Tuesday, October 15, 2019

HERAN, PDIP MENGEMBOSI KPK PRODUK KETUANYA SENDIRI


Kalau ada hasil karya Presiden ke lima Republik Indonesia Megawati Sukarnoputeri selama pemerintahannya, maka menurut penulis hanya satu, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Itu diundangkan tanggal 27 Desember 2002  pada pertengahan masa pemerintahannya yang hanya bertahan 3 tahun dari. 23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004. Alasan penerbitannya, seperti yang tertulis dalam dasar pertimbangan, adalah karena pemberantasan tindak pidana korupsi    yang  terjadi  sampai sekarang (ketika itu) belum dapat dilaksanakan secara optimal. Karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan  berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara  dan menghambat  pembangunan nasional. Sedangkan  lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi  belum  berfungsi  secara efektif.

Sejak dikeluarkannya, Undang-undang ini  terbukti telah  terbukti mampu menangkap dan memenjarakan banyak sekali para pejabat korup, baik dari kalangan eksekutif, legislatif maupun lembaga yudikatif beserta komplotan mereka. Berapa banyak sudah Gubernur, Bupati, Walikota dan anggota DPR/DPRD , pejabat BUMN, bahkan menteri kabinet yang disapu bersih KPK. Sebelumnya para pejabat korup itu sangat sulit disentuh hukum. Entah karena kekuasaan mereka ataupun kekebalan hukum yang diberikan negara kepada mereka tetapi disalahgunakan. Kalau SDM dan kewenangan KPK lebih diperkuat lagi, maka ada harapan dalam waktu yang tidak lama, negeri ini akan bebas dari korupsi dan suap. Maka tak heran kalau KPK mendapat banyak pujian dan simpati rakyat karena prestasi mereka.

Tetapi apa yang terjadi dipenghujung masa kerja DPR 2014-2019 ?  KPK yang kelahirannya dibidani presiden yang tidak lain ketua umum PDIP ini, justrur pada saat-saat menjadi harapan rakyat telah digembosi sendiri di DPR oleh para anggota partai yang dipelopori para politikus PDIP melalui revisi rancangan mereka. Meski berkali-kali ditolak pada pengajuan-pengajuan sebelumnya, tetap saja mereka sahkan tanpa konsultasi lagi dengan pihak sangat terkait. Mestinya, menurut akal sehat, bila suatu rancangan selalu berulang-ulang ditolak, sudah menjadi isyarat bahwa rancangan itu memang tidak layak.

Meski demonstrasi diseluruh penjuru negeri telah berkecamuk bahkan sampai jatuh beberapa korban jiwa, meski para cendekiawan, rohaniwan dan budayawan telah memberi pertimbangan kepada presiden, namun Jokowi hingga tulisan ini dibuat belum juga mengeluarkan Perpu untuk membatalkan undang-undang KPK hasil revisi itu. Pengesahan UU KPK hasil revisi  dinilai cacat, baik secara formil maupun materil dan melemahkan pelaksanaan tupoksi KPK. Kelambanan Jokowi ini diduga dilatarbelakangi kekhawatirannya akan kehilangan dukungan anggota DPR  dalam sidang MPR pelantikannya sebagai presiden untuk periode berikutnya. Atau pada sidang-sidang DPR bersama anggota kabinetnya nanti.

Namun, Jokowi sebenarnya masih bisa memainkan kartu trufnya, sebagai pemegang hak pregrogratif dalam pembentukan anggota kabinet – di mana para pemimpin partai sangat berharap para politisinya dapat dikutsertakan dalam kabinet sebagai menteri. Demikian juga banyaknya dukungan rakyat bila menerbitkan Perpu. Kalaupun Jokowi gagal dilantik, tetapi ia tetap akan selalu dipandang dan dikenang rakyat sebagai pahlawan anti korupsi.

Sayang, kalau Undang-undang KPK ini tidak dapat dikembalikan seperti sebelum revisi. Mestinya UU No.30 Tahun 2002  tentang KPK karya Presiden Megawati Sukarnoputri ini dapat menjadi karya monumental buat dirinya yang akan selalau dikenang dalan sejarah.***


PRIHATIN, TNI BISA KECOLONGAN


Ya, prihatin TNI bisa kecolongan. Seorang isteri perwira berpangkat kolonel, Komandan KODIM lagi, yang sekali naik pangkat lagi jadi jenderal sampai melakukan perbuatan yang bernada miring seperti kebiasaan kaum radikal. Ada lagi isteri seorang bintara AD. Bukan hanya di AD tetapi juga ada isteri seorang anggota polisi militer TNI-AU di Sidoarjo. Bahkan lebih mencemaskan lagi Mabes Polri belum lama mengungkapkan adanya anggota Polwan yang ditangkap dengan sangkaan terpapar faham ISIS. Malah sedang disiapkan untuk menjadi pelaku bom bunuh diri !
Yang menjadi pertanyaan penulis adalah bagaimana dengan pembinaan organisasi para isteri TNI/POLRI. Yang di TNI-AD dikenal dengan Persit Chandrakirana, di TNI-AL  ada Jalasenastri dan di TNI-AU ada  PIA Ardhya Garini. Dan di tingkat gabungan ketiga angkatan ada Dharma Pertiwi. Sedangkan di lingkungan POLRI dikenal organisasi Bhayangkari.
     Secara umum fungsi dari organisasi-organisasi para isteri anggota TNI-POLRI ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menunjang pelaksanaan tugas suami. Sering dikemukakan moto: “dibalik kesuksesan suami ada isteri yang hebat”. Tetapi apa yang terjadi dengan kasus ini malah sebaiknya. Akibat kurang hati-hati dan berpikir panjang dalam menggunakan media sosial akhirnya sang suami ikut menanggung akibatnya. Dipecat dari jabatan bahkan dimasukan sel sekian hari.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab ? Tentu saja para pelakunya. Namun, sang suami juga tak bisa melepaskan tanggung jawabnya. Ia sebagai kepala keluarga dari keluarga anggota TNI-POLRI berkewajiban secara moral untuk selalu membimbing isteri dan anak-anaknya dalam berperilaku baik, khususnya dalam penggunaan media sosial.
Tentu saja organisasi-organisasi para isteri anggota TNI-POLRI di atas tak boleh lepas tangan. Kini boleh menyadari ternyata masih ada yang kurang dalam pembinaan anggota mereka selama ini.
Para pimpinan TNI-POLRI yang akan mengangkat pimpinan baru atau komandan di suatu wilayahpun, sejak awal seharusnya juga lebih berhati-hati. Tidak hanya memperhatikan rekam jejak personil yang akan diangkat tetapi juga rekam jejak isterinya. Sebab sang isteri biasanya secara otomatis akan menjadi Ketua Persit, Jalasenastri, Pia Ardhya Garini atau Ketua Bhayangkari di wilayahnya. Seperti di Kodam, Kodim, Koarmada, Lantamal, Lanal, Kowilu, Polda,Polres,Polsek dstnya. Merekalah yang kelak akan menjadi pembina para isteri-isteri anggota suaminya di lingkungan penugasannya. Jangan sampai terjadi, seperti isteri Komandan Kodim di Kendari. Seharusnya menjadi pembina para isteri anggota TNI AD di Kodim kendari, malahan menjadi pencercah Menko Polhukam Jend.TNI Pur.Wiranto yang sedang terkena musibah dalam tugas.
Hal sama seharusnya juga tidak dilakukan isteri seorang anggota polisi militer AU di Sidoarjo. Padahal Wiranto adalah mantan KSAD dan Panglima  TNI/ABRI bertahun-tahun dan sekarang masih menjadi atasan dari atasan-atasan suami mereka. Dari ketiga kasus ini, nampaknya ada gejala kaum radikal sedang mencoba siasat untuk menyusup ke dalam tubuh organisasi TNI dan Polri melalui para isteri bahkan kemungkinan pula melalui anak-anak dalam keluarga mereka. TNI dan POLRI agar waspada tidak sampai disusupi kaum radikal seperti  ex HTI atau simpatisan ISIS. Cukuplah pengalaman ketika TNI berhasil disusupi Biro Khusus PKI Kamaruzaman. (Penulis: mantan anggota PWI Sie Hankam/Polri).

Thursday, October 3, 2019

PERLU TIDAKNYA GBHN DIHIDUPKAN LAGI


Menjelang sidang  umum MPR, sudah muncul adu argumentasi  di media masa dan media sosial mengenai perlu tidaknya GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) dengan keputusan MPR dihidupkan  kembali. Bahkan dalam lobi-lobi antar partai  untuk mendapatkan dukungan bagi calon ketua MPR, PDI Perjuangan konon meminta syarat , calon harus mendukung usulan dihidupkannya kembali GBHN bila ingin mendapatkan dukungan PDIP. Sejak berlakunya sistim pemilihan presiden secara langsung  GBHN memang  telah dihapuskan.
Seperti dikemukakan beberapa politisi PDIP, alasan dihidupkannya kembali GBHN adalah untuk menjaga kesinambungan pembangunan. Jangan sampai setiap pemerintah berganti, arah pembangunan  berganti lagi.
Sepintas, alasan ini memang dapat dipahami. Kalau dicermati, salah satu latar belakang dikeluarkannya Dektrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke undang-undang dasar 1945 adalah ketidak stabilan pemerintahan pada masa pemerintahan dengan sistem parlementer. Pemerintah sebentar-sebentar dijatuhkan dan diganti kabinet baru. Akibatnya  pembangunan juga tidak stabil. Dengan kembali pada UUD 1945 diharapkan stabilitas pemerintahan tetap terjaga dan dengan demikian  jalannya pembangunanpun  dapat  berjalan stabil.
Namun sesudahnya apa yang terjadi ? Ketidaklanggengnya kesinambungan kebijaksanaan pembangunan tetap saja terjadi. Biasanya pada masa peralihan pemerintahan lama ke yang baru. Bahkan juga pada masa pemerintahan kabinet yang sama. Misalnya kebijaksaan pemerintah SBY yang menekankan pada kebijaksanaan pembangunan kesejahteraan rakyat melalui pemberian berbagai subsidi. Seperti BLT (bantuan langsung tunai), subsidi BBM yang banyak menghabiskan anggaran negara dan menambah hutang dan lain-lain. Tapi ketika Jokowi-JK mengambil alih pemerintahan, subsidi diperketat. Bahkan sebagian besar subsidi BBM dihapuskan dan anggarannya dialihkan untuk pembangunan infra struktur.
Pernah lagi digaungkan untuk mencari sumber-sumber energi alternatif diluar minyak bumi seperti pembudidayaan tanaman jarak. Presentasi  proses pembuatan minyak jarak pernah dikampanyekan melalui tayangan-tayangan televisi dan rakyat dianjurkan ikut mendukung.  Memenuhi anjuran itu, konon seorang petani menebang seluruh tanaman cengkehnya dan ganti menanami kebunnya dengan bibit jarak. Tetapi ketika mulai berbuah dan tiba masa panen, gaung kampanye pengembangan minyak jarak itu menghilang. Iming-iming akan dibangun pabrik-pabrik pengolahan yang akan menampung hasil tanaman  para petani dan perkebunan-perkebunan tak pernah terwujud. Si petani merasa dibohongi dan kemudian membabat habis kembali kebun jaraknya.
Dilema
Namun, disamping kekecewaan di atas, ada pula beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan bila GBHN ingin dihidupkan kembali. Antara lain kemungkinan berbedanya isi GBHN yang akan ditetapkan MPR dengan visi-misi Presiden terpilih yang ditawarkan kepada rakyat sewaktu kampanye. Padahal kepercayaan atas janji-janji kampanye itulah yang mengantarkannya menjadi calon presiden terpilih.
Kalau ini terjadi, maka akan menjadi dilema bagi Presiden nanti. Di satu pihak, dia harus melaksananan GBHN sebagai produk konstitusional yang mengikat, sedang di lain pihak secara moral Presiden  wajib melaksanakan janjinya kepada rakyat yang telah memilihnya secara langsung. Ia terpilih sebagai Presiden adalah karena rakyat menerima, menyetujui dan mendukung programnya. Idealnya mestinya GBHN sejalan atau sinkron dengan janji-janji Presiden Terpilih kepada rakyat semasa kampanye. Kalau sehaluan, maka segi positifnya, GBHN yang ditetapkan dengan Keputusan MPR  itu merupakan penguatan sekaligus ikatan secara konstitusional terhadap Presiden agar ia benar-benar melaksanakan apa yang telah dijanjikannya kepada rakyat dan tidak ingkar janji. Pada masa akhir jabatannya, ia akan dinilai rakyat apakah ia sukses atau gagal melaksanakan janjinya. Baik secara moral maupun konstitusional. Penilaian ini akan menjadi referensi  bagi rakyat apakah tetap pantas untuk memilih figur ini bila masih mau mencalonkan diri dalam pemilihan capres berikutnya.
Di lain pihak, bagi MPR, perlulah diingatkan, bila memutuskan GBHN yang  tidak sehaluan dengan pokok-pokok visi-misi Presiden, maka itu berarti telah berbuat ceroboh mau mengarahkan kebijaksanaan pembangunan negara ini ke arah yang lain daripada haluan yang telah mereka setujui dari visi-misi Presiden. Berarti MPR tidak mewakili lagi aspirasi rakyat yang juga telah memilih mereka melalui pemilihan legislatif langsung. Padahal mestinya mereka menguatkan dan meformalkan aspirasi rakyat.*** (Sam Lapoliwa, S.IP)

Contact Form

Name

Email *

Message *