Friday, August 28, 2020

Sejarah Perjuangan Suku Mori-Bahono versi TBB (9): UPACARA DAMAI DI TENGAH SUNGAI KASITAWA


Mata-mata penjanjah dan adu-domba Belanda makin gencar, baik di Palopo mauoun di tanah Mori / Petasia. Meskipun demikian upaya perdamaian Ue Lagasi dengan Ue Baby sebagai penghubung antara Datu Luwu dan Raja Mori, Marunduh, terus berjalan dan perdamaian yang telah lama diusahakan akhirnya menjadi kenyataan.

Upacara pemulihan kembali perdamaian antara Kerajaan Mori/Petasia dengan Kerajaan Luwu/Palopo berlangsung di tepi sungai Kasitawa. Kedua raja yang setuju berdamai menyeujui usul Ue Lagasi dan para tua-tua Bahono agar perdamaian dilaksanakan di suatu tempat di pinggiran Sungai Kasitawa, yang termasuk wilayah Bahono / Lasi dan tata cara penyelenggaraannya dipercayakan sepenuhnya kepada Kepala Suku Bahono sebagai penengah dan tuan rumah.

Menjelang upacara perdamaian, Raja Luwu bediri di tepi selatan sungai Kasitawa yang disertai ribuan pasukan rakyatnya yang bersenjata terdiri dari orang-orang Luwu dan Toraja serta suku-suku  sekutu raja Luwu lainnya.

Sedang di seberang,tepi sebelah utara telah siap bediri pula Raja Mori / Petasia serta pasukannya dari berbagai suku sekutunya dipimpin Panglima perangnya masing-masing seperti suku Impo, Tokolo-kolo, Pantoule, Wulanderi, Toroda dan lain-lain.

Semuanya hadir di tengah padang sebelah-menyebelah sungai, hiruk-pikuk dengan tari perang Cakalele sambil mengangkat dan mendemonstrasikan kepandaian memainkan ponai (pedang)/. Menebas-nebas rerumputan tebal menunjukkan ketajaman senjatanya dan bahwa mereka adalah lasykar pemberani dan siap perang bila diperlukan.

Di tengah-tengah suara riuh-rendah saling sahut-menyahut dari seberang sungai ke seberang lainnya, turunkah Raja Mori yang diwakili Putra Raja benama Beta. Ia diusung beberapa Karua (pembesar kerajaan) ke tengah-tengah sungai. Kemudian turun pula Datu Luwu ke tengah sungai. Setelah kedua Raja saling berhadapan dan memberi hormat, Tadulako suku Bahono Ue Lagasi mengeluarkan sebutir telur ayam putih dan meminta kedua Raja saling memegangnya, sebagai tanda ketulusan hati untuk berdamai antara Raja Mori dan Datu Luwu.

Sesudah kedua Raja dan Ue Lagasi naik kembali dari tengah sungai, dilakukanlah upacara pengorbanan seekor babi sebagai simbol perdamaian yang dilanjutkan dengan pesta makan bersama kedua raja beserta seluruh pembesar kedua kerajaan, hulubalang, lasykar dan rakyat. Semuanhya  telah bercampur-baur dengan gembira karena permusuhan telah diakhiri dan perang tidak akan ada lagi.

Peristiwa ini sangat mengharukan dan menjadi catatan sejarah karena dapat membawa perdamaian yang sejati antara kedua Raja yang   melibatkan   seluruh   rakyatnya   dari berbagai suku. Teristimewa bagi suku Tomobahono / Lasi karena perdamaian itu dilangsungkan di wilayahnya, Tanah Bahono, yaitu di Sungai Kasitawa. Tidak kalah penting pula peranan Ue Lagasi, sebab oleh keberanian,prakarsa serta kenegarawannya maka perdamaian itu dapat terwujud.

Kepiawaiannya selaku juru damai dapat dibanggakan. Sebab kalau kurang hati-hati dan bijaksana serta kurang berwibawa, upaya mendamaikan kedua raja yang sudah lama berseteru itu dan pengaruh mereka sama besar bisa gagal. Dan kalau gagal maka pertemuan itu dapat berubah menjadi perang besar, karena kedua pihak menghadirkan ribuan pasukan pengawalnya. Karena itulah maka Lasi mendapat nama atau julukan “Tondo Dopi Mokole”  yang artinya “Benteng papan kedua Raja”. Kasitawa mengandung arti “memberi kedamaian dan tawa / sukacita antar sesama manusia.” 

Saat itu, pertengahan abad 18, dan diperkirakan tahun 1840, Pasar Sokoiyo dan Sokita  telah tutup lebih dari tigapuluh tahun. Maka dengan tercapainya persetujuan damai, kedua pusat perekonomian Tanah Bahono itu mulai dihidupkan kembali. ***

 

Tuesday, August 25, 2020

Sejarah Perjuangan Suku Mori-Bahono versi TBB (8): MENDAMAIKAN RAJA MORI DENGAN RAJA LUWU


Perang dingin atau ketegangan antara Raja Luwu di Palopo dengan Raja Marunduh di Petasia telah berlangsung sekitar sepuluh tahun. Kepala Suku Tomobahono, Ue Lagasi telah lama mencari jalan untuk mendamaikan kedua raja yang berseteru itu. Karena bagaimanapun, perseteruan kedua raja itu telah ikut membawa pengaruh buruk pula bagi keamanan dan perekonomian kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.

Maka pada suatu hari, Ue Lagasi dengan dikawal Panglima Perangnya, Ue Baby, bertindak dan mengambil inisiatif pergi bertemu dengan Kepala Suku To ‘Ulu Uwoi di Kadupure. Karena ia mempunyai hubungan baik dengan Raja Luwu. Kepada Kepala Suku To ‘Uu Uwoi, Ue Lagasi minta tolong agar diberikan seorang penunjuk jalan ke Usu, tempat raja Palopo bertahta. Tujuannya sebagai pengantara untuk mengupayakan perdamaian dengan raja Mori.

Demi mendengar maksud baik Ue Lagasi, Kepala Suku Ulu ‘uwpo sangat setuju. Ia segera memberikan penunjuk jalan dari Kadupure. Melewati Gunung Papongko mereka terus ke Usu, tempat bertahta Datu Palopo yang bernama Daeng Moroa. Pertemuan Kepala Suku atau Mokole mpalili Tomobahono dengan Daeng Moroa ternyata berlangsung akrab. Apalagi maksud pertemuan untuk mengusahakan perdamaian. Hasil perundingan sangat memuaskan.

Hanya sedikit ucapan Daeng Moroa yang diungkapkan. Tetapi yang paling penting adalah ucapannya, bahwa “perdamaian memang diperlukan dengan semua raja-raja kecil lalu secara bersama melawan tusukan propaganda orang-orang Belanda yang mulai sering mendatangi kami di sini”.

Beberapa hari setelah kembali ke Lasi, Ue Lagasi dan Ue Baby melanjutkan perjalanan ke Petasia. Mereka mau bertemu langsung dengan Raja Marunduh. Setibanya di istana Matanda’u, Ue Lagasi dan Ue Baby memberikan salam kehormatan, lalu mengatakan, “kami berdua telah pergi menemui Datu Luwu di Usu. Sebagai pengantara untuk mengusahakan perdamaian antara kerajaan Mori dan kerajaan Luwu.” Kami disambut dan diterima dengan baik. Malahan Datu Luwu memberikan sebuah tombak kebesarannya yang disebut U’u. Sebagai bukti dan tanda bahwa ia juga menghendaki adanya perdamaian dengan Raja Mori.

U’u atau tombak itu diminta Datu Luwu agar digunakan sebagai penusuk babi yang akan dikorbankan sebagai langkah pertama menuju perdamaian antara kedua raja.

Tombak itu diperlihatkan kepada Raja Marunduh. Tetapi raja ragu-ragu lalu berkata :”Kitao koa Ue, io U’u atuu tekoa mansa gagi duhuto te’ingka”, artinya,”lihat Ue, jangan-jangan U’u itu akan digunakan untuk menusuk kita nanti”. Dijawab Ue Lagasi, “tidak maharaja. Kalau memang tidak benar, kami sudah mati di Usu dan tidak kembali lagi ke Tanah Mori ini.”

Segala persiapan dan tata cara pertemuan antar kedua raja pun mulai dilakukan. Termasuk rancangan pokok-pokok perdamaian yang kemudian dikenal dengan “Perdamaian Sokita”***

 

 

 

Saturday, August 22, 2020

Sejarah Perjuangan Suku Mori-Bahono (7): Masih Takut Dewa Lahumoa, Bahono Aman tenteram.

A

gama atau pemujaan kepada dewa Lahumoa yang dipercaya tinggal di gua-gua dan pohon Apali (beringin) sampai tahun 50-an masih diyakini oleh  sebagian besar orang Bahono. Padahal ketika itu seluruh orang Bahono resminya sudah memeluk agama Kristen. Tetapi baik suku Tomobahono maupun suku Tomatano, masih sangat takut kepada dewa Lahumoa yang dipercayai sebagai pencipta manusia.

Mereka tidak berani melakukan pelanggaran adat dan tradisi karena takut mendapat ganjaran langsung dari sang dewa. Suatu barang berharga yang digeletakkan begitu saja di sisi jalan dan di atasnya diberi lewe mata , yaitu setangkai tanaman yang masih baru, tak akan ada yang berani menyentuhnya. Lewe mata adalah sebagai tanda barang itu sedang dititipkan sementara oleh pemiliknya kepada dewa Lahumoa. Jadi tak boleh diganggu karena ada penjaganya.

Contoh lain, tanaman buah-buahan seperti pohon jambu air dan duku yang digantungi ombo . Sejenis cairan dalam botol kecil tertutup. Artinya, tidak boleh dijamah apalagi dimakan buahnya karena akan menderita sakit perut yang hebat. Pantangan ini amat dipatuhi, bahkan sampai anak-anak kecilpun.

Hewan peliharaan seperti kerbau atau sapi, tidak boleh dipecut dengan tangkai korudu, semacam tanaman liar di padang, karena ternaknya akan mengalami musibah. Tetapi buah tanaman perdu itu dapat dimakan, dan bunganya yang kemerah-merahan seringkali dipakai hiasan pada pesta perayaan-perayaan.

Perbuatan kriminal tak pernah terdengar. Perkelahian ataupun pencurian jarang terjadi. Kalaupun ada, maka semuanya akan diselesaikan oleh Dewan Adat yang sangat disegani. Demikian juga bila ada tindak kekerasan dalam rumah tangga. Mengucapkan kata-kata tak pantas, memukul dengan tangan atau menyakiti dengan kaki, semua ada sanksinya. Biasanya dalam bentuk denda berupa barang. Bisa dengan tanaman tahunan, kain pelekat, sampai daging kerbau. Yang “tehala” atau yang dinyatakan salah, wajib memotong ternak dan membayar dendanya sesuai keputusan Adat. Bisa “aso hila” (separoh) atau “aso mpato” (seperempat) bagian dari daging hewan setelah dipotohg.

Mungkin karena kepatuhan orang Bahono pada adat itulah maka kehidupan masyarakat aman dan terteram. Maka pemerintah tak pernah menempatkan polisi ataupun tentara di Tanah Bahono. TNI baru masuk setelah mulai ada gangguan gerombolan Kahar Muzakar dari Sulawesi Selatan.  ***

 

 

Wednesday, August 19, 2020

Sejarah Perjuangan Suku Mori Bahono versi TBB (6): Piagam Sokoyio, Penjanjian Persahabatan Suku Bahono-Tomatano

Panorama Indah Danau Matano antara Nusa-Sorowako (Desember 2013)

  Suku tetangga terdekat adalah Tomatano. Mereka berdiam di kampung Nuha sekitar tepi Danau Matano bagian selatan. Berhadapan dengan kota yang kini terkenal dengan pabrik nikelnya, Sorowako, di seberang danau Matano.

         Jauh sebelumnya, kira-kira abad ke dua belas, antara warga kedua suku sudah terjalin hubungan tukar-menukar kebutuhan masing-masing. Suku Tomatano terkenal dengan tukang-tukang atau pandai besinya (molabu). Sedang kaum perempuannya ahli membuat polu (tungku),

kuro (belanga), piring, podangea, yaitu alat cetak pembuatan makanan dari sagu dengan kelapa, serta peralatan-peralatan dapur ;ainnya yang terbuat dari tanah liat dan keramik.

        Warga Tomatano menawarkan parang, pedang dan tombak dan peralatan-peralatan dapur tersebut serta botini, yaitu ikan tawar kering asal danau Matano untuk ditukar dengan bahan-bahan makanan dari warga Tomobahono berupa beras dan sagu. Waktu itu masih jarang digunakan alat pembayaran seperti uang. Umumnya barang-barang orang Bahono dipertukarkan dengan bahan pakaian dan hewan.

        Pertemuan tukar-menukar yang semula sederhana, makin lama makin berkembang dan ramai. Hal itu tidak lepas pula dari peran kedua Kepala Suku yang telah membuat perjanjian damai dan kerjasama serta bersepakat untuk selalu saling mengunjungi.

       Kepala Suku Tomatano yang disebut Mohola, sering datang ke Lasi menemui Ue Lagasi.     

Menyeberang Danau Matano dari Sorowako ke Nuka (Des. 2013)




Membicarakan hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama. Perundingan yang terkenal adalah yang dilakukan di atas Gunung Sokoyio, karena di situlah
dicapai perjanjian yang berjudul “Perdamaian Sejati”. Usul perjanjian persahabatan ini datang dari Mohola ke Ue Lagasi. Usul ini segera dimusyawarahkan Ua Lagasi dengan tua-tua adat dengan melibatkan rakyat.Ternyata semua setuju untuk segera dilaksanakan.

        Pada pertemuan pertama, kedua kepala suku sepakat bahwa pertemuan tukar-menukar antar warga kedua suku sangat bermanfaat dan karena itu perlu diteruskan dan agar lebih sering dilakukan. Dicapai pula kesepakatan untuk memakai kata “Olu” sebagai sebutan bersama untuk pertemuan tukar-menukar itu.

       Pertemuan kedua kedua Kepala Suku beserta para pemuka adat masingmasing, dilakukan dengan diawali upacara agama, kemudian dilanjutkan dengan membicarakan pokok-pokok kerjasama di bidang lainnya. Di antaranya kerjasama di bidang politik, pertahanan,dan keamanan. Hasilnya adalah kedua pihak sepakat mengadakan perjanjian persahabatan yang kemudian terkenal dengan “Piagam Sokoyio”yang isinya :

Satu, kedua pihak sepakat memelihara perdamaian yang menjamin ketentraman rakyat dan saling membantu apabila ada musuh yang datang menyerang.

Kedua, kedua pihak sepakat memajukan perekonomian untuk kesejahteraan rakyat dan meningkatkan persaudaraan kedua rakyat, termasuk melalui perkawinan.

Siap-siap mendarat di Nuha

Ketiga, sepakat perjanjian ini diikat dengan sumpah   /janjiyang ditandai dengan sebutir telur ayamyangdipegangoleh kedua Kepala Suku.

      Sambil berdiri dan mengangkat tangan, mereka mengucapkan ikrar itu. Telur ayam yang putih mengibaratkan, perjanjian itu dibuat dengan hati. Tulus, putih, suci-bersih seperti warna telur yang tidak ada cacatnya.

        Setelah itu kegiatan perdagangan antar suku melalui olu makin ramai. Disamping sebutan “olu”, mulai  digunakan pula kata “pasar”. Waktu itu belum ada kalender atau penanggalan. Maka untuk menetapkan hari “Olu” atau hari pasar, disepakati hari ke tigapuluh setelah Perjanjian Sokoyio. Demikian seterusnya, olu berikutnya hari ke tigapuluh setelah Olu terakhir.

       Untuk memudahkan, disepakati kedua pihak membuat lilitan tali pada sebuah tiang setiap hari.

Hari pertama satu lilitan, hari kedua menjadi dua lilitan. Demikian seterusnya sampai hari yang ke tigapuluh dengan tigapuluh lilitan.

        Agak menurun sekitar lima kilometer dari Gunung Sokoyio ke arah utara, terdapatlah lembah pertanian orang-orang Bahono. Wilayah ini menjadi jalur lintasan orang-orang ke Pasar Sokoyio dan Pasar Sokita yang mulai dibuka pula. Kedua pasar itu ramai dikunjungi orang terlebih dari Suku Bahono dan Tomatano.

       Tradisi saling mengunjungi yang dicontohkan Ue Lagasi yang selalu mengundang Mohola suku Tomatano pada setiap menyelenggarakan pesta keramaian,  tetap diteruskan dan begitu pula sebaliknya. Dengan hubungan yang semakin erat itu, dan sesuai pula dengan Piagam Sokoyio, terjadilah kawin-mawin antara para remaja kedua suku bersahabat ini. Anak-anak hasil kawin campur To Ture’a-Tomatano ini lazim disebut To Helai (turunan campuran ). Jumlah mereka terus bertambah. Bahkan mereka mempunyai kampung tersendiri di seberang danau Matano dekat Nuha yaitu Taipa. Karena itu mereka sering juga disebut To Taipa.

Seorang Woliampu’u suku Ture’a bernama Hambu kawin dengan seorang tokoh To Matano berpangkat Mohola. Bahkan salah seorang kakak perempuan ayah, Ue Rantena Lapoliwa kemudian menikah dengan warga Tomatano, Ue Lapanangi.

         Hasil nyata dari kerjasama di bidang pertahanan,  adalah ketika  terjadi penyerangan terhadap orang Bahono  yang diam di Benteng Lasi.  Lasykar Matano datang membantu. Sebagian mengepung musuh dan sebagian mulai menyerang. Konon, pihak musuh tiba-tiba terkejut ketika mereka tidak dapat mencabut pedang mereka dari sarungnya. Yang tercabut malah gagangnya.Kalau tidak dicegah Ue Lagasi, pihak penyerang seluruhny akan habis terbunuh.***

Tuesday, August 18, 2020

Sejarah Perjuangan SukuMori Bahono versi TBB (5):

 Di Benteng Pa'ano, Tentara Belanda Kocar-kacir

 D


alam benteng mereka membangun rumah-rumah tempat tinggal di kala perang. Sekelilingnya digali parit pertahanan yang dalam, lalu pagar dua lapis dari bulu tui (buluh batu). Di tengah-tengahnya diisi tanah dan pasir. Pada bagian luarnya dipasangi ranjau-ranjau dari bambu yang diruncing kedua ujungnya. Jumlahnya tak terhitung lagi, sehingga kalau dilihat dari luar tampak seperti duri-duri rotan karena banyaknya.

Di luar parit, masih ada lagi lobang-lobang tanah tersembunyi yang ditanami ranjau-ranjau kemudian ditutup tanah dan daun-daun yang sangat tipis   sehingga tak terlihat oleh musuh. Di atas benteng pada bagian luarnya, ada keranjang-keranjang besar berisikan batu-batu besar, digantung dengan tali ijuk.

Apabila dilihat dari luar, tampak seperti sarang-sarang lebah madu. Bila ada musuh yang datang menyerang dalam jumlah banyak, batu-batu dalam keranjang itu akan diputuskan talinya sehingga akan terjadi tumpahan atau hujan batu yang menggelinding -  menimpa musuh atau segala apa saja yang berada dibawahnya.

Pada bagian dinding pintu penteng, digantung dio-dio atau lonceng yang dibunyikan sebagai tanda bahaya atau alarm untuk siap-siaga. Di atas pintu itu dibuat pula titian yang melintasi parit benteng sebagai jalan keluar-masuk benteng. Apabila semua penghuni benteng sudah masuk ke dalam, titian itu ditarik masuk dan pintu  ditutup rapat-rapat.

       Dalam keadaan genting, pada setiap pintu benteng ditempatkan penjaga dan pengintai yang selalu mengawasi keadaan di sekeliling benteng. Benteng ini pernah diserang tentara penjajah Belanda tapi mereka mundur, kocar-kacir. ***

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

Saturday, August 15, 2020

Sejarah Perjuangan Suku Mori Bahono versi TBB (4) Reformasi Pemerintahan Bahono Gaya Mokole Mpalili

Model rumah orang Bahono tempo doeloe
                              

 Dibawah kemimpinan Kepala Suku ketiga ini ketentuan adat ditegakkan kembali.Tadulako selaku Mokole Mpalili harus dipilih oleh rakyat secara demokratis. Ia memerintah dibantu beberapa orang tua-tua yang sangat dihormati sebagai penasehat sekaligus sebagai Dewan musyawarah adat.

  Ue Lagasi memerintah pada abad 18. Pada masa kepemimpinannya,ia berusaha keras untuk lebih memperkokoh persatuan atas dasar kesamaan wawasan untuk mencapai kesejahteraan bersama.

     Untuk itu dibangunlah Rumah Pertemuan (Raha Terisoa) di empat wilayah. Pertama di Lasama Bahono, kedua di Ranonsumia, ke tiga diLintumewure, Ture’a dan keempat di muara sungai kecil Tiwo’a, Lembono.

    Keempat bangunan itu disebut Lobo, artinya umah Besar. Dalam lobo itulah dilakukan terisoa atau rapat musyawarah yang mengikut-sertakanseluruh rakyat  Tomobaholo-Lasi. Setiap musuawarah besar itu selalu didahului dengan upacara agama yang memuja dewa Lahumoa Lasaeo, yang dipercayai berdiam di gua-gua batu (Kunepo) atau pohon beringin besar (apali).

       Selesai upacara keagamaan, musyawarah dilanjutkan dengan membahas masalah-masalah yang dihadapi atau usaha apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan kemudian diputuskan bersama pula.

      Meskipun jumlah warga suku itu terbilang kecil, namun mereka memiliki semboyan yang senantiasa menggugah rasa persatuan di antaramereka serta membuat semangat juang mereka tetap tinggi dalam menghadapi musuh. Semboyannya :“Opituto koa mia Tolasi, siino lada mpae mpena” artinya, “Cukup tujuh orang Lasi, tapi semua seperti cabe rawit kecil yangt pedas”.

      Dengan semangat persatuan serta patuh kepada kepemimpinan Kepala Suku serta nasehat para orang tua-tua tokoh adat, seluruh rakyat dengansemangat tinggi bergotong-royong mereka memperkuat Benteng Gunung Lasi dan bentengGunung Waawulo. Orang-orang Bahono juga biasa menyebutnya “Pa’ano”, artinya, “tanah ketinggian”.   Kedua benteng itu, di Gunung Lasi dan Gunung Waawulo selalu menjadi simbol ketahanan atau keberanian suku Lasi atau Bahono.


 

Sejarah Perjuangan Suku Mori Bahono versi "TBB" (3)

 

Makam para leluhur di Uluanso

Bermula dari Para Penjelajah Laut, Tumbuh kembanglah Suku Bahono.

 

S

uku Tomobahono / Tolasi dahulu kala disebut juga

Toture’a. Menurut ceritera orang tua-tua, konon nama Ture’a berasal dari kisah seorang kepala suku bernama Enge Melari. Tubuhnya tinggi besar dan kuat. Ia seorang pemberani dan senang bertualang.

Dalam petualangannya ia tiba di tepi sungai Porupu dan berjumpa dengan penduduk asli. Mereka mendiami sepanjang pinggir sungai ini dari hulunya di Sanimbi sampai Lintumewure. Karena itu mereka sering disebut To Wiwi Laa, artinya orang pinggir sungai. Jumlah mereka masih sedikit dan dipimpin oleh seorang Tadulako atau hulubalang yang juga merangkap sebagai Ketua Adat.

Konon Enge Melari adalah seorang perantau dari seberang lautan. Kapalnya terbawa arus laut dan angin kemudian kandas dekat Kendari. Ia berdoa mohon kekuatan dan perlindungan dari penguasa alam penciptanya lalu meninggalkan kapal.

         Setelah masuk hutan keluar hutan, mendaki dan menuruni gunung serta menyeberangi sungai akhirnya tibalah ia di tempat itu. Ia minta diijinkan bergabung dengan mereka. Tutur nkata dan sikapnya yang santun serta kecakapannya menyebabkan ia dapat diterimadengan baik oleh Tadulako kelompok itu.        

          Pemuda ini lalu membangun sebuah rumah besar dan di situlah ia diminta mengajarkan segala ilmu dan pengalamannya. Ia makin disenangi, bahkan akhirnya ia terpilih menjadi Tadulako yang baru.

Pada suatu siang yang panas terik, ia bersama orang-orangnya berjalan dan tiba di suatu tempat dan beristrahat melepas lelah di bawah pohon rindang. Ia seorang yang taat melaksanakan adat pemujaan menurut kepercayaannya. Ketika duduk bersemedi, ia seperti mendapat bisikan agar menebaskan pedangnya pada pohon tempatnya berteduh. Apa yang terjadi ? Kulit pohon itu mengeluarkan air berwarna merah. Mengalir aeperti rea (darah). Maka mereka namakanlah tempat itu Ture’a.

Dan ketika kemudian mereka bertambah banyak dan menetap di situ. Mereka disebut To Ture’a (orang Ture’a). Dibawah pimpinan Enge Melari, suku Ture’a rajin bertani, mengolah hasil hutan seperti rotan dan damar.

Mereka juga cekatan dalam berburu hewan liar seperti rusa dan babi hutan, baik dengan menggunakan anjing pemburu maupun jebakan seperti dampa dan botika. Botika dibuat menggunakan kayu lentur yang dipasangi ranjau bambu runcing. Ada juga jebakan yang disebut dunsi, yang terbuat dari batang pohon besar. Apabila tali penahannya  terunjak, maka batang pohon yang berat itu akan jatuh menimpa mahluk apa saja yang lewat di bawahnya.

Mereka juga trampil menangkap ayam hutan dengan menggunakan winggaro, suatu jerat yang juga menggunakan kayu lentur dan tali. Bila ayam hutan menginjak atau mematok umpan makanan yang ditaburkan, maka kaki atau lehernya akan terjerat. Untuk menangkap ikan wiku (moa) di kali yang dagingnya enak dan gurih, mereka mempunyai cara tersendiri.

Dengan menggunakan umpan dari lipan, katak atau ulat sagu

Nostalgia di Sungai Uluanso Tanah Bahono (Desember 2013)

yang dicucukkan pada duri daun rotan, mereka mampu memunculkan ikan moa ke permukaan air dan kemudian menombaknya dengan sarampa sejenis tombak bermata tiga. Demikian sedikit gambaran mengenai mata pencaharian suku Ture’a.

Tetapi makin lama nama Ture’a jarang disebut-sebut atau hampir tidak dikenal lagi oleh generasi kemudian. Yang dikenal sampai sekarang adalah Tomobahono atau Tolasi.

Menurut peta, suku bangsa ini berdiam di sebelah selatan daerah Petasia-Kolonodale, Sulawesi Tengah. Disebelah selatan berbatasan dengan Nuha Sulawesi Selatan yang merupakan tempat kediaman suku Tomatano yang bermukim di sekitar tepi Danau Matano.

Dengan semakin bertambahnya jumlah mereka, maka dibuatlah aturan tata kehidupan bersama yang kemudian menjadi adat yang harus dipatuhi semua orang.

Warga dibagi dalam kelompok-kelompok dengan fungsi dan tanggung jawab masing-masing.Karua, Tokia Mokora (Penjaga / Pengawal) dan Pengawas. Kelompok Karua, merupakan kelompok inti. Disumbolkan dengan kepala manusia yang tugasnya memikirkan dan memajukan kesejahteraan dan perekonomian seluruh masyarakatnya. Kelompok Tokia Mokora, dilambangkan dengan kaki dan lengan yang kuat. Kaki memelopori gerakan masyarakat untuk melangkah maju ke depan, walau mungkin melalui duri dan onak. Sedangkan lengan yang kuat berfungsi mowate, yaitu menebas kiri-kanan segala yang menghambat langkah maju ke arah kebaikan. Kelompok-kelompok ini pada waktu-waktu yan ditentukan bergabung dalam sidang gabungan yang disebut Morokoa (kebersamaan). Dalam pertemuan gabungan ini, tata krama mesti selalu diperhatikan seperti dalam bertutur dan bersikap.

Tata krama itu bersumber dari sifat dasar manusia juga, yaitu pada ate (hati) dan Ulu Aso (satu kepala). Dengan ate (hati), agar orang selalu berbudi baik dan murah hati (me’aroa). Kemudian pada kepala yang satu terdapat mata, bibir/mulut, telinga, hidung dan otak. Dengan mata agar orang dapat melihat kondisi kehidupan masyarakat yang perlu diperbaiki, telinga untuk dapat mendengar keluhan, harapan dan pendapat orang lai. Dengan hidung agar pekah mencium gelagat yang kurang baik untuk cepat dihilangkan. Semua ini harus di bawah kendali otak atau melalu pemikiran sebagai pengontrol. Dengan demikian diharapkan dapat diwujudkan kehidupan bersama yang rukun, damai dan sejahtera.

Pengucapan Syukur

Setiap akhir panen padi, diselenggarakan pesta raya Monsese lewe (mengiris daun), yaitu pesta pengucapan syukur pada penguasa alam yang telah memberi berkat. Pesta dipusatkan di rumah besar yang disebut Leweroda. Dan yang memimpin upacara harus seorang Umbuh Inia. Pangkat Umbuh Inia hanya boleh dijabat seorang perempuan sepuh. Karena menurut paham leluhur, perempuan sebagai yang melahirkan manusia, penerus generasi manusia turun-temurun. Ia sangat disegani  dan dihormati. Tradisi pengucapan syukur ini sampai sekarang masih tetap ada dengan nama baru  Padungku, hanya tata caranya telah disesuaikan dengan  perkembangan baru.

 Penghormatan Tinggi pada wanita

Selain monsese lewe, setiap kali ada anak yang lahir harus dilakukan upacara adat. Kalau yang lahir anak perempuan dilakukan adat mewolia. Tetapi kalau yang lahir laki-laki, maka yang dilakukan adat moreapi (pendarahan), artinya penyembelian korban hewan, biasanya babi. Darahnya dialirkan yang dipercaya untuk keselamatan sang bayi. Tugas inipun hanya boleh dilaksanakan oleh seorang perempuan sepuh yang disebut Woliampu’u.Jabatan ini dapat dirangkap oleh Umbuh Inia.

Acara Adat Kematian

Tugas lain dari Wolimpu’u adalah memimpin upacara adat pelayanan kematian yang disebut molensepi. Ia memimpin upacara ritual dekat jenazah. Dalam kelambu layar hitam besar ia menyanyi memanggil-manggil arwah yang meninggal sambil memegang wadah seperti tempurung tertutup kain hitam. Apabila dalam wadah itu telah nampak benda mengkilat bercahaya seperti kunang-kunang, itu tandanya arwahnya telah masuk. Dia akan terus menyanyi yang dipercaya untuk mengiringkan arwah itu menuju suruga di gunung tinggi Wawonango atau Ponteo’a dekat Tingkea’o. Sesudah arwahnya pergi, barulah jenazahnya dikuburkan. Dan setelah kembali dari pemakaman dilakukanlah pesta makan bersama.

Pertahanan

Kompeni-Belanda memang belum menjangkau wilayah Ture’a. Tetapi pengaruh politik adu-domba mereka sudah terasa. Perang antar suku menjadi sering terjadi. Karena itu Enge Melari membangun tiga benteng pertahanan sebagai tempat berlindung seluruh rakyat bila terjadi perang. Pertama di sebelah selatan, di atas gunung Salimponai / Pa Bente. Kedua, Benteng Pa’ano-Lasi di bagian tengah dan ketiga benteng Waawulo di bagian utara.

Tadulako Enge Melari memilih tinggal di benteng Waawulo. Bila berada di Waawulo ia biasanya beristrahat  di Gunung Bakara atau Ta’usape, dua gunung yang berdekatan dan saling berhadapan. Itulah sebabnya sering disebut Gunung Dua Bersaudara. Di situ terdapat sumber air panas Sosoninggi (Sosopa). Kalau ke Bahono, ia tinggal di Lasama dan kalau ke Ture’a tinggal di Leweroda, Lintumewure.

Kira-kira pada abad 16, benteng Salimponai/Pa Bente mendapat serangan tiba-tiba dari pihak yang tidak jelas asalnya. Karena kurang siap, benteng berhasil dihancurkan musuh dan banyak rakyat yang terbunuh.

Yang lainnya lari kucar-kacir ke benteng Pa’ano-Lasi dan Waawulo. Laskar-laskar Lasi-Waawulo segera datang membantu, tetapi pihak penyerang telah melarikan diri. Semua korban dikuburkan di Pontaha, Kororeo. Tidak lama setelah itu terdengar kabar, musuh dari Asotowa (seberang) Danau Matano akan menyerang.

Tidak berapa lama orang-orang asal Ture’a yang mendiami wilayah sepanjang Sungai Porupu dan mulai diganggu. Tadulako Enge Melari suatu hari berada di rumah peristrahatannya di Gunung Bakara. Ia dan isterinya turun ke sungai kecil Sosoninggi dekat Sosopa mau mengambil daun sagu untuk dianyam menjadi atap. Ketika Tadulako sedang di atas pohon sagu, tiba-tiba muncul tiga mata-mata musuh menyerang isterinya hingga tewas. Enge Melari turun dan terus mengejar para pembunuh hingga ke arah gunung Sokoiyo.

       Ketiga orang itu sudah kelelahan lalu duduk istrahat. Enge Melari dibantu beberapa pengiringnya lalu mengadakan pengepungan. Mereka ditangkap dan semuanya langsung dihukum mati. Mayat isterinya kemudian dibawa ke kunepo (gua batu).Lasama dan dimakamkan di sana dengan upacara adat. Tadulako Enge Melari sangat terpukul dengan kehilangan isterinya. Tidak lama setelah itu ia sendiripun wafat. Ia dimakamkan dengan upacara kebesaran adat Ture’a dekat makam isterinya di Kunepo Lasama, Bahono.

Ia digantikan pemimpin kedua, Mbile. Tetapi Tadulako baru ini sangat keras. Kejam kepada rakyat yang berani membantahnya. Dan bila melihat ada harta rakyat yang diinginkannya, ia tak segan-segan merampasnya. Konon, ia berilmu tinggi. Karena itu ia sangat ditakuti. Kalau sedang marah, terlihat seperti ada kucing melompat-lompat di bahu dan kepalanya. Di dada atau punggungnya ada kaki seribu merayap-rayap. Ia lebih suka tinggal di Boluka Bahono. Pada masa kekuasaannyalah banyak rakyat meninggalkan Ture’a mencari tempat yang lebih damai.

Pada suatu hari ketika ia hanya ditemani beberapa hambanya, sekelompok rakyat yang membencinya tibatiba datang membakar rumahnya sampai hangus seluruhnya. Seketika terjadilah hujan lebat disertai kilat dan   guntur. Bekas reruntuhannya berubah menjadi danau kecil.

         Sejak itu ia tak pernah muncul lagi. Diduga ikut terbakar atau menghiang. Ia lalu digantikan Ue Lagasi sebagai Tadulako yang ketiga.

Suku Bahono atau Tomobahono memang hanya suku bangsa yang kecil. Pada abad 17-18 penduduknya hanya sekitar 2000 jiwa. Mereka menempati empat dataran yang terpisah oleh bukit-bukit kecil yaitu : Dataran Ture’a, sekarang masuk wilayah Nuha Sulawesi Selatan, dataran Bahono, dataran Koronene dan dataran Lembo.

Keempat dataran ini diapit deretan gunung-gunung. Di sebelah barat oleh gunung Wanameusa, gunung Po’emoa, gunung Tongalala, Inasino dan gunung Tatangkuli. Sedang di bagian selatan oleh gunung Sokoiyo dan sebelah timur oleh gunung Aanteo yang memanjang mendekati Danau Matano.  

Terdapat banyak sungai kecil yang membantu memberi kesuburan tanah, sebagai sumber penghidupan yang tidak pernah kering sekalipun pada musim kemarau panjang.

Ada empat sungai besar yang terkenal yaitu Po’ahaa, Ulu’anso, Kasitawa dan sungai Wawompure.Sungai terakhir ini berbatu-batu sebesar mangga warna hitam dan berpasir coklat tua, airnya jernih dan jarang banjir. Sedangkan sungai Ulu’anso yang juga berbatu-batu hitam, besar dan kecil, airnya jernih, sejuk, sungainya mengalir dari arah hutan yang diawasi ketat oleh penduduk kelestariannya.

          Dari balik batu-batunya yang membuat air sungai ini beriak-riak dan arusnya tidak terlalu kuat, banyak  udang-udang air tawar sebesar ibu jari kaki orang dewasa dan kepiting sungai. Pada tepi yang agak tenang, banyak ikan sikonui yang biasanya dapat membuat  orang duduk memancing berjam-jam. Ikan ini memang sangat enak, apalagi bila dipepes.

          Sungai Ulu’anso tidak pernah banjir dan selalu jernih walaupun terjadi hujan lebat. Ditambah dengan arusnya yang tidak begitu kuat, orang tua tidak pernah khawatir kalau anak-anaknya bermain-main di sungai ini.

Berbeda dengan sungai-sungai lain. Kalau banjir, sungguh dahsyat, sehingga orang harus menjauhinya. Di tempat inilah leluhur-leluhur moyang suku Bahono / Lasi berdiam dan mengolah tanah perladangan turun-temurun sampai generasi sekarang. Jadi tanah tersebut telah menjadi Tanah Adat atau Ulayat dari suku bangsa Bahono / Tolasi. Disebut Tolasi, karena benteng pertahahan mereka dahulu di atas gunung Lasi.    

 Pada masa perang, seluruh warga berdiam dalam benteng. Sekelilingnya dikawal para lasykar dengan berbagai perlengkapan perang seperti ponai, kanta dan kansai.

Pakar hukum adat Prof. Mr. Tel Haar BZn memasukkan suku bangsa Mori termasuk Bahono dalam lingkungan hukum adat Toraja. Sedangkan sejumlah cendekiawan Bahono tidak menerima ataupun menolakkesimpulan itu. Kenyataannya masyarakat Toraja merupakan suku tersendiri yang dikenal mendiami wilayah Sulawesi Selatan bagian utara dan masih jarang ditemukan di antara masyarakat Bahono.

 


 

Contact Form

Name

Email *

Message *