Saturday, December 30, 2017

Teka-teki GTM-nya Setya Novanto



 Taktik gerakan tutup mulut (gtm) Setya Novanto sejak dalam pemeriksaan KPK sebagai tersangka dan terus berlanjut pada awal pemeriksaan Majelis Hakim sebagai terdakwa, bisa disebabkan berbagai hal.         

      Pertama, dia sendiri ingin menghindar dari tuntutan hukum sehingga takut terjebak bila banyak bicara. Kedua, Dia tidak ingin memberi keterangan yang kemudian dapat merembet pada pengungkapan keterlibatan konco/teman-teman atau keluarganya. Dengan harapan, bila ia toh sampai dinyatakan bersalah dan dihukum, mereka masih dapat memberikan bantuan saat diperlukan.
     Ketiga, kemungkinan SN dan keluarga mendapat ancaman dari oknum-oknum atau pejabat puplik atau oknum swasta yang terlibat. Entah dari kalangan eksekutif, legislatif maupun oknum penegak hukum. Kemungkinan ketiga ini agaknya dapat dimaklumi. Adanya permohonan perlindungan dari SN untuk keselamatan  dirinya dan keluarganya sejak diperika sebagai saksi, merupakan indikasi adanya ancaman itu.
Apalagi telah ada kasus serupa yang dialami terpidana Miryam S.Haryani yang merasa sering mendapat ancaman dari sejumlah oknum yang disebut-sebut namanya terlibat kasus e-KTP sehingga terpaksa ia membuat laporan palsu.
Permohonan perlindungan itu memang wajar. Sebagai orang yang pernah menjadi pimpinan tertinggi DPR dan mantan Ketua Fraksi partai yang ikut dalam proses pembahasan dan persetujuan anggaran proyek e-KTP yang bermasalah itu, tentu SN akan sangat banyak tahu mengenai proses pembiayaan proyek  itu dan  siapa-siapa yang berperan. Baik dari pihak swasta maupun oknum-oknum pejabat.
Oknum-oknum yang merasa ikut menikmati uang korupsi itu, namun belum ketahuan, tentu akan melakukan segala upaya untuk mencegah agar SN tidak menyebut- nyebut nama mereka. Dengan berbagai cara apapun. Entah memintanya tutup mulut disertai ancaman, menyuruhnya pura-pura sakit sehingga pemeriksaan perkaranya tak dapat diteruskan.
Namun  hasil pemeriksaan para dokter ahli dari RSUP dan IDI menyatakan SN cukup sehat untuk diperiksa. Dengan demikian kesempatan  Majelis Hakim untuk memeriksa perkara itu makin terbuka lebar.
Anjuran KPK agar SN bersedia menjadi “ justice colaborator” yang akan dapat meringankan tuntutan hukum atas dirinya, mungkin akan dipertimbangkan. Kalau bersedia, maka KPK dan Pengadilan berharap SN akan mau bekerjasama membeberkan secara terang benderang mereka semua yang terlibat  seperti yang dlakukan sebelumnya oleh terpidana Nazarudin dan Andi Narogong. Tidak mau menanggung sendiri akibat perbuatan yang dilakukan bersama. Semua harus ikut bertanggung jawab.                                                                                               
Dalam hal ini maka permohonan  SN agar ia dan keluarganya diberi perlindungan keamanan dapatlah dipertimbangkan. Karena dalam kasus-kasus besar yang melibatkan orang-orang kuat, adakalanya mereka tak akan segan-segan untuk melenyapkan saksi demi melepaskan diri mereka dari jeratan hukum. ***

   

                

Thursday, December 14, 2017

KEPUTUSAN TRUMP MIRIP POLITIK ABAD PERTENGAHAN


Keputusan  Presiden AS Donald Trump yang mengakui  Yerusalem sebagai Ibukota Israel dan sekaligus akan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem, mengesankan kebijaksanaan politik para pemimpin negara kolonial abad Pertengahan.

Ingat saja politik luar negeri  Inggeris Raya di kala itu dengan mottonya Right or Wrong My Country.  Dengan kebijakan politik itu maka mereka merambah bumi ini untuk memperluas kekuasaannya. Menginvasi negara-negara lain dengan kekuatan militernya.
Hal sama juga dilakukan bangsa-bangsa lain seperti Jerman/Austria dibawah pimpinan Otto von Bismarck dengan motto Das Blut und Eisen ( Besi dan darah) yang dengan itu kemudian menginvasi negara-negara tetangganya untuk memperluas kekuasaannya.
Intinya, kalau untuk kepentingan negaraku atau bangsaku, maka kepentingan bangsa lain dapat kuabaikan. Dan seperti itulah yang dilakukan Trump sekarang !
Kalau untuk kepentingan negaranya (pikirnya) maka kepentingan negara / bangsa lain boleh diabaikan. Alasannya, penetapan Yerusalem sebagai Ibukota Israel adalah sesuai dengan keputusan Kongres (semacam MPRnya AS), dan dia hanya melaksanakan.
Disinilah masalahnya. Trump mau jadi “pahlawan”. Yang lebih berani dari Presiden-presiden pendahulunya, yang dianggapnya selalu menunda-nunda pelaksanaannya. Masalahnya, para pendahulunya bukan tidak berani. Tetapi  karena pertimbangan kepentingan perdamaian dunia. Dan penundaan itu tidak menyalahi undang-undang sesuai hak sekresi yang diberikan konstitusi kepada Presiden.
Apalagi AS sebagai negara adi kuasa terkuat masa kini, yang kerap merasa diri sebagai “polisi dunia”  seharusnya menjadi pihak terdepan dalam menjaga ketertiban dunia.
Dalam konteks ini langkah Trump tidak selaras. Khususnya dengan upaya-upaya penuntasan perdamaian di Timur Tengah. Dengan kebijakannya ini Trump telah memporak-porandakan dan merusak hasil perdamaian yang dengan susah payah dirintis Presiden Clinton.
Presiden dari Partai Demokrat ini berhasil mempertemukan Presiden Anwar Sadat dari Mesir dengan  Menachem Begin, Perdana Menteri Israel bahkan kemudian menghasilkan perdamaian damai Mesir-Israel di Camp David tahun 1978.
Tidak berhenti disitu saja. Clinton juga berhasil mempertemukan Yaser Arafat, Ketua PLO dengan  PM Israel  Yitzhak Rabin. Petemuan itu kemudian menghasilkan Perjanjian damai Oslo tahun 1993, yang menyepakati : PLO akan meninggalkan perjuangan bersenjata dan beralih ke perundingan, mengakui eksistensi Israel dan pembentukan pemerintahan Otoritas Palestina.        
Dalam pelaksanaannya ternyata tidak mudah. Fraksi Hamas dari pihak Palestina tidak menerimanya dan memilih untuk terus menempuh perjuangan bersenjata. Akibatnya yang terjadi malah konflik antar sesama fraksi Palestina.
Dibawah Presiden Obama, AS tetap mengupayakan penyelesaian yang dapat diterima semua pihak, tetapi belum berhasil sampai akhir pemerintahannya. Hilary Clinton yang diharapkan dapat meneruskan kebijakan penengahan itu, ternyata gagal dalam Pilpres AS.
Bukan hanya tanda-tanda membaiknya hubungan Palestina - Israel saja yang rusak akibat keputusan Trump. Perjanjian damai Mesir-Israel dan Israel-Yordania juga dapat terganggu. Hal sama juga terjadi dalam kasus Dataran Tinggi Golan. Antara Suriah dan Lebanon di satu pihak dan Israel di lain pihak.
Di Zaman Clinton dan Obama, sebetulnya mulai ada tanda-tanda perbaikan hubungan antara Israel dan Suriah dibawah Presiden Bashar al Assad dengan adanya perundingan damai tahun 2007. Bentrokan-bentrokan yang sering terjadi antara militer Israel dengan golongan garis keras di Palestina dan naiknya lagi  pemimpin-pemimpin garis keras Israel seperti Benyamin Netanyahu , membuat pelaksanaan kesepakatan damai itu sering terganggu. Ditambah lagi dengan keputusan Trump mengenai pengakuan Yerusalem sebagai Ibukota Israel, semuanya menjadi kacau. Kepercayaan akan peran AS yang selama ini dianggap sebagai mediator yang dapat diandalkan , kini  pupus.
Dalam perjanjian damai antara  antara Israel dan Yordania tahun 1994 telah disepakati memberikan kewenangan kepada Yordania sebagai penjaga situs-situs suci keagamaan di Yerusalem. Dan karena sebelumnya sudah ada perjanjian damai antara Israel dan PLO/Palestina  di bawah Yasser Arafat,  maka pada tahun 2013 Raja Yordania Abdullah II dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengadakan kesepakatan  bahwa penjagaan kota suci Yerusalem akan dilakukan bersama Palestina – Yordania.
Ekses lain dari pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel oleh AS, dikhawatirkan akan membuat Israel seperti mendapat angin untuk  ke depan melakukan tindakan-tindakan lebih agresif dalam  menata kota suci itu. Pada gilirannya bukan saja akan makin mengurangi hak-hak rakyat Palestina, tetapi juga dalam keleluasaan para peziarah penganut Islam dan Kristen dari berbagai negara ke Yerusalem yang  dianggap sebagai kota suci mereka.
Israel mungkin berdalih Yerusalem dan Palestina sebagai “tanah yang dijanjikan” untuk mereka sebagai keturunan Abraham seperti yang tertulis dalam Kitab Suci. Tetapi jangan lupa. Perjanjian itu selalu diikuti dengan syarat bahwa “apabila mereka tetap setia “ kepada TUHAN. Dan apabila mereka tidak setia, mereka akan diserahkan kepada kuasa bangsa-bangsa lain termasuk tanah-tanah mereka. Peringatan ini selalu diulang-ulang oleh para Nabi.
Kenyataan, bangsa Israel dan Yahuda menurut Kitab Suci, memang berulang kali memberontak kepada Tuhan. Dan akibatnya sejarah mencatat berulang kali pula bangsa ini mengalami penindasan bangsa-bangsa lain bahkan menjadi tawanan.  Di zaman Perjanjian Lama misalnya oleh bangsa Syria, Aram, Babil. Di zaman modern oleh bangsa Romawi, lalu Turki dibawah Kemal Ataturk dan bangsa Arab.
Jadi, janji Tuhan itu bukannya tanpa syarat. Bahkan di Kitab Suci  sering disebutkan bangsa-bangsa lain seringkali dipakai Tuhan menghukum Israel yang “tegar tengkuk” itu. Bahkan Bait Allah yang dibangun di zaman Salomo (Sulaiman) atas tuntunan Roh Tuhan sendiri, Tuhan mengizinkannya untuk dihancur-leburkan.
Jadi sah-sah saja, kalau tanah Palestina pada saat-saat  tertentu berganti penguasa politik. Kalau Tuhan menghendaki atau mengizinkan sesuatu terjadi, maka tak akan ada satu kekuatan apapun yang dapat menghalanginya.
Satu lagi yang patut diingat : bahwa Tuhan selalu menghendaki suatu “perjanjian” dihormati. Ingatkah Perjanjian damai Israel dengan penduduk Gibeon yang ketakutan saat perebutan tanah Kanaan ?
Tuhan melalui Musa sudah memesankan untuk tidak mengikat perjanjian dengan penduduk tanah yang akan ditaklukan. Tetapi nyatanya oleh kecerdikan pihak Gibeon, Israel yang dipimpin Yosua teperdaya dan mengikat perjanjian damai dengan mereka.
Lalu pada zaman raja Saul, raja mulai membunuh dan bermaksud membasmi orang-orang Gibeon. Akibatnya Tuhan menghukum Israel dengan bencana kelaparan tiga tahun berturut-turut. Penyebab tulah itu diketahui raja Daud yang menggantikan Saul ketika ia menanyakan  kepada kepada Tuhan melalui perantaraan Nabi.
Maka ketika Daud memenuhi permintaan pemuka-pemuka Gibeon agar  Daud menyerahkan tujuh anak-anak Saul kepada mereka untuk digantung, barulah tulah itu berhenti. Artinya, Tuhan mau perjanjian damai itu dihormati, sekalipun perjanjian damai itu sebelumnya di luar kehendakNya.
Mestinya peristiwa ini menjadi peringatan bagi Israel untuk tetap menghormati perjanjian damai apapun yang mereka telah buat dengan bangsa-bangsa / negara tetangganya. Fakta menunjukkan dengan diikatnya perjanjian damai dengan Mesir dan Yordania, bangsa Israel dapat hidup berdampingan dengan baik dengan warga kedua negara itu.
Tetapi kurang adil rasanya kalau himbauan hanya ditujukan kepada Israel saja. Pihak Palestina, khususnya Hamas dihimbau juga  kerelaannya untuk dapat mengikuti jejak PLO mengakui eksitensi Israel. Baik sebagai bangsa maupun negara. Lalu kemudian merundingkan kesepakatan damai.
Saatnya untuk realistis. Secara konfrontatif atau militer, adalah tipis kemungkinannya untuk menghilangkan eksistensi Israel saat ini. Baik sebagai bangsa maupun negara. Disamping sudah diakui PBB dan didukung sejumlah negara-negara besar, secara militer kekuatan  negara-negara yang selama ini menjadi lawan Israel saat ini dalam posisi lemah oleh berbagai konflik dalam negerinya.
Maka adalah suatu alternatif adil dan dapat diterima apabila Yerusalem tetap terbagi dua : Yerusalem barat di bawah kekuasaan Israel dan Yerusalem Timur di bawah kekuasaan Palestina. Keduanya dapat menjadikan wilayahnya sebagai Ibukota negara masing-masing dan membiarkan setiap negara lain membuka kedutaannya di sana.
Pada waktu yang sama, Trump diharapkan bersedia pula membatalkan keputusannya mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel dan kembali menjadi mediator perdamaian.
Sekali lagi, cara-cara konfrontatif hanya akan tambah memperuncing konflik yang akan mengakibatkan terus bertambahnya korban dan penderitaan rakyat dari kedua pihak.      ***
                                                                        
                   
                                                                
 
                                                                                                                              


Sunday, December 3, 2017

Ceritera dibalik tekukur kami Yang Suka Menyapa




     Kalau guk-guk piaraan kami bersukacita dan menari-nari  senang ketika menyambut kami pulang, sudah biasa. Tapi kalau burung tekukur yang melakukannya masih baru bagiku. Burung jenis ini semula kuanggap biasa saja. Bukankah sering kita temukan burung ini berkeliaran di jalan cari makan atau dijajakan di toko-toko penjual burung ?
Tapi lain burung tekukur kami yang satu ini. Semula juga nampak tidak ada yang istimewa. Awalnya, sekitar lima tahun lalu ketika kami masih di Bogor, seorang bapak mendesak isteri saya membeli beberapa burung miliknya. Seekor burung tekukur, dan bebe  rapa kutilang.Katanya sangat butuh uang buat beli beras.
Kandang mereka kami gantung di teras lantai atas yang terbuka. Ternyata  burung-burung ini sudah agak jinak dan rajin berceloteh. Terlebih di pagi hari dan sore hari. Mendengar suara mereka sering  orang-orang berhenti sejenak mendongak mengamati mereka.
Pada suatu hari seorang bapak begitu tertarik dengan tekukur kami ini. Ia mau membayarnya dengan harga yang lumayan untuk seekor burung biasa. Tapi yang empunya burung, isteri saya, tidak mengijinkan. Si Bapak  terus mendesak, bahkan hari berikutnya ia datang dengan membawa dua ekor tekukur lain untuk ditukarkan.
   Kedua burung itu dikeluarkannya dari dalam jok sepeda motor. Melihat perlakuan terhadap kedua  mahluk kecil yang malang itu, isteri saya langsung marah. “Burung-burung itu  bisa mati  tak bisa bernapas dalam jok”, katanya seraya  berbalik menutup pintu pagar.
Tapi besoknya bapak itu muncul lagi dan kini agak memaksa. Aku lagi tidak ada di rumah. Tetapi kebetulan ada anak perempuan kami. Ia dengan berani menghadapi si bapak dan memintanya pergi sambil diperingatkan untuk tidak datang lagi.
Apa keistimewaan burung ini pikirku. Sampai di situ masih biasa saja. Tetapi suatu ketika isteriku jatuh sakit. Terpaksalah aku yang harus mengurus hewan-hewan piaraan kami. Empat guk guk, setengah lusin meong, empat satwa bersayap.
Hewan-hewan berkaki empat itu asal-usul mereka rata-rata mahluk terlantar yang dipungut di jalan atau selokan atau yang diselamatkan dari kejaran orang  yang hendak melenyapkan mereka. Kami memang keluarga penyayang binatang.
Nah, ketika aku mengambil alih pengurusan hewan-hewan itulah aku mulai dapat berkomunikasi lebih dekat dengan mereka. Memberi makan tiga kali sehari, membersihkan kandang dan sedikit menyapa mereka.
Sejak itulah sang tekukur mulai  nampak bersahabat denganku. Kalau semula ia selalu menggelepar-menggelepar ketakutan kalau aku mendekatinya, sekarang setiap kali ia melihat aku muncul, selalu menyapaku dengan bahasa khas tekukur : “korkouur, korkour, korkouur” atau “kourkourkouur, kour...” sambil kepalanya turun naik. Bahkan kalau lagi bertengger ia melompat ke bawah sambil terus, “korkouuur, korkouur” dengan kepala mengangguk-angguk.
Aku mendekatinya, menggerak-gerakan tangan turun-naik sambil menjawab menirukan suaranya, “korkouur, korkouur, korrkour”. Kalau aku tak menjawab, isteriku menegur: “ itu burung, disahutin dong....!”. ***

Contact Form

Name

Email *

Message *