Saturday, August 15, 2020

Sejarah Perjuangan Suku Mori Bahono versi "TBB" (3)

 

Makam para leluhur di Uluanso

Bermula dari Para Penjelajah Laut, Tumbuh kembanglah Suku Bahono.

 

S

uku Tomobahono / Tolasi dahulu kala disebut juga

Toture’a. Menurut ceritera orang tua-tua, konon nama Ture’a berasal dari kisah seorang kepala suku bernama Enge Melari. Tubuhnya tinggi besar dan kuat. Ia seorang pemberani dan senang bertualang.

Dalam petualangannya ia tiba di tepi sungai Porupu dan berjumpa dengan penduduk asli. Mereka mendiami sepanjang pinggir sungai ini dari hulunya di Sanimbi sampai Lintumewure. Karena itu mereka sering disebut To Wiwi Laa, artinya orang pinggir sungai. Jumlah mereka masih sedikit dan dipimpin oleh seorang Tadulako atau hulubalang yang juga merangkap sebagai Ketua Adat.

Konon Enge Melari adalah seorang perantau dari seberang lautan. Kapalnya terbawa arus laut dan angin kemudian kandas dekat Kendari. Ia berdoa mohon kekuatan dan perlindungan dari penguasa alam penciptanya lalu meninggalkan kapal.

         Setelah masuk hutan keluar hutan, mendaki dan menuruni gunung serta menyeberangi sungai akhirnya tibalah ia di tempat itu. Ia minta diijinkan bergabung dengan mereka. Tutur nkata dan sikapnya yang santun serta kecakapannya menyebabkan ia dapat diterimadengan baik oleh Tadulako kelompok itu.        

          Pemuda ini lalu membangun sebuah rumah besar dan di situlah ia diminta mengajarkan segala ilmu dan pengalamannya. Ia makin disenangi, bahkan akhirnya ia terpilih menjadi Tadulako yang baru.

Pada suatu siang yang panas terik, ia bersama orang-orangnya berjalan dan tiba di suatu tempat dan beristrahat melepas lelah di bawah pohon rindang. Ia seorang yang taat melaksanakan adat pemujaan menurut kepercayaannya. Ketika duduk bersemedi, ia seperti mendapat bisikan agar menebaskan pedangnya pada pohon tempatnya berteduh. Apa yang terjadi ? Kulit pohon itu mengeluarkan air berwarna merah. Mengalir aeperti rea (darah). Maka mereka namakanlah tempat itu Ture’a.

Dan ketika kemudian mereka bertambah banyak dan menetap di situ. Mereka disebut To Ture’a (orang Ture’a). Dibawah pimpinan Enge Melari, suku Ture’a rajin bertani, mengolah hasil hutan seperti rotan dan damar.

Mereka juga cekatan dalam berburu hewan liar seperti rusa dan babi hutan, baik dengan menggunakan anjing pemburu maupun jebakan seperti dampa dan botika. Botika dibuat menggunakan kayu lentur yang dipasangi ranjau bambu runcing. Ada juga jebakan yang disebut dunsi, yang terbuat dari batang pohon besar. Apabila tali penahannya  terunjak, maka batang pohon yang berat itu akan jatuh menimpa mahluk apa saja yang lewat di bawahnya.

Mereka juga trampil menangkap ayam hutan dengan menggunakan winggaro, suatu jerat yang juga menggunakan kayu lentur dan tali. Bila ayam hutan menginjak atau mematok umpan makanan yang ditaburkan, maka kaki atau lehernya akan terjerat. Untuk menangkap ikan wiku (moa) di kali yang dagingnya enak dan gurih, mereka mempunyai cara tersendiri.

Dengan menggunakan umpan dari lipan, katak atau ulat sagu

Nostalgia di Sungai Uluanso Tanah Bahono (Desember 2013)

yang dicucukkan pada duri daun rotan, mereka mampu memunculkan ikan moa ke permukaan air dan kemudian menombaknya dengan sarampa sejenis tombak bermata tiga. Demikian sedikit gambaran mengenai mata pencaharian suku Ture’a.

Tetapi makin lama nama Ture’a jarang disebut-sebut atau hampir tidak dikenal lagi oleh generasi kemudian. Yang dikenal sampai sekarang adalah Tomobahono atau Tolasi.

Menurut peta, suku bangsa ini berdiam di sebelah selatan daerah Petasia-Kolonodale, Sulawesi Tengah. Disebelah selatan berbatasan dengan Nuha Sulawesi Selatan yang merupakan tempat kediaman suku Tomatano yang bermukim di sekitar tepi Danau Matano.

Dengan semakin bertambahnya jumlah mereka, maka dibuatlah aturan tata kehidupan bersama yang kemudian menjadi adat yang harus dipatuhi semua orang.

Warga dibagi dalam kelompok-kelompok dengan fungsi dan tanggung jawab masing-masing.Karua, Tokia Mokora (Penjaga / Pengawal) dan Pengawas. Kelompok Karua, merupakan kelompok inti. Disumbolkan dengan kepala manusia yang tugasnya memikirkan dan memajukan kesejahteraan dan perekonomian seluruh masyarakatnya. Kelompok Tokia Mokora, dilambangkan dengan kaki dan lengan yang kuat. Kaki memelopori gerakan masyarakat untuk melangkah maju ke depan, walau mungkin melalui duri dan onak. Sedangkan lengan yang kuat berfungsi mowate, yaitu menebas kiri-kanan segala yang menghambat langkah maju ke arah kebaikan. Kelompok-kelompok ini pada waktu-waktu yan ditentukan bergabung dalam sidang gabungan yang disebut Morokoa (kebersamaan). Dalam pertemuan gabungan ini, tata krama mesti selalu diperhatikan seperti dalam bertutur dan bersikap.

Tata krama itu bersumber dari sifat dasar manusia juga, yaitu pada ate (hati) dan Ulu Aso (satu kepala). Dengan ate (hati), agar orang selalu berbudi baik dan murah hati (me’aroa). Kemudian pada kepala yang satu terdapat mata, bibir/mulut, telinga, hidung dan otak. Dengan mata agar orang dapat melihat kondisi kehidupan masyarakat yang perlu diperbaiki, telinga untuk dapat mendengar keluhan, harapan dan pendapat orang lai. Dengan hidung agar pekah mencium gelagat yang kurang baik untuk cepat dihilangkan. Semua ini harus di bawah kendali otak atau melalu pemikiran sebagai pengontrol. Dengan demikian diharapkan dapat diwujudkan kehidupan bersama yang rukun, damai dan sejahtera.

Pengucapan Syukur

Setiap akhir panen padi, diselenggarakan pesta raya Monsese lewe (mengiris daun), yaitu pesta pengucapan syukur pada penguasa alam yang telah memberi berkat. Pesta dipusatkan di rumah besar yang disebut Leweroda. Dan yang memimpin upacara harus seorang Umbuh Inia. Pangkat Umbuh Inia hanya boleh dijabat seorang perempuan sepuh. Karena menurut paham leluhur, perempuan sebagai yang melahirkan manusia, penerus generasi manusia turun-temurun. Ia sangat disegani  dan dihormati. Tradisi pengucapan syukur ini sampai sekarang masih tetap ada dengan nama baru  Padungku, hanya tata caranya telah disesuaikan dengan  perkembangan baru.

 Penghormatan Tinggi pada wanita

Selain monsese lewe, setiap kali ada anak yang lahir harus dilakukan upacara adat. Kalau yang lahir anak perempuan dilakukan adat mewolia. Tetapi kalau yang lahir laki-laki, maka yang dilakukan adat moreapi (pendarahan), artinya penyembelian korban hewan, biasanya babi. Darahnya dialirkan yang dipercaya untuk keselamatan sang bayi. Tugas inipun hanya boleh dilaksanakan oleh seorang perempuan sepuh yang disebut Woliampu’u.Jabatan ini dapat dirangkap oleh Umbuh Inia.

Acara Adat Kematian

Tugas lain dari Wolimpu’u adalah memimpin upacara adat pelayanan kematian yang disebut molensepi. Ia memimpin upacara ritual dekat jenazah. Dalam kelambu layar hitam besar ia menyanyi memanggil-manggil arwah yang meninggal sambil memegang wadah seperti tempurung tertutup kain hitam. Apabila dalam wadah itu telah nampak benda mengkilat bercahaya seperti kunang-kunang, itu tandanya arwahnya telah masuk. Dia akan terus menyanyi yang dipercaya untuk mengiringkan arwah itu menuju suruga di gunung tinggi Wawonango atau Ponteo’a dekat Tingkea’o. Sesudah arwahnya pergi, barulah jenazahnya dikuburkan. Dan setelah kembali dari pemakaman dilakukanlah pesta makan bersama.

Pertahanan

Kompeni-Belanda memang belum menjangkau wilayah Ture’a. Tetapi pengaruh politik adu-domba mereka sudah terasa. Perang antar suku menjadi sering terjadi. Karena itu Enge Melari membangun tiga benteng pertahanan sebagai tempat berlindung seluruh rakyat bila terjadi perang. Pertama di sebelah selatan, di atas gunung Salimponai / Pa Bente. Kedua, Benteng Pa’ano-Lasi di bagian tengah dan ketiga benteng Waawulo di bagian utara.

Tadulako Enge Melari memilih tinggal di benteng Waawulo. Bila berada di Waawulo ia biasanya beristrahat  di Gunung Bakara atau Ta’usape, dua gunung yang berdekatan dan saling berhadapan. Itulah sebabnya sering disebut Gunung Dua Bersaudara. Di situ terdapat sumber air panas Sosoninggi (Sosopa). Kalau ke Bahono, ia tinggal di Lasama dan kalau ke Ture’a tinggal di Leweroda, Lintumewure.

Kira-kira pada abad 16, benteng Salimponai/Pa Bente mendapat serangan tiba-tiba dari pihak yang tidak jelas asalnya. Karena kurang siap, benteng berhasil dihancurkan musuh dan banyak rakyat yang terbunuh.

Yang lainnya lari kucar-kacir ke benteng Pa’ano-Lasi dan Waawulo. Laskar-laskar Lasi-Waawulo segera datang membantu, tetapi pihak penyerang telah melarikan diri. Semua korban dikuburkan di Pontaha, Kororeo. Tidak lama setelah itu terdengar kabar, musuh dari Asotowa (seberang) Danau Matano akan menyerang.

Tidak berapa lama orang-orang asal Ture’a yang mendiami wilayah sepanjang Sungai Porupu dan mulai diganggu. Tadulako Enge Melari suatu hari berada di rumah peristrahatannya di Gunung Bakara. Ia dan isterinya turun ke sungai kecil Sosoninggi dekat Sosopa mau mengambil daun sagu untuk dianyam menjadi atap. Ketika Tadulako sedang di atas pohon sagu, tiba-tiba muncul tiga mata-mata musuh menyerang isterinya hingga tewas. Enge Melari turun dan terus mengejar para pembunuh hingga ke arah gunung Sokoiyo.

       Ketiga orang itu sudah kelelahan lalu duduk istrahat. Enge Melari dibantu beberapa pengiringnya lalu mengadakan pengepungan. Mereka ditangkap dan semuanya langsung dihukum mati. Mayat isterinya kemudian dibawa ke kunepo (gua batu).Lasama dan dimakamkan di sana dengan upacara adat. Tadulako Enge Melari sangat terpukul dengan kehilangan isterinya. Tidak lama setelah itu ia sendiripun wafat. Ia dimakamkan dengan upacara kebesaran adat Ture’a dekat makam isterinya di Kunepo Lasama, Bahono.

Ia digantikan pemimpin kedua, Mbile. Tetapi Tadulako baru ini sangat keras. Kejam kepada rakyat yang berani membantahnya. Dan bila melihat ada harta rakyat yang diinginkannya, ia tak segan-segan merampasnya. Konon, ia berilmu tinggi. Karena itu ia sangat ditakuti. Kalau sedang marah, terlihat seperti ada kucing melompat-lompat di bahu dan kepalanya. Di dada atau punggungnya ada kaki seribu merayap-rayap. Ia lebih suka tinggal di Boluka Bahono. Pada masa kekuasaannyalah banyak rakyat meninggalkan Ture’a mencari tempat yang lebih damai.

Pada suatu hari ketika ia hanya ditemani beberapa hambanya, sekelompok rakyat yang membencinya tibatiba datang membakar rumahnya sampai hangus seluruhnya. Seketika terjadilah hujan lebat disertai kilat dan   guntur. Bekas reruntuhannya berubah menjadi danau kecil.

         Sejak itu ia tak pernah muncul lagi. Diduga ikut terbakar atau menghiang. Ia lalu digantikan Ue Lagasi sebagai Tadulako yang ketiga.

Suku Bahono atau Tomobahono memang hanya suku bangsa yang kecil. Pada abad 17-18 penduduknya hanya sekitar 2000 jiwa. Mereka menempati empat dataran yang terpisah oleh bukit-bukit kecil yaitu : Dataran Ture’a, sekarang masuk wilayah Nuha Sulawesi Selatan, dataran Bahono, dataran Koronene dan dataran Lembo.

Keempat dataran ini diapit deretan gunung-gunung. Di sebelah barat oleh gunung Wanameusa, gunung Po’emoa, gunung Tongalala, Inasino dan gunung Tatangkuli. Sedang di bagian selatan oleh gunung Sokoiyo dan sebelah timur oleh gunung Aanteo yang memanjang mendekati Danau Matano.  

Terdapat banyak sungai kecil yang membantu memberi kesuburan tanah, sebagai sumber penghidupan yang tidak pernah kering sekalipun pada musim kemarau panjang.

Ada empat sungai besar yang terkenal yaitu Po’ahaa, Ulu’anso, Kasitawa dan sungai Wawompure.Sungai terakhir ini berbatu-batu sebesar mangga warna hitam dan berpasir coklat tua, airnya jernih dan jarang banjir. Sedangkan sungai Ulu’anso yang juga berbatu-batu hitam, besar dan kecil, airnya jernih, sejuk, sungainya mengalir dari arah hutan yang diawasi ketat oleh penduduk kelestariannya.

          Dari balik batu-batunya yang membuat air sungai ini beriak-riak dan arusnya tidak terlalu kuat, banyak  udang-udang air tawar sebesar ibu jari kaki orang dewasa dan kepiting sungai. Pada tepi yang agak tenang, banyak ikan sikonui yang biasanya dapat membuat  orang duduk memancing berjam-jam. Ikan ini memang sangat enak, apalagi bila dipepes.

          Sungai Ulu’anso tidak pernah banjir dan selalu jernih walaupun terjadi hujan lebat. Ditambah dengan arusnya yang tidak begitu kuat, orang tua tidak pernah khawatir kalau anak-anaknya bermain-main di sungai ini.

Berbeda dengan sungai-sungai lain. Kalau banjir, sungguh dahsyat, sehingga orang harus menjauhinya. Di tempat inilah leluhur-leluhur moyang suku Bahono / Lasi berdiam dan mengolah tanah perladangan turun-temurun sampai generasi sekarang. Jadi tanah tersebut telah menjadi Tanah Adat atau Ulayat dari suku bangsa Bahono / Tolasi. Disebut Tolasi, karena benteng pertahahan mereka dahulu di atas gunung Lasi.    

 Pada masa perang, seluruh warga berdiam dalam benteng. Sekelilingnya dikawal para lasykar dengan berbagai perlengkapan perang seperti ponai, kanta dan kansai.

Pakar hukum adat Prof. Mr. Tel Haar BZn memasukkan suku bangsa Mori termasuk Bahono dalam lingkungan hukum adat Toraja. Sedangkan sejumlah cendekiawan Bahono tidak menerima ataupun menolakkesimpulan itu. Kenyataannya masyarakat Toraja merupakan suku tersendiri yang dikenal mendiami wilayah Sulawesi Selatan bagian utara dan masih jarang ditemukan di antara masyarakat Bahono.

 


 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *