Tuesday, February 2, 2010

Diatas rel, nonton Lenong- IV(4.4)

     Sesuai kesepakatan, setelah menerima gaji pertama aku harus mencari tempat tinggal sendiri. Sebagai orang baru di Jakarta, aku belum memahami seluk-beluk sewa-menyewa atau kos-kosan. Seorang ibu yang memasang iklan di koran aku surati tetapi tidak memberikan balasan. Akhirnya seorang karyawan percetakan memberi tahu ada tetangganya di Gang Sinyar Grogol akan menjual gubuknya. Sebetulnya kondisinya sangat tidak memenuhi syarat kesehatan. Namun kubeli juga dengan harga dua belas ribu lima ratus rupiah.

Dinding terbuat dari gedek dengan atap daun sagu. Luasnya hanya dua kali tiga meter dan lantainya masih tanah. Tidak ada jendela. Disamping kiri dan depan terdapat parit yang lumpurnya hitam tergenang. Baunya menusuk hidung sampai ke dalam. Tidak ada halaman, tanpa pagar, hanya parit kecil itu saja yang membatasi dinding dengan gang. Rupanya gubuk ini bekas warung keperluan dapur.

Ada sumur tanpa dilapisi semen disamping gubukku. Airnya hampir-hampir kering. Tidak cukup untuk mandi, apalagi harus berbagi dengan tetangga, sebuah keluarga dengan seorang anak di belakang gubukku. Ruang tertutup untuk mandi juga tidak ada. Disebelahnya terdapat jamban yang digunakan bersama tetanggaku. Demikian dekatnya sehingga air sumur di sebelahnya bisa tercemar. Karena itu aku lebih suka mandi di Percetakan. Untuk memasak aku membeli air kalengan yang dijual keliling. Pakaian-pakaian kotor juga kucuci di tempat kerja lalu kubawa pulang dan kujemur dalam gubukku karena di luar tak ada tempat menjemur.

Demikian sulitnya mendapatkan air, pada suatu petang dengan handuk di bahu aku menuju Kali Grogol untuk mandi. Dari atas jembatan kereta api aku lihat air kali besar itu kuning warnanya dan sesekali kulihat benda menjijikan hanyut. Di sepanjang tepinya banyak saja orang yang mandi dan mencuci. Tetapi aku tetap merasa enggan untuk menyentuh air itu. Aku berbalik untuk pulang.

Tiba di ujung gang, nampak orang-orang tengah ramai menonton pertunjukan lenong. Tanpa baju dan hanya berselimutkan handuk, aku ikut bergabung, duduk diatas rel kereta api. Kiian lama lakon-lakonnya kian mengasyikan. Sesekali kami terganggu dan harus menyingkir ketika kereta api akan lewat. Tanpa terasa hari telah menjelang pagi.

Ruang gubukku yang sempit hanya mampu menampung sebuah velbed tentara titipan kak Maga, sebuah koper kecil pakaianku dan sebuah kompor. Disitulah aku berkurung setiap pulang kerja. Tak cukup ruang untuk bergerak santai. Apa boleh buat. Dengan penghasilan yang masih terbatas aku harus menerima keadaan apa adanya.

Untuk menghemat biaya, pergi pulang kerja harus berjalan kaki sejauh sekitar sepuluh kilometer setiap hari, dari Grogol ke Jalan Hayam Wuruk. Aku amat tertolong ketika kak Maga memberi surat kuasa untuk mengambil jatah berasnya setiap bulan berikut kacang hijau dan sabun di Sukabumi. Ketika itu kesatuannya, dari Siliwangi, sedang bertugas operasi di Sulawesi Selatan, kemudian Ambon dan Pakanbaru.

Aku juga sering mengumpulkan sobekan-sobekan kertas gulungan dan koran cetakan percobaan yang tak terpakai lalu kujual kiloan ke warung. Uang tambahan ini kugunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Lauk yang sudah matang di warung, sarapan pagi, minyak tanah, arang untuk setrika pakaian dan kadang-kadang ongkos bis ke tempat kerja.***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *