Saturday, January 25, 2020

Ah, KPK ; Ah, PDIP !!


Inginnya sih, mungkin KPK bentukan Undang-undang KPK baru No.19 Tahun 2019 mau menunjukkan prestasi dan sekali gus menunjukkan tidak benar kalau KPK dengan undang-undang baru ini akan melemah seperti yang banyak ditudingkan.

Sejenak memang terkesan mengagumkan. Seorang petinggi KPU yang selalu disegani itu berani mereka tangkap dan menjebloskannya ke dalam jeruji besi setelah dilakukannya operasi OTT (operasi tangkap tangan). Lalu seorang kader partai utama pendukung pemerintah PDI Perjuangan dimasukkan dalam daftar buronan setelah minggat ke luar negeri.

Hanya sayang operasi tangkap tangan KPK pimpinan Firli Bahuri ini dinilai menimbulkan banyak misteri dan tanda tanya. Demikian pula di sekitar upaya penggeledaan di kantor PDIP yang gagal dan penahanan penyidik KPK di PTIK. Tak ada informasi yang tuntas dari KPK. Kalaupun ada satu dengan yang lain saling bertentangan. Misalnya, sudah ada atau tidaknya surat ijin dari Badan Pengawas KPK di tangan penyidik KPK ketika penggeledahan dan penyitaan akan dilakukan. Tentang keberadaan tersangka Harun Masiku, kader PDIP ketika akan dilakukan penangkapan  simpang siur. Masih di dalam negerikah atau sudah berangkat ke luar negeri. Benarkah Badan Pengawas KPK lamban memberikan surat ijin. Benarkah ada perbedaan diantara angota Bawas mengenai ijin penggeledahan dan ijin penyitaan. Dalam satu paketkah atau sendiri-sendiri ?

Beda dengan ketika Johan Budi dan kemudian diganti Febri Diansyah masih menjadi juru bicara KPK. Informasi dan penjelasan mereka yang didukung pimpinan KPK  mengenai OTT yang baru atau sedang dilakukan KPK cukup jelas. Lengkap dan tuntas. Sehingga tidak menimbulkan banyak tanda tanya, simpang-siur informasi dan salah paham.

Ada sejumlah tanda tanya, kalau tak bisa dibilang misteri, yang perlu penjelasan sekitar OTT tersebut. Mungkin sebagian nanti akan menjadi jelas dengan sendirinya ketika Harun Masiku(HM) sudah tertangkap dan “bernyanyi” siapa-siapa saja yang terlibat dan menginisiasi pemberian uang suap 90 milyard rupiah yang konon diminta WH kepada HM  sebagai  imbalan untuk meloloskan dirinya menggantikan kader PDIP Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia di DPR-RI.

Padahal, menurut Undang-undang, yang berhak menggantikan almarhum adalah Riezky Aprilia sebagai pengumpul suara terbanyak kedua. Alasan PDIP mengusulkan Harun Masiku meskipun perolehan suaranya jauh di bawah Riezky adalah sesuai Keputusan dan fatwa  Mahkamah Agung yang telah memberi hak kepada pimpinan pusat partai itu  mengalihkan jumlah perolehan suara almarhum kepada kadernya yang lain. Tetapi KPU secara resmi menolak klaim PDIP itu dan bersikukuh yang berhak adalah Riezki Aprilia yang menduduki urutan kedua.

Hal lain yang menjadi tanda tanya mengenai keberadaan penyidik KPK di gedung PTIK yang kemudian berujung pada penahanan petugas negara itu selama beberapa jam bahkan sampai diperiksa urine. Ada informasi yang mengatakan mereka hanya menumpang shalat di sana. Tetapi informasi lain menyebutkan ada kaitannya dengan keberadaan Hasto Kristianto, sekjen PDIP yang beberapa kali disebut-sebut dalam kasus pengusulan HM sebagai pengganti antar waktu (PAW) Nazarudin Kiemas almarhum.

Kehadiran Menkumham Yazona Laoly yang juga fungsionaris PDIP dalam pengumuman pembentukan Tim  Hukum PDIP oleh sejumlah pengamat dinilai tidak etis walaupun tidak melanggar hukum. Kedatangan tim itu ke Mabes Polri menyangkut pemberitaan massmedia, ada yang menilai seperti mau menakut-nakuti massmedia. Padahal, kejadian sebelumnya yang mencegah para penyidik KPK melakukan penggegedahan di kantor PDIP sehingga gagal,  telah memberi kesan kurang simpatik kepada partai pendukung utama pemerintah itu.

Janji para juru bicara KPK yang baru Ipi Maryati dan Ali Fikri saat konperensi pers mereka pertama 27 Desember 2019 yang lalu bahwa akan tetap menjaga keterbukaan informasi publik dan akan lebih bijak ternyata tidak jadi kenyataan.

Banyak lagi yang membuat orang dibingungkan oleh simpang-siur informasi. Seperti polemik antara KPU di satu pihak dan PDIP dan MA di lain pihak mengenai dasar hukum yang tepat untuk kasus PAW anggota DPR dalam kasus ini. Argementasi KPU yang mendasarkan Undang-undang (UU No.7/2017 tentang Pemilu pasal 426 dan UU MD3 psl 242) atau PDIP yang berdasarkan Keputusan dan fatwa MA ? Setahu penulis yang bukan orang hukum, MA hanya berwenang menguji peraturan di bawah Undang-undang. Lain dengan Mahkamah Konstitusi yang fungsinya memang menguji Undang-undang. Semua ini mesti dijernihkan agar masyarakat tidak terus-menerus dibuat bingung. (Sam Lapoliwa mantan wartawan bid. Hukum dan PNS)***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *