Sunday, November 29, 2020

BERITA KELAM DARI SULAWESI

 

Para Opsir Bala Keselamatan

   Di tengah-tengah media sosial memberitakan tentang covid 19, HRS dan penangkapan sejumlah pejabat oleh KPK karena terlibat korupsi dan suap, Sabtu tanggal 28 November 2020 datang berita kelam dari Sulawesi Tengah yang hampir tak masuk akal di pikiran orang masih beradab. Empat orang tak bersalah dihabisi secara brutal dengan cara yang belum lama ini hanya kita dengar terjadi di Perancis !
Sepasang suami isteri, anak dan menantu dibantai dan beberapa rumah dibakar, diantaranya rumah yang sering digunakan sebagai tempat ibadah karena belum ada gereja. Para pelaku teror ini mesti segera dikejar dan diusut secara tegas tuntas. Sebab bila tidak, bisa ditiru para teroris lainnya. Akibatnya, akan menimbulkan rasa takut yang meluas di kalangan rakyat yang sedang dirundung berbagai bencana saat ini.
Bala Keselamatan adalah salah satu sekte agma Kristen yang diakui di Indonesia. Dikenal sebagai sebuah lembaga keagamaan yang banyak aktif di bidang sosial. Menolong orang-orang miskin, mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit dan membantu orang-orang susah. Semua adalah atas dasar Kasih, seperti yang diperintahkan Yesus Kristus.

Pertama kali saya mengenal komunitas Bala Kelamatan sekitar pertengahan tahun 1965, ketika bekerja di Suratkabar Harian Pelopor yang dipimpin Bapak J.K. Tumakaka. Beliau ketika itu juga menjabat Menteri Sekjen Front Nasional dan menjadi dosen di Universitas Pancasila, Jalan Borobudur Jakarta.
Harian Pelopor mengontrakan sebuah rumah untuk karyawannya di Jalan Paseban. Dan seorang diantara kami ternyata menjadi warga Jemaat Bala Keselamatan di Jalan Kramat Raya. Pernah saya diajak teman ini ikut beribadah bersama. Dan disitulah untuk pertama kalinya saya mengenal gereja Bala Keselamatan itu seperti apa.
Kesan pertama, jemaatnya, terutama para pemimpin mereka, berpakaian rapih. Dalam seragam mereka yang putih bersih, memakai pet dan tanda pangkat, nampak seperti perwira-perwira tentara Angkatan Laut dalam seragam Pakaian Dinas Upacara (PDUP). Hanya mereka tidak  dilengkapi senjata.

Tata cara ibadah mereka tidak jauh berbeda dengan jemaat Kristen Protetan pada umumnya. Yang membedakan hanya seragam dan tanda pangkat itu saja. Maksudnya tak lain hanya untuk menunjukan hierakhi jabatan pelayanan saja. Kalau di gereja Protestan pada umumnya di kenal ada pendeta, penatua dan Diaken. Pendeta dalam ibadah, umumnya menggunakan jubah putih atau hitam dengan destar. Sedangkan para Penatua dan Diaken umumnya memakai pakaian lengkap biasa dengan selendangg Stola di leher.

Penjelasan ini agaknya perlu, khususnya bagi mereka yang belum paham. Jangan sampai ada yang gagal paham, mengira Bala Keselamatan ini sebagai suatu kekuatan semi militer duniawi bila hanya membaca namanya.Sama halnya kalau dalam Kidung-kidung rohani Kristen adakalanya terdengar sebutan "Lasykar Kristus". Bukan berarti dalam gereja itu ada organisasi kelasykaran seperti zaman perjuangan kemerdekaan dulu. Setiap penganut Kristen yang sejati, memang harus menyadari dirinya sebagai lasykar dalam peperangan rohani. Melawan segala perbuatan dosa, termasuk yang muncul dari diri semdiri. Senjatanya adalah senjata rohani. Kebenaran, keadilan, perisai iman, ketopong keselamatan dan pedang Roh yaitu firman Tuhan.

Bala Keselamatan didirikan di Inggeris oleh William Booth (1829-1912), yang mulanya seorang pendeta Metodis. Ia memilih model menurut strata militer dan disebut "Salvation Army" Tujuannya untuk memerangi kerajaan iblis.Sasaran pertama adalah mengabarkan Injil kepada para rakyat jelata yang jalang di London Timur. Melalui Majalah "Seruan Perang" mereka melakukan kampanye besar-besaran terhadap pemberantasan percabulan, kemabukan, pencurian, dan pengangguran. Memberi perhatian besar terhadap orang-orang berkekurangan, orang sakit, yang terlantar dan jatuh ke daam dosa. Para opsir mMereka turun ke lapisan masyarakat yang biasanya kurang dihiraukan Gereja.

Maka adalah suatu ironi bahwa bisa terjadi orang-orang penyebar cita kasih ini, bahkan sampai ke wilayah terpencil harus mengalami perlakuan tragis begini. Namun demikian, kiranya para pelakunya dikaruniai kesadaran, bertobat dan diberi pengampunan oleh Tuhan yang maha Pengasih dan Penyayang. ****

Thursday, November 26, 2020

CATATAN DI HARI GURU NASIONAL 251120

 


1

Di hari Guru Nasional ini saya ingin menukilkan kembali kata-kata dalam “Mars PGRI”, yang melukiskan cita-cita luhur para guru kita sejak dahulu kala. Begitu meresapnya di hati sehingga sejak SD atau di SMP lagu ini tetap dapat kudendangkan hingga di usia lansia ini.

Kebetulan gedung sekolah kami, SMP Negeri II di Jalan Talasa Poso tahun lima puluhan, satu halaman dengan gedung SGA (Sekolah Guru Atas) Poso, sebagai lembaga pendidikan tertinggi di kala itu di Poso. Di bawah Direkturnya, Bp. Karafi, mars PGRI ini sering kali mereka nyanyikan sehingga kamipun, siswa-siswa SMP mampu menyanyikannya.  Sayang, tokoh cerdas ini termasuk salah satu dari ke sembilan cendekiawan yang dibunuh secara brutal oleh aparat resmi dalam kaitan dengan tuntutan otonomi daerah untuk Sulawesi Tengah ketika itu.

Ayat 1 dari lagu adalah sbb :

PGRI….., PGRI. Abadi……., abadi

Tetap mempersatukan diri

Dengan nama nan jaya, nan sentosa

lahir negara kita.

Wahai kaum guru semua

Bangunlah rakyat dari g’lita…

Kitalah penyuluh bangsa,

Pembimbing melangkah kemuka

Insyaflah ‘kan  kewajiban kita

Mendidik . mengajar p’ra putra

Kitalah pembangun jiwa

Pencipta kekuatan negara.

 

2

. Di masa SD juga, saya pernah mendapat sebuah buku kecil yang sudah usang. Ukurannya mungkin hanya sekitar  satu setengah kali satu jengkal dan sudah tak punya sampul. Membaca isi buku ini, nampaknya dimaksud sebagai pegangan untuk para prajurit TKR (Tentara Keamanan Rakyat) atau TNI sekarang. Mungkin yang bawa kakak saya, yang menjadi anggota Pandu (sekarang Pramuka) dari sekolahnya di kota Kolonodale.

Menariknya, dalam buku ini penulisnya berupaya menyadarkan secara panjang lebar akan patutnya kita, setiap orang, memberikan penghormatan yang spesial kepada tiga jenis tokoh. Salah satunya terhadap GURU. Lainnya, orang tua dan tokoh agama.

Mestinya, buku kecil seperti ini dicetak massal dan dibagi-bagikan kepada setiap anak-anak. Karena meskipun dimaksudkan sebagai pegangan para prajurit, tetapi isinya tetap mengena bagi setiap manusia siapapun yang pernah mempunyai ayah-ibu, pernah sekolah dan pernah mendapat pelajaran agama. Isi buku inipun telah turut mempengaruhi sikap hidup saya ke depannya. Ketika berhadapan dengan guru, orangtua dan rohaniwan, selalu teringat nasehat pada buku kecil ini.

Diantaranya diberi contoh-contoh bagaimana  para guru, mulai dari tingkat pendidikan terendah sampai pendidikan tinggi, dengan semaksimal kemampuan mereka berusaha mengajarkan kita berbagai macam  ilmu pengetahuan. Agar kelak menjadi orang yang berhasil. Suatu tugas yang tak akan mungkin semuanya diturunkan oleh orangtua.

Maka sangatlah disayangkan apabila masih ada murid atau siswa bahkan mahasiswa yang tegah-tegahnya melawan bahkan sampai menganiaya guru. Guru yang sering dijuluki “pahlawan tanpa tanda jasa”.

3

.Mengapa saya memulai tulisan ini dengan Mars PGRI di atas ? Karena diakui terkadang ada juga guru yang masih kurang insyaf akan fungsinya. Mendidik, mengajar, membangun jiwa. Contoh: pada suatu pelatihan para anggota PNS (Pegawai negeri Sipil), kami disuruh membuat makalah tentang pendidikan. Saya diminta menjadi ketua Tim dan kebetulan anggota-anggota kelompok kami, kecuali saya, semua guru-guru aktif. Yang kusesalkan, tiba-tiba salah seorang dari anggota bergumam, “bukan anak kita ini….”. Sambil geleng-geleng kepala  saya menegur guru ini. Tidak seharusnya seorang guru berkata atau berpikiran demikian. Saya juga membayangkan bagaimana kalau anak-anak saya yang saat itu masih di SD mendapatkan guru yang berpikiran demikian.

Contoh lainnya, ketika ada oknum guru menyakiti secara berlebihan anak didiknya seperti yang kualami. Suatu pagi saya mendapat giliran tugas pagi-pagi  sekali harus datang membersihkan ruang kelas sebelum murid-murid lain masuk keras. Karena kelas masih berlantai tanah, maka sebelum dan sesudah disapu harus diperciki air lebih dahulu supaya debu tidak beterbangan. Saat  membawa air penyiram terakhir dari sumur, di depan pintu kelas sudah menanti seorang guru baru dan membenturkan satu persatu kepala setiap murid yang masuk kelas ke kosein pintu. Alasannya datang terlambat. Guru baru ini, tanpa bertanya dan melihat bambu berisi air penyiram di tangan – sayapun ikut dibenturkan ke kosein pintu yang keras itu. Lebih dari seminggu kepala terasa pusing. Dasar masih lugu dan tak biasa mengadu, peristiwa ini tak kulaporkan pada kakaku. Padahal suaminya adalah mantan guru juga. ***

 

Tuesday, November 24, 2020

SUSAH-SUSAH GAMPANG BERTANAM HIDROPONIK


Bertanam hidroponik, khususnya sayuran daun atau sayuran buah, nampaknya tidaklah semudah seperti yang banyak dipromosikan di internet khususnya di Youtube.

Dalam pembibitan, serangan jamur kerap membuat semua usaha gagal ketika baru mau memulai. Pada waktu pembesaran, kalau luput dari serangan jamur, adakalahnya tanaman yang pada mulanya nampak tumbuh bagus, seperti pada tanaman pepaya, tiba-tiba saja bagian bawah batangnya membusuk.

Kalau beruntung lolos dari serangan jamur, tanaman semisal kangkung tumbuh kerdil. Daun bayam tiba-tiba pada memutih. Cukup menakutkan untuk dimakan sendiri. Yang terakhir ini, tentu apa lagi biang keladinya kalau bukan hama. Entah semut, lalat putih atau apalah namanya.

Mau pakai peptisida kimia ?  Memang bisa. Tapi peringatan-peringatan pada label maupun para komentator yang menganjurkan sebaiknya menghindari penggunaan bahan beracun ini - membuat hati sudah kecut duluan. Apalagi kalau untuk dikonsumsi sendiri. Lha, kalau untuk diri sendiri atau keluarga jangan, lalu boleh dikasi makan ke orang lain ? Rasanya ada dosa di sana.

Kiri dan tengah ATC dan TDS error.Kanan TDS-EC baik

Meski terlahir dari keluarga petani turun temurun, cara bertani dengan model beginian memang terasa ribet. Di tanah kelahiran kami, di pulau nyiur melambai, biji apapun dilempar ke tanah tumbuh sendiri. Tak terasa sudah menjuntaikan buah-buah yang bagus atau sayur-sayuran yang segar.

Di sini ? Kita harus pilih benih dengan cermat. Harus pakai pupuk. Pupuknya harus tahu yang macam mana. Takarannya juga harus pas. Harus seperti merawat orang sakit. Makanannya ibarat memberi obat. Salah kasi jenis makanan berarti salah obat. Takarannyapun harus pas. Takaran kurang, kerdil atau mati. Berlebih juga salah. Ibarat makanan kelewat asin atau kelewat asam, tanaman ogah makan.

Untuk ini tentu dibutuhkan pengetahuan cukup mengenai pertanian. Maka kubelilah sejumlah buku-buku soal tanam-mananam. Buka internet, ikuti tutorial-tutorial, beli peralatan seperti polybag, bubuk nutrisi A/B, alat ukur PH, alat ukur kepekatan nutrisi, segala macam pupuk kimia, pupuk kandang, kompos, cocopiet, kapur dolomit,rockwool sampai serbuk gergaji, sekam, sekam bakar dll, dll. Belum lagi obat-obat seperi Dithane 45, Decis, Rizotin dan puradan.

Selain membuat kompos dari dedaunan dengan EM-4 dan pupuk cair untuk tanaman sayur maupun buah kami juga membuat peptisida dari bahan organik seperti yang banyak dicontohkan pada beberapa tutorial. Namun semua ini belum memberikan hasil yang memuaskan.

Rupanya dalam tahap ini perlu pelatihan dan pendampingan seorang ahli yang sudah berpengalaman, terutama dalam pelatihan. Karena ternyata dalam praktek sering ditemui kendala-kendala yang membuat apa yang dikemukakan dalam teori atau petunjuk tak berjalan sebagaimana mestinya.

Contoh: Kami sudah membeli alat ukur PH ATC dengan harga di atas seratus ribu rupiah melalui online. Harga yang rata-rata sama pada semua toko online. Teorinya, ketika dicelupkan ke cairan nutrisi sesuai petunjuk, mestinya akan berhenti berkedip pada suatu nilai tertentu yang menunjukan PH cairan. Tapi nyatanya, barang ini sampai lebih sejam tak pernah berhenti berkedip. Hanya bolak-balik dari angka- ke angka yang berda-beda. Ketika mau dicek dengan cairan kalibrasi, sama juga. Bagaimana mau disetel dengan obeng yang turut dipaketkan kalau ATC nya begini. Kalaupun berhenti berkedip, dia menunjukan angka 1 atau jauh diatas 14. Angka yang tak masuk akal. Kesimpulannya, alat ini barang rusak. Maka untuk sementara ini terpaksa pakai kertas lakmus saja.

Hal sama juga dialami ketika memesan TDSmeter (hold) untuk mengukur kadar nutrisi AB. Ketika ditest dengan cairan kalibrasi, dan coba disetel menurut tabel, meterannya seperti jalan sendiri, tak terkendali. Ketika dicoba dengan TDS-EC milik teman pada nutrisi yang sama, nilai PPMnya jauh berbeda. Namun begitu, TDS ini saya cobakan juga pada beberapa tanaman saya. Dan hasilnya semua layu. Maka terpaksalah pesan yang baru, TDS-EC.  Nampaknya yang ini lebih masuk akal. Bisa mengukur dalam satuan PPM maupun mikroS/Cm.

Satu pengalaman juga, untung-ruginya membeli barang melalui sistim online. Cara ini memang lebih memudahkan, tetapi tak ada jaminan bagi pembeli akan mendapatkan barang yang benar-benar baik. Umumnya toko online tak mencantumkan alamat jelasnya yang memungkinkan pembeli dapat mengadukan kalau ada masalah. Tempat-tempat servis yang dapat memberikan layanan perbaikanpun tak disediakan.

Mungkinkah pemerintah bisa membuat regulasi yang mewajibkan toko-toko online yang menjual produk-produk tertentu memberikan jaminan “after sales service” bagi produk-produk yang dijualnya sebagai bagian dari perlindungan konsumen ? ***

 

Saturday, November 7, 2020

Apakah Tuhan Tidak Murka ?

Akhir-akhir ini di tayangan televisi kita makin sering disuguhi dengan berita-berita  tentang betapa makin meningkatnya peristiwa kejahatan terhadap sesama kita, manusia. Bermacam-macam motifnya.  Dan terjadinya juga makin sadis. Nyawa dan tubuh manusia yang jadi korbannya juga diperlakukan seperti benda mati saja. Ayah perkosa anak kandungnya. Jenazah dicincang (mutilasi) untuk memudahkan pembuangan. Ada yang dibuang di kali, di kolam, di tempat sampah, di lubang pembuangan hajat, dibakar dst,dst. Sebelum pandemi Covid 19 ramai diberitakan penemuan tempat pengguguran kandungan di beberapa tempat di Ibukota. Melibatkan banyak oknum dokter dan bidan yang seharusnya berpegang teguh pada kode etik kedokteran yang diinspirasi Sumpah Hipocrates.

Apa Tuhan tidak marah ? Apakah murka Tuhan tidak menyala-nyala ?. “Oh, never mind umatKu. Gapapa, begitu ?” Dibalik seperti diamnya Tuhan, saya sendiri sebetulnya merasa ngeri. Jangan-jangan Tuhan sedang menumpuk kemarahan itu – sampai pada batasnya baru dikeluarkan ganjarannya. Dimulai dengan peringatan-peringatan dulu, barangkali manusia Indonesia ini mau bertobat. Termasuk para pemimpinnya yang kurang peduli dan malah ikut membuat suasana tambah ribet. Masih ingatkah kita  - ketika tiba-tiba ular-ular berbagai ukuran pada keluar, bermunculan di rumah-rumah tinggal sampai ke sepatu-sepatu dan di balik kasur tanpa disadari ? Lalu ikan-ikan di sungai dan pantai, dari yang kecil-kecil sampai ukuran raksasa mati terdampar di pantai-pantai ? Sebagiannya mungkin kita bisa berkilah – itu karena pencemaran lingkungan. Tapi nyatanya tak semua dapat dijelaskan secara ilmiah.

Sekarang pandemi Covid 19 belum juga surut. Hampir setahun ini para ahli berupaya menemukan vaksin dan obat mandraguna untuk menghadapi wabah pencabut nyawa ini. Tapi belum juga memuaskan. Apa Tuhan masih menyembunyikan rahasianya sampai genap penghukuman-Nya ? Sampai manusia bertobat dan mohon ampun ?

Ketika baru terjadi bencana tsunami di Aceh tahun 2004 ada seruan untuk mengadakan doa nasional mohon keampunan kepada Tuhan. Tapi tidak jadi karena ketika itu banyak tokoh agama menolak karena kata mereka ini bukan azab dari Tuhan. Hanya bencana alam biasa. Maka hidup rutinitaspun tetap berjalan seperti biasa. Kejahatan tetap berjalan seperti biasa dan makin meningkat. Korupsi tetap jalan seperti biasa. Demikian juga aborsi ilegal oleh sejumlah oknum dokter dan bidan seperti hari-hari ini masih kita saksikan di tayangan televisi. Saya jadi bertanya dalam hati, apakah bukan gara-gara karena ini maka banyak dokter-dokter kita yang tak bersalah terimbas sampai meninggal di masa Covid 19 ini ? Memang ada tersurat dalam Kitab Suci bahwa tiap orang akan menanggung sendiri dosanya dan tidak orang lain. Tetapi banyak juga kisah dalam Kitab Suci, ketika raja melakukan yang jahat di mata Tuhan, bangsanya diserahkan kepada bangsa-bangsa penindas,  atau diturunkan bencana seperti kekeringan, wabah penyakit sehingga rakyatpun jadi menderita.

Masih banyak orang percaya kalau wilayah sekitar  atau negara  di mana terjadi peristiwa kejahatan – secara otomatis akan menjadi zona hitam, zona terkutuk, di mana sewaktu-waktu bencana bisa terjadi dengan korbannya tidak pilih-pilih. Yang jahat maupun orang baik-baik.

Bangsa kita pun masih banyak menyisakan dosa-dosa hutang darah yang tak kunjung diselesaikan. Terutama dalam kasus politik, di mana orang-orang tak bersalah dilenyapkan. Seperti ekses sesudah pemberotakan G30S/PKI tahun 1965, peristiwa Semanggi, rusuh Jakarta tahun 1998. Mungkin darah mereka yang tertumpah di bumi ketika itu, seperti halnya darah Habil - masih terus-menerus berteriak minta keadilan..  Mari kita renungkan…

Tuesday, November 3, 2020

Prihatin, Pelayayan Surat Kematian yang Tanpa Hati

 Membaca berita tentang buruknya pelayanan terhadap seorang ibu tua yang sedang dirundung kedukaan seperti di bawah ini membuat hati terenyuh, prihatin bahkan dada terasa panas. Dan mengherankan juga tak kita baca ada reaksi Walikota Surabaya Rismaharini yang selama ini begitu galak terhadap para bawahannya yang bekerja tidak becus.

Instansi pengawas internal seperti Inspektorat Wilayah Kota sampai pada tingkat Inspektorat Jendral Departemen Dalam Negeri – juga tak terbaca reaksi mereka. Mungkin samalah pemikiran mereka bahwa ini hanya masalah kecil, salah paham, misskomunikasi dan alasan sepele lainnya seperti dikemukakan Kepala Dispendukcapil Surabaya, Agus Imam Sonhaji yang justeru menyalahkan ibu malang ini. Adapun kisah lengkapnya seperti dilaporkan Editor David Oliver Purba dari Kompas.com 27/10/2020 sbb :

- Yaidah (51), seorang ibu asal Lembah Harapan, Lidah Wetan, Surabaya, Jawa Timur, merasakan sulitnya mengurus akta kematian anaknya di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (dispendukcapil) Surabaya. Bahkan, wanita ini sampai harus ke Jakarta hanya untuk mengurus akta tersebut. Yaidah menceritakan, setelah anaknya wafat pada Juli 2020, dia mencoba untuk mengurus akta kematian anaknya ke kelurahan pada awal Agustus. Namun, sebulan berlalu tak ada kabar dari kelurahan.

         Padahal dia hanya diberi waktu 60 hari oleh pihak asuransi. Karena belum mendapat kepastian, pada 21 September dia mencoba untuk langsung bertanya ke pelayanan Dispendukcapil Surabaya di Gedung Siola.

Saat berada di dispendukcapil, ia pun mengaku dipersulit oleh petugas dengan disuruh kembali ke kelurahan dengan alasan mereka tidak bisa melayani selama Covid-19. “Setelah dilihat berkas saya, dia langsung ngomong, 'Bu, sekarang ndak melayani tatap muka, ibu harus kembali ke kelurahan'. Saya marah-marah, ini berkas sudah berminggu-minggu di kelurahan,” ungkap Yaidah dikutip dari Kompas TV, Selasa (27/10/2020). Saat berada di Dispendukcapil, ia mengaku sempat dioper-oper oleh petugas, hingga pada akhirnya ia mendapatkan nomor akta kematian anaknya. Masalah tak lantas berhenti sampai di situ. Yaidah kemudian diberi tahu oleh petugas bahwa surat kematian anaknya tak bisa diakses karena nama anaknya memiliki tanda petik. Petugas itu menyebut bahwa kesalahan nama tersebut harus menunggu konsul dari Kemendagri. "Saya tanya berapa lama. Dia bilang dikirim bulan Juli aja belum jadi apalagi barusan, bingung saya," ujar Yaidah. Akhirnya setelah berdiskusi dengan keluarga, Yaidah berangkat ke Kemendagri di Jakarta Pusat. Ternyata, pengurusan bukan di Kemendagri pusat, tapi di Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Jakarta Selatan. Setelah sampai, Yaidah memberitahukan tujuan kedatangannya. Petugas menjelaskan kepada Yaidah bahwa pengurusan akta kematian dilakukan di wilayah masing-masing. Namun, petugas tetap mencoba membantu dengan menghubungi petugas di Surabaya dan memastikan terkait akta kematian anak Yaidah. “Akta kematian ini diterbitkan di wilayah masing-masing. Langsung ditelepon Pak Erlangga (dispenduk Surabaya). 'Pak, ini kok ada warga bapak yang urus akta kematian ke Jakarta?” ungkap Yaidah menirukan suara petugas. Setelah dibantu oleh petugas tersebut, barulah surat kematian anaknya bisa langsung diterbikan pada hari itu juga. Terkait kejadian itu, Kepala Dispendukcapil Surabaya, Agus Imam Sonhaji mengatakan, saat Yaidah ke Siola, saat itu memang pelayanan tatap muka sementara ditiadakan. “Kebanyakan mereka bekerja dari rumah,” kata Agus dikutip dari Tribunjatim. Yaidah di sana mendapat informasi dari petugas yang kurang tepat. Sebab, petugas itu tidak memiliki kapabilitas dalam menyelesaikan permasalahan administrasi kependudukan. Alhasil, Yaidah salah menangkap pemahaman dan mengharuskan ke Kemendagri untuk menyelesaikan akta kematian anaknya itu. "Sebenarnya proses input nama yang bertanda petik ke SIAK dapat diselesaikan oleh dispendukcapil. Progres itu juga dapat di-tracking melalui pengaduan beberapa kanal resmi dispendukcapil,” terang Agus. "Kita tetap menyampaikan permohonan maaf kepada Bu Yaidah atas miskomunikasi ini, kami minta maaf. Ini juga sebagai evaluasi catatan bagi kami agar ke depan lebih maksimal dalam melayani,” ucap Agus.

APABILA kejadian serupa terjadi di wilayah kerja kami ketika penulis dahulu masih aktif sebagai auditor bidang Kepegawaian di Pemda DKI Jakarta, niscaya pimpinan kami akan segera mengeluarkan surat perintah tugas pemeriksaan terhadap semua pejabat-pejabat terkait mengapa semua itu bisa terjadi.

Ujungnya pasti akan diberi sansksi dari yang terendah berupa teguran lisan karena kelalaian sampai pada pencopotan jabatan karena dinilai tak mampu. Fungsi kami ketika itu adalah melakukan pemeriksaan untuk memastikan apakah tata kelola adminsitrasi organisasi, disiplin pegawai, semua hak-hak kesejahteraan pegawai (ASN) dan pelayanan masyarakat berjalan dengan baik.

Pelayanan ini beda jauh ketika dahulu ada kerabat kami yang meninggal di Jakarta. Ketika menghubungi Ketua RT setempat untuk mengurus surar kematian, malah pak RT ini menjawab, “biar saya saja yang mengurus semuanya. Keluarga tinggal menunggu saja”.

 Tapi bukan berarti di Dukcapil Jakartapun tak pernah ada masalah. Belum lama ini Pemda DKI dipermalukan dengan pelayayan istimewa dalam pembuatan KTP kepada Djoko Tjandra, terpidana yang sebelumnya lari 11 tahun ke luar negeri untuk menghindari pelaksanaan vonos 2 tahun  penjara. Pagi-pagi sekali sebelum jam kerja, KTPnya sudah beres, bahkan lurahnya sendiri langsung turun tangan. Pihak pengawas internal Dukcapil yang kemudian datang melakukan pemeriksaan, malah memuji-muji sang Lurah dan petugas Dukcapilnya, sebagai “telah melaksanakan anjuran untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat”. Belakangan, orang-orang inipun kemudian terseret dalam proses pengadilan baru terhadap Djoko Tjandra yang kini masih berlangsung.***



Contact Form

Name

Email *

Message *