Thursday, October 3, 2019

PERLU TIDAKNYA GBHN DIHIDUPKAN LAGI


Menjelang sidang  umum MPR, sudah muncul adu argumentasi  di media masa dan media sosial mengenai perlu tidaknya GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) dengan keputusan MPR dihidupkan  kembali. Bahkan dalam lobi-lobi antar partai  untuk mendapatkan dukungan bagi calon ketua MPR, PDI Perjuangan konon meminta syarat , calon harus mendukung usulan dihidupkannya kembali GBHN bila ingin mendapatkan dukungan PDIP. Sejak berlakunya sistim pemilihan presiden secara langsung  GBHN memang  telah dihapuskan.
Seperti dikemukakan beberapa politisi PDIP, alasan dihidupkannya kembali GBHN adalah untuk menjaga kesinambungan pembangunan. Jangan sampai setiap pemerintah berganti, arah pembangunan  berganti lagi.
Sepintas, alasan ini memang dapat dipahami. Kalau dicermati, salah satu latar belakang dikeluarkannya Dektrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke undang-undang dasar 1945 adalah ketidak stabilan pemerintahan pada masa pemerintahan dengan sistem parlementer. Pemerintah sebentar-sebentar dijatuhkan dan diganti kabinet baru. Akibatnya  pembangunan juga tidak stabil. Dengan kembali pada UUD 1945 diharapkan stabilitas pemerintahan tetap terjaga dan dengan demikian  jalannya pembangunanpun  dapat  berjalan stabil.
Namun sesudahnya apa yang terjadi ? Ketidaklanggengnya kesinambungan kebijaksanaan pembangunan tetap saja terjadi. Biasanya pada masa peralihan pemerintahan lama ke yang baru. Bahkan juga pada masa pemerintahan kabinet yang sama. Misalnya kebijaksaan pemerintah SBY yang menekankan pada kebijaksanaan pembangunan kesejahteraan rakyat melalui pemberian berbagai subsidi. Seperti BLT (bantuan langsung tunai), subsidi BBM yang banyak menghabiskan anggaran negara dan menambah hutang dan lain-lain. Tapi ketika Jokowi-JK mengambil alih pemerintahan, subsidi diperketat. Bahkan sebagian besar subsidi BBM dihapuskan dan anggarannya dialihkan untuk pembangunan infra struktur.
Pernah lagi digaungkan untuk mencari sumber-sumber energi alternatif diluar minyak bumi seperti pembudidayaan tanaman jarak. Presentasi  proses pembuatan minyak jarak pernah dikampanyekan melalui tayangan-tayangan televisi dan rakyat dianjurkan ikut mendukung.  Memenuhi anjuran itu, konon seorang petani menebang seluruh tanaman cengkehnya dan ganti menanami kebunnya dengan bibit jarak. Tetapi ketika mulai berbuah dan tiba masa panen, gaung kampanye pengembangan minyak jarak itu menghilang. Iming-iming akan dibangun pabrik-pabrik pengolahan yang akan menampung hasil tanaman  para petani dan perkebunan-perkebunan tak pernah terwujud. Si petani merasa dibohongi dan kemudian membabat habis kembali kebun jaraknya.
Dilema
Namun, disamping kekecewaan di atas, ada pula beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan bila GBHN ingin dihidupkan kembali. Antara lain kemungkinan berbedanya isi GBHN yang akan ditetapkan MPR dengan visi-misi Presiden terpilih yang ditawarkan kepada rakyat sewaktu kampanye. Padahal kepercayaan atas janji-janji kampanye itulah yang mengantarkannya menjadi calon presiden terpilih.
Kalau ini terjadi, maka akan menjadi dilema bagi Presiden nanti. Di satu pihak, dia harus melaksananan GBHN sebagai produk konstitusional yang mengikat, sedang di lain pihak secara moral Presiden  wajib melaksanakan janjinya kepada rakyat yang telah memilihnya secara langsung. Ia terpilih sebagai Presiden adalah karena rakyat menerima, menyetujui dan mendukung programnya. Idealnya mestinya GBHN sejalan atau sinkron dengan janji-janji Presiden Terpilih kepada rakyat semasa kampanye. Kalau sehaluan, maka segi positifnya, GBHN yang ditetapkan dengan Keputusan MPR  itu merupakan penguatan sekaligus ikatan secara konstitusional terhadap Presiden agar ia benar-benar melaksanakan apa yang telah dijanjikannya kepada rakyat dan tidak ingkar janji. Pada masa akhir jabatannya, ia akan dinilai rakyat apakah ia sukses atau gagal melaksanakan janjinya. Baik secara moral maupun konstitusional. Penilaian ini akan menjadi referensi  bagi rakyat apakah tetap pantas untuk memilih figur ini bila masih mau mencalonkan diri dalam pemilihan capres berikutnya.
Di lain pihak, bagi MPR, perlulah diingatkan, bila memutuskan GBHN yang  tidak sehaluan dengan pokok-pokok visi-misi Presiden, maka itu berarti telah berbuat ceroboh mau mengarahkan kebijaksanaan pembangunan negara ini ke arah yang lain daripada haluan yang telah mereka setujui dari visi-misi Presiden. Berarti MPR tidak mewakili lagi aspirasi rakyat yang juga telah memilih mereka melalui pemilihan legislatif langsung. Padahal mestinya mereka menguatkan dan meformalkan aspirasi rakyat.*** (Sam Lapoliwa, S.IP)

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *