Wednesday, May 6, 2020

Peristiwa paling mengesankan sebagai Wartawan (11) : MELAWAN PADENGE DI TANAH MORI

Suatu hari aku mendapat berita telegram, ibuku sakit keras. Dengan alasan itu aku diijinkan pulang ke kampung. Malahan aku dapat menggunakan tiket cuma-cuma Jakarta - Makasar pulang pergi sebagai hasil kerjasama perusahaan suratkabar kami dengan Mandala Airlines. Ibu ternyata sudah membaik. Malahan aku yang tiba-tiba sakit nyeri otot belakang. Kalau bergerak terasa sangat sakit. Diam-diam ibu dan adik Tumi menyiapkan acara kebaktian doa pengucapan syukur atas kedatanganku dan untuk kesembuhanku. Selepas kebaktian hari Minggu, jemaat bekumpul di rumah. Banyak sekali. Sebagian terpaksa mengambil tempat di luar. Mengherankan, karena yang memimpin kebaktian adalah Kak Madura, putera adik bungsu ayahku. Padahal dulu ia seorang dukun terkenal. Dia pernah memandikanku di tengah kegelapan seraya membaca mantera-mantera. Rupanya telah bertobat dan malahan ditahbiskan menjadi Penatua. Makin hari kesehatanku mulai pulih. Aku telah mengirim telegam ke kantor di Jakarta perihal kesehatanku dan akan terlambat kembali ke Jakarta. Ini memungkinkan aku menggunakan kesempatan beberapa hari melakukan perjalanan jurnalistik. Aku tidak ingin kembali ke suratkabarku tanpa membawa ole-ole laporan jurnalistik. Aku juga ingin berbuat sesuatu untuk perbaikan tanah kelahiranku. Dan kini kesempatan itu tersedia bagiku. Banyak yang dapat kulakukan. Kulihat kehidupan rakyat Tanah Mori tetap memprihatinkan. Prasarana transportasi tambah rusak. Kegiatan ekonomi lesuh. Kota Beteleme yang dahulu dibakar gerombolan perusuh, masih ambrul adul. Demikian pula Kampung Tinompo tempatku sekolah selama tiga tahun lebih makin merosot. Pada hal di daerah-daerah lain pemerintah-pemerintah daerahnya beserta masyarakat sedang berlomba-lomba membangun. Walikota Makasar, Daeng Patompo, Walikota Cirebon Tatang dengan antusias membangun dan mendadani kotanya di sana sini. Mereka tidak mau disebut sedang meniru-niru Gubernur DKI Ali Sadikin yang ketika itu sedang harum namanya karena kesuksesannya membangun Jakarta. Malah Ali Sadikin yang meniru, kata mereka. Dari berbagai keluhan penduduk serta pengamatanku sendiri, yang paling menyengsarakan rakyat Mori adalah praktek padenge. Yaitu pemaksaan rakyat untuk memikul barang bawaan pribadi para pejabat pemerintah dan personil militer dari kampung ke kampung tanpa bayaran sedikitpun ! Semacam pekerja rodi di jaman tentara pendudukan Jepang. Pemaksaan serupa hampir kualami sendiri. Ketika masih sakit aku duduk-duduk di kursi beranda. Tiba-tiba seorang prajurit memanggil-manggil setengah membentak kearahku dari jalan raya. Karena aku tak bereaksi, ia lalu bergegas dengan sikap marah akan memasuki pintu pagar. Ketika kukatakan, aku sedang sakit ia pergi. Aku sama sekali tidak takut. Karena kalau ia melakukan kekerasan, pasti aku akan melayangkan berita protes ke Mabes Hankam dan Mabes AD di Jakarta melalui koran kami. Pada Kartu Pers dari Puspen Hankam maupun Dispen MBAD tegas dinyatakan agar semua pihak di lingkungannya memberikan bantuan dalam pelaksanaan tugas pemegangnya. Aku memutuskan berangkat ke Poso. Berjalan kaki seorang diri mengikuti rute jalan potong seperti yang dahulu sering aku lalui kalau pulang libur sekolah. Dengan demikian aku dapat melihat perubahan yang terjadi dan membandingkannya dengan kondisi sepuluh tahun yang lalu ketika terakhir kutempuh. Ternyata sungguh menyedihkan. Jalan raya yang dahulu masih bisa dilalui mobil, kini di beberapa ruas sudah seperti jalan setapak. Padahal jalan ini jalan negara. Di beberapa tempat aku berjumpa dengan penduduk yang sedang memaras jalan. Sebagian diantaranya orang tua-tua dan pemuda dari Uluanso, kampung kelahiranku. Ada yang sakit tapi tak ada obat. Salah seorang adalah kerabatku sendiri, Bpk. Manara Lado’u suami sepupuku. Lagi menggigil demam. Mereka mengeluh, karena terpaksa meninggalkan selama berhari-hari kebun dan sawah mereka yang sudah siap panen. Padahal rawan dari serangan hama dan binatang-binatang perusak. Tidak ada bayaran dan harus membawa bekal sendiri. Berkali-kali aku berjumpa dengan padenge, yaitu penduduk pemikul barang yang berat-berat diikuti pemiliknya yang melenggang. Entah ia pejabat pemerintah atau anggota militer atau polisi. Yang membuat hatiku tambah marah ketika diberitahu sebagian barang-barang padenge itu barang dagangan. Bukan barang dinas. Jadi keringat rakyat dipakai untuk dagang. Kejam ! Di Poso aku ke kantor Bupati untuk mengetahui apa saja pembangunan yang telah dikerjakan dan apa progam pembangunan pemerintah daerah. Tetapi sungguh mengherankan. Mereka tidak memiliki Repelita ( Rencana Pembangunan Lima Tahun Daerah). “Apa itu Repelita“, tanya balik seorang pejabat Pemda yang kutemui di Gedung Nasional Poso. Padahal ketika itu sudah menjadi keharusan, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah membuat Repelita. Akupun menemui komandan distrik militer Kabupaten Poso, seorang Mayor dan mempertanyakan pemasalahan padenge. Tapi mayor ini yang didampingi beberapa Overste sama tak bisa memberi solusi. Salah seorang diantaranya kuyakini asal Beteleme dari melihat marga di label namanya. “Bagaimana lagi, kata”, kata sang Mayor. Perhubungan sangat susah. Jalan-jalan semua rusak. Tapi ia menjanjikan, ia akan membatasi perjalanan dinas anggotanya. Sekembali ke Jakarta – yang ibukota republik ini - praktek padenge yang kejam ini kuungkapkan secara serial di suratkabar kami, Harian Kami. Dan tak lama setelah itu dilakukanlah rehabilitasi besar-besaran perhubungan darat di Sulawesi Tengah. Khususnya di Kabupaten Poso. ***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *