ada forum pengadilan untuk mengajukan pengaduan. Kami, karyawan Harian Kami seperti dibunuh plan-pelan. Ijin Terbit baru dicabut enam bulan setelah pencabutan Ijin Cetak. Ketika itu harapan untuk dapat terbit kembali tetap ada selagi yang dicabut hanya ijin cetak. Selama itu setiap hari kami hanya datang ke kantor, menunggu dan menunggu dan tidak mengambil keputusan apapun karena berharap ijin cetaknya akan diberlakukan lagi. Selama penantian yang tidak pasti itu, sisa pengha-silan untuk kehidupan sehari-hari mulai habis. Karena itu kami masing-masing mulai memikirkan cara mendapatkan sumber penghasilan tambahan sambil menunggu jawaban pemerintah atas kelanjutan penerbitan koran kami. Apalagi bagi teman-teman yang sudah mempunyai tanggungan keluarga. Ada yang mulai mencoba nasib melalui usaha batu kapur dan ada yang buka warung. Aku sendiri menemui Bapak Ismid Hadad yang sudah menjadi Pemimpin Umum/Redaksi Majalah Prisma, sebuah majalah ilmiah. Ia memberi aku pekerjaan mengoreksi hasil cetakan naskah dan memberi aku sekedar honor. Aku menghubungi Pak Goenawan Muhamad, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo. Disana telah bergabung juga teman-teman dari ex. Harian Kami seperti Fikri Jufri, A. Bastari Asnin, Lukman Setiawan, Christianto Wibisono, Bandoro, dan fotografer Ed Zulverdi. Aku menghadapi kendala. Sebagai wartawan bekas koran yang dibreidel harus memperoleh rekomendasi dari Kopkamtib untuk dapat bekerja kembali sebagai wartawan. Kabarnya aku termasuk yang masuk daftar hitam Kopkamtib. Tetapi aku ogah datang memohon-mohon ke lembaga itu. Aku masih merasa sakit hati atas perlakuan terhadap kami. Pada saat itu pula Pak Zulharman dan beberapa bekas pengurus Yayasan yang menerbitkan Harian Kami berhasil mendirikan PT. Enam-Enam. Perusahaan ini dimaksudkan untuk menampung para ex karyawan Harian Kami yang belum bekerja. Kegiatan awalnya adalah usaha klipping berita koran, biro iklan dan bantuan Hukum. Pak Erman dan E. Subekti menangani klipping, Pak Abdi Kusumanegara dan Pak Abbas Ali menangani Biro Iklan sedang Bantuan Hukum dirangkap Pak Erman. Erman adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan selama masih kuliah merupakan kontributor berita Harian Kami. Untuk mendukung usaha clipping mereka membeli mesin fotocopy yang sekaligus juga melayani umum. Meskipun aku telah aktif sebagai koresponden lepas di Majalah Tempo, aku masih ke kantor ex. Harian Kami, bertemu teman-teman. Aku boleh tetap menggunakan fasilitas kantor seperti mesin tik bahkan sepeda motor. Aku tergugah melihat inisiatif, solidaritas dan perjuangan keras teman-teman untuk bangkit lagi dari bidang usaha yang sama sekali baru. Datang subuh-subuh, memborong koran, menandai berita-berita, menggunting, menempel, memfotocopy dan memperbanyak, menjilid, mengirim, mencari langganan dan melakukan penagihan. Mula-mula hasilnya tak seberapa. Tetapi adalah lebih baik ada kegiatan dengan suatu harapan, daripada menunggu saja tanpa kepastian. Mulai timbul keinginanku untuk kembali bergabung. Teman-teman di Majalah Tempo Jalan Senen Raya 83 rupanya berhasil mengusahakan surat rekomendasi dari Kopkamtib untukku. Aku dipanggil lalu Pak Goenawan Mohamad memperkenalkan aku ke Direktur Perusahaan. Sejak itu aku sebetulnya sudah menjadi wartawan tetap. Tetapi keinginanku untuk kembali bergabung dengan kawan-kawan di Jalan Kramat VIII/2 makin bertambah kuat. Tiba-tiba datang instuksi dari Kopkamtib agar semua majalah Tempo terbitan minggu itu ditarik semua dari peredaran dengan alasan tulisan mengenai salah satu tradisi di kraton Jogya di majalah itu dinilai melanggar tata susila. Aku bertanya pada Pak Goenawan, apakah majalah ini dapat betahan selama lima tahun ? Pak Goenawan menjawab, “bukan lima tahun tetapi lima puluh tahun !” Namun jawaban optimis ini belum meyakinkan aku. Akankah kami akan mengalami lagi perlakuan seperti Harian Kami, Indonesia Raya, Pedoman dan lain-lainnya ? Karena itu mantaplah keputusanku untuk berhenti meninggalkan profesiku di bidang kewartawan yang selama ini kutekuni. Beralih ke bidang lain, setidak-tidaknya selama masih ada ancaman pemberangusan tehadap dunia pers. Aku mengundurkan diri dari Tempo dan bergabung dengan teman-teman mengembangkan Clipping Service Agency. Meski keputusanku disesali dan mengherankan teman-teman terutama Pak Ismid Hadad, namun aku sudah berketetapan hati. Aku bersedia masuk kerja setiap subuh bersama teman-teman bahkan siang hari ikut mengantarkan hasil klipping sampai-sampai ke Cilicing dengan sepeda motor sambil mencari pelanggan baru.

Contact Form

Name

Email *

Message *