Monday, February 22, 2010

BERSAMA PAK ADAM MALIK DI HARIAN "EMPAT LIMA" IV(4.13)

Tiba-tiba terdengar kabar ada rencana Bapak H. Adam Malik yang ketika itu sebagai Ketua MPR-RI untuk menghidupkan kembali suratkabar Harian Empat Lima yang dahulu tutup. Ia akan mulai dengan pengelola yang baru sama sekali. Beliau akan duduk sebagai Penasehat dan Suhadi seorang perwira tinggi ABRI sebagai Pemimpin Umum.

Pak Zulharman diminta menjadi Pemimpin Redaksi. Tentu saja Pak Zulharman menerima ajakan tokoh Pejuang 45 yang dihormati itu. Namun dengan satu usulan agar diberi wewenang sepenuhnya menentukan kebijaksanaan redaksional dan susunan personalianya.

Dengan serta merta kami sisa-sisa karyawan Harian Kami direkrut kembali. Aku harus memilih ikut menjadi anggota Redaksi koran baru ini atau tetap menjadi Manager SSAA yang sudah mulai berkembang.

Meski merasa sayang meninggalkan biro iklan yang telah kami rintis dengan susah payah ini, namun aku lebih memilih kembali ke lingkungan pers.Alasanku ancaman pembreidelan yang selalu menjadi momok karyawan pers, nampaknya kecil kemungkinannya. Bukankah Pak Adam Malik, Ketua MPR menjadi Penasehatnya dan Pemimpin Umumnya seorang petinggi ABRI ! Nama surat kabar dengan logo berwarna bendera merah putih terikat pada bambu runcing di tengah dua kata Empat Lima, terasa memberikan semangat baru kepada kami untuk kembali berbuat sesuatu untuk Bangsa dan Negara sesuai profesi kami melalui koran ini.

Yang agak merisaukan adalah apakah kebebasan pemberitaan sesuai kode etik Persatuan Wartawan Indonesia dan Undang-undang Pers yang dahulu kami jadikan pedoman pada koran sebelumnya tetap dapat kami pedomani lagi. Penegasan itu kemudian dapat kami peroleh ketika kami segenap Dewan Redaksi menemui Pak Adam Malik di rumah kediaman dinas di Jalan Iman Bonjol Menteng.

Aku terheran-heran menyaksikan di ruang tamu tokoh nasional yang haji ini sebuah gambar besar jenazah Yesus Kristus tengah diturunkan ke dalam lubang batu, terpampang di dinding dalam bentuk sulaman diatas kain beludru. Kupikir, inilah salah satu pencerminan jiwa beliau yang toleran. Inilah kesempatanku yang pertama bertemu beliau. Bekas pemuda pejuang 45, salah seorang pemuda yang berani menculik Bung Karno dan Bung Hata ke Rengasdengklok untuk memaksa mereka memproklamasikan kemerdekaan sesegera mungkin.

Perjumpaan kedua dan terakhir adalah ketika kami mengadakan rapat di kantor PT. Inaltu, penerbit Harian Empat Lima di Pulogadung. Setelah itu beliau sudah sulit ditemui karena sudah dilantik menjadi Wakil Presiden.

Kesan lain yang mengawali kegiatanku di koran baru ini adalah ketika kami mewawancarai Fransisco Lopez da Cruz tokoh pejuang integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia ketika itu di salah satu tempat di Kebayoran Baru. Kelak tokoh ini menjadi salah satu Gubernur ketika wilayah itu masih menjadi bagian dari wilayah Indonesia.

Apa yang dikhawatirkan sebelumnya benar-benar men-jadi kenyataan. Setiap malam seorang mayor dari dinas intelijens datang mengamati bahan berita yang akan diterbitkan. Dan bila ada yang dianggapnya tidak layak, ia minta dicabut. Hal ini sering menimbulkan ketegangan karena kami tetap patuh pada kebijaksaan Pemimpin Redaksi. Kadang-kadang masih saja ada telepon yang minta agar berita ini itu tidak dimuat.

Hal ini berrdampak pada kegairahan para wartawan mendapatkan berita yang bermutu. Logonya menceminkan semangat empat lima, tetapi berita-beritanya datar-datar saja. Tak heran kalau pemasarannya sulit. Akibat peredarannya yang kurang menyebabkan para pemasang iklan juga enggan menggunakannya.

Terjadinya pemborosan yang tidak berkaitan langgsung dengan usaha, tambah memperpara. Karena itu pada rapat terakhi, Drs. Suyatno sebagai Pemimpin Perusahaan terus terang melaporkan kondisi perusahaan yang terus-menerus merugi. Ekonom yang kelak menjadi Ketua Perbanas dan ketua Yayasan Pendidikan Atmajaya ini mengusulkan agar penerbitan Harian Empat Lima dihentikan saja untuk menghindarkan kerugian lebih besar.

Penghentian penerbitan harian ini tidak begitu menyusahkan kami. Karena tidak lama setelah itu Pak Zulharman sudah mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT) baru untuk menerbitkan koran “Berita Minggu & Film.”. Aku dipercayai menjadi Pemimpin Perusahaan dan Pak Fanany yang telah mengundurkan diri pula dari Harian Pos Sore menjadi Pemimpin Redaksi.

Persiapan penerbitan koran mingguan ini sungguh menguras waktu, tenaga dan pemukiran. Karena Pak Zul sibuk sekali dengan tugasnya sebagai anggota Badan Pekerja MPR bahkan mereka harus dikonsinyir di suatu hotel, aku harus mengurus semuanya. Mulai dari rancangan model kepala surat kabar, membuat usulan rencana anggaran dan pendapatan yang meliputi bidang umum, percetakan, pemasaran, periklanan dan perbankan.

BMF dibuatkan nomor rekening usaha sendiri dan aku diberi wewenang sebagai salah satu dari dua penandatangan cek. Aku juga harus menjajagi beberapa percetakan untuk mendapatkan biaya cetak yang lebih murah tetapi dengan mutu yang tetap terjamin. Akhirnya kami memilih PT. Gramedia.

Kesibukan luar biasa ini memaksa aku harus memboyong berkas-berkas pekerjaanku sampai ke Klinik Bersalin “Dian Kasih” di Tanjung Priok. Aku masih berkutat dengan kertas-kertas dan kalkulator ketika tengah malam suster memberi tahu isteriku telah melahirkan anak kami yang kedua, seorang bayi perempuan mungil dengan selamat dan sempurna. Puji Tuhan !

Aku masuk lalu mencium isteriku yang juga nampak bahagia kemudian menyaksikan sang bayi yang untuk sementara dibaringkan dalam inkubator. Sebelum ke kantor, seperti kulakukan pada kelahiran anak kami yang pertama aku menempatkan seberkas bunga segar dalam vas yang menebarkan bau harum.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *