Saturday, January 25, 2020

Enaknya jadi Koruptor sekarang !!


Digiring dengan tangan terborgol dan jaket kuning, nampaknya pada jaman now tidak lagi menimbulkan rasa malu kepada para tersangka korupsi. Persetan dengan rasa malu, kata mereka mungkin dalam hati.
Sekarang korupsi sudah seperti hal biasa. Orang setua yang sudah banyak cucu agaknya tidak malu lagi dan tidak perduli lagi akan perlunya kehormatan dan nama baik yang mestinya diturunkan kakek-nenek dan orangtua kepada mereka. Tak mau tahu lagi dengan kehormatan atau nama baik orangtua yang membesarkan mereka atau nama baik keluarga besar atau organisasi di mana mereka berkiprah.
Yang penting sisa hasil korupsi yang masih tersembunyi atau luput dari penyitaan KPK, polisi atau jaksa masih lumayan banyak. Harta hasil penyucian dari korupsi tapi diaku sebagai harta hasil keringat sendiri atau warisan nenek-moyang, tetap aman, tidak diganggu-ganggu.
Sedang di penjara nanti bisa dinego agar dapat kamar setaraf hotel berbintang. Bisa dapat ijin jalan-jalan dengan alasan sekedarnya. Masa hukuman bisa dinego. Bisa sejak masa penyidikan, penuntutan bahkan sampai pada keputusan pengadilan pada setiap tingkat. Tergantung pintar-pintarnya si koruptor lah. Dan nyatanya hukuman para koruptor kini umumnya ringan-ringan.
Sesudah vonis jatuh, enaknya lagi sekarang koruptor boleh ikut menikmati bermacam-macam remisi. Ada remisi hari raya. Ada remisi hari Proklamasi dan konon ada cuti setelah menjalani sekian persen masa hukuman. Bahkan pernah terbesit niatan untuk membuat semacam  “kamar khusus asmara” bagi yang sudah beristeri atau bersuami.
Dan setelah keluar dari penjara nanti, sisa tabungan hasil korupsi yang tersembunyi didapati sudah beranak-cucu alias berbunga-bunga. Dan bukan itu saja. Mantan kepala daerah atau politisi mantan narapidana korupsi sekarang enaknya bisa dipilih lagi menjadi pejabat dan wakil rakyat.
Makanya rasa kapok dan rasa takut menjadi koruptor itu  perlu ditingkatkan lagi sekarang. Warna jaket para tersangkanya jangan lagi kuning sewarna jaket kebanggaan Partai Golkar, Universitas Indonesia atau Universitas Terbuka. Perlu dirancang ulang dengan motif belang-belang. Antara lain seperti kuda zebra.
Demikian pula semua harta milik tersangka koruptor dikenakan status sita sampai dia dapat membuktikan melalui pengujian terbalik bahwa harta itu benar-benar hasil keringat sendiri dan bukan hasil korupsi. Disamping itu dalam vonnis hakim, sanksi denda tidak boleh kurang dari kerugian negara. Dan bila hartanya tidak mencukupi, tuntutan ganti kerugian negara diturunkan kepada anak-cucunya. Dengan demikian diharapkan orang akan berpikir buat apa korupsi kalau toh nanti akan diambil negara lagi. Apalagi kalau sampai akan membebani anak cucunya. ***

Ah, KPK ; Ah, PDIP !!


Inginnya sih, mungkin KPK bentukan Undang-undang KPK baru No.19 Tahun 2019 mau menunjukkan prestasi dan sekali gus menunjukkan tidak benar kalau KPK dengan undang-undang baru ini akan melemah seperti yang banyak ditudingkan.

Sejenak memang terkesan mengagumkan. Seorang petinggi KPU yang selalu disegani itu berani mereka tangkap dan menjebloskannya ke dalam jeruji besi setelah dilakukannya operasi OTT (operasi tangkap tangan). Lalu seorang kader partai utama pendukung pemerintah PDI Perjuangan dimasukkan dalam daftar buronan setelah minggat ke luar negeri.

Hanya sayang operasi tangkap tangan KPK pimpinan Firli Bahuri ini dinilai menimbulkan banyak misteri dan tanda tanya. Demikian pula di sekitar upaya penggeledaan di kantor PDIP yang gagal dan penahanan penyidik KPK di PTIK. Tak ada informasi yang tuntas dari KPK. Kalaupun ada satu dengan yang lain saling bertentangan. Misalnya, sudah ada atau tidaknya surat ijin dari Badan Pengawas KPK di tangan penyidik KPK ketika penggeledahan dan penyitaan akan dilakukan. Tentang keberadaan tersangka Harun Masiku, kader PDIP ketika akan dilakukan penangkapan  simpang siur. Masih di dalam negerikah atau sudah berangkat ke luar negeri. Benarkah Badan Pengawas KPK lamban memberikan surat ijin. Benarkah ada perbedaan diantara angota Bawas mengenai ijin penggeledahan dan ijin penyitaan. Dalam satu paketkah atau sendiri-sendiri ?

Beda dengan ketika Johan Budi dan kemudian diganti Febri Diansyah masih menjadi juru bicara KPK. Informasi dan penjelasan mereka yang didukung pimpinan KPK  mengenai OTT yang baru atau sedang dilakukan KPK cukup jelas. Lengkap dan tuntas. Sehingga tidak menimbulkan banyak tanda tanya, simpang-siur informasi dan salah paham.

Ada sejumlah tanda tanya, kalau tak bisa dibilang misteri, yang perlu penjelasan sekitar OTT tersebut. Mungkin sebagian nanti akan menjadi jelas dengan sendirinya ketika Harun Masiku(HM) sudah tertangkap dan “bernyanyi” siapa-siapa saja yang terlibat dan menginisiasi pemberian uang suap 90 milyard rupiah yang konon diminta WH kepada HM  sebagai  imbalan untuk meloloskan dirinya menggantikan kader PDIP Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia di DPR-RI.

Padahal, menurut Undang-undang, yang berhak menggantikan almarhum adalah Riezky Aprilia sebagai pengumpul suara terbanyak kedua. Alasan PDIP mengusulkan Harun Masiku meskipun perolehan suaranya jauh di bawah Riezky adalah sesuai Keputusan dan fatwa  Mahkamah Agung yang telah memberi hak kepada pimpinan pusat partai itu  mengalihkan jumlah perolehan suara almarhum kepada kadernya yang lain. Tetapi KPU secara resmi menolak klaim PDIP itu dan bersikukuh yang berhak adalah Riezki Aprilia yang menduduki urutan kedua.

Hal lain yang menjadi tanda tanya mengenai keberadaan penyidik KPK di gedung PTIK yang kemudian berujung pada penahanan petugas negara itu selama beberapa jam bahkan sampai diperiksa urine. Ada informasi yang mengatakan mereka hanya menumpang shalat di sana. Tetapi informasi lain menyebutkan ada kaitannya dengan keberadaan Hasto Kristianto, sekjen PDIP yang beberapa kali disebut-sebut dalam kasus pengusulan HM sebagai pengganti antar waktu (PAW) Nazarudin Kiemas almarhum.

Kehadiran Menkumham Yazona Laoly yang juga fungsionaris PDIP dalam pengumuman pembentukan Tim  Hukum PDIP oleh sejumlah pengamat dinilai tidak etis walaupun tidak melanggar hukum. Kedatangan tim itu ke Mabes Polri menyangkut pemberitaan massmedia, ada yang menilai seperti mau menakut-nakuti massmedia. Padahal, kejadian sebelumnya yang mencegah para penyidik KPK melakukan penggegedahan di kantor PDIP sehingga gagal,  telah memberi kesan kurang simpatik kepada partai pendukung utama pemerintah itu.

Janji para juru bicara KPK yang baru Ipi Maryati dan Ali Fikri saat konperensi pers mereka pertama 27 Desember 2019 yang lalu bahwa akan tetap menjaga keterbukaan informasi publik dan akan lebih bijak ternyata tidak jadi kenyataan.

Banyak lagi yang membuat orang dibingungkan oleh simpang-siur informasi. Seperti polemik antara KPU di satu pihak dan PDIP dan MA di lain pihak mengenai dasar hukum yang tepat untuk kasus PAW anggota DPR dalam kasus ini. Argementasi KPU yang mendasarkan Undang-undang (UU No.7/2017 tentang Pemilu pasal 426 dan UU MD3 psl 242) atau PDIP yang berdasarkan Keputusan dan fatwa MA ? Setahu penulis yang bukan orang hukum, MA hanya berwenang menguji peraturan di bawah Undang-undang. Lain dengan Mahkamah Konstitusi yang fungsinya memang menguji Undang-undang. Semua ini mesti dijernihkan agar masyarakat tidak terus-menerus dibuat bingung. (Sam Lapoliwa mantan wartawan bid. Hukum dan PNS)***

MOTIF MUNCULNYA KERAJAAN-KERAJAAN FIKTIF


Akhir-akhir ini di wilayah NKRI bermunculan banyak kerajaan-kerajaan fiktif. Ada Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Sunda Empire di Bandung dan lain-lainnya. Pemunculan parade kerajaan di keraton Purworejo oleh baginda Raja Toto Santosa dan Permaisuri Fanni Amidadia dengan menunggang kuda serta dipagari para maha menteri dengan seragam mereka cukup indah membuat para pemirsa televisi sejenak terpukau. Belum lagi sidang kerajaan yang semarak itu.

Para politisi dan para aparat keamanan serta penguasa di seantero negeri sontak terkesima. Ada negara asing di NKRI ? Maka polisipun mulai bergerak. Sang raja dan ratu pun diambil. Dan kedua pasangan ini, yang ternyata bukan suami isteri resmi, danh mengaku bukan keturunan bangsawan, akhirnya mengaku kerajaan mereka hanya fiktif serta meminta maaf.

Diskusi-diskusi para ahli dan tokoh masyarakatpun ramai memperbincangkan apa gerangan yang terjadi. Ada yang berpendapat semua itu timbul karena alasan politik. Kecewa dengan situasi negara saat ini. Ada pula yang berpendapat karena tekanan ekonomi. Tapi menurut penulis ini tak lepas dari dorongan kebutuhan seperti dikemukakan Abraham Maslow yang coba menganalisis delapan tingkat kebutuhan manusia.

Mulai dari kebutuhan primer seperti makanan, pakaian, perumahan, keamanan, kesehatan, pendidikan dan terakhir aktualitas diri. Nampaknya yang paling menonjol dalam permasalan ini adalah motif kebutuhan aktualitas diri. Ingin dihargai. Mau menunjukkan bahwa dia pun ada dan juga pantas dapat kehormatan. Meskipun ada sedikit motif ekonominya.

Bayangkan. Dengan modal hanya beberapa juta, seseorang perangkat desa bisa tampil dalam seragam berwibawa berbintang tiga dengan jabatan Maha Menteri !  Lebih mentereng daripada seragam kebesaran perwira tinggi TNI/Polri bahkan dari pakaian baginda raja di manapun. Apalagi diiming-iming dengan gaji dalam mata uang dollar dan menjadi penguasa dunia !! Rakyat yang ikut heran dan tertarik, ramai-ramai datang ingin melihat  dan tahu lebih banyak tetang kerajaan aneh ini.

Maka tak heran kalau Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo malahan nampak rada senang juga dengan peristiwa langka ini. Ia ikut gembira melihat keberuntungan rakyatnya di sekitar lokasi. Para pedagang kecil, pemilik lahan parkir, penjual souvenir serta makanan dan minuman omzet mereka naik berlipat ganda. Rumah-rumah sekitar mendadak jadi penginapan. Maka terbetiklah idee untuk menjadikan keraton jadi-jadian itu sebagai obyek wisata dan mewanti-wanti aparat keamanan agar tidak ditutup. Malahan ia merencanaman untuk dikembangkan. Tentu saja dengan melakukan beberapa perubahan. Mengarahkannya semata-mata hanya untuk hiburan, seni dan kebudayaan pada umumnya.***

MENGAPA POHON-POHON DI MONAS PENTING


Pada pertengahan tahun 70-an, salah satu masalah yang cukup memusingkan para petinggi di Pemda DKI Jakarta adalah masalah genangan air di lapangan Monumen Nasional (Monas). Mengapa ? Karena tempat itu bukan saja pas berhadapan dengan istana Merdeka yang menjadi salah satu simbol negara, tetapi juga menjadi obyek wisata dengan adanya tugu Monas yang selalu ramai dikunjungi orang. Sedang di satu masa, saat musim panas, sekitar Jakarta Pusat terasa makin panas dan polusi udara makin meningkat seiring dengan makin meningkatnya jumlah kendaraan yang setiap jam menghembuskan gas buangannya.
Untuk mengalirkan genangan air  keluar dari bekas lapangan Ikada atau yang pernah juga populer dengan lapangan Gambir itu tidaklah gampang. Kondisi lapangan yang rata bahkan di beberapa lokasi ada lekukan menyebabkan air di musim hujan susah mengalir ke dalam parit sekeliling yang sudah digali dalam-dalam.
Maka kemudian ditemukanlah solusi, yaitu dengan melipatgandakan penanaman pohon-pohon pelindung. Diharapkan pohon-pohon itu, kebanyakan akasia karena bisa tumbuh dengan  cepat, akan dapat menghisap habis genangan-genangan air itu di musim hujan. Dan dimusim panas dapat mengurangi panasnya hawa di sekitar serta mengurangi polusi udara.
Selang beberapa tahun terbukti pohon-pohon yang sudah rindang itu memang mampu menghilangkan genangan air di kala musim hujan. Melihat hasilnya yang efektif, maka tak tak tanggung-tanggung. Jakarta Fair Monas yang letaknya strategis dan selalu ramai dikunjungi warga dari segala penjuru, siang dan malam, digusur habis. Dipindahkan ke Kemayoran yang letaknya dirasa kurang strategis dari segi transportasi umum.  Bekas lokasinya dipandang lebih menguntungkan bila dihijaukan dengan pepohonan.
Semua itu saya tahu karena sejak era gubernur Ali Sadikin, saya telah menjadi konstributor pemberitaan untuk Majalah Media Jaya, Cinta Ibukota dan majalah Kotapraja yang diterbitkan Biro Humas Pemda DKI Jakarta. Bahkan sebelum diangkat menjadi pegawai organik di Inspektorat Wilayah Propinsi DKI Jakarta, sempat menjadi staf redaksi Majalah semi ilmiah “Widyapura” yang diterbitkan PPMPL (Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan) DKI yang dipimpin Dpl.Ing. Liem Bianpoen. Pakar lingkungan hidup ini, yang kebanyakan stafnya pada ahli dari Universtas Indonesia sehari-harinya melakukan penelitian. Mulai dari pengukuran polusi udara, polusi air, ketinggian banjir di musim hujan, penelitian masalah sampah bahkan sampai rencana jaringan lalulintas di masa depan.
Maka sangatlah mengherankan kalau gubernur yang sekarang membabat habis ratusan pohon-pohon pelindung di Monas untuk kemudian digantikan dengan bangunan beton. Kalau Jakarta Fair Monas saja, yang dahulu sangat digandrungi rakyat bisa digusur demi perbaikan lingkungan, masakan sekarang pohon-pohon itu diratakan lagi demi bangunan yang belum begitu jelas apa manfaatnya.
Gubernur sekarang nampaknya sudah lupa di waktu musim panas yang lalu kota Jakarta dinilai dunia sebagai kota dengan polusi tertinggi di dunia. Sampai-sampai akan diprogramkan penanaman massal sejenis tanaman yang dapat mengurangi polusi udara.
Agaknya niat bongkar-membongkar yang gagal seperti yang pernah dirancangkan untuk Taman Izmail Marzuki (TIM) Cikini sedang beralih ke Monas. Mungkin sebentar lagi area tugu Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng akan menyusul di“vitalisasi”. (Sam Lapoliwa, mantan wartawan/PNS)***

Saturday, January 18, 2020

MEWASPADAI DAMPAK NEGATIF PENGEMBANGAN TANAH MORI


Disamping senang dengan rencana pengembangan Tanah Mori di Kabupaten Morowali Utara dan Morowali Raya Propinsi Sulawesi Tengah sebagai dampak akan dibangunnya ibukota negara yang baru di Kalimantan Timur, timbul pula rasa cemas akan timbulnya dampak negatif  akibat pengembangan tersebut, khususnya kerusakan lingkungan.
Makanya jauh-jauh hari sebelum itu terjadi aparat Pemerintahan di daerah, para tokoh masyarakat bahkan seluruh warga Mori perlu waspada agar kerusakan itu tidak terjadi. Mulai dari warga Mori sendiri yang mendisiplinkan diri dan setelah itu mencegah dan melawan setiap kegiatan atau usaha yang berpotensi menimbulkan kerusakahn lingkungan.
Jangan herndaknya terjadi kerusakan seperti yang banyak dapat disaksikan  di Pulau Jawa bahkan di Ibukota Jakarta sendiri saat ini. Sungai-sungai airnya menghitam lebam berbau, samasekali tak bisa digunakan lagi. Sampah-sampah bertebaran mencemari tempat-tempat wisata.
Sungai Laa yang mengalir dari hulu di Uluanso Tua  melewati kampung-kampung Kumpi Tua, Undoro, Beteleme, Tompira sampai bermuara di Lingkobu Kolonodale, jaman dahulu merupakan sarana lalulintas  rakit orang Mori mengangkut  damar dan rotan, dua komoditi niaga yang sangat menguntungkan pada masanya.
Kota Tompira yang sudah sangat terkenal dengan meti (kerang)nya, yang segar maupun yang sudah dikeringkan, adalah berkat yang didapat dari dasar sungai Laa. Bukan itu saja. Keindahan panorama di sepanjang sungai Laa jaman dahulu pernah dipuji dan dikagumi para ahli peneliti dan pengeliling dunia sebagai “belum pernah kami lihat sebelumnya”, dikutip dari buku “Het Rjik van Mori” oleh Albert C. Kruyt (terjemahan Yayasan Idayu) di bawah ini.
Sayang kalau nasib sungai Laa akan seperti sungai-sungai menghitam di Jakarta. Yang perlu diwaspadai terutama pembanguan pabrik-pabrik, pertambangan di hulu yang akan menghasilkan sisa buangan  berbahaya dan mencemari sungai harus dicegah.
 

Contact Form

Name

Email *

Message *