Monday, February 22, 2010

MENYAMAR GUNA MENGUNGKAP PUNGLI (V(4.14)

Suatu hari (th.1971-pen,) aku mendapat tugas menemui Dra. SK. Trimurti di rumahnya di kawasan Jalan Kramat Lontar. Beliau adalah pahlawan perintis kemerdekaan yang ikut dalam upacara proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Gambarnya jelas terlihat dalam foto yang mengabadikan peristiwa bersejarah itu.

Konon, beliau juga termasuk salah seorang pemudi pejuang yang ikut mendesak Bungkarno dan Bung Hata untuk memproklamasikan kemerdekaan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 .Isteri Sayuti Melik salah seorang penyusun teks proklamasi kemerdekaan ini, biasa akrab dipanggil Bu Tri.

Meski sudah mulai dimakan usia, ia masih tetap aktif menulis. Ia termasuk penulis tetap di koran kami, Harian Kami, bahkan ia juga menerbitkan majalah sendiri, majalah Mawas Diri. Kondisi rumahnya sangat sederhana.

Mantan Menteri Perburuhan Kabinet Amir Syarifuddin II tahun1947 ini mengajak untuk membongkar praktek pungutan liar dan penyelundupan administratif melalui pelabuhan Tanjung Priok yang tertutup rapat dan sulit dibuktikan. Ia memperkenalkan aku dengan seorang importir mobil. Masuk secara biasa dengan identitas resmi sebagai wartawan tak akan efektif. Karena pasti akan diatur sebelumnya supaya nampak semua tertib. Sudah pernah ada wartawan yang melakukannya tapi tak berhasil.

Karena itu aku harus menyamar. Aku diperkenalkan pula dengan seorang pemilik perusahaan EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut). Dengan selembar surat tugas dari pemilik EMKL itu, aku akan ikut mengurus pengeluaran mobil import asal Jerman itu bersama seorang staf kepercayaannya.

Maka dengan pass bebas masuk pelabuhan, akupun leluasa keluar masuk kantor Bea Cukai di pelabuhan. Dari gudang ke gudang, loket ke loket dan melihat langsung pasar praktek pungutan liar di sana. Ada petugas Satpam berseragam dengan helm putih bak polisi militer.

Bila ada informasi akan ada pengontrolan dari Kantor Pusat Bea Cukai, maka dengan tergesa-gesa ia akan datang memberitahukan dan meminta semua orang-orang yang sedang berdesak-desakan mengurus dokumen barang keluar dari ruangan petugas bea cukai.

Mereka disuruh pura-pura antri di loket sehingga semuanya nampak seperti tertib. Begitu pejabat dari instansi pengawas itu pergi, kembali lagilah orang-orang itu ke dalam. Berdiri di samping kiri kanan petugas pemeriksa atau peneliti dokumen. Laci-laci sang pejabat biasanya ditarik keluar.

Ketika terjadi tawar-menawar tarip pajak atau kelengkapan dokumen, biasanya para pengurus dokumen harus memasukan sejumlah uang ke dalam laci itu. Pengurus dokumen boleh mengajukan keberatan. Kalau belum tercapai kesepakatan, biasanya petugas "mengancam" untuk meneruskannya ke Kantor Pusat. Kalau itu terjadi, maka prosesnya dapat berbulan-bulan. Dan sementara itu sewa gudang yang tinggi tempat barang mereka disimpan sementara harus tetap dibayar. Kalau sudah begini, maka si pengurus barang terpaksa harus memberikan "uang tip" tambahan.

Untuk menetapkan tarip bea masuk barang import, petugas bea cukai pun selalu meminta beberapa contoh barang. Dan barang itu biasanya tidak dikembalikan. Dengan demikian sang petugas setiap hari tidak saja membawa pulang uang hasil "pungutan liar", tetapi juga barang-barang "import liar". Maka tidaklah heran pula kalau ketika itu tingkat kehidupan ekonomi para pejabat Bea Cukai relatif lebih baik sehingga menimbulkan kecemburuan banyak pegawai negeri lainnya.

Reportase hasil pengamatanku kemudian dimuat dalam dua kali penerbitan. Kudengar setelah itu dilakukan penyederhanaan prosedur pengeluaran barang di pelabuhan Tanjung Priok.

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *