Sunday, December 3, 2017

Ceritera dibalik tekukur kami Yang Suka Menyapa




     Kalau guk-guk piaraan kami bersukacita dan menari-nari  senang ketika menyambut kami pulang, sudah biasa. Tapi kalau burung tekukur yang melakukannya masih baru bagiku. Burung jenis ini semula kuanggap biasa saja. Bukankah sering kita temukan burung ini berkeliaran di jalan cari makan atau dijajakan di toko-toko penjual burung ?
Tapi lain burung tekukur kami yang satu ini. Semula juga nampak tidak ada yang istimewa. Awalnya, sekitar lima tahun lalu ketika kami masih di Bogor, seorang bapak mendesak isteri saya membeli beberapa burung miliknya. Seekor burung tekukur, dan bebe  rapa kutilang.Katanya sangat butuh uang buat beli beras.
Kandang mereka kami gantung di teras lantai atas yang terbuka. Ternyata  burung-burung ini sudah agak jinak dan rajin berceloteh. Terlebih di pagi hari dan sore hari. Mendengar suara mereka sering  orang-orang berhenti sejenak mendongak mengamati mereka.
Pada suatu hari seorang bapak begitu tertarik dengan tekukur kami ini. Ia mau membayarnya dengan harga yang lumayan untuk seekor burung biasa. Tapi yang empunya burung, isteri saya, tidak mengijinkan. Si Bapak  terus mendesak, bahkan hari berikutnya ia datang dengan membawa dua ekor tekukur lain untuk ditukarkan.
   Kedua burung itu dikeluarkannya dari dalam jok sepeda motor. Melihat perlakuan terhadap kedua  mahluk kecil yang malang itu, isteri saya langsung marah. “Burung-burung itu  bisa mati  tak bisa bernapas dalam jok”, katanya seraya  berbalik menutup pintu pagar.
Tapi besoknya bapak itu muncul lagi dan kini agak memaksa. Aku lagi tidak ada di rumah. Tetapi kebetulan ada anak perempuan kami. Ia dengan berani menghadapi si bapak dan memintanya pergi sambil diperingatkan untuk tidak datang lagi.
Apa keistimewaan burung ini pikirku. Sampai di situ masih biasa saja. Tetapi suatu ketika isteriku jatuh sakit. Terpaksalah aku yang harus mengurus hewan-hewan piaraan kami. Empat guk guk, setengah lusin meong, empat satwa bersayap.
Hewan-hewan berkaki empat itu asal-usul mereka rata-rata mahluk terlantar yang dipungut di jalan atau selokan atau yang diselamatkan dari kejaran orang  yang hendak melenyapkan mereka. Kami memang keluarga penyayang binatang.
Nah, ketika aku mengambil alih pengurusan hewan-hewan itulah aku mulai dapat berkomunikasi lebih dekat dengan mereka. Memberi makan tiga kali sehari, membersihkan kandang dan sedikit menyapa mereka.
Sejak itulah sang tekukur mulai  nampak bersahabat denganku. Kalau semula ia selalu menggelepar-menggelepar ketakutan kalau aku mendekatinya, sekarang setiap kali ia melihat aku muncul, selalu menyapaku dengan bahasa khas tekukur : “korkouur, korkour, korkouur” atau “kourkourkouur, kour...” sambil kepalanya turun naik. Bahkan kalau lagi bertengger ia melompat ke bawah sambil terus, “korkouuur, korkouur” dengan kepala mengangguk-angguk.
Aku mendekatinya, menggerak-gerakan tangan turun-naik sambil menjawab menirukan suaranya, “korkouur, korkouur, korrkour”. Kalau aku tak menjawab, isteriku menegur: “ itu burung, disahutin dong....!”. ***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *