Saturday, November 7, 2020

Apakah Tuhan Tidak Murka ?

Akhir-akhir ini di tayangan televisi kita makin sering disuguhi dengan berita-berita  tentang betapa makin meningkatnya peristiwa kejahatan terhadap sesama kita, manusia. Bermacam-macam motifnya.  Dan terjadinya juga makin sadis. Nyawa dan tubuh manusia yang jadi korbannya juga diperlakukan seperti benda mati saja. Ayah perkosa anak kandungnya. Jenazah dicincang (mutilasi) untuk memudahkan pembuangan. Ada yang dibuang di kali, di kolam, di tempat sampah, di lubang pembuangan hajat, dibakar dst,dst. Sebelum pandemi Covid 19 ramai diberitakan penemuan tempat pengguguran kandungan di beberapa tempat di Ibukota. Melibatkan banyak oknum dokter dan bidan yang seharusnya berpegang teguh pada kode etik kedokteran yang diinspirasi Sumpah Hipocrates.

Apa Tuhan tidak marah ? Apakah murka Tuhan tidak menyala-nyala ?. “Oh, never mind umatKu. Gapapa, begitu ?” Dibalik seperti diamnya Tuhan, saya sendiri sebetulnya merasa ngeri. Jangan-jangan Tuhan sedang menumpuk kemarahan itu – sampai pada batasnya baru dikeluarkan ganjarannya. Dimulai dengan peringatan-peringatan dulu, barangkali manusia Indonesia ini mau bertobat. Termasuk para pemimpinnya yang kurang peduli dan malah ikut membuat suasana tambah ribet. Masih ingatkah kita  - ketika tiba-tiba ular-ular berbagai ukuran pada keluar, bermunculan di rumah-rumah tinggal sampai ke sepatu-sepatu dan di balik kasur tanpa disadari ? Lalu ikan-ikan di sungai dan pantai, dari yang kecil-kecil sampai ukuran raksasa mati terdampar di pantai-pantai ? Sebagiannya mungkin kita bisa berkilah – itu karena pencemaran lingkungan. Tapi nyatanya tak semua dapat dijelaskan secara ilmiah.

Sekarang pandemi Covid 19 belum juga surut. Hampir setahun ini para ahli berupaya menemukan vaksin dan obat mandraguna untuk menghadapi wabah pencabut nyawa ini. Tapi belum juga memuaskan. Apa Tuhan masih menyembunyikan rahasianya sampai genap penghukuman-Nya ? Sampai manusia bertobat dan mohon ampun ?

Ketika baru terjadi bencana tsunami di Aceh tahun 2004 ada seruan untuk mengadakan doa nasional mohon keampunan kepada Tuhan. Tapi tidak jadi karena ketika itu banyak tokoh agama menolak karena kata mereka ini bukan azab dari Tuhan. Hanya bencana alam biasa. Maka hidup rutinitaspun tetap berjalan seperti biasa. Kejahatan tetap berjalan seperti biasa dan makin meningkat. Korupsi tetap jalan seperti biasa. Demikian juga aborsi ilegal oleh sejumlah oknum dokter dan bidan seperti hari-hari ini masih kita saksikan di tayangan televisi. Saya jadi bertanya dalam hati, apakah bukan gara-gara karena ini maka banyak dokter-dokter kita yang tak bersalah terimbas sampai meninggal di masa Covid 19 ini ? Memang ada tersurat dalam Kitab Suci bahwa tiap orang akan menanggung sendiri dosanya dan tidak orang lain. Tetapi banyak juga kisah dalam Kitab Suci, ketika raja melakukan yang jahat di mata Tuhan, bangsanya diserahkan kepada bangsa-bangsa penindas,  atau diturunkan bencana seperti kekeringan, wabah penyakit sehingga rakyatpun jadi menderita.

Masih banyak orang percaya kalau wilayah sekitar  atau negara  di mana terjadi peristiwa kejahatan – secara otomatis akan menjadi zona hitam, zona terkutuk, di mana sewaktu-waktu bencana bisa terjadi dengan korbannya tidak pilih-pilih. Yang jahat maupun orang baik-baik.

Bangsa kita pun masih banyak menyisakan dosa-dosa hutang darah yang tak kunjung diselesaikan. Terutama dalam kasus politik, di mana orang-orang tak bersalah dilenyapkan. Seperti ekses sesudah pemberotakan G30S/PKI tahun 1965, peristiwa Semanggi, rusuh Jakarta tahun 1998. Mungkin darah mereka yang tertumpah di bumi ketika itu, seperti halnya darah Habil - masih terus-menerus berteriak minta keadilan..  Mari kita renungkan…

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *