Monday, February 22, 2010

Kebersamaan di PT. Enam-Enam. IV(4.15)

Aku mengundurkan diri dari Tempo dan kembali bergabung dengan teman-teman mengembangkan Clipping Service Agency. Meski keputusanku disesali dan mengherankan teman-teman terutama Pak Ismid Hadad, namun aku sudah berketetapan hati. Aku bersedia masuk kerja setiap subuh bersama teman-teman bahkan siang hari ikut mengantarkan hasil kliping sampai-sampai ke Cilicing dengan sepeda motor sambil mencari pelanggan baru.

Suatu ketika ada tawaran dari perusahaan kelompok penerbitan Pos Kota untuk bergabung dalam penerbitan koran baru Pos Sore pimpinan Bapak Harmoko yang ketika itu juga menjadi Sekretaris PWI Pusat. Pak E.Subekti, Pak Fananny dan aku diterima, tetapi sekali lagi aku kemudian mengundurkan diri.

Usaha kami tidak segera dapat menghasilkan. Usaha bantuan hukum tidak pernah memberi hasil. Sedang biro iklan hanya sekali mendapat order dan setelah itu tutup. Untuk menutupi biaya hidup sehari-hari, aku perlu terus mengusahakan sumber penghasilan lain.

Aku menemui Kepala Humas Pemerintah DKI Jakarta apakah dapat menjadi penulis tetap di media informasi mereka, Majalah Media Jaya. Dengan rekomendasi Pak Fanany aku diterima. Pak Fanany sudah lebih dahulu menjadi penulis bahkan dialah yang dahulu menggagas penebitan majalah itu sewaktu masih menjadi wartawan. Ia sebagai wartawan perkotaan Harian Kami dan sering betugas di Balai Kota. Aku dibayar per naskah dan hasilnya lumayan.

Ada lagi tawaran pembuatan naskah dari Proyek Penerangan Hukum melalui Pak Erman. Proyek ini merupakan hasil kerjasama antara Fakultas Hukum UI dengan Pemda DKI Jakarta dengan dana bantuan Luar Negeri.

Aku juga menghubungi Redaksi Majalah Widyapura yang diterbitkan Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan (PPMPL). Lembaga ini merupakan organ Pemerintah DKI Jakarta. Isi dan bentuk majalah mirip dengan Majalah Prisma. Para pengasuhnya hampir seluruhnya para ahli alumni UI. Aku diterima dan malahan diserahi mengelola seluruh masalah teknis penerbitan majalah ini. Mulai dari komunikasi dengan para penulis, tata letak naskah, perancangan tata muka sampai pencetakan.

Bukan itu saja. PPMPL juga ternyata menangani Majalah Kotapraja, media Badan Kordinasi Antar Kota Seluruh Indonesia (BKS-AKSI). Lembaga ini adalah oganisasi persatuan Walikota-walikota seluruh Indonesia dan mempunyai mitra internasional. Ketuanya secara ex-officio adalah Gubernur DKI Jakarta.

Suatu waktu aku mengajukan proposal kepada Pak Zulharman selaku Direktur PT. Enam-Enam untuk mengaktifkan kembali kegiatan Unit Usaha Sixty Six Advertising Agency (SSAA). Target jangka pendeknya adalah mengangkat kembali "lokomotif" unit usaha ini diatas relnya lalu menjalankannya dengan prinsip mulai dari mengusahakan pelangganan iklan kecil-kecil dan iklan mini/baris. Inilah sebagai modal dasar untuk kemudian ditingkatkan untuk mendapatkan klien-klien besar. Ini lebih realistis daripada seperti sebelumnya mau langsung mengharapkan pelanggan-pelanggan iklan besar. Karena lama berusaha tanpa hasil, akhirnya pegawai frustrasi dan kantor tutup.

Pak Zulharman yang biasa kami sapa "Bang Zul" setuju dan malahan sekaligus menugaskanku sebagai Manager. Meski belum memiliki pengalaman, namun di luar dugaanku usaha ini tenyata dapat berjalan baik bahkan makin berkembang. Kami mulai memiliki klien tetap, mulai dari usaha jual-beli mobil, perusahaan tekstil, konstrusksi, unit Pertamina, peralatan olah raga, instansi Pemerintah, perguruan tinggi dan sekali-sekali perusahaan asing. Seiring dengan itu aku dapat menambah staf satu sampai tiga orang.

Di kalangan media, kepercayaan kepada SSAA pun kian baik. Kalau dahulu pada koran-koran terkemuka kami harus membayar dimuka untuk setiap pemasangan iklan, maka kemudian kami boleh membayar setelah pemuatan, bahkan dapat diberi tenggang waktu satu bulan. Bukan itu saja. SSAA bahkan juga diberi sertifikat tanda penghargaan.

Dewan Direksi perusahaan ikut gembira melihat kecenderungan itu. Bang Zul mengakui, meski unit usaha kami kecil, tetapi kontribusinya bagi perusahaan cukup berarti. Suatu saat Pak Zul menegurku di depan para direksi karena menyebut kata “cuma” sewaktu melaporkan suatu nilai transaksi yang baru dihasilkan. “Itu transaksi besar lho, bukan kecil”, katanya. Ia menganggapku sombong. Terpaksa kuingatkan lagi bahwa sebelum itu sudah sering ada transaksi yang lebih besar.

Pak Zul adalah seorang pimpinan yang obyektif dan adil tanpa melihat muka orang. Ia juga memberikan keleluasaan penuh kepada pimpinan bawahannya. Sekalipun terhadap keluarganya, kalau salah dikatakan salah dan yang benar dikatakan benar sekalipun itu orang lain. Terbukti ketika ia menitipkan kemanakan-kemanakannya untuk dibantu dan dibimbing bekeja sebagai staf SSAA. Ia tekankan, sekalipun ia Direktur dan mereka kemanakannya, aku tak perlu ragu-ragu menegur bahkan memberhentikan mereka kalau melanggar.

Salah seorang dari kemanakan itu pada suatu waktu tidak masuk bekerja selama tiga hari tanpa pemberitahuan. Para langganan mengadu melalui telepon karena order iklan-iklan mereka tak terlayani. Ketika pegawai bersangkutan masuk kerja dan ditanyai alasannya tidak masuk dan tidak memberi kabar, ia diam saja. Akhirnya ia menyahut, “Ini kan, perusahaan Oom saya”, katanya.

Aku terdiam dan berpikir, ini tak dapat ditolerir lagi. Kalau dibiarkan ia akan tambah besar kepala dan aku akan kehilangan wibawa. Seorang pimpinan tanpa wibawa tak akan berhasil memimpin, dan karena itu lebih baik berhenti. Aku ingat pesan Pak Zul, lalu aku menjawab : “Oh, ini perusahaan Oom-mu…… Sekarang, keluar !!!” Ia diam saja.

Aku berdiri dan berkata lebih tegas “ Kamu keluar, atau aku yang keluar !” Akhirnya ia keluar dan pulang. Aku tak menginginkan hal ini terjadi tetapi apa boleh buat. Tidak ada pilihan lain. Beberapa hari kemudian, aku dipanggil Direktur Utama.

Disitu hadir juga beberapa anggota Direksi lainnya. “Bagaimana perkembangan usahamu ?” dia bertanya. “Baik, Bang Zul” jawabku sambil tetap berdiri. “Kalau nanti ditemukan yang kurang beres, bagaimana ?”. Karena yakin aku tidak melakukan kesalahan apapun, aku menjawab : “Bang Zul kan Direktur Utama. Terserah Bang Zul saja”. “Ya sudah.”, sambil tangannya memberi isyarat boleh keluar.

Pak Fanany, yang ketika itu sudah menjadi kerabat keluarga Pak Zul memberitahukan bahwa masalah pemecatan itu memang telah dibicarakan dalam rapat keluarga, tetapi mereka dapat membenarkan tindakanku.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *