Monday, February 22, 2010

Protes keras yang salah alamat.IV(4.14)


         Menjadi wartawan yang meliput berita-berita kriminal, seperti yang aku alami penuh resiko.  Pada suatu pagi, seperti biasa aku masuk kantor sebelum mencari berita. Di halaman kantor  terlihat beberapa anggota tentara. Tiba-tiba muncul dari dalam Rls. pegawai baru yang belum lama diterima sebagai Seketaris Redaksi. “Nah….., ia ini dia orangnya Pak, kebetulan sudah datang”. Yang dia maksudkan adalah wartawan yang menulis berita pada koran kami pagi itu mengenai perampokan  yang melibatkan oknum tentara.
        Dalam hati aku menyesali teman ini karena dia telah melakukan pelanggaran  berat kode etik pers.  Penulis berita menurut Undang-undang harus dirahasiakan kecuali kepada Jaksa Agung. Isi pemberitaan pers pun tak dapat  langsung dimintakan pertanggungjawabannya kepada wartawan yang menulis, tetapi harus kepada Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab suratkabar. Dalam  beberapa kasus, seperti koran Indonesia Raya dan Nusantara, Pemimpin Redaksinya memilih lebih baik dirinya dihadap-kan ke pengadilan daripada menyebutkan identitas war-tawan korannya yang menulis berita yang bemasalah.
        Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Salah seorang tentara itu memperlihatkan secarik kertas undangan dari atasannya di Gambir guna menjernihkan berita tersebut. Tanpa berpikiran buruk dan mengharapkan akan mendapatkan berita lanjutan, aku setuju ikut bersama mereka dalam mobil jip. Sampai di pertigaan Jalan Raden Saleh, salah seorang mengusulkan agar ke CPM Guntur tetapi tidak disetujui kawan-kawannya. Kami singgah sebentar ke Kantor Polisi Kramat. Salah seorang meminta polisi memanggil seorang tahanan. Dan ketika keluar anggota tentara itu memperlihatkan pashoto seorang  anggota tentara, dan tahanan itu mengangguk membenar-kannya.
         Sampai di salah satu markas militer di Jalan Merdeka Timur, aku dipertemukan dengan seorang perwira muda berpangkat Letnan Satu. Perwira ini menerimaku dengan ramah. Dia menyampaikan tanggapannya atas berita yang kutulis dan aku berjanji untuk memuatnya. Tetapi ketika keluar pintu gedung, tanpa terduga aku dicegat beberapa oknum anggotanya. Seorang  diantaranya menampar pipi kiriku dan seorang lagi mencoba mencabut pisau komando tetapi dihalangi kawannya.
         Aku masuk kembali ke dalam, menemui perwira yang mengundangku dan mengajukan protes. “Aku ke sini diundang baik-baik dan dijemput. Mengapa jadi begini ! Ini akan berakibat panjang,” kataku keras. Sang perwira  hanya dapat meminta maaf dan mengantarku keluar.
         Di luar, aku lihat para prajurit tadi tengah mengikuti apel. Aku berjalan keluar halaman melewati  deretan tank dikiri-kananku dengan laras-laras meriamnya menjulang di atas kepalaku.
        Kendaraan umum pagi itu masih jarang sehingga terpaksa aku  pulang dengan bejalan kaki. Pikiranku jadi kacau, kesal dan marah atas keteledoran Sekretaris Redaksi kami yang baru serta tindakan main hakim sendiri para prajurit tadi. Pipiku juga terasa lebam dan sakit. Aku tak mungkin dapat melakukan tugas hari itu. Karena itu aku putuskan langsung pulang ke rumah dan tidur menenangkan diri.
        Petang harinya baru  aku ke kantor. Di sana hanya ada Pak Achmad Syamsudin,  Desk Editor yang bertugas menyeleksi berita-berita yang masuk sore itu. Ia terkejut melihat kedatanganku, karena sejak pagi hari itu teman-teman sekantor telah melakukan pengecekan ke instansi-instansi militer dan polisi tempatku biasa mencari berita seperti :Penerangan Kodam V/Jaya, Dispen AD, Dispen Hankam, Penerangan Komdak VII Jaya dan Dispen Mabes Polri. Tetapi mereka tidak mengetahui keberadaanku.
         Pak Syamsudin yang biasa kami  sapa Pak U’u, langsung membuat berita ukuran dua kolom dengan judul besar “Protes Keras”. Ditempatkan di pertengahan halaman depan dan di bingkai. Isi protesnya ditujukan ke Skogar Ibukota di Gambir.
         Pagi harinya, reaksi atas berita itu cukup banyak. Kepala Penerangan Kodam Jaya menelpon memintaku datang untuk menyelesaikannya. Tetapi Pemimpin Redaksi  kami  Bapak Nono Anwar Makarim melarangku pergi. Selaku Penanggung Jawab, dialah yang harus bertanggung jawab, namun ia tetap minta aku mendampinginya.
         Di ruang Pendam  V Jaya  telah menunggu  beberapa perwira menengah. Diantaranya ada  Kolonel Urip Widodo, Kabiro Sosial Politik Kodam  dan  Letnan Kolonel  Mantik dari Skogar Ibukota. Kapendam menjelaskan setelah dicek ke Skogar ternyata peristiwa dimaksud tidak pernah terjadi. Namun ketika dicek lebih  lanjut ke seluruh kesatuan  militer yang berkantor di Gambir, ternyata peristiwa itu terjadi   di kantor kesatuan kavaleri. Pelakunya, dua orang  kopral,  telah dimasukan ke sel. Karena itu diharapkan kejadian itu dianggap selesai.
         Pernyataan simpati terus berdatangan. Seorang kolonel dari Cijantung menelpon menanyakan tentara dari mana pelakunya dan apakah kami memerlukan bantuan. Tetapi kujawab  telah diselesaikan secara  damai.***










No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *