Thursday, February 25, 2010

GUS DUR : CARA HINDU, KRISTEN DAN MUSLIM MENYAPA TUHAN

Ini satu guyonan lagi dari Gus Dur almahum seperti dituturkan seorang pengagumnya di tayangan televisi :

Suatu ketika Gus Dur sedang bersenda gurau dengan sejumlah tokoh dari berbagai agama. Lalu beliau berkata "Umat Hindu kalau berdo'a menyapa Tuhan dengan Om.

Kalau umat Kristen dengan Bapa, yang berarti menunjukan hubungan kasih sayang seperti ayah dan anak. Tetapi kalau kami Muslim, menyapaNya melalui loudspeaker."

Ya,... Gus Dur ada saja guyonannya (pen).

Tuesday, February 23, 2010

PAK HOEGENG : "GODVERDOMEN ZEG....."

"Godverdomen Zeg...I", begitu kira-kira judul naskah tulisan Jendral Polisi Hoegeng Imam Santoso yang masih kuingat. Ketika itu sebagai wartawan Harian Kami saya diminta Pemimpin Redaksi Pak Nono Anwar Makarim untuk menjemput naskah beliau di rumahnya di kawasan Jalan Tambak Manggarai.

Ketika itu Pak Hoegeng sebagai Kepala Kepolisian RI pertama setelah POLRI dilepas dari ABRI sedang menghadapi masalah pelik karena sikapnya yang tegas untuk memberi ganjaran kepada Robby Cahyadi yang melakukan penyelundupan mobil-mobil mewah. Ternyata kasus ini melibatkan keluarga istana. Bahkan ketika Pak Hoegeng akan melaporkan hal itu ke pada Presiden, sang penyelundup konon malah sedang bercengkerama di istana Cendana. Akibat kasus ini akhirnya Pak Hoegeng dicopot dari jabatan Kapolri sebelum waktunya.

Aku naik motor Lambretta milik kantor. Beliau menyerahkan sendiri naskahnya sore itu. Kami berbincang sebentar, karena sebagai wartawan yang sering meliput kegiatan-kegiatan Polri beliau sudah sedikit mengenal saya. Kulihat naskahnya sebentar, judulnya seperti di atas : " Godverdomen Zeg.....!"

Aku pamit. Beliau mengantarku sampai ke pintu pagar. Dan ketika motor akan kustater, wah....mogok ! Aku geleng-geleng kepala menoleh ke Pak Hoegeng sambil akan mendorong motorku ke tempat agak jauh untuk kuperiksa. Beliau hanya tersenyum sambil melambaikan tangan. Aku sungguh malu tersipuh di depan beliau. Godverdomen zeg !. Memang beliau kalau bicara sering menyelip bahasa Belanda.

Karena jiwa sosialnya beliau pun kala itu mau menaggung biaya operasi dan perawatan seorang anak gadis bernama Uce. Gadis itu menjadi korban dalam musibah kebakaran gerbong kereta api dan mukanya rusak parah.

BUYA HAMKA MENGELUS KEPALA ANJING ?

Buya Hamka mengelus kepala anjing ? Ya, benar. Peristiwa mencegangkan ini benar-benar terjadi ketika pada suatu hari tokoh ulama terkemuka ini berkunjung ke Redaksi Harian "Empat Lima" di Jalan Kramat VIII No.2 (sekarang telah dibongkar dan dibangun menjadi bagian belakang Kantor PBNU).

Duduk di samping jendela terbuka sambil berbincang-bincang dengan Redaktur A. Makmur Makka (kelak menjadi Humas BPPT), tiba-tiba anjing kecil milik mantan Pemimpin Redaksi Harian Kami Bpk. Nono Anwar Makarim yang tinggal di paviliun kantor kami, mengangkat kedua tangannya ke jendela, melongokkan kepalanya sambil menggerak-gerakan ekor dan suaranya seperti bermanja-manja.

Makmur Makka yang nampak kaget, mau bangkit mengusir mahluk manja itu. Tetapi...., Ketua MUI pertama dan Rektor Universitas Al Azhar Kebayoran itu, malah mengulurkan tangannya dan mengusap-usap kepala anjing itu. Ha.......?? Kami yang di kamar semua terheran-heran. " Bukankah itu haram, Buya ? ", tanya Makmur sementara Buya hanya tenang-tenang saja dengan senyumnya yang khas. Lalu beliau menuturkan berbagai ayat dan pendapat para ulama mengenai dunia hewan, khususnya anjing. "Nanti 'kan bisa disucikan dengan tanah sampai tujuh kali", katanya kemudian.

Ya, memang tidak heran, meskipun sekolah formal almarhum hanya sampai kelas 2 Sekolah Dasar di Maninjau, tapi karyanya saja menurut data Wikipedia sampai 68 buah. Dengan otodidak serta bimbingan berbagai tokoh terkemuka serta banyak membaca, kemudian beliau mencapai tingkat pengetahuan yang sangat luas. Bukan saja di bidang keagamaan, tapi juga budaya, jurnalistik, filsafat, politik dan pendidikan.

Beliau mendapat gelar Honouris Causa dari Universitas Al Azhar Kairo, Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Mustopo Jakarta. Dia juga bahkan pernah menjadi Rektor di beberapa Perguruan Tinggi. Bekas pejuang gerilya di jaman kolonial ini juga mendapat gelar dari tokoh-tokoh masyarakat sebagai "Datuk Indono" dan "Prince Wiroguno".

Siapa tak kenal bukunya "Tenggelamnya Kapal van Der Wijck". " Di bawah Lindungan Kaabah", dua dari sekian novelnya yang terkenal ? Tahun 1932 ia telah menerbitkan Majalah "Tentera".

Monday, February 22, 2010

BERSAMA PAK ADAM MALIK DI HARIAN "EMPAT LIMA" IV(4.13)

Tiba-tiba terdengar kabar ada rencana Bapak H. Adam Malik yang ketika itu sebagai Ketua MPR-RI untuk menghidupkan kembali suratkabar Harian Empat Lima yang dahulu tutup. Ia akan mulai dengan pengelola yang baru sama sekali. Beliau akan duduk sebagai Penasehat dan Suhadi seorang perwira tinggi ABRI sebagai Pemimpin Umum.

Pak Zulharman diminta menjadi Pemimpin Redaksi. Tentu saja Pak Zulharman menerima ajakan tokoh Pejuang 45 yang dihormati itu. Namun dengan satu usulan agar diberi wewenang sepenuhnya menentukan kebijaksanaan redaksional dan susunan personalianya.

Dengan serta merta kami sisa-sisa karyawan Harian Kami direkrut kembali. Aku harus memilih ikut menjadi anggota Redaksi koran baru ini atau tetap menjadi Manager SSAA yang sudah mulai berkembang.

Meski merasa sayang meninggalkan biro iklan yang telah kami rintis dengan susah payah ini, namun aku lebih memilih kembali ke lingkungan pers.Alasanku ancaman pembreidelan yang selalu menjadi momok karyawan pers, nampaknya kecil kemungkinannya. Bukankah Pak Adam Malik, Ketua MPR menjadi Penasehatnya dan Pemimpin Umumnya seorang petinggi ABRI ! Nama surat kabar dengan logo berwarna bendera merah putih terikat pada bambu runcing di tengah dua kata Empat Lima, terasa memberikan semangat baru kepada kami untuk kembali berbuat sesuatu untuk Bangsa dan Negara sesuai profesi kami melalui koran ini.

Yang agak merisaukan adalah apakah kebebasan pemberitaan sesuai kode etik Persatuan Wartawan Indonesia dan Undang-undang Pers yang dahulu kami jadikan pedoman pada koran sebelumnya tetap dapat kami pedomani lagi. Penegasan itu kemudian dapat kami peroleh ketika kami segenap Dewan Redaksi menemui Pak Adam Malik di rumah kediaman dinas di Jalan Iman Bonjol Menteng.

Aku terheran-heran menyaksikan di ruang tamu tokoh nasional yang haji ini sebuah gambar besar jenazah Yesus Kristus tengah diturunkan ke dalam lubang batu, terpampang di dinding dalam bentuk sulaman diatas kain beludru. Kupikir, inilah salah satu pencerminan jiwa beliau yang toleran. Inilah kesempatanku yang pertama bertemu beliau. Bekas pemuda pejuang 45, salah seorang pemuda yang berani menculik Bung Karno dan Bung Hata ke Rengasdengklok untuk memaksa mereka memproklamasikan kemerdekaan sesegera mungkin.

Perjumpaan kedua dan terakhir adalah ketika kami mengadakan rapat di kantor PT. Inaltu, penerbit Harian Empat Lima di Pulogadung. Setelah itu beliau sudah sulit ditemui karena sudah dilantik menjadi Wakil Presiden.

Kesan lain yang mengawali kegiatanku di koran baru ini adalah ketika kami mewawancarai Fransisco Lopez da Cruz tokoh pejuang integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia ketika itu di salah satu tempat di Kebayoran Baru. Kelak tokoh ini menjadi salah satu Gubernur ketika wilayah itu masih menjadi bagian dari wilayah Indonesia.

Apa yang dikhawatirkan sebelumnya benar-benar men-jadi kenyataan. Setiap malam seorang mayor dari dinas intelijens datang mengamati bahan berita yang akan diterbitkan. Dan bila ada yang dianggapnya tidak layak, ia minta dicabut. Hal ini sering menimbulkan ketegangan karena kami tetap patuh pada kebijaksaan Pemimpin Redaksi. Kadang-kadang masih saja ada telepon yang minta agar berita ini itu tidak dimuat.

Hal ini berrdampak pada kegairahan para wartawan mendapatkan berita yang bermutu. Logonya menceminkan semangat empat lima, tetapi berita-beritanya datar-datar saja. Tak heran kalau pemasarannya sulit. Akibat peredarannya yang kurang menyebabkan para pemasang iklan juga enggan menggunakannya.

Terjadinya pemborosan yang tidak berkaitan langgsung dengan usaha, tambah memperpara. Karena itu pada rapat terakhi, Drs. Suyatno sebagai Pemimpin Perusahaan terus terang melaporkan kondisi perusahaan yang terus-menerus merugi. Ekonom yang kelak menjadi Ketua Perbanas dan ketua Yayasan Pendidikan Atmajaya ini mengusulkan agar penerbitan Harian Empat Lima dihentikan saja untuk menghindarkan kerugian lebih besar.

Penghentian penerbitan harian ini tidak begitu menyusahkan kami. Karena tidak lama setelah itu Pak Zulharman sudah mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT) baru untuk menerbitkan koran “Berita Minggu & Film.”. Aku dipercayai menjadi Pemimpin Perusahaan dan Pak Fanany yang telah mengundurkan diri pula dari Harian Pos Sore menjadi Pemimpin Redaksi.

Persiapan penerbitan koran mingguan ini sungguh menguras waktu, tenaga dan pemukiran. Karena Pak Zul sibuk sekali dengan tugasnya sebagai anggota Badan Pekerja MPR bahkan mereka harus dikonsinyir di suatu hotel, aku harus mengurus semuanya. Mulai dari rancangan model kepala surat kabar, membuat usulan rencana anggaran dan pendapatan yang meliputi bidang umum, percetakan, pemasaran, periklanan dan perbankan.

BMF dibuatkan nomor rekening usaha sendiri dan aku diberi wewenang sebagai salah satu dari dua penandatangan cek. Aku juga harus menjajagi beberapa percetakan untuk mendapatkan biaya cetak yang lebih murah tetapi dengan mutu yang tetap terjamin. Akhirnya kami memilih PT. Gramedia.

Kesibukan luar biasa ini memaksa aku harus memboyong berkas-berkas pekerjaanku sampai ke Klinik Bersalin “Dian Kasih” di Tanjung Priok. Aku masih berkutat dengan kertas-kertas dan kalkulator ketika tengah malam suster memberi tahu isteriku telah melahirkan anak kami yang kedua, seorang bayi perempuan mungil dengan selamat dan sempurna. Puji Tuhan !

Aku masuk lalu mencium isteriku yang juga nampak bahagia kemudian menyaksikan sang bayi yang untuk sementara dibaringkan dalam inkubator. Sebelum ke kantor, seperti kulakukan pada kelahiran anak kami yang pertama aku menempatkan seberkas bunga segar dalam vas yang menebarkan bau harum.

Kebersamaan di PT. Enam-Enam. IV(4.15)

Aku mengundurkan diri dari Tempo dan kembali bergabung dengan teman-teman mengembangkan Clipping Service Agency. Meski keputusanku disesali dan mengherankan teman-teman terutama Pak Ismid Hadad, namun aku sudah berketetapan hati. Aku bersedia masuk kerja setiap subuh bersama teman-teman bahkan siang hari ikut mengantarkan hasil kliping sampai-sampai ke Cilicing dengan sepeda motor sambil mencari pelanggan baru.

Suatu ketika ada tawaran dari perusahaan kelompok penerbitan Pos Kota untuk bergabung dalam penerbitan koran baru Pos Sore pimpinan Bapak Harmoko yang ketika itu juga menjadi Sekretaris PWI Pusat. Pak E.Subekti, Pak Fananny dan aku diterima, tetapi sekali lagi aku kemudian mengundurkan diri.

Usaha kami tidak segera dapat menghasilkan. Usaha bantuan hukum tidak pernah memberi hasil. Sedang biro iklan hanya sekali mendapat order dan setelah itu tutup. Untuk menutupi biaya hidup sehari-hari, aku perlu terus mengusahakan sumber penghasilan lain.

Aku menemui Kepala Humas Pemerintah DKI Jakarta apakah dapat menjadi penulis tetap di media informasi mereka, Majalah Media Jaya. Dengan rekomendasi Pak Fanany aku diterima. Pak Fanany sudah lebih dahulu menjadi penulis bahkan dialah yang dahulu menggagas penebitan majalah itu sewaktu masih menjadi wartawan. Ia sebagai wartawan perkotaan Harian Kami dan sering betugas di Balai Kota. Aku dibayar per naskah dan hasilnya lumayan.

Ada lagi tawaran pembuatan naskah dari Proyek Penerangan Hukum melalui Pak Erman. Proyek ini merupakan hasil kerjasama antara Fakultas Hukum UI dengan Pemda DKI Jakarta dengan dana bantuan Luar Negeri.

Aku juga menghubungi Redaksi Majalah Widyapura yang diterbitkan Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan (PPMPL). Lembaga ini merupakan organ Pemerintah DKI Jakarta. Isi dan bentuk majalah mirip dengan Majalah Prisma. Para pengasuhnya hampir seluruhnya para ahli alumni UI. Aku diterima dan malahan diserahi mengelola seluruh masalah teknis penerbitan majalah ini. Mulai dari komunikasi dengan para penulis, tata letak naskah, perancangan tata muka sampai pencetakan.

Bukan itu saja. PPMPL juga ternyata menangani Majalah Kotapraja, media Badan Kordinasi Antar Kota Seluruh Indonesia (BKS-AKSI). Lembaga ini adalah oganisasi persatuan Walikota-walikota seluruh Indonesia dan mempunyai mitra internasional. Ketuanya secara ex-officio adalah Gubernur DKI Jakarta.

Suatu waktu aku mengajukan proposal kepada Pak Zulharman selaku Direktur PT. Enam-Enam untuk mengaktifkan kembali kegiatan Unit Usaha Sixty Six Advertising Agency (SSAA). Target jangka pendeknya adalah mengangkat kembali "lokomotif" unit usaha ini diatas relnya lalu menjalankannya dengan prinsip mulai dari mengusahakan pelangganan iklan kecil-kecil dan iklan mini/baris. Inilah sebagai modal dasar untuk kemudian ditingkatkan untuk mendapatkan klien-klien besar. Ini lebih realistis daripada seperti sebelumnya mau langsung mengharapkan pelanggan-pelanggan iklan besar. Karena lama berusaha tanpa hasil, akhirnya pegawai frustrasi dan kantor tutup.

Pak Zulharman yang biasa kami sapa "Bang Zul" setuju dan malahan sekaligus menugaskanku sebagai Manager. Meski belum memiliki pengalaman, namun di luar dugaanku usaha ini tenyata dapat berjalan baik bahkan makin berkembang. Kami mulai memiliki klien tetap, mulai dari usaha jual-beli mobil, perusahaan tekstil, konstrusksi, unit Pertamina, peralatan olah raga, instansi Pemerintah, perguruan tinggi dan sekali-sekali perusahaan asing. Seiring dengan itu aku dapat menambah staf satu sampai tiga orang.

Di kalangan media, kepercayaan kepada SSAA pun kian baik. Kalau dahulu pada koran-koran terkemuka kami harus membayar dimuka untuk setiap pemasangan iklan, maka kemudian kami boleh membayar setelah pemuatan, bahkan dapat diberi tenggang waktu satu bulan. Bukan itu saja. SSAA bahkan juga diberi sertifikat tanda penghargaan.

Dewan Direksi perusahaan ikut gembira melihat kecenderungan itu. Bang Zul mengakui, meski unit usaha kami kecil, tetapi kontribusinya bagi perusahaan cukup berarti. Suatu saat Pak Zul menegurku di depan para direksi karena menyebut kata “cuma” sewaktu melaporkan suatu nilai transaksi yang baru dihasilkan. “Itu transaksi besar lho, bukan kecil”, katanya. Ia menganggapku sombong. Terpaksa kuingatkan lagi bahwa sebelum itu sudah sering ada transaksi yang lebih besar.

Pak Zul adalah seorang pimpinan yang obyektif dan adil tanpa melihat muka orang. Ia juga memberikan keleluasaan penuh kepada pimpinan bawahannya. Sekalipun terhadap keluarganya, kalau salah dikatakan salah dan yang benar dikatakan benar sekalipun itu orang lain. Terbukti ketika ia menitipkan kemanakan-kemanakannya untuk dibantu dan dibimbing bekeja sebagai staf SSAA. Ia tekankan, sekalipun ia Direktur dan mereka kemanakannya, aku tak perlu ragu-ragu menegur bahkan memberhentikan mereka kalau melanggar.

Salah seorang dari kemanakan itu pada suatu waktu tidak masuk bekerja selama tiga hari tanpa pemberitahuan. Para langganan mengadu melalui telepon karena order iklan-iklan mereka tak terlayani. Ketika pegawai bersangkutan masuk kerja dan ditanyai alasannya tidak masuk dan tidak memberi kabar, ia diam saja. Akhirnya ia menyahut, “Ini kan, perusahaan Oom saya”, katanya.

Aku terdiam dan berpikir, ini tak dapat ditolerir lagi. Kalau dibiarkan ia akan tambah besar kepala dan aku akan kehilangan wibawa. Seorang pimpinan tanpa wibawa tak akan berhasil memimpin, dan karena itu lebih baik berhenti. Aku ingat pesan Pak Zul, lalu aku menjawab : “Oh, ini perusahaan Oom-mu…… Sekarang, keluar !!!” Ia diam saja.

Aku berdiri dan berkata lebih tegas “ Kamu keluar, atau aku yang keluar !” Akhirnya ia keluar dan pulang. Aku tak menginginkan hal ini terjadi tetapi apa boleh buat. Tidak ada pilihan lain. Beberapa hari kemudian, aku dipanggil Direktur Utama.

Disitu hadir juga beberapa anggota Direksi lainnya. “Bagaimana perkembangan usahamu ?” dia bertanya. “Baik, Bang Zul” jawabku sambil tetap berdiri. “Kalau nanti ditemukan yang kurang beres, bagaimana ?”. Karena yakin aku tidak melakukan kesalahan apapun, aku menjawab : “Bang Zul kan Direktur Utama. Terserah Bang Zul saja”. “Ya sudah.”, sambil tangannya memberi isyarat boleh keluar.

Pak Fanany, yang ketika itu sudah menjadi kerabat keluarga Pak Zul memberitahukan bahwa masalah pemecatan itu memang telah dibicarakan dalam rapat keluarga, tetapi mereka dapat membenarkan tindakanku.

Dibreidel dan Masuk Daftar Hitam - (4.16)

Pada awalnya kebebasan pers di bawah pemerintahan Presiden Suharto nampaknya akan tejamin. Koran "Indonesia Raya" pimpinan Mochtar Lubis dan "Pedoman" pimpinan Rosihan Anwar yang dahulu dilarang diijinkan terbit kembali. Undang-Undang Pokok Pers diterbitkan. Meskipun adanya Ijin terbit dan Ijin cetak dari Pemerintah tetap diwajibkan, namun pemanggilan terhadap wartawan tidak sembarangan. Hanya Jaksa Agung yang boleh melakukannya, dan itupun hanya boleh terhadap Penanggung Jawab suratkabar.

Tetapi lama-kelamaan, pemerintah mulai lagi memperketat pengendalian terhadap pers. Pejabat-pejabat pemerintah sering melarang pemuatan berita-berita tertentu. Surat kabar yang dianggap melanggar, dihentikan penerbitannya dengan mencabut ijin cetak atau sekaligus dengan ijin terbitnya. Koran "Indonesia Raya" yang gencar memuat berita-berita korupsi dibreidel. Menyusul juga "Pedoman", "Nusantara", Majalah "Ekspres", dan "Harian Kami". Majalah "Tempo" juga dihentikan sementara. tetapi kemudian diperbolehkan terbit kembali.

Karyawan-karyawan mulai dari wartawan, pegawai administrasi, agen dan pengecer koran, kolportir iklan sampai petugas percetakan terpaksa menganggur. Keluarga mereka kehilangan sumber nafkah. Tidak ada forum pengadilan untuk mengajukan pengaduan.

Kami, karyawan Harian Kami seperti dibunuh perlahan-lahan. Ijin Terbit baru dicabut enam bulan setelah pencabutan Ijin Cetak. Ketika itu harapan untuk dapat terbit kembali tetap ada selagi yang dicabut hanya ijin cetak. Selama itu setiap hari kami hanya datang ke kantor, menunggu dan menunggu dan tidak mengambil keputusan apapun karena berharap ijin cetaknya akan diberlakukan lagi.

Selama penantian yang tidak pasti itu, sisa penghasilan untuk kehidupan sehari-hari mulai habis. Karena itu kami masing-masing mulai memikirkan cara mendapatkan sumber penghasilan tambahan sambil menunggu jawaban pemerintah atas kelanjutan penerbitan koran kami. Apalagi bagi teman-teman yang sudah mempunyai tanggungan keluarga.

Ada yang mulai mencoba nasib melalui usaha batu kapur dan ada yang buka warung. Aku sendiri menemui Bapak Ismid Hadad yang sudah menjadi Pemimpin Umum/Redaksi Majalah Prisma, sebuah majalah ilmiah. Ia memberi aku pekerjaan mengoreksi hasil pencetakan naskah yang memberi aku sekedar honor.

Aku juga menghubungi Pak Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo. Di sana telah bergabung juga teman-teman dari ex. Harian Kami seperti Fikri Jufri, A. Bastari Asnin, Lukman Setiawan, Christianto Wibisono, Bandoro, dan fotografer Ed Zulverdi.

Aku menghadapi kendala. Semua wartawan bekas koran yang dibreidel harus memperoleh rekomendasi dari Kopkamtib untuk dapat bekerja kembali sebagai wartawan. Tetapi aku ogah datang memohon-mohon ke lembaga itu. Aku masih merasa sakit hati atas perlakuan terhadap kami.

Pada saat itu pula Pak Zulharman Said yang ketika itu sebagai Ketua Umum PWI Pusat dan beberapa bekas pengurus Yayasan yang menerbitkan Harian Kami mendirikan PT. Enam-Enam untuk menampung para ex karyawan Harian Kami yang belum bekerja. Kegiatan awalnya adalah usaha klipping berita koran, biro iklan dan bantuan Hukum. Rekan Erman Rajagukguk, SH sebagai Manager Bantuan Hukum, E. Subekti manager Clipping Service Agency dan rekan Abdi Kusumanegara dan Pak Abbas M. Ali menangani Sixty Six Advertising Agengy.

Meskipun aku telah aktif sebagai koresponden lepas di Majalah Tempo, aku masih ke kantor ex. Harian Kami, bertemu teman-teman, boleh tetap menggunakan fasilitas kantor seperti mesin tik bahkan sepeda motor. Aku tergugah melihat inisiatif, solidaritas dan perjuangan keras teman-teman untuk bangkit lagi dari bidang usaha yang sama sekali baru.

Datang subuh-subuh, memborong koran, menandai berita-berita, menggunting, menempel, memfotocopy dan memperbanyak, menjilid, mengirim, mencari langganan dan melakukan penagihan.Mula-mula hasilnya tak seberapa. Tetapi adalah lebih baik ada kegiatan dengan suatu harapan, daripada menunggu saja tanpa kepastian. Mulai timbul keinginanku untuk kembali bergabung.

Teman-teman di Majalah Tempo Jalan Senen Raya 83 rupanya berhasil mengusahakan surat rekomendasi dari Kopkamtib untukku. Aku dipanggil lalu Pak Goenawan memperkenalkan aku ke Direktur Perusahaan. Sejak itu aku sebetulnya sudah menjadi wartawan tetap. Tetapi keinginanku untuk kembali bergabung dengan kawan-kawan di Jalan Kramat VIII/2 makin bertambah kuat.

Tiba-tiba datang instuksi dari Kopkamtib agar semua majalah Tempo terbitan minggu itu ditarik dari peredaran dengan alasan tulisan mengenai salah satu tradisi di kraton Jogya di majalah itu dinilai melanggar tata susila. Aku bertanya pada Pak Goenawan, apakah majalah ini dapat betahan selama lima tahun ? Pak Goenawan menjawab, “bukan lima tahun tetapi lima puluh tahun !” Namun jawaban optimis ini belum meyakinkan aku. Akankah kami akan mengalami lagi perlakuan seperti Harian Kami, Indonesia Raya, Pedoman dan lain-lainnya ?

Karena itu mantaplah keputusanku untuk berhenti dan meninggalkan profesiku di bidang kewartawanan yang selama ini kutekuni, beralih ke bidang lain. Setidak-tidaknya selama masih ada ancaman pemberangusan tehadap dunia pers.

Memberantas "Padenge" di Kabupaten Poso (4.14)

Pada suatu ketika aku mendapat berita ibuku sakit keras. Dengan alasan itu aku diijinkan pulang ke kampung sanak saudaraku Uluanso-Kumpi, dekat Beteleme. Malahan aku dapat menggunakan tiket cuma-cuma Jakarta-Ujung Pandang pulang pergi sebagai hasil kerjasama koran kami dengan Mandala Airlines.

Ibu ternyata sudah membaik. Malahan aku yang tiba-tiba sakit nyeri otot belakang. Kalau bergerak terasa sangat sakit. Makin hari kesehatanku mulai pulih. Namun aku mengirim telegam ke kantor perihal kesehatanku dan mungkin akan terlambat kembali ke Jakarta.

Lagi pula aku ingin menggunakan kesempatan beberapa hari untuk melakukan kegiatan jurnalistik. Aku tidak ingin kembali ke surat kabarku tanpa membawa oleh-oleh laporan jurnalistik. Aku juga ingin berbuat sesuatu untuk perbaikan tanah kelahiranku. Dan kini kesempatan itu tersedia bagiku. Banyak yang dapat kulakukan.

Kulihat kehidupan rakyat tetap memprihatinkan. Prasarana transportasi tambah rusak. Kegiatan ekonomi lesu. Kota Beteleme yang dahulu dibakar gerombolan perusuh, masih amburadul. Demikian pula Kampung Tinompo tempatku sekolah tiga tahun lebih makin merosot.

Pada hal di daerah-daerah lain pemerintah-pemerintah daerahnya beserta masyarakat sedang berlomba-lomba membangun. Walikota Makasar, Daeng Patompo, Walikota Cirebon Tatang dengan antusias membangun dan mendandani kotanya di sana sini. Mereka tidak mau disebut sedang meniru-niru Gubernur DKI Ali Sadikin yang ketika itu sedang harum namanya karena kesuksesannya membangun Jakarta. Malah Ali Sadikin yang meniru, kata mereka.

Dari berbagai keluhan penduduk dan pengamatanku, yang paling menyengsarakan rakyat adalah praktek "padenge", yaitu pemaksaan rakyat untuk memikul barang bawaan pribadi para pejabat pemerintah dan personil militer dari kampung ke kampung tanpa bayaran sedikitpun ! Mirip "romusha" jaman Jepang. Sebelum itu sudah ada pawai konvoi truk para mahasiswa dari Makasar ke Sulawesi Tengah yang menuntut penghentian padenge ini tetapi kemudian kembali seperti semula.

Pemaksaan serupa hampir kualami sendiri. Ketika masih sakit dan duduk beristrahat di kursi beranda, tiba-tiba seorang prajurit memanggil-manggil aku setengah membentak dari jalan raya. Karena aku tak bereaksi, ia lalu bergegas dengan sikap marah akan memasuki pintu pagar. Ketika kukatakan, aku sedang sakit ia pergi.

Kalau ia sampai melakukan kekerasan, pasti aku akan melayangkan berita protes ke Mabes Hankam dan Mabes AD di Jakarta melalui koran kami. Pada Kartu Pers dari Puspen Hankam maupun Dispen MBAD yang kumiliki tegas dinyatakan agar semua pihak di lingkungannya memberikan bantuan dalam pelaksanaan tugas jurnalistiknya.

Aku memutuskan berangkat seorang diri ke Poso. Berjalan kaki mengikuti rute jalan potong seperti yang dahulu sering aku lalui kalau pulang libur. Dengan demikian aku dapat melihat perubahan yang terjadi dan membandingkannya dengan kondisi sepuluh tahun lalu ketika terakhir kutempuh setamat SMA di Poso.

Ternyata sungguh menyedihkan. Jalan raya yang dahulu masih bisa dilalui mobil, kini di beberapa ruas sudah seperti jalan setapak. Padahal jalan ini jalan negara. Di beberapa tempat aku berjumpa dengan penduduk yang sedang memaras jalan. Sebagian diantaranya orang tua-tua, paman-pamanku dan pemuda dari Uluanso, kampung asalku.

Ada yang sakit tapi tak ada obat. Mereka mengeluh, karena tepaksa meninggalkan berhari-hari kebun dan sawah mereka yang sudah siap panen. Padahal rawan dari serangan hama dan binatang-binatang perusak. Tidak ada bayaran dan harus membawa bekal sendiri.

Selanjutnya aku masih berkali-kali berjumpa dengan padenge, memikul barang yang berat-berat diikuti pemilik-nya yang melenggang. Entah ia pejabat pemerintah atau anggota militer atau polisi. Hatiku ikut merasa pilu.

Di Poso aku ke kantor Kabupaten. Ingin mengetahui apa yang telah dilakukan dan bagaimana progam pembangunan pemerintah daerah. Tetapi sungguh mengherankan, ketika diberitahukan mereka tidak memiliki Rencana Pembangunan Lima Tahun Daerah. Padahal ketika itu sudah menjadi keharusan, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah membuat Repelita.

Akupun menemui pula komandan distrik militer Kabupaten Poso seorang Mayor dan mempertanyakan pemasalahan padenge. Ia mengakui keadaan itu mengingat kondisi perhubungan yang buruk. Ia berjanji untuk mengurangi perjalanan anggota-anggotanya yang kurang perlu dan tidak terlalu membebani rakyat.

Tidak lama setelah itu memang padenge mulai berkurang dan berakhir sejalan dengan mulai direhabilitasinya kembali jalan-jalan raya dan jembatan-jembatan.

MENYAMAR GUNA MENGUNGKAP PUNGLI (V(4.14)

Suatu hari (th.1971-pen,) aku mendapat tugas menemui Dra. SK. Trimurti di rumahnya di kawasan Jalan Kramat Lontar. Beliau adalah pahlawan perintis kemerdekaan yang ikut dalam upacara proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Gambarnya jelas terlihat dalam foto yang mengabadikan peristiwa bersejarah itu.

Konon, beliau juga termasuk salah seorang pemudi pejuang yang ikut mendesak Bungkarno dan Bung Hata untuk memproklamasikan kemerdekaan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 .Isteri Sayuti Melik salah seorang penyusun teks proklamasi kemerdekaan ini, biasa akrab dipanggil Bu Tri.

Meski sudah mulai dimakan usia, ia masih tetap aktif menulis. Ia termasuk penulis tetap di koran kami, Harian Kami, bahkan ia juga menerbitkan majalah sendiri, majalah Mawas Diri. Kondisi rumahnya sangat sederhana.

Mantan Menteri Perburuhan Kabinet Amir Syarifuddin II tahun1947 ini mengajak untuk membongkar praktek pungutan liar dan penyelundupan administratif melalui pelabuhan Tanjung Priok yang tertutup rapat dan sulit dibuktikan. Ia memperkenalkan aku dengan seorang importir mobil. Masuk secara biasa dengan identitas resmi sebagai wartawan tak akan efektif. Karena pasti akan diatur sebelumnya supaya nampak semua tertib. Sudah pernah ada wartawan yang melakukannya tapi tak berhasil.

Karena itu aku harus menyamar. Aku diperkenalkan pula dengan seorang pemilik perusahaan EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut). Dengan selembar surat tugas dari pemilik EMKL itu, aku akan ikut mengurus pengeluaran mobil import asal Jerman itu bersama seorang staf kepercayaannya.

Maka dengan pass bebas masuk pelabuhan, akupun leluasa keluar masuk kantor Bea Cukai di pelabuhan. Dari gudang ke gudang, loket ke loket dan melihat langsung pasar praktek pungutan liar di sana. Ada petugas Satpam berseragam dengan helm putih bak polisi militer.

Bila ada informasi akan ada pengontrolan dari Kantor Pusat Bea Cukai, maka dengan tergesa-gesa ia akan datang memberitahukan dan meminta semua orang-orang yang sedang berdesak-desakan mengurus dokumen barang keluar dari ruangan petugas bea cukai.

Mereka disuruh pura-pura antri di loket sehingga semuanya nampak seperti tertib. Begitu pejabat dari instansi pengawas itu pergi, kembali lagilah orang-orang itu ke dalam. Berdiri di samping kiri kanan petugas pemeriksa atau peneliti dokumen. Laci-laci sang pejabat biasanya ditarik keluar.

Ketika terjadi tawar-menawar tarip pajak atau kelengkapan dokumen, biasanya para pengurus dokumen harus memasukan sejumlah uang ke dalam laci itu. Pengurus dokumen boleh mengajukan keberatan. Kalau belum tercapai kesepakatan, biasanya petugas "mengancam" untuk meneruskannya ke Kantor Pusat. Kalau itu terjadi, maka prosesnya dapat berbulan-bulan. Dan sementara itu sewa gudang yang tinggi tempat barang mereka disimpan sementara harus tetap dibayar. Kalau sudah begini, maka si pengurus barang terpaksa harus memberikan "uang tip" tambahan.

Untuk menetapkan tarip bea masuk barang import, petugas bea cukai pun selalu meminta beberapa contoh barang. Dan barang itu biasanya tidak dikembalikan. Dengan demikian sang petugas setiap hari tidak saja membawa pulang uang hasil "pungutan liar", tetapi juga barang-barang "import liar". Maka tidaklah heran pula kalau ketika itu tingkat kehidupan ekonomi para pejabat Bea Cukai relatif lebih baik sehingga menimbulkan kecemburuan banyak pegawai negeri lainnya.

Reportase hasil pengamatanku kemudian dimuat dalam dua kali penerbitan. Kudengar setelah itu dilakukan penyederhanaan prosedur pengeluaran barang di pelabuhan Tanjung Priok.

Protes keras yang salah alamat.IV(4.14)


         Menjadi wartawan yang meliput berita-berita kriminal, seperti yang aku alami penuh resiko.  Pada suatu pagi, seperti biasa aku masuk kantor sebelum mencari berita. Di halaman kantor  terlihat beberapa anggota tentara. Tiba-tiba muncul dari dalam Rls. pegawai baru yang belum lama diterima sebagai Seketaris Redaksi. “Nah….., ia ini dia orangnya Pak, kebetulan sudah datang”. Yang dia maksudkan adalah wartawan yang menulis berita pada koran kami pagi itu mengenai perampokan  yang melibatkan oknum tentara.
        Dalam hati aku menyesali teman ini karena dia telah melakukan pelanggaran  berat kode etik pers.  Penulis berita menurut Undang-undang harus dirahasiakan kecuali kepada Jaksa Agung. Isi pemberitaan pers pun tak dapat  langsung dimintakan pertanggungjawabannya kepada wartawan yang menulis, tetapi harus kepada Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab suratkabar. Dalam  beberapa kasus, seperti koran Indonesia Raya dan Nusantara, Pemimpin Redaksinya memilih lebih baik dirinya dihadap-kan ke pengadilan daripada menyebutkan identitas war-tawan korannya yang menulis berita yang bemasalah.
        Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Salah seorang tentara itu memperlihatkan secarik kertas undangan dari atasannya di Gambir guna menjernihkan berita tersebut. Tanpa berpikiran buruk dan mengharapkan akan mendapatkan berita lanjutan, aku setuju ikut bersama mereka dalam mobil jip. Sampai di pertigaan Jalan Raden Saleh, salah seorang mengusulkan agar ke CPM Guntur tetapi tidak disetujui kawan-kawannya. Kami singgah sebentar ke Kantor Polisi Kramat. Salah seorang meminta polisi memanggil seorang tahanan. Dan ketika keluar anggota tentara itu memperlihatkan pashoto seorang  anggota tentara, dan tahanan itu mengangguk membenar-kannya.
         Sampai di salah satu markas militer di Jalan Merdeka Timur, aku dipertemukan dengan seorang perwira muda berpangkat Letnan Satu. Perwira ini menerimaku dengan ramah. Dia menyampaikan tanggapannya atas berita yang kutulis dan aku berjanji untuk memuatnya. Tetapi ketika keluar pintu gedung, tanpa terduga aku dicegat beberapa oknum anggotanya. Seorang  diantaranya menampar pipi kiriku dan seorang lagi mencoba mencabut pisau komando tetapi dihalangi kawannya.
         Aku masuk kembali ke dalam, menemui perwira yang mengundangku dan mengajukan protes. “Aku ke sini diundang baik-baik dan dijemput. Mengapa jadi begini ! Ini akan berakibat panjang,” kataku keras. Sang perwira  hanya dapat meminta maaf dan mengantarku keluar.
         Di luar, aku lihat para prajurit tadi tengah mengikuti apel. Aku berjalan keluar halaman melewati  deretan tank dikiri-kananku dengan laras-laras meriamnya menjulang di atas kepalaku.
        Kendaraan umum pagi itu masih jarang sehingga terpaksa aku  pulang dengan bejalan kaki. Pikiranku jadi kacau, kesal dan marah atas keteledoran Sekretaris Redaksi kami yang baru serta tindakan main hakim sendiri para prajurit tadi. Pipiku juga terasa lebam dan sakit. Aku tak mungkin dapat melakukan tugas hari itu. Karena itu aku putuskan langsung pulang ke rumah dan tidur menenangkan diri.
        Petang harinya baru  aku ke kantor. Di sana hanya ada Pak Achmad Syamsudin,  Desk Editor yang bertugas menyeleksi berita-berita yang masuk sore itu. Ia terkejut melihat kedatanganku, karena sejak pagi hari itu teman-teman sekantor telah melakukan pengecekan ke instansi-instansi militer dan polisi tempatku biasa mencari berita seperti :Penerangan Kodam V/Jaya, Dispen AD, Dispen Hankam, Penerangan Komdak VII Jaya dan Dispen Mabes Polri. Tetapi mereka tidak mengetahui keberadaanku.
         Pak Syamsudin yang biasa kami  sapa Pak U’u, langsung membuat berita ukuran dua kolom dengan judul besar “Protes Keras”. Ditempatkan di pertengahan halaman depan dan di bingkai. Isi protesnya ditujukan ke Skogar Ibukota di Gambir.
         Pagi harinya, reaksi atas berita itu cukup banyak. Kepala Penerangan Kodam Jaya menelpon memintaku datang untuk menyelesaikannya. Tetapi Pemimpin Redaksi  kami  Bapak Nono Anwar Makarim melarangku pergi. Selaku Penanggung Jawab, dialah yang harus bertanggung jawab, namun ia tetap minta aku mendampinginya.
         Di ruang Pendam  V Jaya  telah menunggu  beberapa perwira menengah. Diantaranya ada  Kolonel Urip Widodo, Kabiro Sosial Politik Kodam  dan  Letnan Kolonel  Mantik dari Skogar Ibukota. Kapendam menjelaskan setelah dicek ke Skogar ternyata peristiwa dimaksud tidak pernah terjadi. Namun ketika dicek lebih  lanjut ke seluruh kesatuan  militer yang berkantor di Gambir, ternyata peristiwa itu terjadi   di kantor kesatuan kavaleri. Pelakunya, dua orang  kopral,  telah dimasukan ke sel. Karena itu diharapkan kejadian itu dianggap selesai.
         Pernyataan simpati terus berdatangan. Seorang kolonel dari Cijantung menelpon menanyakan tentara dari mana pelakunya dan apakah kami memerlukan bantuan. Tetapi kujawab  telah diselesaikan secara  damai.***










Thursday, February 18, 2010

LAGI PAK AMIEN RAIS NGUTIP INJIL

Rupanya Pak Amien Rais sangat terkesan dengan sabda Jesus (Nabi Isa a.s.) bahwa kita harus dapat memaafkan orang lain bila berbuat kesalahan, karena tidak ada orang di dunia ini yang tidak berdosa. Ia mengibaratkan pekerjaan Pansus Bank Century sekarang ini bagaikan Nabi Isa yang menemukan sekelompok orang yang sedang akan merajam seorang perempuan pezinah. Menurut Amien Rais, Pansus sudah menunjukan fakta adanya pelanggaran yang terang-benderang. Jadi yang sudah terang jangan digelapkan lagi.

Kalau Pak Amien Rais mengutip dari Injil, maka yang terjadi sebenarnya bukanlah ketika beliau sedang berjalan-jalan di sebuah kampung dan kebetulan melihat kerumunan orang-orang garang itu. Yang terjadi adalah ketika Jesus sedang mengajar di Bait Suci Yerusalem. Ahli-ahli Torat dan Orang Parisi yang terkenal munafik itu tiba-tiba datang membawa seorang perempuan yang tertangkap basah berbuat zinah.

Jesus tahu akal bulus mereka yang ingin menjebakNya. Jesus memang dikenal seorang yang pengasih dan penyayang dan tidak menyukai kekerasan. Dan mereka tahu juga bahwa menurut Hukum Torat perempuan yang tertangkap basah seperti itu hukumnya adalah hukuman mati tanpa ampun dengan jalan dirajam.

Mereka berharap Jesus akan melarang mereka. Dengan demikian mereka akan mendapatkan alasan untuk menangkapNya dengan tuduhan menentang Hukum Torat. Tapi ketika mereka menanyakan pendapatNya tentang perempuan itu, beliau malah hanya diam membungkuk dan menulis-nulis dengan jari di tanah.

Dan ketika mereka makin mendesak meminta jawaban, beliau bangkit berdiri dan menantang. "Siapa diantara kamu yang merasa tidak berdosa, biarlah dia yang pertama melempari perempuan itu dengan batu". Setelah mendengar perkataan itu mereka pergi angkat kaki satu per satumulai dari yang tertua.

Memang, seperti yang dikatakan Amien Rais, fakta adanya pelanggaran sudah terang-benderang. Sama seperti sang pezinah yang kesalahannya sudah terang-benderang. Maka yang tinggal untuk diputuskan adalah, mau diapakan orang-orang yang bertanggung jawab atas kesalahan itu ?

Sejalan dengan jalan pikiran mantan Ketua MPR di atas, patut pula dipikirkan contoh yang diambil Nelson Mandela. Semua yang diduga bersalah dibawa ke pengadilan. Mereka yang terbukti bersalah kemudian diberi pengampunan ketika tokoh Afrika itu menjadi Presiden.

Tuesday, February 16, 2010

SUKA DUKA MENGIKUTI MAPRAM

Setiap orang yang memasuki perguruan tinggi hampir dapat dipastikan terlebih dahulu kan melewati apa yang disebut "masa perkenalan" dengan berbagai nama seperti Ospek, Mapram dsbnya. Tapi apapun namanya, pada umumnya dalam setiap pelaksanaannya selalu ada semacam "tindak kekerasan", baik psikhis maupun fisik. Yang tak bisa nyanyi atau menari dipaksa harus bisa.

Dan yang juga membuat susah adalah itu : Buku Keramat. Cama (calon mahasiswa) harus banyak menyembah-nyembah kepada para pangeran Putera/puteri (senior) untuk meminta Tanda tangan. Sudah diusurun pakai pakaian compang-camping, rambut kepala dibuat Tidak keruan lagi. Itu pengalamanku waktu masuk di Iniversitas Pancasila.

Di Perguruan Tinggi Publisistik (PTP) lain lagi. Semula saya ikut apel dengan harapan setelah itu dapat diberi dispensasi karena ketika itu sudah menjadi wartawan, Tapi apa daya. Pada akhir upacara kami semua disuruh berjongkok,- dan mulailah aksi pembotakan bagi cama pria.

Ya, apa boleh buat. Harus mengikuti sampai selesai selama seminggu. Di suruh jual koran dan majalah, naik sepeda ke Senayan, berjoget semalam suntuk sampai beberapa orang pingsan. Tapi syukurlah tidak sampai terjadi penganiayaan seperti yang sering terjadi pada sekolah-sekolah tinggi kedinasan yang mengakibatkan korban jiwa.

Ketika akan berangkat mengikuti wisuda di Hotel Indonesia, tetangga kami tertawa geli melihat saya yang memakai jaket mahasiwa dengan kepala botak. " Kayak Cina", katanya. Eh biar botak-botak juga, akag terhibur juga karena terpilih sebagai King

Friday, February 12, 2010

POLISI DAN JAKSA INGKARI HAK OPORTUNITAS

Akhir-akhir ini sering kita membaca atau menyaksikan melalui tayangan televisi rakyat kecil yang menjadi korban "penegakan hukum". Hanya karena melakukan tindak pidana ringan, nenek-nenek, anak-anak di bawah umum, bahkan ibu yang masih menyusui dimasukan ke tahanan. Harus meringkuk dalam tahanan berbulan-bulan menunggu masa sidang yang waktunya tidak menentu.

Seorang hakim di suatu pengadilan yang merasa iba terhadap pesakitan yang diajukan kepadanya menegur jaksa mengapa orang kecil seperti itu dihadapkan ke pengadilan. Hakim mengingatkan akan adanya hak oportunitas yang diberikan undang-undang, bukan hanya kepada polisi tetapi juga jaksa untuk mendeponir suatu perkara, yang dengan alasan kemanusiaan tak perlu diteruskan ke pengadilan. Mungkin cukup dengan memberi peringatan, atau dengan cara lain.

Entah karena tidak tahu, banyak polisi dan jaksa yang tetap saja memproses perkara-perkara ringan, yang sebetulnya dapat dideponir sehingga jumlah perkara bertumpuk-tumpuk dan penghuni rumah-rumah tahanan dan penjara tambah berjejal.

Agaknya para personil kepolisian di bidang reserse kriminal dan para jaksa perlu dibekali buku pegangan di mana juga di dalamnya diingatkan hak oportunitas mereka dalam menangani kasus orang-orang lanjut usia, anak-anak di bawah umur dan sejenisnya - yang dengan alasan kemanusiaan pantas untuk diberlakukan.

Karena hukum dibuat untuk kemanusiaan, dan bukan manusia untuk hukum. Tetapi jangan pula disalahgunakan !

VONIS ANTASARI TERKESAN RAGU-RAGU

Akhirnya Antasari Azhar, mantan Ketua KPK, dan para terdakwa lain yang dituduh terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen dijatuhi hukuman oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Antasari dijatuhi 18 tahun penjara. Pada pengadilan yang terpisah, pengusaha Sigid Haryo Wibisono 15 tahun, Jerry Hermawan Lo 5 tahun dan mantan Kapolres Jakarta Selatan Wiliardi Wizar 12 tahun penjara.

Banyak yang menilai putusan pengadilan atas para terdakwa itu seperti keputusan ragu-ragu. Meskipun dalam keputusan formalnya hakim selalu menyatakan "dengan meyakinkan", namun hukuman yang dijatuhkan tidak selaras dengan ancaman untuk tindak pidana pembunuhan yang direncanakan.

Nampaknya tim hakim pun sesungguhnya juga ragu-ragu. Mau membebaskan riskan, mau menjatuhkan hukuman mati sesuai tuntutan jaksa, takut mencabut nyawa orang lain yang mungkin tidak bersalah. Maka dijatuhkanlah hukuman seperti sekarang, yang cenderung seperti "hukuman sela".

Menunda pengambilan keputusan yang final. Menyerahkan dan membagi kepada para hakim lain di atasnya beban tanggung jawab memeriksa dan memutuskan. Mungkin mereka akan dapat menggali lebih jauh fakta-fakta hukum yang lebih meyakinkan. Para hakim yang memutus perkara ini tentunya sudah dapat memastikan bahwa perkara ini akan berlangsung ke tingkat yang lebih tinggi, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

Jaksa penuntut umum yang sebelumnya berapi-api, nampak juga hanya pikir-pikir alias ragu-ragu apakah akan naik banding atas putusan hakim yang jauh di bawah tuntutannya. Nasrudin Andi Samsudin Zulkanaen adil Antasari juga menyatakan ketidakpuasannya. Kalau memang hakim yakin, mengapa tidak menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya. Dan kalau tidak yakin mengapa tidak membebaskan Antasari.

Pernyataannya itu memang sejalan dengan sikapnya serta keluarga besar yang nampaknya tidak terlalu memojokkan Antasari dan para terhukum lainnya. Sebaliknya mereka akan terus melakukan pengusutan sendiri untuk menemukan para pelaku yang sesungguhnya.

Selama ini memang terkesan adanya kelompok lain, suatu jaringan yang terorganisir rapih, yang merekayasa pembunuhan itu. Diduga untuk menghalangi Antasari Azhar yang ketika itu sebagai Ketua KPK mulai menyidik keuangan KPU dan Bank Century.

Mungkin saja Antasari Azhar sebagai manusia biasa ada hubungan gelap dengan Rani Juliani isteri sisi Nasrudin Zulkarnaen. Kelompok lain ini lalu memanfaatkannya, mengadu domba Antasari Azhar dengan Nasrudin melalui SMS-SMS palsu. Nasrudin Zulkarnaen kemudian dikorbankan dengan pembunuhan.

Dengan terjadinya tindak kriminal itu, lalu "diusutlah" apakah ada seseorang yang "bermasalah" dengan si korban menjelang pembunuhannya. Maka "ketemulah" Antasari dengan motif "cemburu". Ancaman pidana pembunuhan memang merupakan cara yang efektif untuk menyekap Ketua KPK itu dari upaya penyidikannya. Di sini dilibatkanlah Kabareskrim Polri Komjen Susno Duaji.

Untuk pelaksanaan eksekusi mati dipakailah personil kepolisian lain (Kombes Wiliardi) dan beberapa warga sipil untuk melaksanakan tugas "luar biasa" dengan dalih demi "keamanan negara".

Lalu untuk melumpuhkan pimpinan-pimpinan KPK lainnya yang dianggap "berbahaya", maka diciptakanlah "memori" Antasari yang memojokan kedua wakilnya Chanda Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Memori itu kemudian dijadikan dasar untuk membekap keduanya di tirai besi. Tindakan penahanan ini kemudian mendapat reaksi keras masyarakat luas yang memaksakan pembebasan mereka.

Entah karena sadar telah dimanfaatkan dan dikorbankan atau entah merasa ditinggalkan instansinya, kedua perwira Polri ini kemudian berubah sikap. Ada yang mencabut kembali kesaksiannya semula, mengungkapkan apa yang sesungguhnya yang terjadi dibalik perkara Antasari bahkan mengungkap adanya "tim lain" yang diduga menjadi eksekutor sesungguhnya atas diri Nasrudin.

Keterangan saksi ahli RS. Ciptomangunkusumo yang mengautopsi jenazah dan saksi ahli forensik yang meragukan kebenaran bukti-bukti tuduhan yang diajukan menambah akumulasi keraguan atas tuduhan terhadap Antasari. Sebaliknya malah makin menambah kecurigaan adanya kelompok lain yang misterius.

Aneh, kalau benar seperti yang dikemukakan pengacara-pengacara para terhukum bahwa hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta seperti SMS palu, keterangan ahli forensik, pencabutan berita acara, dan beberapa fakta lain yang dikemukakan para pembela.

Padahal dalam mengambil keputusan, hakim selalu menyebut "demi keadilan". Sebagai pemberi keadilan, semestinya semua hal yang dikemukakan kedua pihak yang bertentangan dipertimbangkan secara terbuka lalu diambil kesimpulan. Agaknya, proses pekara ini masih akan panjang.

Wednesday, February 10, 2010

BERALIH KE SEKOLAH WARTAWAN IV (4.13)

Dari penjualan koran gratis yang kudapatkan, aku dapat mencukupi biaya tansport ke tempat kerja dan biaya sehari-hari. Bahkan dapat membeli pakaian baru. Aku juga merasa sangat tertolong dengan adanya jaminan kesehatan yang diberikan perusahaan. Ada dokter perusahaan dan diberi penggantian harga obat-obatan. Malahan dokter mengabulkan untuk menambahkan dalam setiap recepnya beberapa kaleng susu fullcream sehingga kondisi tubuhku yang masih kurus dapat pulih lebih cepat. Setiap bulan gajiku kuterima penuh sehingga aku mulai dapat menabung.

Aku ingat kembali akan cita-citaku semula ke Jakarta yaitu untuk melanjutkan sekolah. Dan kondisinya sekarang sudah memungkinkan untuk mulai lagi. Karena itu pada tahun kuliah berikutnya aku mendaftar kembali ke Fakultas. Aku diperbolehkan tetapi harus mulai di tingkat I atau Persiapan lagi. Aku memang telah ketinggalan jauh dalam pelajaran dengan teman-teman kuliah seangkatanku. Untuk pelajaran teori mungkin masih dapat kukejar. Tetapi untuk praktek laboratorium kimia dan biology tak mungkin.

Semula semuanya bejalan baik.Tetapi kemudian aku berpikir ada ketidaksesuaian antara pendidikan yang sedang aku tempuh dengan pekejaan yang kini mulai kujalani dan telah mulai kurasakan manfaatnya. Masa depannyapun baik. Kupikir, mengapa segenap waktu dan perhatianku tidak kupusatkan saja pada pekerjaan ini tidak kukem-bangkan saja dengan lebih sungguh-sungguh. Baik dalam kemampuan dan ketrampilan maupun pengetahuan. Menyelesaikan studi di Fakultas Farmasi sampai menjadi Apotheker akan memakan waktu dan biaya lebih banyak.

Karena itu kuputuskan untuk kuliah di Peguruan Tinggi Publisistik Jakarta (sekarang Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik -IISIP Lenteng Agung Jakarta). Lembaga pendidikan tinggi ini memang didirikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan para pengajarnyapun berasal dari kalangan paktisi pers.

Meski hanya sebentar kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, namun banyak sekali ilmu pengetahuan yang kudapatkan. Misalnya rumus "reaksi bolak balik" atau "aksi - reaksi" yang selalu seimbang. Bukan hanya dalam ilmu kimia saja rumus ini berlaku tetapi juga dalam kehidupan manusia sehari-hari sebagai hukum "sebab-akibat".

Melalui kimia analisa, dapat diketahui suatu zat terdiri dari unsur kimia apa. Lalu melalui Botani Sistematik dapat dikenali tanaman-tanaman yang berkhasiat. Ilmu lain yang berkaitan dan menarik adalah Receptur mengenai pembuatan resep obat.

Ketika mengamati berbagai preparat dalam praktek botani anatomi di bawah mikroskop dengan pembesaran lensa berpuluh-puluh kali, seperti layaknya menyaksikan pemandangan di dunia lain yang menakjubkan. Nampak sel-sel bak peta perkotaan yang hidup. Inti-inti sel nampak bergerak melaju dalam cairan sel seperti mobil-mobil di lalulintas ramai. Teratur dan tidak ada yang saling bertubrukan. Ternyata ada lagi dunia lain, yaitu dunia mikrobiology, karya agung dari yang Maha Pencipta !

Namun dengan peralihan kuliahku ke PTP, pengembangan ke ilmu-ilmu di atas jadi tak berlanjut. Aku selanjutnya lebih berkonsentrasi pada upaya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan dibidang publisistik atau jurnalistik.

Disamping melalui perkuliahan, aku belajar menjadi wartawan. Mulai dengan mencari dan menulis berita kemudian menyampaikannya ke Redaksi. Waktuku yang seharusnya kugunakan untuk tidur istrahat setelah bekerja semalaman, sebagian kugunakan untuk meliput jalannya sidang di Pengadilan Negeri Jakarta. Kuliah sore hari. Berita-berita yang kubuat umumnya pendek-pendek dan hanya yang menarik perhatian (human interest).

Hampir seluruh berita-beritaku dimuat. Dan setiap kali aku melihat termuat aku senang. Pemimpin Redaksi kami, Pak Nono Anwar Makarim, tenyata tertarik dengan berita-beritaku. Pernah dua kali ia keluar dari ruang kerjanya dan menemui aku sambil tebahak-bahak. Ia mengomentari beritaku yang berjudul “Gara-gara bumbu masak, Direktur dipenjara”. Kedua, tentang berita seorang suami yang memperkarakan isterinya ke pengadilan karena memencet "alat vitalnya". Pasalnya, sang isteri marah setelah mengetahui suaminya beselingkuh dengan perempuan lain.

Tidak lama kemudian aku benar-benar ditarikdari tugas di percetakan ke Redaksi. Aku diberi Kartu Pers dan ditugaskan secara resmi sebagai reporter yang bertanggung jawab untuk menangani berita-berita pengadilan. Tidak saja meliput sidang-sidang di Pengadilan Negeri Jakarta di Jalan Gajah Mada, tetapi juga Pengadilan Tinggi, bahkan kemudian sidang-sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) di Gedung Bappenas depan Taman Surapati Menteng yang berlangsung siang dan malam. Mahkamah ini mengadili tokoh-tokoh bekas pelaku pecobaan perebutan kekuasaan oleh G30S/PKI tanggal 30 September 1965.

Pada suatu hari aku mengikuti pesidangan pekara seorang laki-laki yang ternyata sudah berulang-ulang keluar-masuk penjara. Dia ternyata bukan hanya pelaku biasa, tetapi seorang pemimpin dalam berbagai perampokan di Ibukota. Pembelanya adalah Mr. Yap Thiam Hien, pengacara terkemuka saat itu. Aku tertarik lalu mengumpulkan infomasi lebih banyak tentang orang ini termasuk mengadakan percakapan langsung di selnya. Hasilnya kemudian kurangkum menjadi suatu tulisan sebagai kisah nyata dan faktual. Ketika kuajukan ternyata dapat diterima untuk dimuat secara serial setiap hari.

Setelah seminggu pemuatannya, Bapak Ismid Hadad Wakil Pemimpin Umum menyatakan penghagaannya karena katanya tulisan itu disenangi banyak pembaca. Untuk itu pantas diberi penghargaan berupa honorarium untuk setiap seri pemuatan. Tulisan ini katanya sudah melebihi dari hasil yang diharapkan dari tanggung jawabku. Oh, alangkah beterima kasihnya aku. Bukan saja karena karyaku dihargai dan terbukti ada manfaatnya, tetapi juga oleh adanya tambahan rejeki.

Makin lama tanggung jawabku makin bertambah. Bukan hanya berita pengadilan, tetapi juga mencakup seluruh berita bidang hukum/kriminal. Berarti mencakup kegiatan lembaga Kejaksaan dan Kepolisian pada semua tingkatan dan wilayah. Aku juga mulai diberi tanggung jawab untuk peliputan dan berita-berita pertahanan-keamanan. Meliputi kegiatan-kegiatan Departemen Hankam/Keamanan dan ketiga Angkatan Perang.

Setiap hari bukan hanya meliput kegiatan-kegiatan dan menyusun berita, tetapi juga harus menyingkat atau menulis kembali berita-berita yang berasal dari sumber-sumber lain, seperti kantor-kantor berita dan koresponden daerah. Disamping itu aku juga kadang-kadang ditugaskan meliput berita- berita kegiatan bidang ekonomi dan olah Raga, khususnya pertandingan sepak bola, kegiatan kesenian di Taman Ismail Marzuki bahkan menulis resensi film.

Puji Tuhan, Pintu Dibukakan (4.12)

Pada suatu pagi aku bekenalan dengan Ardi Syarif, seorang pemuda asal Padang. Rumahnya bersebelahan dengan kantor SKM Udjana tempatku bekerja. Ia sedang membaca koran Harian KAMI, yang baru terbit pagi itu. Koran tabloid ini adalah salah satu media informasi mahasiswa yang tegabung dalam oganisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) , yang ketika itu sedang gencar-gencarnya melakukan demonstrasi. Mereka menuntut pelaksanaan TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat), yaitu pembubaran PKI, resuffle Kabinet dan penurunan harga-harga kebutuhan pokok rakyat.

Kenalan baru ini ternyata mahasiwa UI dan juga aktif di Harian KAMI. Aku menyatakan keinginanku untuk bekerja di surat kabar harian sebagai korektor dan apakah masih ada lowongan di Harian KAMI. Kukatakan aku mahasiswa juga dari Univesitas Pancasila. Pernah ikut bergabung dalam demonstrasi di halaman kampus UI Salemba.

Tanggapan Ardy ternyata sungguh baik. Saat itu juga ia mengajak aku ke Kantor Harian KAMI yang letaknya hanya beberapa rumah jauhnya. Ia memperkenalkan aku dengan seorang pemuda yang ramah yang sering disapa "Oje" oleh kawan-kawannya. Ternyata dia tidak lain adalah budayawan Satyagraha Hurip, dan di Harian Kami ia sebagai Seketaris Perubahaan. Oje rupanya hanya nama samarannya dari singkatan "Orang Jelata." Pembawaannya memang sederhana. Tulisan-tulisannya banyak mengungkapkan kehidupan rakyat kecil.

Setelah wawancara singkat, aku dinyatakan diterima ! Sebagai korektor sesuai pengalamanku. Bahkan diminta kalau bisa agar langsung ikut ke percetakan dan mulai bekerja hari itu juga. Wah ! Alangkah sukacitanya aku. Dalam hati aku berulang-ulang bersyukur pada Tuhan.

Aku langsung ikut sampai-sampai lupa untuk pamit dan mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan rekan sekerja di Mingguan Udjana. Lebih menarik lagi, suratkabar ini ternyata didukung oleh banyak penulis, pengarang dan sastrawan muda dan terkenal. Sebagian diantara mereka adalah anggota-anggota kelompok yang biasa disebut “seniman Senen”, karena kerapkali betemu di kawasan Senen.

Disamping Satyagaha Hurip dan Bastari Asnin, yang sudah menjadi staf redaksi, terdapat juga seniman penulis tetap seperti Muchtar Lubis, Rosihan Anwar, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, Gunawan Mohamad, Emil Salim dan HB. Yassin. Ada juga Dra. Trimurti, salah seorang peserta upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya saat pembacaan Proklamasi Kemerdekaan di Pegangsaan Timur 56 Jakarta tanggal 17 Agustus 1945. Kadang-kadang ada yang mengantarkan langsung naskahnya ke percetakan sehingga aku dapat mengenal mereka dari dekat.

Harian KAMI dicetak di Percetakan Pemandangan di Jalan Gunung Sahari, Ancol. Di situ aku dikenalkan dengan Achmad Fanany, satu-satunya karyawan yang menangani semua urusan pencetakan koran Harian KAMI. Mulai dari mengatur tata letak, pemberian kode jenis dan besar huruf untuk pencetakan setiap naskah dan sekaligus mengoreksinya.

Aku lihat ada beberapa hal yang masih perlu diperbaiki seperti tata letak dan juga kearsipan klise-klise foto. Dengan pengalaman kami masing-masing, aku dan Pak Fanany berusaha meningkatkan pewajahan Harian KAMI sehingga tidak kalah dengan koran-koran profesional lainnya. Sebagai koran pagi, kami harus bekerja sampai halaman-halaman koran siap cetak di mesin rotasi.

Sebagai media pembawa suara kesatuan aksi yang menentang penguasa ketika itu, Harian KAMI pun tak lepas dari berbagai ancaman dan intimidasi dari pihak penguasa dan sisa-sisa pendukungnya. Markas Laskar Ampera Arief Rachman Hakim di Jalan Salemba Raya tidak berapa jauh dari kantor kami di Jalan Kramat VIII, suatu pagi diberondong senjata otomatis. Untung tak ada korban. Karena itu pada suatu malam seseorang meminjamkan sepucuk Sten . Kami boleh gunakan bila terpaksa. Senjata semi otomatis itu kami sembunyikan di bawah terpal penutup mesin.

Kami memang harus selalu waspada. Sewaktu-waktu koran kami pun bisa dapat serangan. Terbukti rekan kami, Bung Zaenal Zakse menjadi korban. Ia tewas tertembus sangkur militer ketika meliput demonstrasi tritura, di lapangan Monas. Padahal malam sebelumnya ia masih bersama-sama kami di percetakan.

Aku hanya dapat melihat sore itu jaket seragam kami yang dipakainya terhampar berlumuran darah di kantor. Ketika demonstrasi berlangsung aku sedang tidur istrahat di rumah. Ribuan orang siang itu mengantarkan ke pemakaman. Peristiwa itu tidak terpaut lama dengan gugurnya pahlawan Ampera Arief Rachman Hakim.

       Pencetakan koran biasanya selesai menjelang subuh. Pengurus mengijinkan kami, membawa pulang sepuluh sampai duapuluh eksemplar koran yang dapat kami jual untuk tambahan biaya transport. Kami selalu pulang dengan menumpang mobil ekspedisi Bagian Pemasaran.

Ternyata koran kami selalu jadi rebutan. Setiap mobil kami lewat di perampatan Senen-Kramat, selalu dikerubuti pengecer koran yang berebut membeli koran kami. Alangkah senang dan bersyukurnya aku. Tuhan ternyata mendengar doa-doaku selama ini dan mulai memulihkan kehidupanku.
                                             
 Kembali Kuliah

             Dari penjualan koran gratis yang kudapatkan, aku dapat mencukupi biaya tansport ke tempat kerja dan biaya  sehari-hari, bahkan dapat membeli pakaian baru. Aku juga merasa sangat tertolong dengan adanya jaminan kesehatan yang diberikan perusahaan. Ada dokter perusahaan dan diberi penggantian harga obat-obatan. Malahan dokter mengabulkan untuk menambahkan dalam setiap resepnya  untuk diberikan beberapa kaleng susu fullcream sehingga kondisi tubuhku yang masih kurus dapat pulih lebih cepat.
Setiap bulan gajiku kuterima penuh sehingga aku mulai dapat menabung.
          Aku ingat kembali cita-citaku semula yaitu ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah. Dan kondisinya sekarang sudah memungkinkan untuk memulai lagi. Karena itu pada tahun kuliah berikutnya aku mendaftar kembali ke Fakultas. Aku diperbolehkan tetapi harus mulai di tingkat I atau Persiapan kembali. Aku memang telah ketinggalan jauh dalam pelajaran dengan teman-teman mahasiswa seangkatanku. Untuk pelajaran teori mungkin masih dapat  kukejar. Tetapi untuk praktek laboratorium kimia dan biology  dan  praktek lapangan tak mungkin.    
        Semula semuanya bejalan baik.Tetapi kemudian aku berpikir ada ketidaksesuaian antara pendidikan  yang sedang kutempuh dengan pekejaan yang kini mulai kujalani dan telah mulai kurasakan  manfaatnya. Masa depannyapun baik. Kupikir, mengapa segenap waktu dan perhatianku tidak kupusatkan saja pada pekerjaan ini. Kukembangkan saja dengan lebih  sungguh-sungguh. Baik dalam kemampuan dan ketrampilan maupun pengetahuan. Menyelesaikan studi di Fakultas Farmasi sampai menjadi Apotheker  akan memakan waktu dan biaya lebih banyak.
        Karena itu  kuputuskan untuk kuliah di Peguruan Tinggi Publisistik Jakarta. Lembaga pendidikan tinggi kewartawanan ini memang didirikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan para pengajarnyapun berasal dari kalangan paktisi pers.
        Upaya peningkatan ketrampilan kerja kulakukan dengan belajar menjadi wartawan. Aku mulai dengan mencari dan menulis berita kemudian menyampaikannya ke Redaksi. Waktuku yang seharusnya kugunakan untuk tidur istrahat setelah bekerja semalaman, sebagian kugunakan untuk meliput jalannya sidang pengadilan di  Pengadilan Negeri Jakarta. Sesudah itu kuliah sore hari.     
          Berita-berita yang kubuat umumnya pendek-pendek dan  hanya yang menarik perhatian (human interest).  Hampir seluruh  berita-beritaku tenyata dimuat. Dan setiap kali aku melihat beritaku termuat aku senang. Pemimpin Redaksi kami, Pak Nono Anwar Makarim, tenyata tertarik dengan berita-beritaku. Pernah dua kali ia keluar dari ruang kerjanya dan menemui aku sambil tebahak-bahak dan mengomentari beritaku yang berjudul “Gara-gara  bumbu masak, Direktur dipenjara”. Kedua, tentang perkara seorang suami yang  memperkarakan isterinya karena memencet alat vitalnya setelah diketahui berselingkuh dengan perempuan lain.
        Tidak lama kemudian aku benar-benar ditarik ke  Redaksi. Aku diberi Kartu Pers dan ditugaskan secara resmi sebagai reporter yang  bertanggung jawab untuk menangani berita-berita  pengadilan. Tidak saja  meliput  sidang-sidang di Pengadilan Negeri Jakarta di Jalan Gajah Mada, tetapi  juga Pengadilan Tinggi, bahkan kemudian sidang-sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) di Gedung Bappenas depan Taman Surapati Menteng yang berlangsung siang dan malam. Mahkamah ini mengadili tokoh-tokoh bekas pelaku percobaan kudeta oleh G30S/PKI tanggal 30 September 1965.
        Pada suatu hari aku mengikuti pesidangan perkara seorang laki-laki yang sudah berulang-ulang keluar-masuk penjara. Dia ternyata bukan  hanya pelaku  biasa, tetapi seorang pemimpin dalam berbagai perampokan di Ibukota. Aku tertarik lalu mengumpulkan infomasi lebih banyak tentang orang ini termasuk mengadakan percakapan langsung. Hasilnya kemudian kurangkum menjadi satu tulisan sebagai kisah nyata dan faktual. Ketika kuajukan ternyata dapat diterima untuk dimuat secara serial setiap hari.
          Setelah seminggu dimuat berturut-turut, Bapak Ismid Hadad Wakil Pemimpin Umum menyatakan penghagaannya karena katanya tulisan itu disenangi banyak pembaca. Untuk itu pantas diberi  penghargaan berupa honorarium untuk setiap seri pemuatan. Tulisan ini katanya sudah melebihi dari hasil yang diharapkan dari tanggung jawabku. Oh, alangkah beterima kasihnya aku. Bukan saja karena karyaku dihargai dan terbukti ada manfaatnya, tetapi juga  oleh adanya tambahan  rejeki
          Makin lama tanggung jawabku makin bertambah. Bukan hanya berita pengadilan, tetapi mencakup seluruh berita bidang hukum/kriminal, yang berarti mencakup kegiatan lembaga Kejaksaan dan Kepolisian pada semua tingkatan dan wilayah. Aku juga mulai diberi tanggung jawab untuk peliputan berita-berita petahanan-keamanan yang meliputi kegiatan-kegiatan Departemen Hankam  dan ketiga  Angkatan Perang. Setiap hari bukan hanya meliput kegiatan-kegiatan dan menyusun berita, tetapi juga  harus menyingkat dan menulis kembali berita-berita yang berasal dari sumber-sumber lain, seperti  kantor-kantor berita dan koresponden daerah. 
         Disamping itu  aku juga kadang-kadang ditugaskan meliput berita-berita kegiatan bidang ekonomi dan olah Raga, khususnya  pertandingan sepak bola, kegiatan kesenian di Taman Ismail Marzuki bahkan menulis resensi film.
       
                         Protes keras yang salah  alamat.
 
         Menjadi wartawan yang meliput berita-berita kriminal, seperti yang aku alami penuh resiko.  Pada suatu pagi, seperti biasa aku masuk kantor sebelum mencari berita. Di halaman kantor  terlihat beberapa anggota tentara. Tiba-tiba muncul dari dalam Rls. pegawai baru yang belum lama diterima sebagai Seketaris Redaksi. “Nah….., ia ini dia orangnya Pak, kebetulan sudah datang”. Yang dia maksudkan adalah wartawan yang menulis berita pada koran kami pagi itu mengenai perampokan  yang melibatkan oknum tentara.
        Dalam hati aku menyesali teman ini karena dia telah melakukan pelanggaran  berat kode etik pers.  Penulis berita menurut Undang-undang harus dirahasiakan kecuali kepada Jaksa Agung. Isi pemberitaan pers pun tak dapat  langsung dimintakan pertanggungjawabannya kepada wartawan yang menulis, tetapi harus kepada Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab suratkabar. Dalam  beberapa kasus, seperti koran Indonesia Raya dan Nusantara, Pemimpin Redaksinya memilih lebih baik dirinya dihadap-kan ke pengadilan daripada menyebutkan identitas war-tawan korannya yang menulis berita yang bemasalah.
        Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Salah seorang tentara itu memperlihatkan secarik kertas undangan dari atasannya di Gambir guna menjernihkan berita tersebut. Tanpa berpikiran buruk dan mengharapkan akan mendapatkan berita lanjutan, aku setuju ikut bersama mereka dalam mobil jip. Sampai di pertigaan Jalan Raden Saleh, salah seorang mengusulkan agar ke CPM Guntur tetapi tidak disetujui kawan-kawannya. Kami singgah sebentar ke Kantor Polisi Kramat. Salah seorang meminta polisi memanggil seorang tahanan. Dan ketika keluar anggota tentara itu memperlihatkan pashoto seorang  anggota tentara, dan tahanan itu mengangguk membenar-kannya.
         Sampai di salah satu markas militer di Jalan Merdeka Timur, aku dipertemukan dengan seorang perwira muda berpangkat Letnan Satu. Perwira ini menerimaku dengan ramah. Dia menyampaikan tanggapannya atas berita yang kutulis dan aku berjanji untuk memuatnya. Tetapi ketika keluar pintu gedung, tanpa terduga aku dicegat beberapa oknum anggotanya. Seorang  diantaranya menampar pipi kiriku dan seorang lagi mencoba mencabut pisau komando tetapi dihalangi kawannya.
         Aku masuk kembali ke dalam, menemui perwira yang mengundangku dan mengajukan protes. “Aku ke sini diundang baik-baik dan dijemput. Mengapa jadi begini ! Ini akan berakibat panjang,” kataku keras. Sang perwira  hanya dapat meminta maaf dan mengantarku keluar.
         Di luar, aku lihat para prajurit tadi tengah mengikuti apel. Aku berjalan keluar halaman melewati  deretan tank dikiri-kananku dengan laras-laras meriamnya menjulang di atas kepalaku.
        Kendaraan umum pagi itu masih jarang sehingga terpaksa aku  pulang dengan bejalan kaki. Pikiranku jadi kacau, kesal dan marah atas keteledoran Sekretaris Redaksi kami yang baru serta tindakan main hakim sendiri para prajurit tadi. Pipiku juga terasa lebam dan sakit. Aku tak mungkin dapat melakukan tugas hari itu. Karena itu aku putuskan langsung pulang ke rumah dan tidur menenangkan diri.
        Petang harinya baru  aku ke kantor. Di sana hanya ada Pak Achmad Syamsudin,  Desk Editor yang bertugas menyeleksi berita-berita yang masuk sore itu. Ia terkejut melihat kedatanganku, karena sejak pagi hari itu teman-teman sekantor telah melakukan pengecekan ke instansi-instansi militer dan polisi tempatku biasa mencari berita seperti :Penerangan Kodam V/Jaya, Dispen AD, Dispen Hankam, Penerangan Komdak VII Jaya dan Dispen Mabes Polri. Tetapi mereka tidak mengetahui keberadaanku.
         Pak Syamsudin yang biasa kami  sapa Pak U’u, langsung membuat berita ukuran dua kolom dengan judul besar “Protes Keras”. Ditempatkan di pertengahan halaman depan dan di bingkai. Isi protesnya ditujukan ke Skogar Ibukota di Gambir.
         Pagi harinya, reaksi atas berita itu cukup banyak. Kepala Penerangan Kodam Jaya menelpon memintaku datang untuk menyelesaikannya. Tetapi Pemimpin Redaksi  kami  Bapak Nono Anwar Makarim melarangku pergi. Selaku Penanggung Jawab, dialah yang harus bertanggung jawab, namun ia tetap minta aku mendampinginya.
         Di ruang Pendam  V Jaya  telah menunggu  beberapa perwira menengah. Diantaranya ada  Kolonel Urip Widodo, Kabiro Sosial Politik Kodam  dan  Letnan Kolonel  Mantik dari Skogar Ibukota. Kapendam menjelaskan setelah dicek ke Skogar ternyata peristiwa dimaksud tidak pernah terjadi. Namun ketika dicek lebih  lanjut ke seluruh kesatuan  militer yang berkantor di Gambir, ternyata peristiwa itu terjadi   di kantor kesatuan kavaleri. Pelakunya, dua orang  kopral,  telah dimasukan ke sel. Karena itu diharapkan kejadian itu dianggap selesai.
         Pernyataan simpati terus berdatangan. Seorang kolonel dari Cijantung menelpon menanyakan tentara dari mana pelakunya dan apakah kami memerlukan bantuan. Tetapi kujawab  telah diselesaikan secara  damai.

  Menguak  pungutan liar di Tanjung Priok.

         Suatu hari aku mendapat tugas menemui Dra. Trimurti, pahlawan perintis kemerdekaan yang ikut dalam upacara proklamasi kemerdekaan  pada   tanggal 17 Agustus 1945 di  Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Konon, beliau juga termasuk salah seorang pemudi pejuang yang ikut mendesak Bungkarno dan Bung Hata untuk memproklamasikan kemerdekaan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 namun gagal. Isteri Sayuti Melik yang ikut menyusun teks proklamasi kemerdekaan ini, biasa akrab dipanggil Bu Tri.
          Meski sudah mulai dimakan usia, ia masih tetap aktif menulis. Ia  termasuk penulis tetap di Harian Kami, bahkan ia juga menerbitkan majalah sendiri, majalah Mawas  Diri.
         Beliau mengajak untuk membongkar praktek pungutan liar dan penyelundupan administratif melalui pelabuhan Tanjung Priok yang  tertutup rapat dan sulit dibuktikan. Ia  memperkenalkan aku dengan seorang importir mobil. Dan dengan selembar surat tugas, aku menemani seorang staf kepercayaannya  yang sedang mengurus  pengeluaran  mobil  import asal Jerman. Reportase hasil penyamaranku kemudian dimuat  dalam tiga kali penerbitan. Kudengar setelah itu dilakukan penyederhanaan prosedur pengeluaran barang di pelabuhan Tanjung Priok.

     Memberantas Padenge di Kabupaten Poso. 
               
           Pada suatu ketika aku mendapat berita ibuku sakit keras. Dengan alasan itu aku diijinkan pulang ke kampung. Malahan aku dapat menggunakan tiket cuma-cuma Jakarta-Ujung Pandang  pulang pergi sebagai hasil kerjasama koran kami dengan Mandala  Airlines.
           Ibu ternyata sudah membaik. Malahan aku yang tiba-tiba sakit nyeri otot belakang. Kalau bergerak terasa sangat sakit. Diam-diam ibu dan adik Tumi menyiapkan acara kebaktian doa pengucapan syukur atas kedatanganku dan untuk kesembuhanku. Selepas kebaktian hari Minggu,  jemaat bekumpul di rumah. Banyak sekali. Sebagian terpaksa mengambil tempat di luar. Mengherankan, karena yang memimpin kebaktian adalah Kak Madura, putera adik bungsu ayahku. Padahal  dahulu ia seorang  dukun terkenal. Dia rupanya telah bertobat dan malahan ditahbiskan  menjadi Penatua.
          Makin hari kesehatanku mulai pulih. Aku telah mengirim telegam ke kantor di Jakarta perihal kesehatanku sehingga mungkin akan terlambat kembali ke Jakarta. Karena itu aku ingin menggunakan kesempatan beberapa hari untuk melakukan kegiatan jurnalistik. Aku tidak ingin kembali ke suratkabarku tanpa membawa ole-ole laporan jurnalistik. Aku juga ingin berbuat sesuatu untuk perbaikan tanah kelahiranku. Dan kini kesempatan itu tersedia bagiku.
        Banyak yang dapat kulakukan. Kulihat kehidupan rakyat tetap memprihatinkan. Prasarana transportasi tambah rusak. Kegiatan ekonomi lesuh. Kota Beteleme yang dahulu dibakar gerombolan perusuh, masih ambrul adul. Demikian pula Kampung Tinompo tempatku sekolah selama tiga tahun lebih makin meosot. Pada hal di daerah-daerah lain pemerintah-pemerintah daerahnya beserta masyarakat sedang berlomba-lomba membangun. Walikota Makasar, Daeng Patompo, Walikota Cirebon Tatang dengan antusias membangun dan mendadani kotanya di sana sini. Mereka tidak mau disebut sedang meniru-niru  Gubernur DKI Ali Sadikin yang ketika itu sedang harum namanya karena kesuksesannya  membangun Jakarta. Malah Ali Sadikin yang meniru, kata mereka.
       Dari berbagai keluhan penduduk dan pengamatanku, yang paling menyengsarakan rakyat adalah praktek padenge, yaitu pemaksaan rakyat untuk memikul barang bawaan pribadi para pejabat pemerintah dan personil militer dari kampung ke kampung tanpa bayaran sedikitpun !
     Pemaksaan serupa hampir kualami sendiri. Ketika masih sakit aku duduk-duduk di kursi beranda. Tiba-tiba seorang prajurit memanggil-manggil setengah membentak kearahku  dari jalan raya. Karena aku tak bereaksi, ia lalu bergegas dengan sikap marah akan memasuki  pintu pagar. Ketika kukatakan, aku sedang sakit ia pergi. Aku sama sekali tidak takut. Karena kalau ia melakukan kekerasan, pasti aku akan melayangkan berita protes ke Mabes Hankam dan Mabes AD di Jakarta melalui koran kami. Pada Kartu Pers dari Puspen Hankam maupun Dispen MBAD tegas dinyatakan agar semua pihak di lingkungannya  memberikan  bantuan dalam pelaksanaan tugas pemegangnya.
           Aku memutuskan berangkat seorang diri ke Poso berjalan kaki mengikuti rute jalan potong seperti yang dahulu sering aku lalui kalau pulang libur. Dengan demikian aku dapat melihat perubahan yang terjadi dan membandingkannya dengan kondisi sepuluh tahun yang lalu ketika terakhir kutempuh.
         Ternyata sungguh menyedihkan. Jalan raya yang dahulu masih bisa dilalui mobil, kini di beberapa ruas sudah seperti jalan setapak. Padahal jalan ini jalan negara. Di beberapa tempat aku berjumpa dengan penduduk yang sedang memaras jalan. Sebagian diantaranya orang tua-tua dan pemuda dari Uluanso, kampung asalku. Ada yang sakit tapi tak ada obat. Mereka mengeluh, karena tepaksa meninggalkan berhari-hari kebun dan sawah mereka yang sudah siap panen lagi rawan dari serangan hama dan binatang-binatang perusak. Tidak ada bayaran dan harus membawa bekal sendiri.
       Berkali-kali aku berjumpa dengan padenge, yaitu penduduk pemikul barang yang berat-berat diikuti pemilik-nya yang melenggang. Entah ia pejabat pemerintah atau anggota militer atau polisi.
       Di Poso aku tetarik untuk mengetahui apa yang telah dilakukan dan bagaimana progam pembangunan pemerintah daerah. Tetapi sungguh mengherankan, ketika diberitahukan mereka tidak memiliki Repelita ( Rencana Pembangunan Lima Tahun Daerah). Padahal ketika itu sudah menjadi keharusan, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah membuat Repelita. Akupun menemui komandan distrik militer Kabupaten Poso   seorang Mayor dan mempertanyakan pemasalahan padenge.
.
   Jumpa mantan pujaan hati.
 
       Ketika bejalan-jalan sore hari di Jalan Talasa depan kompleks SMA, sekolahku dahulu, tanpa terduga aku berjumpa dengan dua orang gadis. Tak kuduga mereka mengenal dan menyebut namaku. Mereka ternyata  teman sekelasku di SD Beteleme dahulu, diantaranya DS. Ini suatu kejutan. Karena selama di SD itu ia merupakan idolaku dan aku jatuh hati padanya.
         Kenangan asmara masa kecil itu kembali berdebur keras. Terbayang kembali masa kecil kami ketika ia masih anak gadis yang lincah dan periang. Berkali-kali aku ingin mendekati dan bercakap-cakap intim dengan dia tetapi aku begitu pemalu. Padahal rumah kami dan rumahnya tidak begitu bejauhan karena sama-sama dekat perbatasan kampung. Kami sering-sering nyaris beriringan ke sekolah. Tapi tidak berani mendekat dan beriringan berdua-duaan, karena menurut  tata kesopanan saat itu masih tabu.
       Aku makin tertarik, karena ternyata orangtuaku dan kakeknya sudah saling mengenal. Bahkan ayah pernah mengajakku ke rumah kakeknya. Sayang gadis pujaan itu tidak terlihat. Ada kebun kami di Parawi. Dan konon  kebun di sebelahnya milik kakek DS. Aku sering mengamat-amati  rumah di kebun itu kalau-kalau dia muncul, tetapi tak pernah.    
        Tidak mengherankan kalau kami tenggelam dalam keasyikan bercakap-cakap tentang masa kecil bersama sampai tengah malam sambil duduk di tembok pembatas jembatan. Sama dengan aku, mereka juga ternyata belum berkeluarga. Sempat terbesit dalam pikiranku barangkali dia memang jodohku untuk dipertemukan kembali. Tetapi ada sedikit yang mengganggu pikiranku, karena ketika aku mengantarkan sampai ke depan rumah kediaman mereka, temannya sempat membisikan bahwa DS mempunyai pacar  seorang perwira menengah TNI. Namun aku pikir, gadis selincah dia adalah wajar kalau banyak pemuda mau mendekatinya, termasuk aku.
           Hubungan kemudian berlanjut dengan surat-menyurat. Dan ternyata apa yang dahulu kupendam, ternyata juga ia rasakan. Namun sebelum sampai pada keputusan akhir, aku menyurati teman N, teman sekampung asal Kumpi  tempatku menginap sewaktu ke Poso. Isterinya orang Wawopada yang juga bekas teman sekelasku di SMP Beteleme. Aku meminta nasehat mereka, karena N juga masih mempunyai hubungan kerabat dengan keluargaku. Tetapi alangkah mengecewakan, karena saran yang kuterima berupa anjuran, “kalau masih bisa, jangan diteruskan, sebaiknya tidak diteruskan”
         Selain kehancuran perhubungan darat, hubungan laut melalui pelabuhan di Kolonodale juga sulit. Aku berniat untuk kembali melalui jalan laut, tetapi batal. Kapal kecil  PN. Pelni yang hanya sebulan sekali menyinggahi kota itu  telah sarat muatan dan mulai menolak penumpang.
      Aku akhirnya mengambil jalan darat ke Makasar melalui bekas kampung kelahiranku, Uluanso tua, melintasi perbatasan daerah propinsi, menyeberangi danau Matano dan Sorowako daerah penambangan nikel oleh INCO di  Malili.
        Sungguh menyedihkan, kekayaan yang menghasilkan jutaan dollar yang digali dari perut bumi Malili tidak memberikan kesejahteraan yang memadai bagi penduduk sekitarnya. Rumah-rumah orang Nuha tetap kumuh dan gelap di malam hari. Kontras dengan kompleks perkampungan INCO Sorowako diseberang danau yang terang-benderang.
           Di Makasar, aku menyempatkan diri mewawancarai Walikota Daeng Patompo yang sedang tergila-gila memba-ngun daerahnya meniru Jakarta. Saking sukacitanya, ia minta ajudannya memberikan aku tiket pesawat meskipun aku sudah memiliki tiket.
           Kepala Dolog Makasar juga kujumpai berhubung adanya gejala aneh.  Sulawesi Selatan bekelimpahan beras, tetapi penduduk Jawa kekuangan beras sampai-sampai makan bulgur, yang konon di negara asalnya menjadi makanan kuda. Kendalanya ternyata kesulitan angkutan laut. Peusahaan pelayaran enggan mengangkut beras karena sewanya murah.
           Dalam pesawat aku mengenal seorang jenderal yang menjabat panglima di salah satu Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) yang mengkoordinasikan beberapa Kodam. Ketika aku mendekatinya untuk berwawancara ia terkejut. Ia mungkin mengira aku pembajak. Meski aku sudah mengenalkan diri, ia tetap enggan melayaniku. Untunglah aku kemudian bejumpa dengan seorang pemuda asal Timor, Johanes Auri, yang ternyata bintang sepak bola kesebelasan nasional. Teman-temannya di PSSI sering menjulukinya sebagai “Kuda hitamdari Timur”
        Ia beceritera tentang suka dukanya sebagai pemain bola nasional, bagaimana ia pernah cedera ketika melawan kesebelasan tangguh “Dinamo Moskow” dari Rusia Ia beceritera tentang penghargaan dan pengagum-pengagumnya termasuk kekasih yang baru saja dinikahinya. Selembar foto pernikahan dipelihatkannya dalam dompet. Ia juga berterima kasih atas perhatian Pertamina yang mengangkatnya sebagai kayawan.   
       Tulisanku mengenai bintang sepakbola yang hanya selingan spesialisasiku ini ternyata mengantarkan pula aku ke penugasan-penugasan untuk meliput pertandingan sepak-bola, baik tingkat nasional maupun antar negara di Istora Senayan. Diantaranya perebutan President Cup, Annyversary Cup, Mara Halim Cup dan Pra Piala Dunia.       
        Aku memang  ingin menjadi wartawan yang serba bisa. Gunawan Mohamad, redaktur kebudayaan kami, kerapkali memberiku tugas meliput dan menulis tentang kegiatan budaya di Gedung Kesenian Taman Izmail Marzuki. Mulai dari Lenong Betawi sampai pementasan karya Machbet yang dimainkan para dramawan terkenal. Sering pula ditugaskan menulis resensi tentang film-film produksi terbaru yang segera akan beredar.
         Aku juga tertarik dengan masalah-masalah perkotaan. Aku coba mengikuti sayembara mengarang mengenai penanggulangan masalah urbanisasi yang diselenggarakan Pemerintah DKI Jakarta. Tulisanku ternyata keluar sebagai salah satu pemenang, meskipun bukan yang terbaik.
       Tidak hanya itu. Bersama Pak Fanany, aku malahan kemudian  menjadi penulis tetap di Majalah Media Jaya  milik Pemda DKI Jakarta. Kemudian Majalah Kotapraja yang diterbitkan Badan Koordinasi Antar Kota Seluruh Indonesia (BKS-AKSI) Organisasi ini adalah forum komunikasi antar walikota-walikota seluruh Indonesia. Selain itu aku juga menjadi staf redaksi dari Majalah Widyapura, majalah ilmiah populer yang diterbitkan Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan.
         Ketika Gubernur Ali Sadikin tengah memelopori dimulainya komputerisasi di lingkungan administasi pemerintahannya. Kepala Biro II / Kepala Daerah, Ir. Wardiman meminta aku menyiapkan buku panduan dengan judul Sistim Komputerisasi Administrasi Pemerintah DKI Jakarta. Ia telah meminta stafnya menyusun buku itu tetapi tidak memuaskannya  Rencananya akan dibagi-bagikan pada saat kunjungan Presiden yang juga ingin mengetahui sistim administrasi pemerintahan baru berbasis komputer itu seperti apa. Penggunaan komputer saat itu masih sangat langkah. Di Indonesia baru IBM dan Pertamina yang memilikinya. Karena itu untuk dapat melaksanakan tugas ini aku menghabiskan banyak waktu terlebih dahulu mempelajari sistim itu sebelum mulai menulis. Syukurlah dapat diselesaikan dengan baik pada waktunya. ***
                    
                                                 
                              4.12. Masuk Daftar Hitam

           Pada awalnya kebebasan pers nampaknya  akan terjamin dalam pemerintahan baru. Koran Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis  dan Pedoman pimpinan Rosihan Anwar  yang dahulu dilarang diijinkan terbit kembali. Undang-Undang Pokok Pers diterbitkan. Meskipun adanya Ijin terbit dan Ijin cetak dari Pemerintah tetap diwajibkan, namun pemanggilan terhadap wartawan tidak sembarangan. Hanya Jaksa Agung yang boleh melakukannya, dan itupun hanya boleh terhadap Penanggung Jawab suratkabar.
          Tetapi lama-kelamaan, pemerintah mulai lagi mem-perketat pengendalian terhadap pers. Pejabat-pejabat pemerintah sering melarang pemuatan berita-berita tertentu. Surat kabar yang dianggap melanggar dihentikan penerbitannya dengan mencabut ijin cetak atau sekaligus dengan ijin terbitnya. Koran Indonesia Raya yang gencar memuat berita-berita korupsi dibreidel. Menyusul juga Pedoman, Nusantara, Majalah Ekspres, Majalah Tempo dan  beberapa media lainnya termasuk Harian Kami..   
         Karyawan-karyawan mulai dari wartawan-wartawan, pegawai administrasi, agen dan pengecer koran, kolportir iklan sampai petugas percetakan  terpaksa menganggur. Keluarga mereka kehilangan sumber nafkah. Tidak ada forum pengadilan untuk mengajukan pengaduan. Kami, karyawan Harian Kami seperti dibunuh perlahan-lahan. Ijin Terbit baru dicabut enam bulan setelah pencabutan Ijin Cetak. Ketika itu harapan untuk dapat terbit kembali tetap ada selagi yang dicabut hanya ijin cetak. Selama itu setiap hari kami hanya  datang ke kantor, menunggu dan menunggu dan tidak mengambil keputusan apapun karena berharap ijin cetaknya akan diberlakukan lagi.
          Selama penantian yang tidak pasti itu, sisa pengha-silan untuk kehidupan sehari-hari mulai habis. Karena itu kami masing-masing mulai memikirkan cara mendapatkan sumber penghasilan tambahan sambil menunggu jawaban pemerintah atas kelanjutan penerbitan koran kami. Apalagi bagi teman-teman yang sudah mempunyai tanggungan keluarga.
          Ada yang mulai mencoba nasib melalui usaha batu kapur dan ada yang buka warung. Aku sendiri menemui Bapak Ismid Hadad yang sudah menjadi Pemimpin Umum/Redaksi Majalah Prisma, sebuah majalah ilmiah. Ia memberi aku pekerjaan mengoreksi hasil pencetakan naskah dan memberi aku sekedar honor.
          Aku menghubungi Pak Gunawan Muhamad, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo. Disana telah bergabung juga teman-teman dari ex. Harian Kami seperti Fikri Jufri, A. Bastari Asnin, Lukman Setiawan, Christianto Wibisono, Bandoro, dan fotografer Ed  Zulverdi. Aku menghadapi kendala. Sebagai wartawan bekas koran yang dibreidel harus memperoleh rekomendasi dari Kopkamtib untuk dapat bekerja kembali sebagai wartawan. Tetapi aku ogah datang memohon-mohon ke lembaga itu. Aku masih merasa  sakit hati atas perlakuan terhadap kami.
          Pada saat itu pula  Pak Zulharman dan beberapa bekas pengurus Yayasan yang menerbitkan Harian Kami berhasil mendirikan PT. Enam-Enam. Perusahaan ini dimaksudkan untuk menampung para  ex karyawan Harian Kami yang belum bekerja. Kegiatan awalnya adalah  usaha klipping berita koran, biro iklan dan bantuan Hukum. Pak Erman dan E. Subekti menangani klipping, Pak Abdi Kusumanegara dan Pak Abbas Ali menangani Biro Iklan sedang Bantuan Hukum dirangkap Pak Erman.
        Erman adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan selama masih kuliah merupakan kontributor berita Harian Kami. Untuk mendukung usaha clipping  mereka  membeli mesin fotocopy yang sekaligus juga melayani umum.
          Meskipun aku telah aktif  sebagai koresponden lepas di Majalah Tempo, aku masih ke kantor ex. Harian Kami, bertemu teman-teman. Aku boleh tetap menggunakan fasilitas kantor seperti mesin tik bahkan sepeda motor. Aku tergugah melihat inisiatif, solidaritas dan perjuangan  keras teman-teman untuk bangkit lagi dari bidang usaha yang sama sekali baru. Datang subuh-subuh, memborong koran, menandai berita-berita, menggunting, menempel, memfotocopy dan memperbanyak, menjilid, mengirim, mencari langganan dan melakukan penagihan.
           Mula-mula hasilnya tak seberapa. Tetapi adalah lebih baik ada kegiatan dengan suatu harapan, daripada menunggu saja tanpa kepastian. Mulai timbul keinginanku untuk kembali bergabung.
           Teman-teman di Majalah Tempo Jalan Senen Raya 83 rupanya  berhasil mengusahakan surat rekomendasi dari Kopkamtib untukku. Aku dipanggil lalu Pak Goenawan Mohamad memperkenalkan aku ke Direktur Perusahaan. Sejak itu aku sebetulnya sudah menjadi wartawan tetap. Tetapi keinginanku untuk kembali bergabung dengan kawan-kawan di Jalan Kramat VIII/2 makin bertambah kuat. Tiba-tiba datang instuksi dari Kopkamtib agar semua majalah Tempo terbitan minggu itu ditarik dari peredaran dengan alasan tulisan mengenai salah satu tradisi di kraton Jogya di majalah itu  dinilai melanggar tata susila. Aku bertanya pada Pak Gunawan, apakah majalah ini dapat betahan selama lima tahun ? Pak Gunawan menjawab, “bukan lima tahun tetapi lima puluh tahun !” Namun jawaban optimis ini belum meyakinkan aku. Akankah kami akan mengalami lagi perlakuan seperti Harian Kami, Indonesia Raya, Pedoman dan lain-lainnya ?
          Karena itu mantaplah keputusanku untuk berhenti meninggalkan profesiku di bidang kewartawan yang selama ini kutekuni. Beralih ke bidang lain, setidak-tidaknya selama masih ada ancaman pemberangusan tehadap dunia pers.
          Aku mengundurkan diri dari Tempo dan bergabung dengan teman-teman mengembangkan Clipping Service Agency. Meski keputusanku disesali dan mengherankan teman-teman terutama  Pak Ismid Hadad, namun aku sudah berketetapan hati. Aku bersedia masuk  kerja setiap subuh bersama teman-teman bahkan siang hari ikut mengantarkan hasil klipping sampai-sampai ke Cilicing dengan sepeda motor sambil mencari pelanggan baru.
           Suatu ketika ada tawaran dari  perusahaan kelompok penerbitan Pos Kota untuk bergabung dalam penerbitan koran baru Pos Sore. Rekan Encub Subekti,  Pak Fananny dan aku diterima. Tetapi sekali lagi aku kemudian mengundurkan diri.
           Usaha kami tidak segera dapat menghasilkan. Usaha bantuan hukum tidak pernah memberi hasil. Sedang biro iklan hanya sekali mendapat order dan setelah itu tutup. Untuk menutupi biaya hidup sehari-hari, aku perlu terus mengusahakan sumber penghasilan lain.                 
          Aku menemui Kepala Humas Pemerintah DKI Jakarta apakah dapat menjadi penulis tetap di media informasi mereka, Majalah Media Jaya. Dengan rekomendasi Pak Fanany aku diterima. Pak Fanany sudah lebih dahulu menjadi penulis bahkan dialah yang dahulu sebagai penggagas penebitan majalah itu sewaktu masih menjadi wartawan perkotaan di Harian Kami dan sering betugas di Balai Kota. Aku dibayar per naskah dan hasilnya lumayan.
          Ada lagi tawaran pembuatan naskah dari Proyek Penerangan Hukum melalui Pak Erman. Proyek ini merupakan hasil kerjasama antara FHUI dengan Pemda DKI Jakarta dengan dana bantuan Luar Negeri.
       Aku juga menghubungi  Redaksi Majalah Widyapura yang diterbitkan Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan (PPMPL). Lembaga ini merupakan organ Pemerintah  DKI Jakarta. Isi dan bentuk majalah mirip dengan Majalah Prisma. Para pengasuhnya hampir selu-ruhnya para ahli alumni UI. Aku diterima dan malahan diserahi mengelola seluruh masalah teknis penerbitan majalah ini. Mulai dari komunikasi dengan para penulis, tata letak naskah, perancangan tata muka sampai pencetakan.
        Bukan itu saja. PPMPL juga ternyata menangani  Majalah Kotapraja, media  Badan Kordinasi Antar Kota Seluruh  Indonesia (BKS-AKSI). Lembaga ini adalah oganisasi persatuan Walikota-walikota seluruh Indonesia dan  mempunyai mitra intenasional. Ketuanya secara ex officio adalah Gubernur DKI Jakarta.
        Suatu waktu aku mengajukan proposal kepada Pak Zulharmans selaku Direktur PT. Enam-Enam untuk mengaktifkan kembali kegiatan Unit Usaha Sixty Six Advertising Agency (SSAA). Target jangka pendekku adalah mengangkat kembali lokomotif unit usaha ini diatas relnya lalu menjalankannya dengan prinsip mulai dari mengusahakan pelangganan iklan kecil-kecil dan iklan mini/baris. Inilah sebagai modal dasar untuk kemudian ditingkatkan untuk mendapatkan klien-klien besar. Ini lebih realistis daripada seperti sebelumnya mau langsung mengharapkan pelanggan-pelanggan iklan besar. Karena lama berusaha tanpa hasil, akhirnya pegawai frustrasi dan kantor tutup.
       Pak Zul setuju dan malahan sekaligus menugaskanku sebagai Manager. Meski belum memiliki pengalaman, namun di luar dugaanku usaha ini tenyata dapat menjalan baik bahkan makin berkembang. Kami mulai memiliki pelanggan-pelanggan tetap, mulai dari usaha jual-beli mobil, perusahaan tekstil, konstrusksi, unit Pertamina, peralatan olah raga, instansi Pemerintah, perguruan tinggi dan sekali-sekali perusahaan asing. Seiring dengan itu aku dapat menambah staf satu sampai tiga orang.
     Di kalangan media, kepercayaan kepada SSAA pun kian baik. Kalau dahulu pada koran-koran terkemuka kami harus membayar dimuka untuk setiap pemasangan iklan, maka kemudian kami boleh membayar setelah pemuatan, bahkan dapat diberi tenggang waktu satu bulan. Bukan itu saja. SSAA bahkan juga diberi sertifikat tanda penghargaan. 
      Pimpinan-pimpinan perusahaan ikut gembira melihat kecenderungan itu. Pak Zul mengakui, meski unit usaha kami kecil, tetapi kontribusinya bagi perusahaan cukup berarti. Suatu saat Pak Zul menegurku di depan para direksi supaya jangan sombong ketika aku menyebut kata “cuma” sewaktu menyebutkan suatu nilai transaksi yang baru dihasilkan. “Itu transaksi besar lho, bukan kecil”, katanya. Lalu kujelaskan bahwa sebelum itu sebenarnya sudah sering ada transaksi-transaksi yang lebih besar dari pada itu.
      Pak Zul adalah seorang pimpinan yang obyektif dan adil tanpa melihat muka orang. Ia juga memberikan keleluasaan penuh kepada pimpinan bawahannya. Sekalipun terhadap keluarganya, kalau salah dikatakan salah dan yang benar dikatakan benar sekalipun itu orang lain. Terbukti ketika ia menitipkan kemanakan-kemanakannya untuk dibantu dan dibimbing bekeja sebagai staf SSAA. Ia tekankan, sekalipun ia Direktur dan mereka kemanakannya, aku tak perlu ragu-ragu menegur bahkan memberhentikan mereka kalau melanggar.
    Salah seorang dari kemanakan itu pada suatu waktu tidak masuk bekerja selama tiga hari tanpa pemberitahuan. Para  langganan mengadu melalui telepon karena order iklan-iklan mereka tak terlayani. Ketika pegawai bersangkutan ditanyai alasannya tidak masuk dan tidak memberi kabar, ia diam saja. Akhirnya ia menyahut, “Ini kan, perusahaan Oom saya”, katanya. Aku terdiam dan berpikir, ini tak dapat ditolerir lagi. Kalau dibiarkan  ia akan tambah besar kepala dan aku akan kehilangan wibawa. Seorang pimpinan tanpa wibawa tak akan berhasil memimpin, dan karena itu lebih baik berhenti. Aku ingat pesan Pak Zul, lalu aku menjawab : “Oh, ini perusahaan Oom-kamu…… Sekarang, keluar  !!!” Ia diam saja. Aku berdiri dan berkata lebih tegas “ Kamu keluar, atau aku yang keluar !” Akhirnya ia keluar dan pulang. Aku tak menginginkan hal ini terjadi tetapi apa boleh buat. Tidak ada pilihan lain.
          Beberapa hari kemudian, aku dipanggil Direktur Utama. Disitu hadir juga beberapa anggota Direksi lainnya. “Bagaimana perkembangan usahamu ?” dia bertanya. “Baik, Bang Zul” jawabku sambil tetap berdiri. “Kalau nanti ditemukan yang kurang beres, bagaimana ?”. Karena yakin aku tidak melakukan kesalahan apapun, aku menjawab : “Bang Zul kan Direktur Utama. Terserah Bang Zul saja”. “Ya sudah.”, sambil tangannya memberi isyarat boleh keluar. 
           Pak Fanany, yang ketika itu sudah menjadi kerabat keluarga Pak Zul memberitahukan bahwa masalah peme-catan itu memang telah dibicarakan dalam rapat keluarga, tetapi mereka dapat membenarkan tindakanku.
             
  Harian “EMPAT  LIMA”
 
            Tiba-tiba terdengar kabar ada rencana Bapak H. Adam Malik yang ketika itu sebagai Ketua MPR-RI akan menghidupkan kembali suratkabar Harian Empat Lima yang dahulu tutup.. Beliau akan duduk sebagai Penasehat dan Suhadi seorang perwira tinggi ABRI sebagai Pemimpin Umum. Pak Zulharman diminta menjadi Pemimpin Redaksi. Tentu saja Pak Zulharman menerima ajakan tokoh Pejuang 45 yang dihormati itu namun dengan satu usulan agar diberi wewenang sepenuhnya menentukan kebijaksanaan redaksional dan susunan personalianya.
      Dengan serta merta kami sisa-sisa karyawan Harian Kami direkrut kembali. Aku harus memilih ikut menjadi anggota Redaksi koran baru ini atau tetap menjadi Manager SSAA yang sudah mulai berkembang. Meski merasa sayang meninggalkan biro iklan yang telah kami rintis dengan susah payah ini, namun aku lebih memilih kembali ke lingkungan pers. Ancaman pembreidelan yang selalu menjadi momok karyawan pers, nampaknya kecil kemungkinannya. Bukankah Adam Malik, Ketua MPR menjadi Penasehatnya dan Pemimpin Umumnya seorang petinggi ABRI ! Nama surat kabar dengan logo berwarna bendera merah putih terikat pada bambu runcing di tengah dua kata Empat Lima, terasa memberikan semangat baru kepada kami untuk kembali berbuat sesuatu untuk Bangsa dan Negara sesuai profesi kami melalui koran ini.
           Yang agak merisaukan adalah apakah kebebasan pemberitaan sesuai kode etik Persatuan Wartawan Indonesia dan Undang-undang Pers yang dahulu kami jadikan pedoman pada koran sebelumnya tetap dapat kami pedomani lagi. Penegasan itu kemudian dapat kami peroleh ketika kami segenap Dewan Redaksi menemui Pak Adam Malik di rumah kediaman dinas di Jalan Iman Bonjol Menteng.
           Aku terheran-heran menyaksikan di ruang tamu tokoh nasional yang haji ini sebuah gambar besar jenazah Yesus Kristus tengah diturunkan ke dalam lubang batu, terpampang di dinding dalam bentuk sulaman diatas kain beludru. Kupikir, inilah salah satu pencerminan jiwa beliau yang toleran. Inilah kesempatanku yang pertama bertemu beliau. Bekas pemuda pejuang 45, salah seorang pemuda yang berani menculik Bung Karno dan Bung Hata ke Rengasdengklok untuk memaksa mereka memproklama-sikan kemerdekaan sesegera mungkin.
       Perjumpaan kedua dan terakhir adalah ketika kami mengadakan rapat di kantor PT. Inaltu, penerbit Harian Empat  Lima di Pulogadung. Setelah itu beliau sudah sulit ditemui karena sudah  dilantik menjadi Wakil Presiden.
       Kesan lain yang mengawali kegiatanku di koran baru ini adalah ketika kami mewawancarai Fransisco Lopez da Cruz toko pejuang integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia ketika itu di salah satu tempat di Kebayoran Baru. Kelak toko ini menjadi salah satu Gubernur ketika wilayah itu masih menjadi bagian dari wilayah Indonesia.
       Apa yang dikhawatirkan sebelumnya benar-benar menjadi kenyataan. Setiap malam seorang mayor dari dinas intelijens datang mengamati bahan berita yang akan diterbitkan. Dan bila ada yang dianggapnya tidak layak, ia minta dicabut. Hal ini sering menimbulkan ketegangan karena kami tetap patuh pada kebijaksaan Pemimpin Redaksi. Kadang-kadang masih saja ada telepon yang minta agar berita ini itu tidak dimuat.
       Hal ini berdampak buruk pada kegairahan para wartawan mendapatkan berita yang bermutu. Logonya menceminkan semangat empat lima, tetapi berita-beritanya datar-datar saja. Tak heran kalau pemasarannya sulit. Akibat peredarannya yang kurang meluas menyebabkan para pemasang iklan juga enggan menggunakannya. Terjadinya pemborosan yang tidak berkaitan langgsung dengan usaha,  tambah memperparah. Karena itu pada rapat terakhi, Drs. Suyatno sebagai Pemimpin Perusahaan terus terang melaporkan kondisi perusahaan yang terus-menerus merugi. Ekonom yang kelak menjadi  Ketua Perbanas dan ketua Yayasan Pendidikan  Atmajaya ini mengusulkan agar penerbitan Harian Empat Lima dihentikan saja untuk menghindarkan kerugian lebih besar.
         Penghentian penerbitan harian ini tidak begitu menyusahkan kami. Karena tidak lama setelah itu Pak Zulharman sudah mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT) baru untuk menerbitkan koran “Berita Minggu & Film.”. Lagi pula PT.Enam-Enam yang telah menampung sebagian besar karyawan masih tetap berjalan.
        Aku dipercayai menjadi Pemimpin Perusahaan dan Pak Fanany yang telah mengundurkan diri pula dari Harian Pos Sore menjadi Pemimpin Redaksi. Persiapan penerbitan koran terbit sekali seminggu ini sungguh menguras waktu, tenaga dan pemikiran. Pak Zul sibuk sekali dengan tugasnya sebagai anggota Badan Pekerja MPR bahkan mereka harus dikonsinyir di suatu hotel, karena itu aku yang harus mengurus semuanya. Mulai dari rancangan model kepala surat kabar, membuat usulan rencana anggaran dan pendapatan yang meliputi bidang umum, percetakan, pemasaran, periklanan dan perbankan.
        BMF dibuatkan nomor rekening usaha sendiri dan aku diberi wewenang sebagai salah satu dari dua penandatangan cek. Aku juga harus menjajagi beberapa percetakan untuk mendapatkan biaya cetak yang lebih murah tetapi dengan mutu yang tetap terjamin. Akhirnya kami memilih PT. Gramedia. Kesibukan luar biasa ini memaksa aku harus membo-yong  berkas-berkas pekerjaanku sampai ke Klinik Bersalin “Dian Kasih” di Tanjung Priok.
          Aku masih berkutat dengan kertas-kertas dan kalkulator ketika tengah malam suster memberi tahu isteriku telah melahirkan anak kami yang kedua, seorang bayi perempuan mungil dengan selamat dan sempurna. Puji Tuhan ! Aku masuk lalu mencium isteriku yang juga nampak bahagia kemudian menyaksikan sang bayi yang untuk sementara dibaringkan dalam inkubator. Sebelum ke kantor, seperti kulakukan pada kelahiran anak kami yang pertama aku menempatkan seberkas bunga segar dalam vas yang menebarkan bau harum. ***
        .


Contact Form

Name

Email *

Message *