Saturday, September 19, 2009

BELAJAR MANDIRI ( 3.3 )

Ternyata  apa yang tidak kuharapkan benar terjadi. Ayah  meninggal. Kakak Welu sekeluarga tidak kembali lagi ke Poso. Mereka akan tetap di kampug menemani ibu. Tinggallah aku sendiri. Bagaimana kelanjutan sekolahku ? Kepada siapa lagi aku berharap.? Aku bertekad untuk tetap sekolah dengan berusaha mencukupkan kebutuhan sendiri. Apalagi sudah lulus SMP dan dapat diterima di SMA Negeri Poso. Baik nafkah sehari-hari, pakaian, biaya sekolah dan kebutuhan lainnya harus kucari sendiri.

Rumah gubuk serta kebun singkong dan pisang peninggalan kakak dan paman merupakan modal dasarku. Dengan itu aku dapat tetap makan. Ubi kayu dapat kurebus untuk dimakan. Dapat juga kuparut dan dijadikan sagu. Sagu adalah makanan pokok nomor dua di kampung sesudah beras.

Aku tidak membawa singkong ke pasar karena mungkin penjualannya memerlukan lebih banyak waktu. Sebagai gantinya kuhubungi beberapa warung kue yang biasanya menggunakan singkong sebagai bahan. Aku berani menawarkan harga yang lebih murah, lagi pula masih segar.
Usaha ini ternyata berhasil. Bahkan pada akhinya mereka sendiri yang datang ke pondokku. Mereka senang karena aku menjual per pohon. Disamping mendapat singkong mereka juga boleh mengambil daunnya untuk sayur atau untuk dijual.

Pisang Ambon dan pisang sepatu cepat laku di pasar. Karena itu, kalau sudah masak aku memikulnya ke pasar ketika hari masih subuh. Aku letakkan daganganku di lantai pasar terbuka itu, dekat-dekat dagangan tidak sejenis milik orang lain yang mempunyai alat penerangan, lalu berdiri agak jauh. Kalau ada yang tertarik, aku cepat-cepat datang menawarkannya. Aku khawatir ada teman-teman sekelasku datang belanja ke pasar dan memergokiku berjualan di pasar. Aku malu bila aku dijadikan olok-olokan di sekolah sebagai pedagang pasar. Karena itu, bila hari sudah mulai terang, sisa daganganku kuobral atau kubawa pulang untuk dibawa kembali ke pasar hari berikutnya.

Kadang-kadang aku memakai pakaian penyamaran seperti pedagang-pedagang biasa. Aku selalu berharap janganlah kiranya ada oang yang berminat dan melakukan penawaran orang yang aku sudah kenal secara pribadi, khususnya teman-teman sekolah apalagi teman puteri.

Namun demikian teman-teman sekelas bukannya tidak tahu kalau aku mempunyai kebun. Pertama kali mereka ketahui ketika direktur sekolah kami menganjurkan membuka kebun sekolah. Dan yang praktis adalah membuka kebun singkong. Soal bibit ? Aku menyanggupi berapa saja. Maka teman-teman pun berduyun-duyun ke pondokku. “Eh, ngana so bisa kawin kalau begini”, kata teman asal Gorontalo yang selalu berpakaian parlente ketika kami menuruni lereng sambil meneteng singkong beserta batang-batangnya untuk bibit. Tak ayal lagi sejak itu jadilah aku leveransir singkong untuk setiap pesta kolak teman-teman sekolah. Baik di perumahan guru-guru kami ataupun teman sekolah.

Melihat hasilnya lumayan, kebunku kukembangkan. Bukan saja kuperluas tetapi juga mencoba menanam tanaman komersial lainnya seperti kacang tanah. Di kampung, kacang tanah merupakan salah satu sumber menghasilkan uang yang biasanya dijual berupa kacang kulit perkaleng minyak tanah. Dalam tempo tiga bulan sudah dapat dipanen. Kupikir, kalau hasilnya baik dapat kujual kepada teman tetanggaku yang setiap malam menjajakan kacang goseng di depan Bioskop Nirmala. Nampaknya usahanya maju. Tetapi sayang. Meski tanamannya tumbuh baik, hama tikus menggerogotinya setiap malam sehingga akhirnya kuhentikan.

Gubuk dan kebunku terletak pada tanah terlantar di lereng bukit dengan kemiringan sekitar empat puluh lima derajat, bekas alang-alang dan semak duri. Di puncaknya yang memanjang terdapat jalan setapak menuju Gunung Buyumboyo dengan pohon-pohon jati di kiri kanannya.

Tanah ini seperti tidak bertuan. Ternyata setelah alang-alang dan belukarnya ditebas dan kubakar, kupacul dan kutanami, ternyata tanahnya cukup subur. Tanah gersang itu kemudian berubah menjadi kebun singkong dan kebun pisang yang memberi hasil tak berkesudahan.

Pohon-pohon kelapa yang tampaknya terlantar seperti tidak lagi diacuhkan pemiliknya tidak luput dari perhatianku. Sekali seminggu, sepulang dari sekolah, aku menyusuri semak belukar di bawah pohon-pohon kelapa terlantar itu sampai-sampai ke puncak Buyumboyo sambil mencari kayu api. Dari sini dapat terlihat panorama kota Poso dengan pantainya yang indah. Terlihat perahu-perahu layar nelayan yang sesekali memukul gong. Kadang terdengar membahana bunyi sirene kapal yang akan masuk atau keluar pelabuhan.

Kalau beruntung aku dapat kembali dengan memikul enam sampai sepuluh buah kelapa kering. Kelapa-kelapa itu kuparut, peras minyaknya dengan air dan kemudian santannya kubiarkan semalam agar airnya mengendap. Hari berikutnya minyak diatasnya kupisahkan Air kubuang dan minyak masih mentah itu kumasak untuk mendapatkan minyak goreng. Biasanya tiap tiga butir kelapa dapat menghasilkan satu botol minyak, tergantung jenis kelapanya. Minyak itu kubawa ke warung yang kemudian menjadi langgananku.
Pemilik warung ini pertama kali kukenal ketika baru pulang berlibur di kampung. Dalam perjalanan pulang, lewat sebuah desa, aku singgah mencari madu. Desa Uelincu yang berhawa sangat dingin diwaktu malam memang terkenal sebagai penghasil madu. Atas saran seseorang, aku coba membeli beberapa botol. Tentu saja madu asli. Eh, agak tercengang juga aku ketika kubawa ke warung yang kemudian menjadi langgananku. Ia berani memberi harga empat kali lipat dari harga pembelianku. Harga setinggi ini menggoda aku, untuk menggunakan kesempatan baik ini. Sayang waktu belajar tidak dapat ditinggalkan. Pulang pergi ke desa pengahasil madu itu paling sedikit membutuhkan waktu tiga hari perjalananan.(kutipan dari Buku "Perjuangan Hidup").

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *