Tuesday, February 2, 2010

TEROR DI WAKTU MALAM ( 4.7 )

Malam hari seperti aku diteror. Terlalu menakutkan. Datangnya malam berarti akan datangnya saat-saat mencekam. Aku takut menghadapinya seorang diri. Aku merindukan sekali pada saat-saat seperti ini ada orang yang kupercayai mendampingiku agar aku dapat tidur dengan tenteram. Tetapi siapa ?

Selama dua bulan ini, hanya Siman dan kak Sepe saja yang sekali-sekali datang membesukku. Itupun hanya sebentar. Kadang-kadang hanya sekali seminggu. Kak Sepe kabarnya sudah dapat pekerjaan di bengkel perusahaan bus milik orang Makasar, tidak berapa jauh dari rumah sakit ini. Waktu mereka datang, aku ingin sekali menceriterakan apa yang kurasakan setiap malam. Namun aku pikir percuma. Mereka toh tak dapat menungguiku malam hari. Lagi pula musuh-musuhku seperti ada di mana-mana. Dalam wujud perawat-perawat yang kini mulai kucurigai telah dipengaruhi dan bersekongkol dengan roh-roh jahat yang tak terlihat. Roh-roh ini seperti dapat mendengar, melihat dan mengawasi aku melalui kabel-kabel listrik yang menuju ke rumah sakit ini. Bahkan melalui jendela dan sela-sela lobang angin.

Mereka seakan mengancam,”awas kalau berani mengadu. Sebentar malam tunggu balasannya”. Pernah aku bertengkar dengan seorang perawat hanya karena persoalan garpu. Aku berpikir, tentu para perawat lainnya dan para dokter akan membela rekan mereka lalu semuanya membenciku. Aku benar-benar merasakan keterasingan.

Teman-teman sekantor maupun pimpinan, tak seorang pun yang pernah datang menjenguk. Demikian juga kakak dan isterinya tidak pernah menengokku. Aku sedih, mengapa mereka tidak datang menengokku sekali saja dalam keadaanku yang sekarat ini. Mungkin mereka masih marah atas kesalah pahaman yang pernah tejadi dalam suatu pembicaaan kami. Tapi aku tidak terpikir mereka akan sampai membenci aku.

Semua kekalutan pikiran ini terbawa ketika akan tidur. Sering aku periksa sekeliling tempat tidurku, apakah ada suatu alat yang dipasang yang membuat aku tidak tenteram seperti ini malam hari. Tidak ada alat, tak ada kabel dan memang tidak ada apapun. Aku tidak mengerti, aku tidak melihat apa-apa, tetapi setiap malam aku seperti dicengkeram sesuatu yang mengandung aus listrik.

Dalam keadaan sepert itu, pernah seakan-akan aku mendengar suara Siman dan kak Sepe datang menengokku dengan motor Vespa. Tetapi petugas-petugas rumah sakit tidak mengijinkan mereka memasuki halaman rumah sakit. Kudengar mereka bertengkar hebat. Tentu saja membuat aku marah. Tetapi aku tidak berdaya, seperti disandera.

Pernah pula kudengar ibuku yang sudah sepuh hendak datang membesukku disertai kakakku yang perempuan. Mereka sudah masuk halaman rumah sakit, tetapi tidak diperkenankan masuk ke ruangan tempatku berada. Dari dalam jelas kudengar mereka memanggil-manggil aku sambil menangis. Mereka mengetok-ngetok jendela, memohon kepada para perawat untuk diperkenankan masuk menemuiku. Tetapi petugas-petugas rumah sakit tetap berkeras, tidak mau membukakan pintu.

Dari dalam akupun tidak tinggal diam. Aku memprotes. Karena tidak dikabulkan, aku mendesak minta pulang malam itu juga. Aku mengemasi barang-barangku ke dalam ransel. Sambil berkemas, aku mendengar banyak suara hiruk-pikuk seperti melalui pengeras suara. Diantara suara-suara itu seperti ada suara anak-anak yang memanggil namaku sambil mengejek. Pikiranku kacau. Benar-benar kacau. Hanya halusinasi ?
 

Aku melangkah keluar dengan marah, tetapi  para perawat dan Mantri memegangi aku. Aku meronta,  tetapi   tidak  mempunyai kekuatan lagi. Pandanganku  tiba-tiba  gelap.  Tak  sadarkan diri. . Aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Ketika sadar aku menemukan diriku, duduk di ruang jaga.  

          Ranselku ada di rak lemari ruangan itu. Seorang lelaki berseragam putih-putih, usia sekitar empat-puluhan, duduk di depanku. Aku tidak tahu apakah ia seorang dokter atau seorang mantri senior..

         Dengan nada lembut ia meyakinkan, ibu dokter yang merawatku sebetulnya tidak membenciku. Ia malahan sedih melihat keadaanku, sampai-sampai ia menangis. Kata-katanya ini menenteramkan dan membawa kedamaian dalam hatiku. Aku menuruti bujukannya agar kembali lagi ke tempat tidur.

            Begitulah setiap malam.  Aku seperti diteror atau dikejar-kejar oleh orang atau roh-roh jahat. Sering aku ketakutan seperti dikejar-kejar gerombolan ketika  masih kecil dahulu. Atau dikejar oleh tetangga-tetangga baru di Grogol yang masih terasa asing

            Aku telah berusaha berbaur dengan mereka, tetapi tetap saja mereka menjaga jarak. Seperti  tidak  menyukaiku.  Dalam situasi  politik  tidak menentu  ketika itu banyak orang  saling  mencurigai. Setiap malam di belakang pondokku senantiasa ramai terdengar orang berlatih bela diri. Tidak jelas  untuk tujuan apa.   Agaknya perasaan ini ikut  terbawa dalam mimpi-mimpiku  pada malam hari.

             Pada  saat-saat seperti itu, aku terkadang ingat pada ibu. Ia selalu  penuh perhatian  pada  kami anak-anaknya. Apalagi  kalau sakit. Ia  sibuk sekali  kesana-kemari mencari  obat. Beliau pasti akan sedih sekali kalau melihat keadaanku seperti ini. Tapi sudah sejak awal aku tidak ingin membuat sedih orangtuaku, janda sepuh yang sudah mulai memutih rambutnya. Kepada  Kak Sepe dan Siman  telah   kupesan  agar  tidak  memberi  kabar   ke kampung   bahwa   aku sakit   keras. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan  Ibunda. 

         Setelah aku tidak berkesempatan melihat wajah -ayah pada masa-masa akhir hidupnya kini aku tidak ingin orangtua ini merisaukan aku. Biarlah beliau dapat menjalani masa-masa tuanya dengan tenang.

           Tubuhku terus menyusut dan menyusut. Kalau kuperhatikan lengan dan kakiku, benar-benar tinggal  tulang  berlapis kulit. Kuraba pula bahu, belikat dan dada. Tulang-tulangku bertonjolan. Tak dapat kubayangkan bagaimana wajahku karena aku tak pernah melihat kaca.            

             Aku pernah melihat seorang pasien muda berbadan tinggi tetapi sangat kurus. ketika kami sama-sama dirawat di rumah sakit Poso. Demikian kurusnya sehingga nampak sudah bagaikan kerangka hidup. Pasien itu akhirnya meninggal Menurut beberapa pasien, itu akibat kecobohannya sendiri. Sebelumnya ia secara diam-diam keluar rumah sakit dan meminum jamu. 

             Aku memastikan tubuhku kini seperti itu. Padahal ketika masih di SMP, aku pernah merasa gusar melihat di kaca badanku yang terlampau gemuk. Kalau bergerak, lapisan pada kedua pipiku bergerak. Begitu pula pada paha di atas lutut. Tapi kini sebaliknya. Aku tidak diperkenankan lagi turun dari tempat tidur. Andaikatapun  diperbolehkan rasanya aku tak akan kuat lagi. Mandi cukup dengan lap kain basah di tempat tidur. Untuk buang air air kecil senantiasa disediakan  pispot.

          Penurunan kondisi badan yang demikian cepat, memang  merisaukan juga. Diam-diam mulai timbul kekecewaanku atas rumah sakit ini. Ketika masuk  keadaan tubuhku belum sekurus ini.     

         Mengapa setelah di rumah sakit ini berat badanku turun dengan sangat cepat ? Salah satu sebabnya, kupikir, karena takaran makanan yang terlampau sedikit itulah. Makan siang selalu terlambat diantar. Aku tak tahu apakah pengaturan waktunya memang begitu. Umumnya sesudah jam dua siang. Sudah lama menunggu, yang datang tetap menu itu-itu juga. Bubur susu dan sari pepaya. Aku mulai iri melihat pasien-pasien  sekamarku. Makanan mereka beraneka macam. Dari tatakan alminium yang dibagi-baikan aku lihat ada telor rebus, sayur, hijau, daging atau  entah apa lagi disamping nasi yang sudah lama tak kurasakan lagi. Kupikir, biarpun pengantaran makanan selalu terlambat, mereka belum akan lapar, karena kulihat diatas lemari mereka banyak makanan selingan seperti roti, biskuit, apel dan pisang yang dibawakan keluarga mereka. Aku ? Biskuit saja tidak boleh. Sekalipun  dicelup dahulu dalam gelas susu supaya lembut. Aku usul agak aku dapat makan  nasi lagi. Tapi ibu dokter, ahli gizi  yang mengatur makananku tak mengijinkan.      

          Seminggu kemudian baru aku diberi bubur beras yang sangat lunak. Mungkinkah mereka mengira aku tak akan mampu membayar biaya rumah sakit seperti pasien-pasien lain ? Tapi selama ini belum pernah ada yang membicarakan uang atau biaya dengan aku.

             Aku mendongkol sekali. Ketika Siman datang membesuk, aku pesan untuk dibelikan ubi rebus. Dan keesokan harinya benar-benar ia bawa. Aku tak perlu menunggu lama sampai malam karena jam besuk cuma sore. Pada tengah malam, ketika semua perawat berada di ruang jaga, singkong rebus itu kulahap satu per satu. Aku kunya halus-halus secara sembunyi-sembunyi sambil berbaring dalam kelambu. Rasanya nikmat. Selera makanku saat itu sudah timbul lagi. Berbeda jauh ketika baru masuk.***

    

Laki-laki Berpakaian Putih  ( 4.8 )

    Aku melangkah keluar dengan marah, tetapi para perawat dan Mantri memegangi aku. Aku meronta, tetapi tidak mempunyai kekuatan lagi. Pandanganku tiba-tiba gelap. Tak sadarkan diri. .Ketika sadar aku menemukan diriku, duduk di ruang jaga.
      Ranselku ada di rak lemari ruangan itu. Seorang lelaki berpakaian putih, usia sekitar empat-puluhan, duduk di depanku. Aku tidak tahu apakah ia seorang dokter atau seorang mantri senior. Ataukah seorang malaikat yang dikirim Tuhan melawat aku. Aku tidak tahu !
       Dengan nada lembut ia meyakinkan, ibu dokter yang merawatku sebetulnya tidak membenciku. Ia malahan sedih melihat keadaannku, sampai-sampai ia menangis. Kata-katanya ini menenteramkan dan membawa kedamaian dalam hatiku. Aku menuruti bujukannya agar kembali lagi ke tempat tidur.
       Begitulah setiap malam. Aku seperti diteror atau dikejar-kejar oleh orang atau roh-roh jahat. Sering aku ketakutan seperti dikejar-kejar gerombolan ketika masih kecil dahulu. Atau seperti dikejar oleh tetangga-tetangga baru di Grogol yang masih terasa asing . Aku telah berusaha berbaur dengan mereka, tetapi tetap saja mereka menjaga jarak. Seperti tidak menyukaiku. Dalam situasi politik tidak menentu ketika itu banyak orang saling mencurigai. Setiap malam di belakang pondokku senantiasa ramai terdengar orang berlatih bela diri. Tidak jelas untuk tujuan apa. Agaknya perasaan ini ikut terbawa dalam mimpi-mimpiku pada malam hari.
        Pada siang hari, ketika aku agak tenang, aku terkadang ingat pada ibu Ia selalu perhatian pada kami anak-anaknya. Apalagi kalau sakit. Ia sibuk sekali kesana-kemari mencari obat. Beliau pasti akan sedih sekali kalau mengetahui keadaanku saat itu. Tapi sudah sejak awal aku tidak ingin membuat sedih beliau, janda sepuh yang sudah mulai memutih rambutnya.
       Kepada Kak Sepe dan Siman telah kupesan tidak memberi kabar ke kampung bahwa aku sakit keras. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Ibunda. Setelah aku tidak berkesempatan melihat wajah ayah pada masa-masa akhir hidupnya kini aku tidak ingin orangtua ini merisaukan aku. Biarlah beliau dapat menjalani masa-masa tuanya dengan tenang.***

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *