Sunday, September 20, 2009

PENGUNGSIAN BESAR-BESARAN (2.2)

Entah apa yang terjadi, semua pasukan TNI ditarik pulang. Bukan hanya dari garis depan tetapi juga dari garis belakang. Kami segenap penduduk sangat khawatir, karena kini pelindung kami telah pergi. Pasukan pemberontak sewaktu-waktu bisa datang dan membalas dendam kepada penduduk. Apalagi sebelum ditarik, pasukan TNI melakukan serangan ke wilayah pemberontak.

Penduduk mulai takut tinggal di kampung. Mereka lebih sering tinggal di kebun. Di kebun pun terasa belum aman. Ayah berkali-kali membuat gubuk-gubuk darurat di tempat-tempat tersembunyi. Kadang-kadang dekat mata air. Sebagian penduduk mulai mengungsi ke kampung lain yang lebih aman. Sekolah kami telah dipindahkan dari Uluanso ke kampung Kumpi karena dianggap lebih aman.

Mulailah gelombang pengungsian. Pada suatu hari ayah dan ibu memberitahukan, bahwa keluarga kami, kecuali aku akan pindah ke Korowalelo, kampung asal guru Porotu’o, suami Kak Ura. Aku belum dapat ikut karena tidak boleh meninggalkan sekolah. Mereka memberitahukan bahwa aku dapat tinggal bersama keluarga Kakak Haweuna, adik Kak Tinia di Pontibaa-nohu, antara Uluanso dan Kumpi. Mereka mempunyai bayi dan akan senang sekali kalau aku mau tinggal bersama mereka. Kak Haweuna sudah mengenal aku ketika menjaga Ety puteri pertama kakaknya, Tinia.

Tetapi aku hanya setahun bersama keluarga kakak sepupu ini. Pada suatu hari, aku diberitahu teman, ia melihat ayah ada di kampung Ulu’anso. Aku kecewa sekali mengapa beliau tidak datang mengunjungi aku, anaknya. Padahal aku sudah sangat rindu dengan mereka. Aku minta ijin kepada Kak Haweuna untuk dapat menemui ayah sebentar saja dan nanti akan kembali lagi. Tetapi mereka tidak mengijinkan dan tidak dapat memahami kerinduanku pada orang tuaku. Mereka sebetulnya baik sekali, tetapi aku sangat rindu ingin bertemu ayah.

Diam-diam aku berencana untuk pergi dengan paksa. Aku terpaksa harus keluar dengan cara yang kurang baik. Sayang sekali.Pada sore hari menjelang Kakak Haweuna dan suaminya biasanya pulang dari kebun,aku mengemasi pakaianku. Anak mereka sudah kuberi makan dan kutidurkan di ayunan,Sebelum berangkat aku pesan pada kemanakan adik suami Kak Haweuna yang sudah agak besar, kalau si bayi sudah bangun agar diturunkan agar tidak terjatuh. Aku memperkirakan tidak lama setelah aku berangkat mereka sudah akan tiba di rumah. Aku juga memberi tahu akan menemui ayah di Ulu’anso.

Sampai di Ulu’anso benar saja ayah kutemui sedang menumbuk padi. Ia terkejut melihat aku dan lebih terkejut lagi ketika ia tahu aku keluar tanpa ijin. Aku membela diri, mengapa ayah tidak menemuiku dan aku juga sudah minta ijin kepada Kak Haweuna tetapi mereka tidak memberiku kesempatan. Ayah diam saja.

Sebelum ayah kembali ke Korowalelo, aku dititipkan ke keluarga Pak Tua Samaila Lagasi. Beliau adalah kakak laki-laki ibu yang kedua dan tinggal di Pansu’ului. Mereka juga mempunyai bayi perempuan, Suni, dan menjadi tugasku pula untuk ikut menjaganya meskipun mereka sudah mempunyai dua anak yang lebih besar dari aku.

Hanya sekitar satu tahun aku bersama keluarga ini, karena setelah itu ayah, Kak Napi dan Welu datang menjemputku. Tetapi aku hanya d***ua tahun bersama orangtua. Ayah dan ibu memutuskan akan bergabung kembali dengan sesama warga asal Ulu’anso yang sudah mulai membangun perkampungan baru, Ulu’anso Baru di pinggir selatan Beteleme, Ibukota Kecamatan Lembo. Bahkan ayah sudah membeli sebuah rumah tua diujung jalan kampung baru itu. Rencana membeli salah satu bangunan bekas kompleks perumahan rohaniwan Belanda, Riedel di ujung kampung Korowalo batal.
      Ayah dan ibu minta aku tetap di Korowalelo bersama keluarga kak Ura. Kebetulan kak Ura bUra baru melahirkan anak mereka yang ketiga Yuser dan aku diminta membantu mete'ia.***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *