Thursday, September 24, 2009

HUMOR-HUMOR SABANG-MERAUKE

CATATAN :
Ini adalah humor ceritera dari teman-teman yang dikum-
pulkan untuk sekedar menghibur, menyenangkan, mem -
membuat tertawa, mengendorkan urat syaraf atau apa
sajalah namanya bagi sesama yang sedang tegang, gunda-
gulana, sedih atau hanya sekedar mau rileks alias santai.
Bila U ada bahan boleh share dalam komentar. Ok ?

Selamat menikmati !
***************************************************
1. CERITERA TEMAN ORANG MAKASAR.
Pada suatu hari ada orang Makasar baru datang ke Jakarta. Jalan-jalan santai di sore hari, mungkin ingin tahu cita rasa makanan Betawi. Masuklah ia ke sebuah warteg alias warung Tegal. Ia tergiur melihat lauk udang besar yang memancing selera. “Ibu. mau makan. Nasi doang”. Dengan agak bingung, pelayan warung yang lugu itu menyodorkan sepiring nasi putih tanpa sayur atau lauk apapun. Si turis local ikut heran ditambah sedikit kesal. “Pake udang mi !”, logat aslinya kelur. “Ooh…. rupanya di Makasar orang menyebut udang, doang”, kata si pelayan senyum-senyum setelah dijelaskan.

2 . CERITERA TEMAN ORANG PADANG :
Ada seorang guru orang Padang mengajar di Sekolah Dasar. Ia sedang memberi pelajaran angka-angka dalam bahasa Inggeris di kelas 6 dengan bahasa pengantar bahasa Padang.
Sambil menulis di papan tulis ia berkata: ” Tulisannyo one, bacaannyo van, artinyo cie.***


3. CERITERA TEMAN ORANG BETAWI:
Ada seorang penjaga keamanan toko asal Padang duduk di teras sebuah toko kertas yang sudah tutup karena sudah malam di Pasar Baru Jakarta. Tiba-tiba muncul sekelompok anak muda preman. “Ngapain Lu di sini !”, bentaksalah seorang. “Ambo jago karate….”, jawab si orang Padang. “ Oh, jadi kamu jago karate, mau nantang ya….. ?”, dan serentaklah anak-anak muda itu maju mau mengeroyok. Tapi penjaga toko itu berteriak, “Benar, Ambo ni, jago karate di sini, jaga toko kertas !!”, dan anak-anak preman itu pun pergi.

4. CERITERA TEMAN ORANG SUNDA DARI BANDUNG :
Ada seorang laki-lagi dari sebuah desa di pinggiran kota Bandung datang berkunjung ke familinya di kawasan Pasar Minggu Jakarta. Suatu sore lelaki sederhana ini jalan-jalan di sekitar rumah dekat sebuah rumah yang sudah lama kosong tak terawat.

Tiba-tiba ia terjatuh ke sebuah sumur tua sedalam sekitar sepuluh meter. Untung airnya cuma setinggi pinggang. Si orang Sunda asal Bandung ini teriak-teriak minta tolong. Lama kemudian, ada seorang lelaki tua penduduk asli Betawi lewat dan mau menolong. “Taraje ! Taraje ! Taraje…..!”, teriak orang kecemplung itu ke atas. Maka sang lelaki tuapun berlalu tanpa berbuat apa-apa. Tak lama kemudian muncul pula seorang tetangga, wanita Sunda yang bersuamikan orang Betawi. “Taraje ! Taraje….!”, teriak si korban.

Maka gemparlah para tetangga. Mereka berdatangan sambil membawa tangga dan menolong. Si lelaki tua juga ada. Melihat itu si korban marah, mengapa tidak mau menolong. “Kate Lu, entar aje…”, kilah si kakek. Rupanya teriakan taraje dalam bahasa Sunda atau tangga disalah mengerti oleh si kakek. Atau mengerti juga, hanya dipikir barangkali si lelaki malang masih sedang membersihkan sumur. Jadi, naiknya nanti aja kali.

5. CERITERA TEMAN ORANG BATAK :
Ada anak muda Batak merantau ke Jakarta dan nyasar di Terminal bus Senen. Ia bertanya pada seorang petugas terminal. “Pak, mana itu departemen sitorus Sarinah ?”. Petugas terminal bingung. “Maksudnya ?”. “Saya juga marga Sitorus”.

6. CERITERA TEMAN SEORANG ROHANIWAN :
Tahu tidak mengapa ada orang kulit putih, kulit hitam dan sawo matang ? Ceriteranya bergini : Manusia ini dahulu diciptakan melalui penggorengan.

Pada penggorengan pertama, terlalu lama sehingga gosong alias hitam. Jadilah manusia kulit hitam. Untuk tidak gosong lagi, maka pada penggorengan kedua waktunya dipersingkat. Tapi hasilnya kurang matang, masih putih. Jadilahmanusia kulit putih. Untuk menemukan hasil yang paling baik, maka pada penggorengan ketiga, waktunya sedang-sedang saja. Maka jadilah warna yang sawo matang.

7. CERITERA TEMAN KETURUNAN ARAB :
Ada seorang pemuda Arab yang sudah hidup "modern" mengajak seorang temannyayang baru datang dari luar Jakarta, pemuda Arab juga masuk ke sebuah Diskotik.

Menjelang tengah malam, muncul penyanyi setengah telanjang dengan sepatu hak tinggi. "Astagfirullah......", gumam si teman. Tetapi ketika si penyanyi seronok itu turun panggung berkeliling diantara penonton dan tiba-tiba duduk di pangkuannya, dengan senyum-senyum malu kembali ia bergumam : "Alhamdulillah...."

Tuesday, September 22, 2009

PLURALISME DALAM AMANDEMEN PIAGAM MADINAH (1)


Bila melihat data kasus hubungan antar umat beragama di Indonesia selama ini, wajarlah bila ada kesangsian bagi sejumlah orang, benarkah ada toleransi dan kebebasan beribadah seluas-luasnya bagi setiap umat beragama di negeri ini ?

Dalam Islam, jaminan itu agaknya memang ada, hanya jarang dimunculkan seperti yang dapat dibaca dalam Amandemen I Piagam Madinah pada buku “Piagam Nabi Muhammad SAW,

Konstitusi Negara Tertulis yang pertama di dunia”. Dalam buku H. Zainal Abidin Ahmad yang diterbitkan Penerbit “Bintang Bulan” Jakarta ini, disebutkan bahwa piagam itu pernah mengalami perubahan dalam dua bentuk.


Pertama berupa amandemen-amandemen, yaitu perubahan perubahan yang dilakukan terhadap pasal-pasalnya – yang karena perkembangan masyarakat sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Kedua, berupa penggantian, yaitu seluruh konstitusi itu sudah harus diganti dengan konstitusi yang baru yang sesuai dengan panggilan zaman dan sesuai dengan tuntutan rakyat banyak.


Contohnya yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab yang mengundangkan peraturan "Zimmi”. Kemudian pengertian itu diperluas lagi artinya, meliputi segala warga yang memeluk agama yang bermacam ragam banyaknya. Dr. Muhammad Hamidullah misalnya, sesudah menyebut ahli Kitab” dan “ahli zimmi” menulis, bahwa Al Qur’an tidak berbicara mengenai agama-agama non Muslim lainnya. Tetapi dalam prakteknya, Nabi ternyata selalu mengambil keputusan bahwa semua yang non Muslim pun harus diberi toleransi sebagai warganegara.


Demikian pula Uthman dapat menerima pajak orang dari pemeluk agama lain seperti kaum Brahman dari India. Imam Besar dalam Ilmu Fiqhi seperti Imam Abu Haniefah, Asy Syaybani, As Sarachshi dan Qadhi Abu Yusuf juga berpendapat sama bahwa semua warga yang memeluk
berbagai agama selain Islam, statusnya sama.


Khusus mengenai kaum Yahudi dan Kristen, Neyla Izzeddin, menyatakan bahwa mereka bukan saja hanya dapat menikmati hak-hak azasi penuh, bahkan mereka juga berhak membentuk masyarakat mereka sendirisecara otonom.
Katanya, para ahli kitab, Yahudi dan Kristen, bukan hanya tak boleh terganggu dalam melaksanakan ibadah ibadah agama mereka tetapi juga dapat membentuk masyarakat otonom dalam Negara Islam. Islam sebagai agama termuda dari ketiga agama monotheisme, sangat memperhatikan wahyu kedua agama terdahulu itu dan menghormati Kitab Suci serta pendeta-pendeta mereka.

Amandemen I, Pengakuan terhadap kaum Kristen.

Amandemen ini dilakukan terhadap pasal-pasal mengenai golongan minoritas, yaitu pasal-pasal 24 s/d 35 Piagam Madina. Pasal-pasal itu semula hanya menyebutkan kaum Yahudi dengan segala kabillah mereka yang pada waktu itu mendiami kota Madina dan sekitarnya yang termasuk dalam kawasan Negara. Amandemen ini menambahkan masuknya kaum Kristen, dengan mendasarkan pada perjanjian yang pertama kali dibuat Nabi Muhammad dengan kaum Kristen dari Najran pada tahun 1 H (622 M) dalam bentuk “Perjanjian”, yang diterjemahkan secara bebas dari bahasa Inggeris sbb :

“Perjanjian Pertama Nabi dengan Umat Kristen Arabia.”
Perjanjian Rasul Allah, Muhammad,
dengan Umat Kristen, Rahib dan para Uskup ( AD.625).


Muhammad, Rasul Allah, mengirim pesan perdamaian kepada seluruh umat manusia. Dengan perkenan Allah, perjanjian ini didiktekan dan dicatat atas namanya dalam sebuah dokumen tertulis bersama-sama dengan umat Kristen. Siapa yang memelihara perjanjian ini, dialah yang disebut Muslim sejati, yang menghormati agama Allah. Dan siapa yang meninggalkannya pandanglah ia sebagai musuh, baik ia sebagai raja atau warganegara yang berkedudukan tinggi ataupun rendah.


******

PLURALISME DALAM AMANDEMEN PIAGAM MADINAH (2)

Pada perjanjian ini, aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan melindungi mereka dalam negeri mereka dengan pasukan berkudaku, dengan pasukan infantriku, dengan pihak sekutuku di seluruh dunia. Dan aku akan menjaga keselamatan diri mereka, keselamatan kuil mereka, tempat ziarah mereka di manapun aku jumpai, entah di daratan, di laut, di Timur atau Barat, di pegunungan atau lembah, di padang pasir maupun di perkotaan. Di sana aku akan tetap bersikap sama, bahwa tak akan ada kerusakan menghinggapi mereka dan pengikut-pengikutku akan melindungi mereka dari segala kejahatan.

Inilah janjiku kepada mereka, aku akan membebaskan mereka dalam segala hal di mana kaum Muslim dibebaskan. Aku perintahkan juga bahwa tidak ada seorangpun dari pendeta mereka diberhentikan dari jabatannya, tak akan seorang Kristen pun dipaksa keluar dari agamanya., tak seorang rahib pun keluar dari perkumpulan mereka atau seorang pertapa keluar dari tempatnya.

Adalah kehendak ku tidak ada dari bangunan suci mereka dirusak atau diambil dari mereka untuk dijadikan mesjid, atau diambil pengikutku menjadi tempat tinggal mereka. Siapa yang melanggar perintah ini aku nyatakan bersalah di hadapan Allah dan atas pelanggaran ini semua penghormatan dan kebebasannya dihapuskan. Tak kan ada pasar komunitas Kristen, pedagang permata, harta dan orang mampu mereka yang membayar lebih dari pada pajak tahunan dua belas dirham. Ini adalah contoh untuk pajak di komunitas Kristen di Arabia.

Demikian pula pemilik tanah dan ladang yang menghasilkan buah-buahan, kebun jagung, tidak boleh membayar lebih dari kemampuan mereka memberi. Dan kepada mereka yang kutujukan janji ini, kewajiban ini tidak boleh dipaksakan. Orang Muslim harus melindungi mereka, tidak meminta alat persenjataan, tidak ransum, tidak tenda untuk perang, kecuali bila mereka memberi dengan sukarela. Tetapi bila mereka memberi uang atau menolong orang Muslim dalam perang, seorang Muslim harus menyatakan terima kasih kepada mereka.

Dan ini perintahku : Tak seorang Muslim pun menganiaya pengikut Kristen. Dan bila ada perselisihan dengan mereka haruslah diselesaikan dengan baik-baik. Bila ada seorang Kristen menyebabkan seseorang bersalah, maka adalah tugas bersama orang Muslim menengahi secara damai. Dan bila menurut aturan, kesalahan itu menghendaki pihak yang bersalah diwajibkan membayar uang tebusan, baiklah dilakukan.

Inilah keinginanku, bahwa orang Kristen tidak diacuhkan oleh pengikut-pengikutku, karena aku telah mengucapkan janji di hadapan Allah bahwa mereka pada pandanganku adalah sama seperti orang Muslim. Berbagi dan mengambil bagian dalam segala hal lainnya.

Dalam hal perkawinan, mereka jangan diganggu. Tak seorang Muslim pun boleh berkata kepada seorang Kristen, “serahkan anak gadismu”, kecuali memang atas keinginannya sendiri. Dan bila seorang perempuan Kristen menjadi budak pada seorang Muslim, maka sang majikan harus membatasi diri sesuai perjanjian ini, yaitu tetap membiarka dia dalam agamanya dan tidak menghalanginya dalam melakukan ibadahnya. Ini adalah perintah Allah, dan barang siapa mengingkari kesetiaan kepada Allah, anggaplah dia seorang pendusta.

Lagi pula adalah menjadi tugas para pengikutku untuk memperbaiki gereja-gereja dalam komunitas Kristen, menyumbangkan pelayanan, bukan untuk menjadi hutang, tetapi semata-mata karena Allah yang telah memerintahkan RasulNya mengikat perjanjian dengan mereka. Tak seorang Kristen pun boleh dipaksa menjadi utusan di kala perang sebagai wakil berhadapan dengan bangsanya. Inilah keistimewaan Muhammad, Rasul Allah, yang membawa kabar gembira bagi pengikut-pengikut Kristen.

Di lain pihak, kepada mereka diminta untuk berjanji kepadanya (Muhammad) dan kepada umat Muslim sebagai pengikutnya, untuk :
1. Tidak seorang pun dari mereka dalam keadaan perang memberi bantuan kepada musuh Islam, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.
2. Mereka tidak akan memberi suaka kepada musuh-musuh Islam dalam gereja-gereja atau rumah-rumah mereka.
3. Mereka tak akan menolong musuh-musuh Islam dalam hal persenjataan,ransum, kuda-kuda ataupun tenaga manusia.
4. Mereka tak akan berunding dengan pihak-pihak yang telah dinyatakan sebagai musuh Islam dan tidak menampung dalam rumah-rumah mereka atau menunjang mereka dengan uang.
5. Mereka menjamin bahwa setiap Muslim yang mencari pelayanan kesehatan akan dilayani paling sedikit selama tiga hari. Namun tak seorang Muslim pun menuntut hidangan khusus dari mereka. Mereka harus makan apa yang biasa dimakan tuan rumah.
6. Bila seorang Muslim meminta suaka kepada orang Kristen, tak akan ditolak untuk menampungnya dan tidak akan menyerahkan kepada musuhnya. Apa-apa yang ditolak seorang Kristen dari permintaanku ini,maka perlakuan istimewa dalam perjanjian ini, - yang telah dibuat bersama para pendeta dan pengikut Kristen lainnya tidak berlaku baginya. Aku memohon kepada Allah untuk menjadi saksi dan aku memerintahkan pengikut-pengikutku untuk memelihara dengan setia aturan-aturanku, dari sekarang sampai hari kiamat.

Apa yang tertulis di atas adalah atas kesaksian dan penandatanganan orang-orang, didiktekan langsung oleh Rasul Allah dan dituliskan oleh Mawiyah Ibnu Abu Sofyan, pada hari Senin, akhir tahun ke 4 Hijrah di Medinah, kiranya Tuhan memberi kedamaian atasnya.

Ditandatangani oleh : “ABU BAKR ES SIDIK,
“OMAR IBN EL KHOTTAB,
“OTHMAN IBN AFFAN,
“ALI IBN ABU TALEB
dan 31 orang lainnya.
“Allah menjadi saksi dari apa-apa yang telah diucapkan
dalam perjanjian ini. Segala puji bagi Allah”.

NASRANI SAHABAT TERDEKAT MUSLIM ? (1)

“……Dan sesungguhnya kamu dapati yang
paling dekat persahabatannya dengan
orang-orang beriman ialah orang-orang
yang berkata : “sesunggunya kami ini
orang Nasrani. ….”(QS 5:82)
*************************************
Ada sebagian umat Muslim yang berpendapat umat Nasrani atau Kristen sekarang bukanlah Nasrani seperti yang dimaksud Muhammad s.a.w. pada zamannya sehingga mereka tidak mengakuinya. Tetapi kalau kita perhatikan ayat QS. 5:82 di atas, yang menentukan seseorang Nasrani atau bukan adalah pengakuan orang itu sendiri yaitu obyek (orang yang dinilai), bukan pendapat orang lain (subyek yang menilai). Jadi setiap orang yang mengaku Nasrani menurut nabi, seharusnya diperlakukan sebagai “sahabat paling dekat umat Musim”. Namun mengapa yang terjadi belakangan ini tidak seindah seperti yang diamanatkan penganjurnya ini ?

Syed Ameer Ali dalam ”The Spirit of Islam”, (terjemahan HB. Jasin dengan judul ”Api Islam”, 1956),- yang dapat menjadi otokritik bagi para penganut Kristen maupun Islam, - menulis, ”Sayang bagi ulama-ulama Islam kemudian. Pengaruh jelek pemimpin-pemimpinnya telah merusak sari kembang agama yang benar dan semangat pengabdiannya yang sungguh. Seorang mubalig Kristen ketika mengemukakan perbedaan antara religi dan teologi, menyebut keburukan-keburukan dalam gerejanya karena percampuran keduanya itu. Apa yang terjadi dalam agama Kristen telah terjadi pula dalam agama Islam.

Kemunafikan yang menimpa bangsa-bangsa Islam, bukan disebabkan ajaran-ajaran Nabi. Kekerasan masyarakat-masyarakat Islam, terutama disebabkan pengertian yang telah merusak alam pikiran mereka umumnya bahwa hak untuk mempergunakan pertimbangan pribadi telah berhenti dengan ahli-ahli hukum mula-mula. Bahwa penggunaan pikiran di masa modern ini adalah dosa. Supaya bisa dianggap sebagai pengikut ortodoks Nabi Muhammad, seorang Muslim harus masuk salah satu mazhab yang telah didirikan oleh ulama-ulama Islam dan menyerahkan pertimbangannya semata-mata kepada tafsiran orang-orang yang hidup dalam abad ke sembilan yang tidak mempunyai pengertian tentang keperluan-keperluan orang diabad duapuluhan.

Sebagaimana di kalangan Nasrani, demikian pula di kalangan Islam. Kehidupan dan tingkah laku sejumlah besar orang Muslim dewasa ini dikuasai bukan terutama oleh aturan-aturan dan ajaran-ajaran Rasul. Lebih banyak dikuasai oleh teori-teori dan pendapat-pendapat para mujahid dan imam, yang telah berusaha masing-masing menurut kepandaiannya menafsirkan ahyu-wahyu yang diturunkan kepada Rasul.

Mereka mencampuradukan yang bersifat sementara dengan yang permanen, yang universil dengan yang khusus. Aturan dibuat-buat, teori-teori diciptakan, hadits-hadits dicari-cari dan kata-katanya ditafsirkan samasekali berbeda dengan semangatnya. Dalam abad Pertengahan, agama Kristen bukannya Perjanjian Baru yang dijadikan dasar, tetapi Summa Theologia karangan Thomas Aquinas yang dipakai menafsirkan soal-soal orthodoksi. Tepat dengan cara demikian pula agama Islam modern disusun. Sebagian besar dari apa yang diyakini dan diamalkan orang Muslim, tidak ada sama sekali dalam Qur’an.”

Tidak semua pendapat penulis buku ”A Short Hystory of the Saracens” ini dapat kita setujui. Namun benar bahwa karena berbagai penafasiran inilah maka kemudian timbul berbagai mazhab atau golongan dengan penfasiran yang berbeda-beda. Dan mungkin sekali inilah pula menjadi penyebab mengapa amanat kerukunan antara umat Islam dan Nasrani enggan diwujudkan oleh sebagian orang sebagaimana diamanatkan. Fatwa yang digunakan samasekali bertentangan dengan amanat Kitab Suci.

Seperti penafsiran kata murtad, Rasulullah tidak pernah menjatuhkan hukuman atas kebebasan hati nurani. Tapi bagi pengkhianat terhadap Kerajaan disediakan hukuman mati. Sering kali terjadi, orang Mekah mengaku dirinya beriman asupaya dapat masuk ke kota Madinah. Sesudah mendapatkan segala keterangan mengenai keamanan dalam Negeri Islam yang kecil itu, kembali ke Mekah dan keluar dari Islam lagi. Apabila tertangkap mereka dijaruhi hukuman mati.” Jadi kalau dilihat konteksnya, penyatuhan hukuman mati itu lebih pada alasan pengkhianatan kepada negara dengan pura-pura menganut Islam sebagai penyamaran, - dan bukan karena berganti agama sesuai hati nurani.

Kebebasan beragama bukan hanya dijamin konstitusi negara kita, tetapi juga sudah merupakan komitmen dunia sesuai dengan psl.19 Pernyataan Universal Hak-hak Azasi Manusia PBB 10 Desember 1948. Dalam pidato yang terkenal dalam sidang umum PBB ketika menerima pasal kebebasan beragama itu, Menteri Luar Negeri Pakistan Zafrullah Khan berkata, ,,Islam adalah suatu agama dakwah (zending). Apabila agama ini menuntut untuk dirinya sendiri hak kebebasan untuk menarik orang-orang lain ke dalam agama Islam, maka iapun juga haruslah memberi hak bebas kepada keyakinan-keyakinan lainnya untuk menarik orang-orang”.

NASRANI SAHABAT TERDEKAT MUSLIM ? (2)

Karena itu sungguh disayangkan adanya aksi anti pemurtadan yang melakukan intimidasi terhadap orang-orang yang telah atau akan beralih agama sesuai suara hatinya sendiri tanpa paksaan. Sebab agama sebagai hak azasi setiap orang, menyangkut keselamatan jiwanya sendiri di akhirat. Setiap orang akan menanggung sendiri resiko dari pilihannya.

Kalau seseorang memaksa orang lain menganut agama yang tak diyakininya atau melarangnya meninggalkan agama yang tak diyakininya lagi lalu ingin memeluk agama lain, - dapatkah si korban mengklaim orang yang memaksanya bila ternyata di akhirat nanti pilihan yang dipaksakan itu salah ? Atau akankah si pemaksa bertanggung jawab atas jiwa orang yang dipaksanya ? Nabi Muhammad sendiripun tak dapat menjamin keselamatan jiwa seorang pun, bahkan untuk puterinya sendiri, Fatimah.

Sir Thomas Arnold dalam ”Preaching of Islam”, menulis : dalam abad pertama pemerintahan Arab, berbagai gereja Kristen diperlakukan dengan toleransi dan diberikan kemerdekaan beragama. Namun selama masa pertempuran dengan Bizantium, Khalifah-khalifah mengalami beberapa hal, - seperti pengkhianatan Nikhoporos,- yang menyebabkan mereka ragu-ragu akan kesetiaan rakyat yang beragama Kristen. Mungkin itu salah satu sebabnya Khalifah Harun ar-Rasyid memerintahkan supaya orang Kristen memakai baju khusus dan memecat mereka dari jabatan-jabatan baik.

Tetapi Abu Yusuf (penasehatnya) kemudian mengingatkan: ”Adalah menjadi kewajiban Pemimpin kaum Mukmin memperlakukan dengan baik mereka yang mempunyai perjanjian dengan Rasul. Tuan wajib menjaga supaya mereka jangan dianiaya atau diperlakukan dengan tidak semestinya, ….karena diceriterakan tentang Rasulullah, bahwa ia pernah mengatakan, barangsiapa menganiaya seorang zimmi atau menimbulkan beban kepadanya melebihi kemampuannya, maka akulah yang akan mendakwanya. Dan barangsiapa menyiksa orang zimmi, maka ia menyiksa daku. ”

Umar r.a. juga memerintahkan Usman : ”Aku serahkan kepadamu untuk mengurus kaum zimmi yang mempunyai perjanjian dengan Rasulullah. Jagalah supaya perjanjian dengan mereka terpelihara dan belalah mereka terhadap musuh”. Dengan kata-kata yang sama pula Ali r.a. memberi perintah kepada Muhammad Ibn Bakr, Gubernur Mesir tahun 36 H.

Ini berarti, amanat Muhammad s.a.w. tersebut bukan hanya untuk waktu sesaat itu saja, tetapi sepanjang masa. Kalau perintah itu diberikan untuk melindungi kaum Nasrani dalam negara-negara taklukan beliau, apatah lagi di negara RI yang sudah berusia 74 tahun ini ! Umat Nasrani dan non Muslim lainnya di negeri ini bukan umat negara taklukan, tetapi umat yang ikut berjuang bersama umat beragama lainnya sehingga ikut berhak menjadi pemilik negeri ini.

Kalau dalam masa perjuangan kemerdekaan tokoh-tokoh besar pendahulu kita dapat bahu-membahu dalam suasana pluralistis, - dalam perbedaan agama, suku, warna kulit bahkan rambut, - mengapa sekarang kita tidak dapat melakukan hal yang sama. Bergotong royong memperbaiki kondisi negeri yang banyak dirundung malang ini atas dasar kebersamaan, - dari pada berpikir kelompok, sektarian, separatis atau berbedaan yang hanya akan memecah-belah.

Setiap pemeluk agama ditantang membuktikan kebaikannya bagi kehidupan bersama, tidak saja sesuai yang tertulis dalam Kitab Suci atau tutur khotbah tetapi juga dalam amalnya bagi kemaslahatan bangsa. Seorang pengarang Muslim pernah menulis, ”Orang tertarik kepada Islam karena nyanyiannya tetapi orang tertarik kepada Kristen karena tariannya”.

Sunday, September 20, 2009

BAGIAN KEDUA : PENGUNGSIAN BESAR-BESARAN

 DIBARAK TENTARA ACEH (2.1)

Beteleme dan Poso pernah
 Danau Matano antara Nuha dan Sorowako
ramai dibicarakan ketika terjadi
aksi-aksi teror di daerah itu.
Masih ingat ? Inilah cuplikan  
pengalamanku di daerah itu sebelum
terjadi konflik. Pen.
**********************************
Kampung kami, Ulu'anso, merupakan lintasan utama jalan darat dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Tengah. Tapal batas hanya sekitar dua kilometer dari kampung kami. Hal biasa kalau sering ada orang belum dikenal lewat di samping rumah kami. Pedagang-pedagang dari Nuha membawa perhiasan, tembikar, ikan kering dan ternak kambing atau sapi.

Ada kalanya juga melintas kelompok-kelompok gerilya pejuang kemerdekaan. Mereka biasanya baik-baik dan dijamu di rumah kepala kampung. Namun kadang- kadang muncul pula kelompok bersenjata lainnya yang bersifat kasar dan kurang sopan. Biasanya mereka ditandai dengan berjatuhannya kelapa muda. Sebab kalau datang mereka selalu minta disediakan air kelapa muda, hidangan makan siang serta beras dan ayam dari penduduk untuk dibawa pulang.Kalau mereka datang, semua warga terutama perempuan dan anak-anak bersembunyi karena takut. Sudah tersiar kabar bahwa mereka tak akan segan-segan memenggal kepala orang yang berani melawan. Mereka pernah mau menyerbu kota Kolonodale,tetapi gagal.

Untunglah tidak lama kemudian pasukan TNI mulai datang dan disebar di daerah- daerah kami. Pasukan terdepan berada di kampung kami. Barak mereka hanya sekitar satu kilometer dari belakang rumah. Mereka dari Batalyon 706 Halilintar yang anggota-anggotanya kebanyakan orang Aceh. Kemudian menyusul pasukan lain. Namun pasukan baru ini kurang bergaul dengan penduduk.

Menarik, karena seluruh penduduk kampung kami dan kampung-kampung sekitarnya beragama Kristen. Sedangkan anggota-anggota tentara Aceh ini umumnya beragama Islam. Mereka melindungi kami dari gangguan DI/TII yang memberontak. Tapi meskipun berbeda agama, hubungan warga dengan tentara Aceh ini sangat akrab.

Mereka sering datang ke rumah dan bercakap-cakap dengan ayah. Kadang-kadang dengan membawa oleh-oleh sabun, gula pasir, biskuit, daging kaleng dan sigaret. Ayah adalah pengrajin sinari, yaitu minuman yang manis dari nira enau. Bila diberi buli yaitu sejenis kulit kayu, menjadi tuak yang rasanya seperti bir. Bila disuling akan menghasilkan arak dan sisanya menjadi cuka.

Namun begitu, beliau bukanlah peminum. Ayah sering menjamu teman-temannya dan mengajak aku menemani kerumah teman-temannya, tetapi aku belum pernah melihatnya pulang mabuk. Sudah menjadi tradisi di kampung kami, tamu laki-laki disuguhi sedikit minuman sambil becakap-cakap. Namun bukan kopi atau teh, tetapi sinari, arak atau pongasi minuman dari tape beras. Untuk tamu perempuan, disediakan perangkat makan sirih, yaitu pinang, daun sirih dan kapur sirih.

Demikian juga ketika menerimatamu-tamu prajurit ini. Mereka disuguhi minuman tetapi selalu dibatasi agar tidak mabuk. Kalau memang ada yang mabuk, biasanya komandan mereka mengambilalih senjata mereka agar tak membahayakan. Mereka selalu sopan dan rupanya juga segan kepada ayah. Mungkin mereka tahu ayah salah seorang pemuka kampung kami atau karena kakak sulungku yang telah keluar dari KNIL ketika itu diajak bergabung dalam pasukan mereka.

Kepada kami anak-anak, para pajurit Aceh ini juga cukup akrab. Ketika mereka sedang bersantai atau berpatroli sering mereka memanggil kami dan membagikan biskuit, mengajar membuat tempat sabun dari kaleng bekas ransum mereka dan dibolehkan bermain-main di barak. Bahkan seorang bintara yang biasa kami sapa Pak Udin mengajak kami bermain di tempat tidurnya yang terbuka. Mungkinkah rindu dengan anak-anaknya yang ditinggalkan ? Entahlah.

Para anggota pasukan diperbolehkan melepaskan tembakan di mana saja asalkan tidak mecelakakan warga. Karena itu sebentar-sebentar terdengar tembakan. Baik di sekitar kampung maupun di sekitar barak. Entah mereka menembak burung atau kelapa. Kami selalu senang melihat mereka menembak dan kami bersorak-sorak gembira apabila dapat mengenai sasaran. Setiap pagi dan sore dilakukan penembakan dengan bren ke wilayah musuh. Ketika senjata mesin itu memuntahkan pelurunya kami anak-anak berebut memunguti selonsongnya yang masih panas berjatuhan dari houderbaaknya.

PENGUNGSIAN BESAR-BESARAN (2.2)

Entah apa yang terjadi, semua pasukan TNI ditarik pulang. Bukan hanya dari garis depan tetapi juga dari garis belakang. Kami segenap penduduk sangat khawatir, karena kini pelindung kami telah pergi. Pasukan pemberontak sewaktu-waktu bisa datang dan membalas dendam kepada penduduk. Apalagi sebelum ditarik, pasukan TNI melakukan serangan ke wilayah pemberontak.

Penduduk mulai takut tinggal di kampung. Mereka lebih sering tinggal di kebun. Di kebun pun terasa belum aman. Ayah berkali-kali membuat gubuk-gubuk darurat di tempat-tempat tersembunyi. Kadang-kadang dekat mata air. Sebagian penduduk mulai mengungsi ke kampung lain yang lebih aman. Sekolah kami telah dipindahkan dari Uluanso ke kampung Kumpi karena dianggap lebih aman.

Mulailah gelombang pengungsian. Pada suatu hari ayah dan ibu memberitahukan, bahwa keluarga kami, kecuali aku akan pindah ke Korowalelo, kampung asal guru Porotu’o, suami Kak Ura. Aku belum dapat ikut karena tidak boleh meninggalkan sekolah. Mereka memberitahukan bahwa aku dapat tinggal bersama keluarga Kakak Haweuna, adik Kak Tinia di Pontibaa-nohu, antara Uluanso dan Kumpi. Mereka mempunyai bayi dan akan senang sekali kalau aku mau tinggal bersama mereka. Kak Haweuna sudah mengenal aku ketika menjaga Ety puteri pertama kakaknya, Tinia.

Tetapi aku hanya setahun bersama keluarga kakak sepupu ini. Pada suatu hari, aku diberitahu teman, ia melihat ayah ada di kampung Ulu’anso. Aku kecewa sekali mengapa beliau tidak datang mengunjungi aku, anaknya. Padahal aku sudah sangat rindu dengan mereka. Aku minta ijin kepada Kak Haweuna untuk dapat menemui ayah sebentar saja dan nanti akan kembali lagi. Tetapi mereka tidak mengijinkan dan tidak dapat memahami kerinduanku pada orang tuaku. Mereka sebetulnya baik sekali, tetapi aku sangat rindu ingin bertemu ayah.

Diam-diam aku berencana untuk pergi dengan paksa. Aku terpaksa harus keluar dengan cara yang kurang baik. Sayang sekali.Pada sore hari menjelang Kakak Haweuna dan suaminya biasanya pulang dari kebun,aku mengemasi pakaianku. Anak mereka sudah kuberi makan dan kutidurkan di ayunan,Sebelum berangkat aku pesan pada kemanakan adik suami Kak Haweuna yang sudah agak besar, kalau si bayi sudah bangun agar diturunkan agar tidak terjatuh. Aku memperkirakan tidak lama setelah aku berangkat mereka sudah akan tiba di rumah. Aku juga memberi tahu akan menemui ayah di Ulu’anso.

Sampai di Ulu’anso benar saja ayah kutemui sedang menumbuk padi. Ia terkejut melihat aku dan lebih terkejut lagi ketika ia tahu aku keluar tanpa ijin. Aku membela diri, mengapa ayah tidak menemuiku dan aku juga sudah minta ijin kepada Kak Haweuna tetapi mereka tidak memberiku kesempatan. Ayah diam saja.

Sebelum ayah kembali ke Korowalelo, aku dititipkan ke keluarga Pak Tua Samaila Lagasi. Beliau adalah kakak laki-laki ibu yang kedua dan tinggal di Pansu’ului. Mereka juga mempunyai bayi perempuan, Suni, dan menjadi tugasku pula untuk ikut menjaganya meskipun mereka sudah mempunyai dua anak yang lebih besar dari aku.

Hanya sekitar satu tahun aku bersama keluarga ini, karena setelah itu ayah, Kak Napi dan Welu datang menjemputku. Tetapi aku hanya d***ua tahun bersama orangtua. Ayah dan ibu memutuskan akan bergabung kembali dengan sesama warga asal Ulu’anso yang sudah mulai membangun perkampungan baru, Ulu’anso Baru di pinggir selatan Beteleme, Ibukota Kecamatan Lembo. Bahkan ayah sudah membeli sebuah rumah tua diujung jalan kampung baru itu. Rencana membeli salah satu bangunan bekas kompleks perumahan rohaniwan Belanda, Riedel di ujung kampung Korowalo batal.
      Ayah dan ibu minta aku tetap di Korowalelo bersama keluarga kak Ura. Kebetulan kak Ura bUra baru melahirkan anak mereka yang ketiga Yuser dan aku diminta membantu mete'ia.***

SEKOLAH DI PEGUNGSIAN (2.3)

Aku dimasukkan ke Sekolah Rakyat GKST 6 Tahun Tinompo. Sekolah ini dahulu merupakan sekolah lanjutan bagi anak-anak di kampung kami yang ingin melanjutkan setelah lulus kelas tiga. Mereka tinggal di rumah pemondokan yang dibangun dekat sekolah atau pada keluarga-keluarga yang bersedia menampung. Setelah warga Uluanso pindah di kampung baru dekat Beteleme, murid-murid pondokan inipun pindah sekolah ke Beteleme.

Orangtua minta aku tetap sekolah di Tinompo dan tinggal bersama keluarga Kak Ura di Kampung Korowalelo. Kebetulan Kak Ura baru melahirkan anak mereka yang ketiga, Yuser, dan aku diminta untuk membantu mete’ia. Aku baru saja naik kelas dua ketika pindah sekolah.

Pada mulanya aku merasa agak sulit mengikuti pelajaran. Guru kelas menempatkan aku di meja terdepan dekat meja guru diantara dua anak perempuan. Roslin, murid yang selalu menggunakan baju putih duduk disebelah kananku. Ia termasuk anak yang pandai dan cantik. Ia ternyata puteri guru kelas tiga, Bapak Lamale Tumakaka. Aku malu kalau nilai pelajaranku lebih buruk dari dia. Atau kalau ia dapat menjawab pertanyaan guru dengan benar dan aku tidak. Aku mulai terdorong untuk lebih memperhatikan pelajaran.

Peristiwa menyedihkan tiba-tiba terjadi. Pak Lamale guru kelas kami ini tiba-tiba meninggal dunia. Aku sudah duduk di kelas tiga. Kami bukan saja kehilangan guru kelas, tetapi juga kehilangan ayah tercinta dari kawan sekelas kami, Ros. Karena hari libur, kami murid-murid beliau tak dapat menghadiri pemakamannya.

Almarhum adalah sosok yang sudah dikenal baik oleh keluargaku karena pernah bertugas sebagai guru di Uluanso. Semua kakak-kakakku adalah bekas muridnya.

KAKAKKU TELAH PERGI...(2.4)

Persiapan menyambut Natal tahun 1956 di Korowalelo sudah dimulai. Setiap hari, kegiatan di gereja yang letaknya berseberangan dengan rumah kami selalu ramai, lebih-lebih hari Minggu. Demikian juga di gedung bekas kediaman Pendeta Riedel dari Belanda yang terletak di tempat agak ketinggian di belakang rumah kami. Selalu ramai dijadikan tempat latihan.

Kompleks bangunan ini tediri dari beberapa bangunan. Dikelilingi pohon-pohon bunga yang berwarna kuning cerah, kontras dengan daunnya yang hijau kecil-kecil. Bangunan utamanya berkaki beton dan berlantai papan tebal dari kayu pilihan dan beratap sirap. Bunyi orang belari-lari atau melompat-lompat tedengar jelas gemahnya di rumah kami.

Di tempat inilah Dina, gadis muda primadona di Korowalelo sering melatih adik-adik remaja-remaja puteri kampung kami. Ia baru saja menamatkan pendidikan guru Sekolah Kepandaian Puteri (SKP). Gadis hitam manis dengan rambut panjang bergelombang.

Ia mengajar para remaja puteri berbagai jenis masakan, aneka jenis kue, menjahit, merangkai bunga, membentuk paduan suara dan menari. Ia pernah memimpin teman-temannya mengikuti pelombaan tari dalam perayaan hari proklamasi bulan Agustus 1956 di Beteleme yang diikuti berbagai kampung se-KecamatanLembo dan keluar sebagai pemenang. Ia memang menjadi harapan bagi warga Korowalelo.

Bait pertama syair lagu pengiring tarian-tarian mereka ketika memasuki arena petandingan itu sebagai berikut :

Kesenian Mori asli
sekarang kami pertunjukanlah
Saksikanlah s‘mua gerak dan geriknya
itulah yang kami sangatlah merindukannya.

Awal Desember, kakak Ura dan Dina berangkat ke Kolonodale. Mereka akan membeli bahan keperluan Natal. Kakak mendapat tugas dari ibu-ibu KIK (kaum Ibu Kristen) untuk membeli kain putih bahan seragam. Penjahitannya juga diserahkan pada kakak. Dina akan membeli keperluan remaja-remaja perkumpulannya. Mereka hanya berdua saja melewati jalan pintas Sampalowo dan Koromatantu karena lebih dekat daripada melalui Tinompo. Meski melalui kampung-kampung yang diselang-selingi hutan-hutan kecil dan padang, jalan ini memang sering dilewati pejalan kaki dengan aman. Belum pernah terdengar adanya gangguan keamanan.

Menurut rencana, mereka hanya dua hari di Kolonodale. Tetapi sudah seminggu ditunggu, belum juga tiba di rumah. Pencarian, penelusuran, pengumpulan keterangan sepanjang jalan yang dilalui sampai Kolonodale segera dilakukan. Ayah, kakak ipar serta sanak keluarga dan banyak warga Korowalelo bahkan polisi terus melakukan pencarian.

Anti, Domi dan Yuser masih kecil-kecil. Aku mengirim pesan pada guru minta ijin tidak ke sekolah karena harus mengasuh ketiga kemanakanku. Kami dititipkan di rumah kakak tertua kakak iparku. Aku harus mengasuh secara khusus yang bungsu karena baru berusia setahun. Menggendong, menidurkan dalam ayunan, mengganti baju dan popoknya, menenangkan kalau rewel serta menyuapkan buburnya. Ia baru saja disapih.

Pencarian telah lewat tiga hari, tetapi belum juga berhasil. Suasana cemas meliputi kami berhari-hari. Kakak iparku kembali untuk istrahat. Ia hanya duduk termenung sedih setiap hari di bangku panjang di beranda rumah. Ada kain hitam melilit kepalanya. Aku sedih melihatnya. Kami kini telah dipindahkan ke rumah orangtua Adi, saudara kakak iparku yang lain.

Pada hari ke lima, yaitu tanggal 11 Desembe 1956, akhirnya berita yang kami nanti-nantikan datang juga. Namun bukan berita baik. Jenazah kakak dan Dina telah ditemukan beberapa ratus meter dari jalan di tepi hutan tertutup alang-alang ! Tetapi langsung dikuburkan di tempat karena kondisinya mulai rusak. Rumput-rumput berserabutan di sekitarnya menandakan kedua korban sebelum terbunuh telah melakukan perlawanan.

Rumah tempat kami menumpang segera menjadi rumah duka. Ibu datang bersama sanak famili dari Ulu’anso. Dari kejauhan mereka sudah menangis. Ibu tak henti-hentinya menangnis malam itu. Ia hanya duduk dalam kelambu sepanjang malam itu dan tak mau makan. Hanya aku yang menemaninya. Sesekali aku coba menghibunya tapi tak berhasil. Maklum beliau kehilangan puteri pertamanya dengan cara sedemikian itu. Ketiga kemanakanku telah diungsikan entah ke mana.

Aku sendiri tak sanggup lagi menangis. Tangisan dan air mataku telah terkuras habis ada hari-hari sebelumnya. Aku telah menumpahkan semua kesedihanku ketika aku menyendiri. Bahkan sebelum mereka ditemukan. Aku seperti sudah mendapat firasat buruk.

Ketika aku pergi ke kebun memberi makan hewan-hewan ternak kami aku melepaskan semua kesedihanku dengan menangis sepuas-puasku. Dalam perjalanan, ketika kesedihan itu tak tertahankan, aku menyimpang agak jauh dari jalan. Aku menambatkan tali kerbau yang kutunggangi, lalu duduk menangis tersedu-sedu di bawah pohon dongi. Begitu juga setiba di rumah kebun kami. Sebelum itu aku selalu berusaha tegar tidak menangis di rumah tumpangan. Apalagi di depan kemanakanku yang masih kecil-kecil.

Meskipun kakak adakalanya memarahi bahkan mencubit aku kalau bertengkar dengan kemanakanku yang tertua, namun aku sedih sekali dengan apa yang mungkin dialaminya. Ia sesungguhnya baik hati. Kalau malam ia sering datang bercakap-cakap sambil mencarikan kutu yang sebetulnya jarang di kepalaku sambil aku tidur. Ia mengajar aku mencari uang dengan menjual sayur mayur kepada ibu-ibu di Tinompo yang sering menunggu kami lewat menuju sekolah. Uang hasil penjualannya dikumpulkan lalu dibelikan kain untuk bahan baju dan celanaku yang dijahitnya sendiri. Kakak menjadi lebih sering ke rumah orangtua kami untuk menjahit bahkan kerap kali ia meminjam mesin jahit yang baru dibeli ayah ke rumah.

Kebaktian penghiburan berlangsung beberapa malam. Diantaranya hadir seorang perwira polisi dari Kolonodale. Ia mengungkapkan bahwa pelaku pembunuhan telah tertangkap. Ada dua orang. Mansure dan Yusup. Sehari-harinya mereka bekerja sebagai pendayung perahu penyeberangan di sungai Laa Sampalowo.

Merekalah yang menyeberangkan kakak dan Dina dalam perjalanan menuju Kolonodale. Kedua laki-laki itu menanyakan kapan kembali. Karena tak curiga, mereka memberitahukan tanggal 7 Desember. Mereka lalu membuat rencana jahat.

Pada hari itu mereka menunggu lalu membuntuti mereka sejak dari Kolonodale. Tiba di sebuah jalan berputar dekat Koromatantu, salah seorang memotong jalan lalu mereka mengepung dari depan dan belakang. Kedua laki-laki itu menyeret mereka dari jalan dengan ancaman pisau lalu mencoba memperkosa. Tetapi kedua korban meronta-ronta sambil berteriak-teriak minta tolong sehingga kedua pelaku panik dan menikam mereka. Pada jenazah kakak terdapat lima bekas tikaman dari Mansure. Dua pada kedua bahu dan tiga di perut. Pada jenazah Dina ditemukan satu bekas tikaman dari,Yusup di dada.

Pelaku pembunuhan terungkap ketika polisi menyelidiki siapa petugas perahu penyeberangan di Sampalowo pada hari keberangkatan mereka. Polisi mencurigai Yusup karena tiba-tiba menghilang. Ketika ditemukan di Kolonodale dan digeledah, terlihat bekas darah pada celananya. Dalam pemeriksaan akhirnya ia mengaku. Berdasarkan keterangannya dilakukanlah pula penangkapan terhadap Mansure. Teramat menyakitkan mendengar penuturan itu, meskipun agak sedikit terhibur karena kedua pelakunya telah tertangkap.

Sungguh ironis pula, karena tepat pada hari perkabungan itu di rumah seberang jalan, berlangsung pula pesta perkawinan dari anak perempuan kakak iparku, tempat kami dititipkan selama pencarian. Pesta itu tak dapat ditunda lagi karena para undangan dari berbagai kampung sudah berdatangan.

Tahun berikutnya terjadi perubahan cepat di bidang politik dan keamanan. Pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara dan Tengah dan PRRI di Sumatera Barat telah berhasil diatasi. Pasukan Permesta lari dari Kolonodale akibat serangan pasukan GPST (Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah).

Ketika GPST masuk kota mereka mencari orang-orang yang dianggap pengkhianat dan dihukum berat. Mansure dan Yusup yang konon ketika itu sudah berada di luar tahanan dicari lalu dihukum pancung. Ada yang ingin memperkarakannya tetapi para pemuda beralasan ketika itu negara dalam keadaan SOB sehingga yang berlaku hukum perang. Ayat Kitab Suci yang mengatakan ”siapa menghunus pedang akan mati oleh pedang”, benar-benar terjadi.

Ayah sangat terpukul dengan peristiwa itu. Selama pencarian, aku tak pernah bertemu ayah karena ia terus-menerus mencari sampai kedua korban ditemukan. Beberapa waktu kemudian, ketika aku menanyakan kondisi jenazah ketika ditemukan, dengan sedih ia katakan, wana asli pakaian mereka dan bekas darah tak dapat dibedakan lagi, kondisi jenazah sudah mulai rusak.

Berdua dengan kakak suami almarhumah, ayah menurunkan kedua jenazah ke lubang pemakamam sementara pada tempat mereka ditemukan dengan tangan mereka sendiri karena kondisinya yang mulai rusak. “Kalau kami tak ada, mungkin kedua jenazah akan diturunkan dengan pacul”, kata ayah sedih.

Ia lalu bernazar, tak akan minum minuman beralkohol sampai makam anak perempuan tertuanya itu diupacarakan dan dipindahkan ke tempat yang lebih layak. Dan memang sejak itu ayah tak pernah lagi kulihat minum. Padahal sejak dahulu ayah adalah penghasil minuman saguer dan arak.

Musibah ini ikut merubah arah kehidupanku. Ketiga kemanakanku dan ayah mereka tetap tinggal bersama famili di Korowalelo. Aku kembali ke orangtua di kampung Ulu’anso Baru di ujung Selatan kampung Beteleme namun tetap sekolah di Tinompo.

Setiap hari aku pergi sekolah bolak-balik melintasi kampung Beteleme dan Lahumbala. Jalan raya ini tak memiliki pohon pelindung di kiri kanannya sehingga aku merasa kepanasan kalau pulang sekolah tengah hari. Kadang-kadang aku menjumpai roda (gerobak sapi). Kedua saisnya baik hati dan selalu mengijinkan aku ikut naik. Aku tetap sekolah di Tinompo sampai selesai kenaikan kelas. Aku naik kelas lima dan setelah itu pindah ke SR 6 tahun Beteleme.



Di Betlehem Tanah Mori (2.5)

Dalam Beibel bahasa Mori, Beteleme adalah terjemahan dari Betlehem. Entah apa latar belakangnya kota kecil ini diberi nama sesuai kota tempat kelahiran Kristus. Memang dari kota inilah pendeta klasis melayani seluruh jemaat di wilayah Kecamatan Lembo. Sebagai ibukota kecamatan, kota ini bekembang pesat.

Di Uluanso Baru aku berjumpa kembali dengan kawan-kawan lamaku dahulu. Dan ketika aku pindah sekolah, kami dapat belajar bersama lagi. Tapi hidup di daerah pengungsian, kami tidak sebebas bermain seperti dahulu lagi. Selesai sekolah kami harus ikut bekerja membantu orangtua di sawah atau kebun masing-masing yang saling berjauhan.

Di kelas enam, terasa mulai ada persaingan kepintaranan. Weli, murid yang pintar dan cantik adalah adik dari dua orang guru. Iparnya Kepala Sekolah dan guru kelas kami. Ika juga pintar. Meskipun ia anak Camat dan cantik, namun ia selalu rendah hati. Persaingan itu terutama terasa pada mata pelajaran berhitung.

Ujian Penghabisan selesai dan kami diliburkan. Kepastian kelulusan kami diberitahukan ketika kami dipanggil satu persatu. Ketika namaku dipanggil, Ibu Gansinale, kakak Wely yang menyerahkan Tanda Lulusku, nampak tersentak; ’’Wah, istimewa, sepuluh”, katanya sambil menatapku. Rupanya nilai ujianku untuk mata pelajaran berhitung 10 (sepuluh) dengan sebutan “istimewa.” Berarti aku dapat menyelesaikan semua soal-soal ujian berupa pecahan-pecahan dan bilangan-bilangan berpangkat dengan benar.

Berhitung memang merupakan mata pelajaran pokok. Aku senang mendapat nilai tertinggi ini pada ujian akhir. Sayang sertifikat yang amat kubanggakan itu ikut terbakar ketika kota Beteleme dibumihanguskan gerombolan.

Jadi Bintang Pelajar (2.6)

Niatku untuk tetap melanjutkan sekolah sudah mantap. Aku menyayangkan ketika mendengar Weli tidak akan melanjutkan sekolah lagi. Sedangkan Ika akan melanjutkan sekolah di SMP Tomata ibukota Kecamatan Mori Atas karena keluarganya pindah ke kota itu. Ayahnya telah menjadi korban politik dan digantikan Pak Hoti bekas wakilnya sebagai Camat Lembo.

Camat baru ini sangat bersemangat untuk membangun wilayahnya. Ia menca-nangkan untuk mendirikan SMP secara mandiri dan tahun itu juga sudah harus menerima siswa baru. Padahal gedung sekolahnya saja belum ada.

Segeralah dibangun sebuah bangunan darurat berdinding pitate (anyaman bambu) dengan atap daun sagu dan lantai tanah. Pembangunan dilakukan secara gotong-royong dengan melibatkan tenaga-tenaga dari seluruh kampung di wilayahnya. Sambutan penduduk ternyata sangat besar.

Dalam waktu singkat selesailah bangunan dengan tiga ruang kelas. Untuk Bagian A (Bahasa), Bagian B (Ilmu Pasti dan ilmu Alam) serta Bagian C (Ekonomi). Aku memilih Bagian B mengingat nilai-nilai hasil ujian ku pada ujian akhir SR sesuai untuk jurusan itu. Guru kami tiga orang termasuk Pak Tamalagi sebagai Direktur. Mereka menerima honorarium dari uang sekolah siswa.

Rencana sekolah kami tidak berhenti sampai disitu saja. Kami merencanakan membangun sebuah gedung sekolah permanen berlantai dua dari beton. Untuk itu pada setiap hari Krida (Jumat) kami mengangkut batu dan pasir secara gotong royong dari kali untuk fondasi dan rangka beton.

Untuk memperoleh tambahan dana, kami meman-faatkan lahan rawa-rawa dekat sekolah kami menjadi sawah. Kami juga membuat berbagai bahan keperluan sehari-hari yang bermanfaat sekaligus untuk penilaian mata pelajaran prakaya. Ada yang membuat tali ijuk, keranjang, gantungan pakaian, bubuh, papan nama meja dan berbagai jenis kerajinan lainnya sesuai kreasi setiap siswa. Kegiatan ini bukan saja menambah uang kas sekolah tetapi juga memungkinkan kami saling bertukar ketrampilan.

Pak Tamalagi bukan saja seorang guru yang mampu mengaja dengan menarik, tetapi juga seoang seniman. Ia mengajar kami menyanyi dalam bentuk paduan suara, membentuk grup musik bambu. Aku memegang bas, alat musik yang memang sudah kukuasai sejak di kelas enam Sekolah Rakyat.

Pada setiap hari Senin kami mengadakan upacara. Semua siswa dilatih dan dituntut mampu menjadi pengerek bendera atau konduktor dalam menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dilakukan secara bergilir.

Pada perayaan Natal, kami ikut membawakan lagu puji-pujian bahkan pertunjukan sandiwara. Pada perayaan hari Proklamasi Kemerdekaan, di lapangan sekolah kami menyelenggarakan pasar malam, perlombaan olah raga dan cerdas tangkas. Sedangkan pada setiap selesai ujian kenaikan kelas, kami menyelenggarakan pesta syukuran dengan mengundang Camat dan para orangtua siswa. Pada kesempatan inilah Direktur sekolah menyampaikan laporan mengenai perkembangan sekolah dan mengumumkan juara-juara kelas dan bintang pelajar, yaitu siswa yang memperoleh nilai tertinggi dari seluruh siswa.

Tak pernah kulupakan, ketika tahun 1958 namaku diumumkan sebagai bintang pelajar. Kudengar ayah diminta berdiri. Ketika itu aku beserta beberapa teman hanya mengintip melalui sela-sela dinding dari luar, karena saat itu aku sebagai anggota panitia sedang berada di luar membantu para siswa putri menyiapkan konsumsi. Karena prestasi itulah maka para guru
sering menugaskan aku membantunya menyalin pelajaran dari buku di papan tulis kemudian disalin pula oleh teman-teman sekelas. Atau diminta mengerjakan soal di depan kelas.

MODERO YANG MENGASYIKAN (2.7)

Modero adalah salah satu tarian rakyat yang sangat populer dalam masyarakat Mori. Sangat disenangi untuk bersantai bukan saja oleh kaum muda tetapi juga oleh kaum tua. Para penari membentuk lingkaran mengelilingi penabuh gendang dan gong. Sambil berpegangan tangan dengan menghadap ke dalam lingkaran, mereka melangkah ke samping kanan dengan langkah-langkah tertentu sambil menyanyi bersama dengan iringan gendang dan gong.

Lagu yang dinyanyikan umumnya lagu-lagu gembira dan percintaan. Pada puncaknya biasanya terjadi adu berbalas pantun antara seorang pemuda dengan seorang gadis, baik yang sudah berkenalan maupun belum. Pada waktu seseorang berpantun, gendang dan gong dibunyikan lembut. Dan setelah selesai disambut dengan lagu pengiring yang dinyanyikan bersama dengan bunyi gendang dan gong yang berbunyi nyaring kembali. Kesempatan itu disediakan bagi peserta yang mungkin menjadi sasaran pantun untuk mempersiapkan jawabannnya dengan pantun pula. Bila belum siap, lagu pengiring diulangi lagi.

Untuk mulai menghangatkan suasana, biasanya ada ada yang memulai dengan berpantutn, misalnya :

Ramailah ramai duduk jembatan
Angkatlah batu seorang satu
Ramailah ramai kita modero
Angkatlah lagu seorang satu

Kalau seorang pemuda ingin mengetahui apakah seorang wanita di sebelah kirinya sudah mempunyai suami atau pacar dan ingin mendapat jawaban, ia dapat berantun :

Janglah marah saya bertanya
Cincin di jari siapa punya
Janganlah marah saya bertanya
Nona di kiri siapa yang punya

Tarian ini merupakan tarian bebas. Peserta bebas masuk atau mengundurkan diri. Hanya ada kode etik yang tak tertulis, yaitu tidak boleh masuk dengan memisahkan dua penari laki-laki dan perempuan. Dan bila mengundurkan diri harus minta diri kepada rekan di kiri kanannya dan menyambungkan pegangan tangan mereka.

Acara modero biasanya diadakan pada pesta-pesta kecuali keagamaan, seperti hari proklamasi, tahun baru, padungku (pengucapan syukur sesudah musim panen) serta pernikahan. Umumnya dilaksanakan pada malam hari agar lebih romantis dan biasanya berlangsung semalam suntuk.

Modero tidak saja menyenangkan warga Mori, tetapi juga para pendatang. Ketika tentara Permesta berkuasa, komandan meeka di Beteleme hampir setiap malam minta diadakan acara modero dengan mengharuskan kehadiran para anak gadis dari kampung-kampung sekitarnya. Hal ini mengkhawatirkan para orang tua.

Para pemuda tidak sabar lagi. Mereka masuk hutan bergabung dengan milisi Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) bergerilya. Mereka kerap menghadang iring-iringan pasukan Permesta yang ketika itu telah memberontak kepada Pemerintah Pusat. Banyak pemudi ikut bergabung. GPST akhirnya dapat membebaskan Beteleme lalu seluruh Kewedanaan Kolonodale dari Permesta. Di mana-mana dikumandangkan mars GPST, seperti berikut :

5 Desember lima p’lu tujuh,
sehari bersejarah mulia
bagi rakyat Sulawesi Tengah
menjunjung keutuhan bangsa
Pemuda-pemudi seluruhnya
bersatu, setekad, sepakat
memperjuangkan nasib rakyatnya
demi keutuhan bangsa

Reff:
GPST menjadilah kenyataan,
rimba raya menjadilah medan bakti
Majulah GPST ! Hidup Sulawesi Tengah
Untuk kejayaan Nusa bangsa
Indonesia yang abadi.

                          NYARIS DIKEROYOK ORANG KAMPUNG (2.8)

Semenjak di Sekolah Rakyat aku sudah senang karang-mengarang. Senang membaca buku ceritera dan ketika ada giliran mendongeng di depan kelas, aku dapat menceriterakannya dengan lancar. Aku suka menggambar, menulis elok, menulis pantun dan mengarang dari kisah-kisah nyata kehidupan sehari-hari.

Pernah guru kelas kami di kelas enam SR Beteleme terkejut membaca karanganku. Ia segera memusnahkannya sambil mengingatkan bahwa tulisanku dapat membahayakan. Ketika itu Permesta memberontak kepada Pemerintah Pusat. Tentara-tentara Permesta inipun di kampung-kampung kami mulai berperilaku buruk. Beberapa anak gadis di kampung kami sudah menyingkir bergabung dengan pemuda-pemuda Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) yang bergerilya di hutan. Orang-orangtua juga sudah mulai mencemaskan anak-anak gadis mereka, karena tentara-tentara pemberontak ini hampir setiap malam meminta diadakan acara modero, suatu tarian rakyat. Semua remaja puteri dimintakan ikut. Padahal tarian ini biasanya hanya diadakan pada waktu perayaan atau pesta-pesta.

Salah seorang warga kampungku, bekas bintara tentara KNIL menjadi salah seorang Komandan GPST. Ia mempunyai pasukan sekitar satu kompi. Memiliki senjata masih baru hasil rampasan dari Permesta bahkan sebuah senjata berat water mantel. Senjata itu pernah didemonstrasikan penembakannya ke arah kali dari halaman rumah kami yang terletak di ketinggian. Salah seorang anggotanya yang berbadan tinggi kekar dan bersenjata bren, adalah bekas tentara Permesta yang lari bergabung dengan GPST. Komandan ini adalah bekas teman sepasukan dengan kakak di KNIL bersama kakak suami Kak Ura. Terakhir sudah berpangkat letnan.

Semua ini kuungkapkan dalam karanganku. Pantas kalau guru kami khawatir kalau sampai jatuh ke tangan anggota pemberontak. Apalagi saat itu ada seorang tentara pemberontak yang sering muncul, mundar-mandir, tanpa segan-segan didepan pintu kelas kami. Entah tertarik dengan gadis-gadis murid perempuan kelas kami, atau mau memata-matai kami. Tak ada yang berani menegurnya.

Karangan lain yang nyaris membawa petaka, sebenarnya kutulis hanya iseng untuk mencoba pulpen yang sedang kuperbaiki. Ketika itu aku baru setahun duduk di SMP dan menjelang pelaksanaan ujian kenaikan kelas. Sudah menjadi kebiasaan kami teman-teman berkumpul bersama selesai sekolah untuk belajar bersama. Dan siang itu, kami berkumpul di rumah Mery anak Kepala Kampung. Orangtua Mery dan saudara-saudaranya semua di kebun.

Pada masa itu memang musim panen dan semua warga ada di kebun atau sawah, sehingga suasana kampung terasa lengang. Penjagaan keamanan kampung dipercayakan kepada GPST. Ketika Mery dan teman-teman sedang mempersiapkan makanan di dapur, aku duduk di beranda muka memperbaiki bulpenku yang rusak. Sesudah dibersihkan, aku mengambil beberapa lembar dari buku tulisku, lalu mulailah aku menulis guna mencoba pulpen yang baru saja kuperbaiki. Menulis apa ?

Waktu itu warga kampung kami bermaksud memindahkan kampung yang mulai pula dibayang-bayangi gerombolan pengacau dari Sulawesi Selatan. Tetapi dalam penentuan lokasi baru terdapat perbedaan pendapat. Masing-masing menginginkan tempat terdekat dari lokasi kebun atau sawah mereka.Terbagi tiga kelompok. Situasi hangat ini ternyata memberikan inspirasi. Dengan meniru gaya Anwar Sanusi yang menarik dalam caranya menuliskan sejarah dunia abad Pertengahan, dengan penuh semangat mulailah aku menggoreskan mata penaku yang terasa mulai bagus.

Untuk lebih menghidupkan jalan ceritera, setiap nama tokoh utama dari tiga kelompok itu tak lupa kuberikan jabatan dan pangkat tinggi-tinggi, seperti Panglima Tertinggi, Letnan Jendral dan sebagainya, sebagaimana diberikan Ratu Victoria dan Disraeli menteri luar-negerinya kepada panglima-panglimanya. Tentu saja tingkat ketinggian pangkat masing-masing disesuaikan dengan pengaruh masing-masing dalam pertikaian ini. Tak kecuali ayah Mery, Kepala Kampung kami, yang juga masih sepupuku, bahkan ayahku sendiri.

Hari itu hari Sabtu. Pada malam hari biasanya warga pulang ke kampung untuk mempersiapkan diri mengikuti ibadah hari Minggu. Dan biasanya setelah itu para kepala keluarga diminta mengadakan teriso ( rapat kampung) untuk membahas hal-hal yang dianggap perlu.Tidak seperti biasanya, hari Minggu itu aku mengikuti ibadah di Kumpi, kamung kami yang baru, meskipun secara resmi kami masih tetap sebagai warga kampung Uluanso.

Pada sore hari ayah dan ibu pulang dari Uluanso. Ayah tidak marah. Tetapi ketika ditanya apakah aku ikut bersama teman-teman di rumah Kepala Kampung hari Sabtu dan meninggalkan tulisan, aku terkejut. Ayah memang nampak gusar ketika aku mengakui terus terang. Karena Mery pun kata beliau sudah mengaku itu tulisanku. Kujelaskan kepada ayah, karangan itu hanya coretan-coretan untuk mencoba penaku yang rusak kemudian kubuang. Rupanya ada yang menemukan.

Suratku kata ayah dibahas dalam rapat. “Masih untung kamu tidak ikut. Kamu dicari GPST dan kalau ketemu bisa dipukuli”, kata ayah. Ia tidak berkata apa-apa lagi padahal pada karanganku nama kecil beliau yang selamanya pantang kusebutkan kutulis lengkap dengan “pangkat”nya.

Lagi pula kalau beliau marah, apa yang ditangannya dapat dipakai menghajar orang yang dimarahinya. Pernah pisau yang sedang dipakai beliau menghaluskan rotan melukai tempurung lututku. Aku sedang bertengkar dengan Tumi adikku dan ayah bermaksud memukulku. Ketika nampak darah mengalir deras, ia terkejut dan segera memberi pertolongan.

Pernah pula aku dihajar dengan sepotong belahan bambu bekas lantai selebar penggaris, sehingga kulit-kulit punggungku babak belur. Juga karena bertengkar dengan adik. Aku menyesal karena tentunya aku telah membuat malu ayah dalam rapat warga itu. Aku tetap bangga dengan ayahku sampai akhir hayatnya.

TIDUR DI TENGAH-TENGAH GEROMBOLAN (2.9)

Perdagangan komoditi rotan dan damar sedang bagus di Beteleme. Diberbagai halaman nampak batangan-batangan rotan berbagai ukuran dijemur. Rakit yang memuat rotan tak putus-putusnya lewat di sungai Laa menuju Pelabuhan Kolonodale. Iringan-iringan truk atau roda (gerobak) berisi rotan yang ditarik lembu terlihat di mana-mana.

Warga bahkan anak-anak sekolah ramai-ramai menggunakan waktu luang membersihkan batangan-batangan rotan untuk mendapatkan upah. Berkarung- karung damar juga setiap harinya dinaikan atau diturunkan dari truk-truk di depan toko para pedagang besar kedua komoditi itu.

Perkembangan ekonomi di Beteleme terasa maju pesat. Banyak penduduk mendadak jadi kaya. Juga di kampung Ulu’anso. Kepala kampung sudah dapat membeli mobil. Hal yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Peluang mendapatkan uang itu tak juga kulewatkan. Pada masa libur setelah ujian penghabisan SR, aku beberapa kali mengikuti ajakan teman-teman mencari uang ikut membersihkan batangan rotan dengan pisau. Waktu itu aku belum pindah dari Korowalelo kembali ke Uluanso.

Hubungan warga Uluanso dan Kumpi dengan penduduk Nuha dan Pangempa yang merupakan wilayah kekuasaan TII membaik. Pemberontak membiarkan penduduk kedua pihak saling berhubungan lagi dan mereka juga tidak pernah menampakan diri.

Bagi warga Uluanso, ini sungguh menggembirakan karena mereka sudah bebas lagi mendapatkan atau memanfaatkan sisa-sisa harta milik mereka, seperti mencari ternak dan memotong sagu sebagai makanan pokok kedua setelah beras. Tapi yang paling menggembirakan, pertemuan diam-diam ini ternyata amat menguntungkan kedua pihak yang sebelumnya bermusuhan dengan terbentuknya perda-gangan barter. Penduduk asal wilayah kekuasaan TII menyediakan komoditi rotan dan damar, sedangkan warga dari Uluanso dan Kumpi menukarkannya dengan bahan keperluan, seperti gula, bahan pakaian, sabun, rokok, minyak tanah, alas kaki dan sebagainya.

Pada suatu hari ketika masih libur, aku diajak ayah menggunakan waktu luangku ikut ke kampung Ulu’anso lama membeli damar untuk kemudian dijual dengan harga yang menguntungkan. Tapi akibatnya tragis. Kami berangkat dengan membawa kerbau dan kuda beban.

Bagiku perjalanan ini merupakan juga perjalanan nostalgia. Karena untuk pertama kalinya aku akan melihat lagi kampung kelahiranku setelah lima tahun aku tinggalkan. Lebih menyenangkan lagi karena ternyata tempat pertemuan di rumah kami, tempat aku dan kakak-adikku dilahirkan dan dibesarkan ! Hanya sayang kami tiba sudah lewat petang, agak gelap, sehingga aku tak dapat mengamati dengan baik kondisi rumah kami dan sekitarnya.Aku lihat, bangunannya masih kokoh, hanya sebagian besar dindingnya, dahulu dari papan, sudah tidak ada.

Tempatnya memang strategis, terletak di tikungan pertigaan memasuki kampung Uluanso dari arah Nuha. Ketika tiba disitu sudah banyak orang, semuanya orang Matano. Ayah menyapa mereka kemudian kami naik mencari tempat di sekitar mereka di bangunan bagian belakang. Lantainya dulu dari bambu tapi kini telah berganti papan. Dinding-dindingnya tidak ada lagi. Sedih aku melihatnya. Meskipun kami memiliki dua kamar besar, namun kami dahulu lebih suka tidur disini bersama-sama dalam kelambu yang besar. Diatasnya selalu terbentang sebatang kayu tempat menggantung buaian kami ketika masih bayi. Dapur kami pun terdapat di situ dan kami selalu duduk makan di situ pula.
Pohon durian di Lokasi rumah kami yg dibakar thn 1958,

Ayah menyuruh aku tidur sambil menunggunya. Ia meninggalkan aku bersama orang-orang ini, entah ke mana. Aku selama ini tinggal di Korowalelo dan belum menge-tahui seberapa baik hubungan kedua pihak sehingga sangat cemas. Orang tua-tua Matano dan kampung kami sebenarnya masih saling mengenal baik, bahkan salah seorang kakak perempuan ayah kawin dengan orang Matano dan sudah mempunyai banyak anak cucu di Nuha. Sebelum ada TII setiap hari raya Lebaran, Natal, Tahun Baru, pesta perkawinan atau Padungku (hari Pengucapan Syukur selepas musim panen) kedua pihak selalu saling mengunjungi dan mengundang.

Tapi sungguhkah warga Matano ini masih seperti dulu dan tidak berubah sikap mereka setelah berada di bawah pengaruh TII ? Kalau ya, apakah hubungan diam-diam ini juga atas seijin TII ? Sebab kalau tidak, bisa saja mereka tiba-tiba muncul dan menculik kami ! Atau mungkinkah di antara orang-orang Matano ini juga terdapat anggota TII ?

Dari suara pembicaraan mereka, aku tahu mereka ada beberapa kelompok. Sebagian di bangunan tengah dan beberapa lainnya di depan. Makin malam kegelapan makin pekat. Hanya ada satu dua obor damar yang sebentar-sebentar hampir mati oleh tiupan angin. Dari balik selimut aku coba memperhatikan muka beberapa orang yang nampak samar-samar. Mereka sudah tua-tua. Tidak kulihat ada lelaki berambut panjang menyeramkan, seperti sosok seorang anggota TII yang sering kudengar.

Aku tak dapat tidur karena cemas dan terus mengikuti pembicaraan mereka. Aku hanya tahu beberapa kata bahasa Matano sehingga aku tak dapat memahami apa yang mereka bicarakan. Mereka tidak pernah menyapa aku. Mungkin mereka menyangka aku sudah tidur. Tetapi aku senantiasa waspada. Apabila terjadi sesuatu yang akan mengancam diriku, aku akan segera melompat dan lari bersembunyi melalui bekas jalan alternatif yang dahulu sering kami lalui.

Sebetulnya pemandangan di luar malam itu menarik untuk dinikmati. Dari tempatku berbaring yang tak berdinding itu dapat kulihat ribuan kunang-kunang dengan sinar berkelap-kelip beterbangan. Pohon-pohon di sekitar rumah gemerlapan laksana pohon terang di malam Natal diselimuti serangga-serangga kecil bercahaya itu.

Akhirnya ayah datang juga. Hari sudah menjelang subuh. Rupanya ayah malam itu sibuk menyiapkan semua muatan kami, berupa damar dalam karung-karung. Semua-nya sudah siap, di atas pelana kuda maupun kerbau. Kami berangkat pulang dengan menggunakan obor. Aku menggiring kerbau dan ayah menggiring Balibi di belakang. Menjelang siang, kami sudah menuruni jalan menuju Undoro.

Tiba-tiba kami berjumpa dengan serombongan polisi berjalan kaki sekitar tiga puluh orang. Orang paling depan memakai jaket dan bersenjata sten. Ia bertanya dengan suara keras: ”Di mana ada banyak orang.?” “Di sana. Di Uluanso”, jawabku gugup. Salah seorang memanggul senjata panjang dengan sangkur diujungnya. Ia menusuk karung damar di atas pelana, namun sesudah itu mereka terus jalan bergegas.

Aku berpaling. Mereka juga menanyai ayah, tetapi kemudian membiarkannya berlalu mengikuti aku di belakang. Dalam hati aku berpikir, kejadian ini akan berakibat serius. Bagaimana dengan orang-orang yang masih tengah berbarter di Uluanso ? Akankah kami mendapat ganjaran hukum ? Aku tidak dapat mengikuti lagi semua kelanjutannya karena aku harus segera kembali ke Korowalelo. Hanya kudengar, semua rumah di Uluanso tua dibakar habis oleh polisi. Rumah kami hangus total. Rupanya di situ tersimpan berkarung-karung damar yang memang mudah terbakar.

Beberapa warga Uluanso tertangkap. Penangkapan itu berlanjut dengan pemanggilan sejumlah warga lainnya ke kantor polisi Kolonodale, termasuk ayah. Kakak Seti, sebetulnya tidak termasuk orang yang dipanggil. Tetapi karena merasa pernah ikut, ia juga minta ditahan. Ibu menyesalinya tetapi dapat memahami kejujuran putera keduanya itu.

Akibat peristiwa itu, perdagangan komoditi terhenti sama sekali. Kegiatan ekonomi kembali lesuh. Hubungan dengan warga Matano kembali terputus. Ketegangan dan sikap permusuhan terulang kembali. Bahkan Kepala Kampung Kumpi tewas diujung tombak ketika dijebak. Tidak lama kemudian Paman Samaila kakak ibu dan Kak Tinia ikut terjebak. Tetapi atas mujizat Tuhan berhasil lolos.

 LOLOS DARI TANGAN PENCULIK (2.10)

Berita penculikan paman Samaila, dan kak Tinia tersebar di Uluanso Baru melalui kak Ali. Bahkan kemudian meluas ke Beteleme dan seluruh Kecamatan. Suasana jadi mencekam. Kemanakan ayah dari kakak yang kedua ini, lolos dari penculikan gerombolan berkat kecerdikannya.

Mereka bertiga sedang dalam perjalanan pulang dari Uluanso Tua dengan membawa hasil bumi dan ternak. Baru sekitar dua kilometer berjalan, mereka berjumpa dengan sekelompok pasukan mirip tentara resmi. Lengkap dengan topi baja, berseragam hijau dan bersenjata lengkap. Mereka memanggil-manggil dengan isyarat tangan sambil berteriak mengaku TNI. Paman dan kak Tinia terus mendekat dan kemudian disuruh duduk di sebuah bangku panjang.

Ketika kak Ali mendekat, ia melihat diantara orang-orang itu ada yang berambut panjang. Ia curiga, barangkali bukan TNI tapi gerombolan yang menyamar. Ia lalu mencari akal untuk meloloskan diri.Ia sedang menggiring seekor kerbau yang masih agak liar. Ia minta ijin sebentar untuk menambatkan kerbau itu. Dengan berlindung di balik tubuh kerbau liar itu ia dengan cepat melarikan diri. Dari dialah tersebar berita penyanderaan paman dan kak Tinia kepada warga sekampung.

Tidak ada tindakan yang dapat segera dilakukan kecuali semua laki-laki mempersiapkan diri untuk mela-kukan perlawanan bila gerombolan muncul di Ulu’anso Baru. Polisi tidak ada di Kecamatan Lembo. Yang ada hanya di Kolonodale. Tentara juga tidak ada karena tentara Permesta baru saja melarikan karena tekanan pemuda-pemuda GPST.

Suasana kampung tegang. Semua laki-laki bersama GPST bersiaga, lebih-lebih malam hari. Sebab ada infor-masi gerombolan itu telah sampai di Undoro, kira-kira sehari perjalanan dari Beteleme. Ibu semalam-malaman menangis dan berdoa bagi keselamatan paman dan kak Tinia.

Besoknya adalah hari Minggu. Semua warga pergi beribadah dalam kondisi prihatin. GPST dan pemuda memang sudah menyiapkan pertahanan di gerbang-gerbang benteng bila musuh benar-benar datang menyerang. Belum ada berita terbaru mengenai nasib para sandera.

Ketika kebaktian umum tengah berlangsung, tiba-tiba datang berita menggembirakan. Paman telah tiba dengan selamat di rumahnya. Ia hanya menggunakan celana pendek tanpa baju. Dalam waktu singkat rumahnya dipenuhi warga. Lebih-lebih setelah kebaktian selesai. Bangunan gereja memang tidak jauh dari rumah paman. Yang tidak dapat masuk dalam rumah
hanya berdiri atau duduk di rumput di halaman atau kiri kanan rumah. Mereka menyimak dengan rasa syukur bercampur cemas kisah pengalaman paman selama penyekapan gerombolan sampai dapat lolos. Cemas karena nasib Kak Tinia ketika itu belum diketahui.

Gerombolan, kata paman, semula memang berencana akan ke Beteleme. Hari itu mereka terus berjalan. Tiba di Undoro sudah petang dan mereka putuskan untuk bermalam di kampung yang sudah kosong itu.“Setelah ditangkap, kami disuruh membuka baju,” kata paman. “Moncong bren diarahkan ke perutku dan salah seorang diantara mereka memeriksa kami dengan kasar. Ia bertanya apakah kami beserta keluarga bersedia mengikuti agama mereka. Aku jawab, soal keluarga, aku tak dapat menjamin karena itu masalah pribadi masing-masing. Untung mereka tidak memukuli kami.

Malam hari kami disuruh tidur. Berbaring pada selembar tikar dengan tangan dan kaki terikat. Kepala dan kaki berlawanan arah sehingga kami tidak dapat saling berbicara. Rumah itu rumah panggung yang pintunya terletak di lantai sudut rumah. Tangga untuk naik turun mereka singkirkan. Gerombolan yang menjaga kami berada di bawah rumah dan membuat api unggun untuk menghangatkan badan.

Dari pembicaraan mereka, aku tahu mereka ada dua orang. Aku terus mengikuti terus pembicaraan mereka. Mereka berbicara dalam bahasa Bugis. Aku mengerti bahasa Bugis dan tahu rencana mereka. Besok pagi jam delapan, kami akan dihabisi dengan cara ditembak. Tetapi kawannya tidak setuju karena akan membuang-buang peluru. Karena itu akan dilakukan dengan cara di gere (digorok-pen) setelah diikat di pohon, seperti mereka lakukan terhadap seorang yang dituduh sebagai mata-mata polisi.

Pada tengah malam, salah seorang mengeluh karena merasa haus. Mereka kemudian sepakat untuk mencari kelapa muda. Beberapa saat kemudian sunyi. Aku coba mengintip ke bawah. Tidak ada orang lagi. Aku pikir ini kesempatan satu-satunya untuk menyelamatkan diri. Aku segera memberi isyarat kepada ayah Ety dengan gesekan kaki agar berusaha membuka tali ikatan. Tapi ayah Ety memegang tanganku dengan keras seperti takut. Aku tak tahu apakah ia juga membuka ikatannya.

Kesempatan itu tidak aku sia-siakan. Aku bangun menepuk bahu ayah Ety lalu menuju jendela yang terbuka dengan hati-hati dan melompat ke bawah. Aku mendengar bunyi keras papan terjatuh. Ayah Ety ternyata ikut lari. Ia melalui pintu. Tetapi pintu itu rupanya telah mereka tutup dengan papan. Ketika diinjak terjatuh. Aku terus berlari dan bersembunyi di tengah alang-alang. Aku berhenti sebentar untuk mengetahui apakah ayah Ety berhasil juga melarikan diri. Sebelumnya aku mengalihkan arah rebahan alang-alang untuk mengalihkan pencarian gerombolan. Mereka segera datang mengejar sambil berteriak-teriak mengikuti arah rebahan alang-alang melewati tempat persembunyianku. Akhirnya mereka balik kembali sambil memaki-maki.

Aku terus berdiam diri dan memasang telinga. Tidak ada tembakan, bentakan atau bunyi pukulan, sehingga aku yakin ayah Ety berhasil juga menyelamatkan diri. Ketika mereka sudah pergi, dengan hati-hati aku menyusuri hilir sungai jauh dari Undoro dan kemudian menyeberang. Sepanjang malam aku terus berjalan. Aku tahu seluruh keluarga dan warga Uluanso pasti sudah tahu apa yang kami alami dari bapanya Frans dan terus menunggu kabar tentang nasib kami.”

Ayah Ety baru muncul di kampung seminggu kemu-dian dalam keadaan sangat lemah. Ia selalu dihantui ketakutan. Ia dibawa ke Kolonodale untuk mendapatkan perawatan. Sebenarnya sehari setelah kemunculan paman, iapun telah terlihat oleh beberapa perempuan yang tengah menumbuk padi di kebun. Karena tingkah-lakunya aneh, perempuan-perempuan itu ketakutan. Mereka mengira anggota gerombolan. Akibatnya, kak Tinia juga terkejut dan melarikan diri lagi ke hutan.

BETELEME DIJARAH (2.11)

Suasana kehidupan warga Uluanso bahkan seluruh Keca-matan Lembo kian mencekam. Polisi dari Kolonodale hanya datang patroli beberapa hari kemudian pulang. Warga kampung senantiasa bersiap-siap bila sewaktu-waktu terpaksa harus mengungsi. Pakaian dan bahan makanan disiapkan sedapat yang bisa dibawa. Ibu telah menyembunyikan berbagai barang berharga termasuk piring-piring untuk penyelamatan bila sewaktu-waktu gerombolan datang dan melakukan pembakaran.

Suatu pagi, tiba-tiba kakak Seti datang dari rumah mertuanya memanggil dan berbicara cepat-cepat di depan rumah. Ia berlalu dengan cepat sehingga aku tak mengerti apa yang dikatakannya. Dari depan rumah kami yang terletak di ketinggian, aku lihat banyak orang berduyun-duyun dari arah Beteleme. Mereka mendaki menuju perladangan rakyat di sebelah timur kampung kami. Hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Aku melangkah ke jalan raya melihat apa yang terjadi.

Aku lihat banyak orang belarian. Seorang tetangga melintas berlari ke halaman belakang rumahnya. Aku lari mendapatkannya menanyakan apa yang terjadi. Ia menjawab; “Gerombolan masuk Beteleme”. Sadarlah aku apa yang terjadi. Aku dengan cepat mengambil pakaian seperlunya, menutup pintu, lalu berlari bergabung dengan orang-orang yang tengah mengungsi tadi. Kami berhenti beristrahat disebuah rumah sambil menunggu kabar lebih lanjut.

Siang hari kami diberi tahu gerombolan telah pergi.Situasi telah aman. Pasukan GPST telah kembali. Konon pada malam itu mereka sedang patroli ke Ronta. Markas mereka di pintu gerbang utama benteng ditinggalkan kosong. Mereka sedang melakukan pengejaran. Pemuda-pemuda mulai menghimpun kekuatan termasuk kak Seti dan aku. Kami ikut bergabung dengan membawa tombak dan parang. Tapi upaya itu tidak berhasil karena gerombolan telah melewati perbatasan.

]Pada malam itu, seperti biasa aku tidur di kampung sendirian karena akan belajar bersama dengan Rusia, saudara sepupuku. Selesai belajar ia pulang. Setelah itu hujan lebat. Sore harinya sekembali dari pengejaran, aku lihat banyak jejak-jejak kaki di sekitar jendela tempat kami belajar. Aku menduga malam itu rumah kami telah dimata-matai gerombolan.

Penduduk Beteleme mulai muncul di jalan-jalan. Ingin melihat apa yang dilakukan gerombolan sambil bertukar ceritera mengenai peristiwa itu. Dari toko-toko mereka merampok berbagai barang. Ada ceritera lucu, seorang remaja dari kawanan gerombolan mengisap-isap tapal gigi karena mengira pepermen.


 BETELEME JADI LAUTAN API  ( 2.12 )

Aku dan teman-teman sekolah pagi itu baru saja melewati kampung Kumpi Baru dan masuk kampung Lahumbala tempat sekolah kami, SMP Beteleme. Tiba-tiba terdengar letusan-letusan. Banyak orang berlarian ke arah kami. Diantaranya seorang anggota GPST yang memegang senjata panjang. Dari ujung jalan Lahumbala di kejauhan aku sempat melihat seorang laki-laki berpakaian hitam seperti tengah melepaskan tembakan ke arah kami. Kami segera berlarian berbalik mendaki ke arah Puuliku tempat rumah-rumah persawahan kami.

Aku mendengar bunyi gesekan pada daun pohon-pohon, mungkin terkena peluru. Aku tidak mengerti mengapa anggota GPST bersenjata itu tidak berupaya melakukan perlawanan dan malahan ikut lari.

Tidak lama kemudian kami melihat asap hitam membumbung dari arah Beteleme. Terdengar ledakan keras beberapa kali. Bergema di kaki gunung Ngusumbatu. Rupanya berasal dari drum-drum minyak tanah yang terbakar. Siang harinya gerombolan mengundurkan diri.

Pada sore hari rakyat kembali memenuhi jalan-jalan menyaksikan kerusakan yang terjadi. Sungguh mengerikan ! Di mana-mana bangunan toko, sekolah, gereja, rumah penduduk telah berubah menjadi abu. Puing-puing hitam masih berasap. Gerombolan juga membakar jembatan satu-satunya yang menghubungkan Beteleme dan Uluanso di sebelah selatan dengan Lahumbala dan Kumpi di sebelah utara. Untung masih dapat diselamatkan.

Pemuda-pemuda GPST di mana ? Sebenarnya sudah lama penduduk kecewa atas ketidakmampuan mereka mengambil tanggung jawab pengamanan. Terlebih ketika mulai terjadi perbedaan pendapat mengenai penyelesaian akhir status GPST setelah pemberontakan Pemesta berhasil dipadamkan.

Sebagian menginginkan agar pemerintah meresmikan pasukan GPST menjadi satu brigade tersendiri dalam TNI. Kelompok lainnya bersedia menerima kebijakaan pemerintah agar GPST membubarkan diri lalu anggota-anggotanya yang memenuhi syarat disalurkan ke dalam kesatuan-kesatuan TNI yang sudah ada. Di tingkat Kabupaten perbedaan ini meruncing. Di beberapa tempat bahkan terjadi tembak-menembak antara TNI dengan kelompok-kelompok GPST yang menimbulkan korban jiwa.

Dengan demikian di Kecamatan Lembo tidak ada alat negara yang dapat diandalkan. Polisi hanya ada di kota Kolonodale. Pasukan TNI belum masuk untuk mencegah terjadinya konflik dengan GPST. Sedangkan GPST yang menguasai wilayah itu masih terbatas personil dan persenjataannya. Mereka juga lengah membiarkan pos di pintu gerbang benteng tanpa dijaga sehingga ketika gerombolan menerobos masuk ke Beteleme, mereka tak menemui perlawanan sama sekali. Tidak jelas pasukan GPST ada di mana ketika itu.

Saturday, September 19, 2009

MAU JADI PILOT PESAWAT TEMPUR ( 3.5)

Ujian SMA usai. Kelas kami, di kelas IIIB Pasti Alam SMA Neger II Poso, lima belas orang, semua lulus. Kami lalu saling bertanya sesudah itu apakah mau bekerja atau melanjutkan sekolah. Ada yang memutuskan akan mencari kerja saja dan ada yang akan terus lanjut.

Bersama beberapa teman sekelas aku pergi mendaftar ke Kodim untuk mengikuti pendidikan calon perwira di Bandung. Syaratnya memang harus lulusan SMA jurusan Paspal dan ukuran tinggi badan juga dapat kami penuhi..

Tiba-tiba kakak Marten memberi tahu, wakil Ketua DPRD Pak James Tonggiro, akan ke Jakarta. Kakak tertua ini mendorong agar aku ke Jakarta. Sebagai orang militer, ia telah menjelajahi hampir seluruh Tanah Air, bahkan sampai di perbatasan Irian Barat yang masih dikuasai Belanda ketika itu. “Dengan merantau kita akan lebih banyak memperoleh pengalaman”, katanya dan aku sependepat sepenuhnya.

Untuk menunjang kelancaran rencanaku, aku memohon surat keterangan dari kantor Bupati sebagai utusan resmi Pemerintah Dati II Poso untuk mengikuti pendidikan di Jakarta. Ada tiga surat. Untuk Fakultas Kedokteran, sesuai cita-citaku di SMP, ke Fakultas Teknik karena sesuai jurusanku dan sudah memiliki sedikit pengalaman di bidang ini, dan Akademi Penerbangan karena kekagumanku akan ke dirgantaraan.

Saat itu para penerbang tempur Mig seperti Aleksander Maukar, Leo Watimena dan Rusmin Nuryadin yang sering mendemonstasikan kemahiran mereka sangat populer. Lebih-lebih ketika mereka berhasil menembak jatuh pilot asing Alan Pope yang disewa pemberontak Aku pernah mendiskusikan dengan kakakku yang pernah bertugas di pangkalan angkatan udara Kalijati akan keinginanku menjadi penerbang tempur. Tetapi ia menyarankan sebaiknya jangan karena ia sudah menyaksikan beratnya resiko sebagai seorang penerbang pesawat tempur. Aku menjawab siap menghadapinya.

Kapal Tindahia perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan Poso. Para pengantar di pelabuhan tampak bertambah kecil. Matahari dengan sinarnya yang kuning keemasan mulai masuk ke laut di balik tanjung sebelah barat. Setengah jam kemudian lampu-lampu di sepanjang pantai Jalan Penghibur serentak menyala. Makin lama makin banyak membuat pemandangan dari arah laut sungguh semarak. Alunan ombak yang tidak seberapa besar membuat bayangan lampu-lampu itu tampak di bawah air bagaikan dua rahang buaya raksasa dengan lampu-lampu itu sebagai giginya.

Ketika kapal membelok melewati tanjung dan masuk ke laut lepas, suasana terasa mulai hening. Lampu sudah tinggal satu-satu, terpencar jauh satu dengan yang lain dengan cahaya samar-samar. Suasana aru cerah kembali ketika bulan mulai terbit. Rupanya bulan purnama. Bentangan langit besih, dihiasi ribuan bintang-bintang. Cahaya bulan cukup terang sehingga butir-butir air di buritan kapal tampak jelas. Kota Poso yang damai, tempatku menuntut ilmu selama empat tahun dengan suka dukanya kini tinggal kenangan.

Para penumpang mulai kembali ke tempat masing-masing. Tetapi aku masih tetap berdiri di pinggir geladak. Maklum baru sekali ini aku naik kapal besar mengarungi laut lepas dan aku sungguh mengangumi panorama alam yang indah ini. Angin malam yang dingin mulai menerpa. Aku lalu kembali bergabung dengan penumpang-penumpang lainnya. Semua penumpang ditempatkan di satu dek. Pak James Tonggiro, Wakil Ketua DPRD Dati II Poso yang kuikuti tengah asyik bermain catur dengan seorang penumpang.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. “Mau ke mana ?” “Eh, Pak Bas, mau ke Jakarta Pak,” jawabku. Bas Ali orang Gorontalo seorang Muslim yang baik, pemborong bangunan terkenal di Poso dan selalu memberi aku kesaempatan bekerja sambilan di proyek-proyeknya seusai sekolah. Ia memperkenalkan isteri dan puterinya. Wah, cantik sekali sang puteri ini. Hitam manis, kataku dalam hati. “Di Jakarta di mana ?”, seorang penumpang lain disampingku bertanya, karena ia juga akan ke Jakarta. “Senayan”, kataku. “ Oh, itu tempat orang-orang besar”, katanya.

Lelaki ini ternyata pegawai Departemen Pertanian yang baru selesai melakukan penelitian di Sulawesi Tengah. Aku tak menjawab. Tapi kupikir mungkin saja. Sebab nama alamat yang akan kutujuh, namanya saja sudah kebarat-baratan : Gelora Senayan International Village.

Aku membayangkan ketika itu bagaimana nanti aku harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru di situ. Aku anak desa, melihat kota Jakarta saja sudah seperti mimpi. Ibukota negara, tempat Bung Karno selalu berpidato ke seluruh Tanah Air. Setiap tanggal 17 Agustus pukul sepuluh kami murid-murid, pelajar dan masyarakat kota Poso berkumpul di depan Gedung Nasional hanya untuk mendengarkan pidato Bung Karno melalui pengeras suara. Sekarang aku akan tinggal di daerah elit kota itu.

Dari buku pelajaran aku membaca, di tempat itulah diselenggarakan Asian Games dan Ganefo gagasan Bung Karno belum lama berselang. Maga, kakakku anggota Siliwangi yang bertugas di Sukabumi pernah mengirimkan Kartu Pos yang bergambar stadion utama Senayan. Memang megah.

Pemandangan masih gelap ketika kami tiba di Stasion Gambir dari Surabaya. Kami beristrahat sejenak sambil sarapan pagi di depan Stasion. Inilah perkenalan pertama dengan kota Jakarta. Di sebelah barat nampak benda aneh. Besar menjulang tinggi, hitam remang-remang. Bagaikan pohon rindang yang cabang-cabangnya baru ditebas. Makin terang makin jelas, ternyata itu sesungguhnbya sebuah proyek besar yang sedang dikerjakan. Tiang-tiang menyanggahnya masih terpasang tetapi aku belum tahu kalau kemudian akan berupa tugu Monuman Nasional.

Ke Senayan kami lewat depan Balaikota. Aku pikir kantor Pemerintah Dati II Poso masih lebih bagus dan lebih luas. Di kiri kanan Jalan Jenderal Sudirman masih banyak semak belukar dan pepohonan. Di Jembatan Semanggi, seorang polisi lalulintas membantu menunjukkan jalan masuk ke kompleks Gelora Senayan mencari Jalan Atletik.

Gedung Stadion Utama tentu saja selalu menjadi perhatianku. Stadion ini terletak tidak berapa jauh diujung jalan Atletik letak rumah saudara sepupuku, Di sebelah kiri rumah kakak ini ternyata tinggal Sri Sunan Solo beserta keluarganya. Ke kantor beliau selalu berseragam militer Angkatan Darat. Kalau tidak salah dengan pangkat Brigadir Jenderal. Di rumah, beliau nampak sederhana saja. Aku tahu karena di kompleks ini semua rumah tak ada yang berpagar. Dan teras belakang rumah kami berhadapan. Sri Sunan sering muncul di teras dapur hanya memakai sarung tanpa memakai baju. Tapi para pembatu rumah tangga, kalau mendekat tetap merunduk bahkan beringsut layaknya abdi dalem keraton. (Kutipan dari Buku "Perjuangan Hidup").

JADI SUKARELAWAN TRIKORA III ( 3.6 )

Sejak kecil aku sudah tertarik dengan militer. Aku kagum melihat penampilan serdadu-serdadu di kampung kami. Topi baja, seragam hijau, sepatu lars, granat-granat bergelantungan dan kantong-kantong peluru melilit pinggang, tempat air serta senjata mereka.

Aku pernah melihat foto-foto kakakku ketika masih di KNIL dan kemudian dalam seragam mobrig. Aku mengaguminya. Bersama teman-temanku waktu kecil, kami sering bermain perang-perangan. Dan setiap ada bunyi kapal terbang melintas tinggi di angkasa selalu kutatapi sampai menghilang. Kekagum-anku sering kutuangkan pada saat menggambar bebas. Aku senang membuat gambar prajurit.

Ketika para siswa SMP diberi kesempatan mengi-kuti latihan P3R (PendidikanPendahuluan Perlawanan Rakyat) aku mendaftar. Kesatuan kami berani mengikuti pertandingan baris-berbaris bersaing dengan GPST dan peleton-peleton pasukan para militer PKD (Pagar Keamanan Desa) di Poso. Demikian pula ketika keluar Tri Komando Rakyat dari Presiden Sukarno untuk merebut Irian Barat, aku ikut mendaftar sebagai sukarelawan. Berhari-hari kami dari berbagai siswa SMA Poso mengikuti latihan baris-berbaris, teknik bela diri, perkelahian sangkur dan teknik tempur yang diberikan oleh para bintara TNI.

Latihan kami dianggap telah cukup. Kami disuruh selalu menunggu dan bersiap-siap untuk dibagikan perlengkapan kemudian ditugaskan. Tidak lama kemudian kami dikumpulkan di markas Putepra (Pusat Pertahanan Rakyat) dan diberi tahu telah tercapai persetujuan penyerahan Irian Barat dan kami boleh bubar. (Kutipan dari Buku "Perjuangan Hidup").

JADI KULI BANGUNAN ( 3.4 )

Di kaki bukit itu terdapat kali kecil dan desepanjang kali itu terdapat pohon-pohon sagu. Sewaktu-waktu pemiliknya datang mengambil daun-daunnya untuk dibuat atap. Adakalanya ia menebang pohon yang sudah tua untuk diambil sagunya. Pelepah-pelepahnya biasanya dibiarkan saja berserakan dan itu bagiku merupakan sumber rezeki yang memang selalu kutunggu-tunggu. Aku kenal beberapa anemer bangunan.

Pada hari-hari libur bahkan selepas sekolah, pemborong bangunan itu mengijinkan aku bekerja pada proyek-proyeknya dengan perhitungan jam-jaman. Pembayaan upah setiap akhir minggu.Segala macam pekerjaan kulakukan. Memikul kaleng air dari kali untuk pencampur semen, mengikuti truk mengangkut tanah urug bangunan, mengaduk campuran semen dan belajar menyusun bata. Gedung Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) di Jalan Talasa, Gedung Bank BKTN di Pelabuhan Poso dan tembok pelindung pantai di sepanjang Jalan Penghibur di depan perumahan Dinas Bupati hanyalah beberapa poyek di mana aku pernah mengambil bagian.

Nah, pemborong-pemborong ini rupanya senantiasa memerlukan etenit untuk poyek mereka. Dan yang paling disukai yang terbuat dari kulit pelepah sagu. Mungkin karena warnanya yang coklat mengkilat seperti dipolitur dan tidak luntur. Karena itu harganya lebih mahal daripada etenit bambu. Tahu peluang ini, maka pelepah-pelepah sagu yang berserakan itu kukumpulkan, kupisahkan kulit dari gabusnya lalu kuanyam menurut motif yang lazim digunakan saat itu. Pemborong-pemborong ini mau menampung berapapun dengan perhitungan harga per meter persegi. Sayang bahannya terbatas, dan waktu untuk mencari di tempat lain tidak ada.

Disamping bekerja bangunan, hari-hari liburku adakalanya juga kugunakan untuk pekejaan-pekejaan borongan lainnya. Pernah bersama empat teman, kami mendapat pekerjaan borongan dai Jawatan PU Kabupaten Poso merintis jalan beberapa kilometer ke lokasi yang direncanakan untuk pembangunan pabrik minyak kelapa oleh sebuah perusahaan Amerika.

Pernah pula aku menerima pekerjaan borongan dari Lurah Lage untuk memaras pinggiran jalan raya poros Poso - Tentena di kilometer 9-10 yang kukerjakan seorang diri. Masih kuingat, laporan hasil keringatku tidak diterima sepenuhnya oleh Lurah. Menurut hasil pengukuran yang dilakukan petugasnya, jauh kurang dari panjang yang kulaporkan. Padahal telah kuukur seteliti mungkin dan kulaporkan secara jujur. Potesku tak membawa hasil. Terpaksa kuterima karena ia adalah Kepala Kelurahan kami. Sewaktu-waktu bantuannya kami perlukan. Hanya kusayangkan pada waktu pengukurannya aku tak diajak. Hal yang sama juga terjadi ketika aku menerima borongan pengadaan beberapa kubik batu kali di Desa Pandiri.kira-kira sehari berjalan kaki dari Poso.

Di rumah aku juga memelihara ayam kampung. Aku buatkan kandang seukuran kamar, tapi sering dibobol musang. Akibatnya ada yang hilang dan yang lainnya beterbangan di tengah kegelapan sehingga pada malam-malam berikutnya mereka takut untuk tidur lagi di kandang mereka. Mereka mencari tempat bertengger masing-masing di atas pohon bambu atau mangga yang tinggi-tinggi. Lama-kelamaan menjadi liar dan malahan juga menjadi sasaran pencuri. Dari peternakan ayam ini sedikitpun aku tak dapat menikmati hasilnya, sehingga akhirnya kuhenti-kan.

Itulah jalan-jalan yang Tuhan tunjukan kepadaku sehingga aku dapat menyelesaikan sekolahku sampai tamat SMA, tanpa terlalu memberatkan orangtuaku. Kalau aku pulang libur, memang aku selalu dibekali beras 10-15 liter.

Menjelang ujian akhir SMA, kak Marten, kakak kami tertua, pindah tugas dari Manado ke Poso. Ia dahulu anggora Mobrig dan telah beralih menjadi polisi umum. Ia tiba bersama isteri asal Tomohon dan dua orang anak yang masih kecil. Mereka tinggal di Asrama Polisi di depan Bioskop Nirmala yang senantiasa ramai. Beberapa saat lamanya aku diajak tinggal bersama mereka. Tetapi ketika Tumi tiba di Poso aku kembali lagi ke pondokku.(Kutipan dari Buku "Perjuangan Hidup").

Contact Form

Name

Email *

Message *