Saturday, June 9, 2018

YUDI LATIF KORBAN KEBIJAKAN PIHAK LAIN


    Andaikan saya Yudi Latif, mungkin saya juga akan mengambil keputusan yang sama. Mngapa ? Yudi Latif berada di singgasana yang kini menjadi pergunjingan yang tidak sedap didengar.
   Meski yang paling banyak ditonjolkan Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Sukarnoputri, namun sebagai pejabat sentral atau Ketua BPIP yang setingkat menteri kabinet, Yudi Latif  ikut merasa seperti dituduh bertanggung jawab.
Masalahnya, ketika pengumuman nama-nama Dewan Pengarah BPIP dengan jumlah gaji  yang dianggap fantastis itu dipublikasikan, tanpa dibarengi  uraian lengkap tupoksi BPIP serta hasil kerjanya sejak dibentuknya setahun lalu sebagai Unit Kerja di bawah Presiden hingga sekarang.
Kementerian terkait yang mempersiapkan Peraturan Presiden mengenai hak keuangan personil Dewan Pengarah itu nampaknya tidak melibatkan jajaran eksekutif BPIP, misalnya untuk memberikan data kinerja.
Sekarang telah telanjur timbul kesan seolah-olah BPIP mendapat gaji besar tetapi pekerjaannya kurang jelas. Diduga Yudi Latif merasa malu lalu mengundurkan diri.
Supaya kesan ini tidak terus melekat, mungkin Presiden dapat mempertimbangkan menolak menyetujui permohonan pengunduran diri tersebut atau meminta yang bersangkutan menunda kputusannya.***

 




Friday, June 8, 2018

DILEMA WARISAN KASUS HAM BAGI JOKOWI


     Keinginan Jokowi untuk menuntaskan berbagai kasus yang diwariskan oleh para pemerintah pendahulunya tak diragukan lagi.

Kalau cuma proyek-proyek besar yang mangkrak, mungkin tak begitu sulit bagi pemerintahan Jokowi untuk menyelesaikannya. Entah diteruskan setelah dievaluasi atau dihentikan samasekali.

Tapi kasus mega korupsi seperti kasus BLBI, Bank Century dan kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus HAM dalam penumpasan G30S / PKI dahulu tahun 1965, kasus Trisakti, kasus Semanggi tidaklah mudah.

Salah satu sebabnya adalah karena tokoh-tokoh yang terlibat langsung atau tidak lansung dalam kasus-kasus ini hingga kini masih ada yang menempati posisi penting dalam kancah politik negeri ini. Di kalangan pemerintahan, parlemen ataupun di kalangan elit partai politik.

Apabila semua dibongkar saat ini, terlebih menjelang Pilkada, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2019, dipastikan akan menimbulkan kegoncangan atau kegaduhan politik. Dan Presiden tentunya tak menghendaki itu terjadi.

Terlibat di sini tidaklah mesti diartikan sebagai pelaku langsung dalam kasus-kasus tersebut. Bisa saja sebagai  mantan pejabat yang dianggap patut bertanggungjawab oleh karena kejadiannya menyangkut tugas pokok dan fungsinya.

Pejabat-pejabat militer dan kepolisian di kala itu mau tidak mau harus tampil. Baik di  Pengadilan sebagai saksi ataupun dalam proses klarifikasi atau penyidikan yang mendahului sebelumnya. Dan seperti yang biasa terjadi dalam proses hukum, orang-orang yang semula berstatus saksi kemungkinan dapat berubah  menjadi tersangka. Bagaimana kalau ada dua tiga orang dari oknum-oknm dimaksud,  saat ini kebetulan menjadi oang penting di lingkaran istana ? Disinilah dilemanya.

Adanya tuntutan para keluarga korban agar pemerintah mengakui - negara  bertanggung-jawab atas kasus pelanggaran-pelanggaran  HAM ini, juga mengundang kontroversi. Bukan hanya berarti  bahwa semua mantan aparat birokrasi di zaman lalu itu secara keseluruhan memikul beban dosa terhahap para korban HAM. Bahkan sepanjang sejarah negeri ini akan dicacat sebagai negara yang pernah menjadi pelaku pelanggaran HAM berat paa kemanusiaan, seperti halnya Jerman di zaman Hilter.

Disamping itu, sebagai konsekwensi pengakuan, secara hukum ataupun moral, negara harus memberikan ganti rugi yang tidak sedikit kepada para ahli waris.

Agaknya solusi yang pernah dicontohkan  Nelson Mandela Presiden Afrika Selatan tahun 1994 masih layak dipertimbangkan. Semua mantan penguasa yang pernah memperlakukan dengan kejam musuh-musuh politiknya dihadapkan ke pengadilan. Yang mengakui kesalahannya dijatuhi hukuman. Tetapi pada saat yang sama mereka semua diberi pengampunan.

Untuk menyelesaikan ini, tentunya semua pihak perlu memperhatikan kepentingan bangsa. Semua menginginkan kasus-kasus ini cepat dapat dituntaskan dan tidak berlarut-larut lagi  serta merepotkan generasi selanjutnya. Bagi para keluarga diberi keadilan dan kepastian hukum. Tetapi mereka juga agar tidak terlalu banyak menuntut pada pemerintahan sekarang. Kasusnya bukan akibat kebijakan mereka. ***


Thursday, June 7, 2018

PRO KONTRA DELIK KORUPSI MASUK RKUHP


Kalau DPR yang anggota-anggotanya terdiri dari para perwakilan Partai Politik menginginkan delik korupsi dimasukan ke dalam R-KUHP dapatlah dimengerti.
Sudah lama dan dengan berbagai cara lembaga itu terkesan ingin melenyapkan KPK atau paling sedikit mengamputasi kewenangannya sehingga menjadi tak berdaya seperti nasib Komite Anti Korupsi (KAK) atau Komisi IV pimpinan Bung Hatta dahulu.
Mulai dari mencoba membatasi usia KPK dengan dalih - dahulu KPK direkayasa hanya untuk “sementara” sambil menunggu Kepolisian dan Kejaksaan dianggap mampu memberantas korupsi. Belum cukup,  DPR  minta pula supaya kewenangan penyadapan KPK yang sangat ditakuti koruptor itu  dibatasi. Dengan membentuk Dewan Pengawaslah,  harus seijin  pengadilan dululah, dan macam-macam lagi.
Tapi sejauh ini semua itu gagal total akibat penentangan dan perjuangan KPK, LSM dan masyarakat anti korupsi. Dan hasilnya ? Berapa banyak politikus-politikus partai di DPR-DPRD yang dikerangkengkan KPK. Berapa banyak gubernur, Bupati,Walikota usungan partai politik yang masuk bui akibat operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
Maka tak heranlah  kalau masyarakat anti korupsi kini  begitu curiga  setiap kali DPR atau pemerintah atau kedua-duanya mau mengutak-utik pasal-pasal hukum anti korupsi tanpa melibatkan mereka..
Dengan memasukan pasal-pasal delik korupsi ke R-KUHP, maka mereka khawatir korupsi nanti akan dianggap hanya sebagai delik pelanggaran hukum biasa yang menjadi kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan. Dengan sendirinya KPK akan kehilangan tugas pokok dan fungsinya dan pada akhirnya bubar.
Belakangan beberapa polititikus di DPR maupun di pemerintahan kembali menyuarakan “lagu lama”. Bahwa dimasukkannya delik korupsi di RKUHP “tak akan  melemahkan KPK, “tak akan menghilangkan KPK”. “Tidak ada niat untuk melemahkan KPK”,  dan sebagainya.
Tetapi  KPK dan masyarakat anti koupsi tidak hanya mau dengar niat atau kata-kata. Tetapi apa yang tercantum dalam pasal-pasal  dan apa dampak dari pelaksanaannya nanti.
Ada beberapa hal yang dipertanyakan dalam RKUHP itu. Seperti ancaman hukuman yang lebih ringan dari ancaman hukuman menurut UU KPK. Demikian pula pasal peralihan yang menyatakan setahun setelah berlakunya UUKUHP, undang-undang  khusus yang menyangkut materi yang sudah termuat di KUHP dinyatakan tak berlaku lagi. Berarti UU KPK dapat diangap termasuk.
Tapi hal itu dibantah pihak DPR dan menganggap pihak KPK tidak mengerti. Bahkan ada yang sampai menuduh KPK mau menentang Pemerintah.
Padahal orang-orang KPK yang rata-rata doktor hukum, siang malam bergelimang dengan permasalahan korupsi di lapangan. Sampai-sampai ada yang disiram air keras dan kehilangan mata. Jadi siapa lebih paham soal korupsi. KPK atau DPR ?
Kalau ada segelintir pejabat Pemerintah, secara terus terang atau tersirat menyetujui pelemahan bahkan pembubaran KPK, itupun dapat dimengerti. Karena mereka toh tetap “petugas partai” yang harus tetap mendukung atau setidak-tidaknya bersikap sehaluan dengan  beleid partai pengusungnya. Kalau tidak, bisa dicopot dari jabatannya.  Lebih-lebih menjelang Pilkada, Pileg dan Pilpres mendatang ini.
Mudah-mudahan saja di balik  proses RKUHP ini tidak ada sponsor-sponsor misterius yang kelak akan menikmati manisnya dari RUU ini bila jadi disahkan dakam keadaannya yang masih membingungkan seperti sekarang. Buah manis itu nanti baru akan nampak ketika dimainkan di sidang-sidang pengadilan.
Anehnya lagi, kontroversi  RKUHP yang menyangkut KPK ini, terjadi pada saat yang sama dengan terjadinya silang pendapat mengenai  larangan bekas narapidana koruptor ikut pemilihan legislatif. Di sini Komisi Pemilihan Umum (KPU) lah yang menjadi sasaran keroyokan. 
Gara-garanya, KPU sesuai kewenangannya membuat peraturan yang melarang para mantan koruptor ikut pemilihan anggota DPR/DPRD. Tapi  lagi-lagi DPR bersama Bawaslu, Menkumham yang juga kader partai politik enggan menandatanganinya. Dalam pertarungan ini KPK  berada di pihak KPU karena penentangannya terhadap korupsi. Konon Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sepakat dengan kebijakan KPU.
Apakah dibalik semua ini ada terkandung niat untuk merekrut  kembali kader-kader partai yang telah cacat hukum dan etika itu untuk kembali berkiprah di panggung politik karena dianggap masih potensial ? Entahlah.***


Contact Form

Name

Email *

Message *