Wednesday, April 14, 2021

Jejak Mengikut Kristus (9): PERGUMULAN IMAN MENEMUKAN PASANGAN HIDUP

3 April 1978

 Pada masa ini aku mulai berpikir mengenai masa depanku. Ketika tiba hari ulang tahunku tanggal 3 April 1978  aku sadar usiaku sudah genap  tigapuluh empat tahun. Sebentar lagi akan memasuki usia empat puluh tahun kalau Tuhan mengijinkan. Masalahnya apakah aku akan tetap membujang seperti ini ataukah ada niat untuk berkeluarga.

         Tentu saja aku memilih yang kedua karena   menurut Kitab Suci, manusia itu tidak baik hidup sendiri. Dia perlu mendapatkan teman hidup yang sepadan. Tetapi untuk membangun keluarga, menuntut kewajiban dan tanggung jawab. Terutama untuk mempersiapkan kehidupan anak-anak yang akan lahir kelak. Untuk itu dibutuhkan kemampuan orangtua, baik fisik, mental, ekonomi dan perencanaan. Karena itu memilih saat usia nikah patut diperhitungkan. Tidak terlalu muda, tetapi juga tidak terlalu lanjut, sehingga pada saatnya nanti anak-anak membutuhkan biaya besar, orangtua masih mampu membiayainya. Terutama pada pendidikan tinggi

          Akhirnya aku mengambil keputusan untuk melaksanakan niat ini sesegera mungkin. Kalau bisa tahun 1978 itu juga. Tapi dengan siapa ?

         Aku memang mempunyai hubungan dengan beberapa teman wanita. Tetapi hubungan itu akhirnya putus,  terbentur oleh berbagai kendala. Denga seorang gadis Padang teman kuliah terbentur oleh perbedaan agama. Kemudian seorang gadis Jawa kerabat isteri  kemanakanku, juga  tehalang  perbedaan agama.

          Hubunganku dengan NY.gadis Padang yang adik bungsu wartawan senior yang juga  ketua PWI Pusat saat itu, benar-benar menempatkan aku dalam pergumulan iman yang serius. Murtad menjadi Muslim ?  Karena sudah pasti mahasiswi berkulit putih halus dengan hidung agak mancung ini berasal dari keluarga yang taat pada agamanya, Islam. Tak Mungkin ! Akupun sudah sejak awal berketetapan hati untuk tetap setia kepada Kristus, Tetapi tanpa kusadari , aku sudah telanjur masuk dan mulai diperkenalkan dengan beberapa anggota keluarganya. 

     Asal mulanya, aku hanya mau pulang sambil  mengantarkan pulang NY ke rumahnya sehabis kami kuliah mulai sore hari. Tetapi entah apa, dari kampus PTP (Perguruan Tinggi Publisistik) di Jalan Menteng Raya, NY mengajak berkeliling, mampir ngobrol dulu di rumah familinya di Manggarai. Sesudah itu diajak lanjut lagi ke keluarganya yang lain di kawasan Cempaka Putih. Terakhir mendekati tengah malam baru ke keluarganya di Jalan Kramat VIII (Zamrud). Tak kusangka, keluarga itu adalah famili juga dari rekan Ardy Syarif yang dahulu membantu aku masuk ke Harian Kami. Dan celakanya, malam itu ia ada juga di sana ! Maka hubunganku dengan NY segeralah sampai ke kantor. Bahkan Ardy sesumbar sudah menyediakan kado.

        Sejujurnya, aku sudah memperkirakan kendala yang akan kami hadapi bila hubungan kami terus dilanjutkan. Aku tidak siap meninggalkan Kristus beralih ke agama lain. Aku realistis saja. Maka akupun secara berangsur mulai memposisikan diri sebagai teman biasa.

       Namanya anak muda, aku kembali terpaut dengan ER seorang gadis Jawa, yang setiap kali bertemu, tatapan matanya dan senyumnya nampak menawan. Periang, hitam manis, rambut panjang tebal bergelombang, mirip gadis Solo. Seperti biasa, aku setiap malam minggu datang berkumpul ke rumah kemanakanku di Cilandak bermain kartu. Ayah si gadis ini, yang biasa disapa Pa De , ternyata mempunyai hobi yang sama dengan kami dan tak pernah absen. Disapa Pa De, karena isteri ponakan ini adalah memang saudara  sepupu gadis ER. Makin sering bertemu, hubungan semakin dekat. Pergi berombongan menonton pertandingan sepakbola di Stadion Utama Gelora Senayan, menyaksikan pertandingan olahraga gulat adiknya yang memang atlit gulat, sampai-sampai setiap dua minggu sekali menjemput dan mengantarkan pulang sore hari dari klup Senam Kebugaran di Cikini ke rumahnya Cilandak.

      Saat hubungan meningkat serius, kembali muncul kendala sama seperti dahulu. Masalah perbedaan keyakinan. Saat itu pernikahan beda agama sudah tak dimungkinkan lagi berdasarkan undang-undang baru. Jadi salah satu harus beralih agama. Padahal seperti selalu kutegaskan, aku sudah berketetapan hatin tetap teguh, tetap setia kepada Kristus yang menyediakan jalan keselamatan.

      Keluarga ER pun bersikap sama. Tetap teguh, tak mengijinkan anggota keluarganya beralih kepercayaan. Keberatan paling keras datang dari kakak iparnya yang seorang guru dan uztad dari Bima. Maka atas nasehat keluarga, hubungan itu akhirnya disepakati tidak sampai ke pernikahan.

       Mengapa harus tetap teguh pada iman Kristen ? Pertama, yakin hanya dalam iman Kristen saja ada kepastian keselamatan. Kepastian itu dijanjikan dan dijamin oleh Yesus Kristus sendiri. Yang datang dari surga, mati tetapi bangkit hidup kembali, naik kembali ke surga. Tetap hidup hingga sekarang dalam kemuliaan. Dan pada saatnya akan datang kembali menyambut umat yang percaya dan taat kepadaNya.  Jaminan seperti ini tak kudapatkan dalam ajaran beberapa agama besar yang kupelajari.

          Ajaran cinta kasih kepada sesama manusia dalam Kristen, faktor utama kedua yang membuatku mengambil sikap tetap teguh bersama Kristus. Andaikan, rasa cinta kasih ini ada di hati anggota-anggota TII tahun 50-an, tak akan pernah terjadi pengungsian besar-besaran di Tanah Mori seperti yang pernah kami alami. Pembakaran rumah-rumah penduduk, sekolah dan rumah-rumah ibadah, penyanderaan dan pembunuhan, tak akan terjadi. Bahkan kupikir, bila seluruh bangsa Indonesia dapat menjalankan ajaran cinta kasih pada sesama ini tanpa harus menjadi Kristen, negeri ini akan aman. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang tenteram, damai dan sejahtera !

       Waktu terus berjalan. Saat itu permohonanku kepada Direktur PT Enam-Enam Pak Zulharmans untuk menghidupkan kembali Unit Sixty Six Advertising Agency (SAA) yang telah lama tidak aktif, telah disetujui. Bahkan telah berkembang dengan cepat. 

        Diantara klien kami, ada sebuah perkumpulan Biro Jodoh yang beralamat di Jalan Matraman. Banyak sekali peminat ke perkumpulan itu melalui surat yang dikirimkan melalui alamat kami. Maka kupikir, sesudah berulang kali  kandas dalam mencari calon pasangan yang sesuai, tak ada salahnya kini aku juga ikut iseng-iseng mencoba cara ini.    Dengan mencantumkan secara tegas syarat-syaratku. Terutama soal agama. Aku memasangnya di Mingguan Berita Buana yang memang sedang digandrungi muda-remaja saat itu. Selain itu, dari mingguan ini, SAA juga bisa mendapatkan komisi atau potongan 30 %. Tentu saja biaya iklannya dari kantong sendiri. 

      Tanggapannya luar biasa. Beberapa pengirim surat perkenalan kudatangi langsung. Ada yang hanya kubalas suratnya dengan menambahkan sedikit indentitasku yang lebih jelas.

        Beberapa hari kemudian, ada seorang gadis datang ke kantor berniat menyampaikan map lamaran kerja. Memang hari itu aku  memasang iklan  lowongan kerja untuk seorang calon sekretaris guna membantuku sebagai pengelola Biro Iklan Sixty Six Advertising Agency. Lamaran kerja gadis ini ternyata kemudian hanya akal-akalan. Sesungguhnya ia tidak serius, terbukti juga dari persyaratan yang sengaja tidak dipenuhi. Ia datang dengan temannya yang hanya menanti di luar. Rupanya mereka mempunyai tujuan lain. Ketika melihat aku mau keluar kantor, mereka segera buru-buru pergi.

     Temannya ini baru kuketahui namanya melalui surat kedua dari salah seorang yang sudah mengirimku surat perkenalan. Pengirim surat kedua ini menulis namanya Ana SD. Lalu ia terus terang menceriterakan, yang datang menyampaikan lamaran itu sebenarnya sahabatnya. Dia diajak menemani untuk mengecek benarkah aku kerja di kantor yang kusebut serta katanya untuk melihat langsung seperti apa tampang orangnya. Cerdik juga gadis satu ini, kataku dalam hati. Maka akupun memutuskan untuk datang berkenalan langsung sekaligus dengan keluarganya.  Ana SD !. Baca sepintas, dahulu kukira nama ini masih nama samaran karena aku salah baca “Anak SD”. Rupanya benar nama sesungguhnya. Yang terakhir ini ternyata singkatan dari Susana Damping. Dari perkenalan lebih lanjut kuketahui gadis ini adalah puteri pertama dari seorang pensiunan dosen Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) di Ancol.,mantan Nakoda kapal besar asal Sangir dan Kepala Sekolah Pelayanan Menengah (SPM). Ibunya adalah puteri seorang pelaut asal Timor dan ibunya asal Lemahabang, Krawang. Jadi, termasuk suku Sunda Baik ayah, ibu maupun anak-anaknya aktif di gereja.

    Tetapi masih ada masalah yang perlu diselesaikan. Masalah yang timbul sebagai konsekwensi menjalin hubungan dan memberi harapan kepada lebih dari satu kekasih. Hubungan dengan IK, seorang gadis Kalimantan, asisten seorang psikolog paling terkenal di Ibukota ketika itu, masih tetap berjalan. Pergi menonton film bersama, keluar makan bersama, bercengkerama di tempat kost bersama teman-temannya, tetap kami lakukan. Dia juga kuanggap sebagai calon pasangan ideal. Seagama, berpendidikan bahkan sudah bekerja sebagai pekerja sosial. Dengan alasan ada orangtuanya sakit, ia minta tolong bisakah  aku membelikan tiket pesawat untuk pulang ke Kalimantan. Tetapi ketika balik kembali, bukannya berita kesehatan ayahnya yang disampaikan, tetapi sikap orangtuanya tentang hubungan kami. Aku terkejut, karena begitu cepat keluar tanggapan orangtuanya. Padahal diantara kami sendiri kupikir belum lagi sampai tercapai kebulatan niat untuk menuju jenjang pernikahan.

    Tanggapan keluarganya tak kurang mengejutkan. Karena dimintakan syarat harus berpendidikan sarjana. Meski saat itu aku sudah kuliah di tingkat 5/Sarjana, tetapi ujiannya tak juga kunjung dapat kuselesaikan karena terkendala keseringan  mendapat tugas jurnalistik ke luar Jakarta.

Aku sedikit terganggu dengan persyaratan itu. Karena faktanya, aku baru memiliki sertifikat kandindat Sarjana Muda. Sedangkan dia sudah Sarjana Muda. Tapi kupikir, itu adalah hak mereka. Mereka juga berhak membutuhkan kebanggaan status. Maka akupun menjanjikan akan coba konsultasi dengan Rektor PTP, apakah aku dapat mengejar semua ketertinggalan pelajaranku agar pendidikan tingkat kesarjanaanku dapat diselesaikan dengan cepat.

Tapi apa jawaban Rektor ? Secara akademik bisa diberi kesempatan. Tetapi persyaratan adminsitrasi mewajibkan aku harus membayar semua biaya-biaya administrasi selama aku tidak kuliah. Dihitung-hitung, jumlahnya sangat besar, jumlah yang akan sangat sulit kupenuhi. Kupikir, adalah lebih masuk akal mempercepat penyelesaian studi di Universitas Terbuka (UT) yang memakai sistem paket SKS yang sudah kumulai saat itu. Hanya akan memerlukan waktu agak lama.

Semua ini kukemukakan kepada IK, tetapi ia tak memberikan banyak tanggapan. Kalau sebelumnya ia menyapaku dengan “kak”, kini ia memanggilku dengan “Anda”. Sikapnya jadi berubah. Dia juga menawarkan penggantian biaya tiket yang pernah kubelikan. Tapi kutolak, karena itu menyangkut kehormatan seorang pria yang telah rela berkorban dengan tulus untuk seseorang yang dicintai. 

     Maka aku mengambil kesimpulan, hubungan kami tak dapat diteruskan lagi . Akupun meminta maaf tak dapat memenuhi harapan keluarganya lalu pamit pulang. Tiba di kamar paviliun kantor tempatku tinggal, aku merenungkan kembali apa yang baru terjadi. Dia barangkali memang bukan jodoh yang dipersiapkan Tuhan bagiku.

             Lalu pikiranku melayang ke bayang-bayang wajah Ana SD, puteri pensiunan dosen AIP itu. Dalam  hati aku merasa mungkin inilah gadis yang dipilihkan Tuhan, yang sepadan denganku sebagai calon teman hidup. Keluarganya pun nampaknya dapat menerima kehadiranku. Malah ibunya yang ketika itu dirawat di rumahsakit, minta pernikahan kami segera dilaksanakan. Namun aku belum dapat memberikan kata akhir. “Tunggulah sampai Ibu sembuh”, jawabku. Padahal alasan utamaku dalam diriku sendiri, aku belum meminta pertimbangan ibuku. Karena bagaimana pun aku perlu mendapatkan do’a restunya. Lebih-lebih karena beliau pernah menyarankan calon seorang gadis bekas teman sekelas dan puteri kepala kampung kami, namun kutolak dengan halus. Alasanku ketika itu aku masih mau melanjutkan sekolah.

                Beberapa hari kemudian aku menerima telegram dari  keluarga di Uluanso, bahwa ibunda ada bersama keluarga kak Maga yang bekas tentara di Raha, Sulawesi Tenggara. Tidak disebutkan keadaannya. Aku agak cemas apakah beliau dalam keadaan sakit sehingga perlu perawatan di sana, sebab beliau jarang bepergian jauh. Aku memutuskan segera menemui beliau. Maksud kedua, memintakan pertimbangannya atas gadis pilihanku dan bila beliau menyetujui sekaligus memohon do’a restunya.

          Besoknya aku berangkat.  Untuk tiba di Raha dari Jakarta, dalam sehari aku perlu dua kali berganti pesawat  Dari Jakarta ke Makasar dengan Garuda, ke Kendari ganti dengan pesawat Merpati dan selanjutnya dengan pesawat  perintis kecil

          Kondisi ibu ternyata cukup baik. Dan kata-kata Ibunda mengenai gadis pilihanku benar-benar mencerminkan seorang sifat orangtua yang bijaksana. “Kalau itu memang sudah pilihanmu dan kau anggap baik, ibu juga menyetujuinya dan ibu doakan semoga kalian nanti hidup bahagia”.

           Pulang ke Jakarta, keputusanku untuk segera menikah sudah mantap. Atas persetujuan Ibu, aku segera meminta kesediaan Kak Narumi dan isteri untuk menjadi Waliku, baik dalam menyampaikan lamaran maupun pelaksanaan acara-acara pernikahan. Aku agak memaksakan agar  dilaksanakan pada tahun genap 1978 juga ketika aku berusia 34 tahun.

        Akhinya disepakatilah tanggal 9 Desember 1978. Sebenarnya pekerjaanku ketika itu belum begitu mantap. Harian Empat Lima, yang dipimpin Pak Adam Malik, Ketua MPR, baru saja ditutup atas usul Drs. Suyatno, sebagai pemimpin perusahaan kami dengan alasan merugi terus. Ekonom ini kelak menjadi Rektor Akademi Tarakanita dan Rektor Universitas Atmajaya. 

        Ada rencana Pak Zul untuk menerbitkan Suratkabar Mingguan, tetapi belum pasti karena Surat Ijin Terbitnya belum turun. Tetapi dengan berbagai pekerjaan sambilan, aku yakin akan dapat memenuhi kebutuhan kami nanti. Aku memang menginginkan acara pernikahahan kami sederhana saja. Undangan agar dibatasi.  Aku melihat saat seperti itulah waktu yang terbaik.

        Ketika melamar, aku hanya menyerahkan uang  tiga ratus ribu rupiah kepada keluarga calon pengantin wanita sebagai penyelenggara. Namun di luar itu aku juga masih memesan tempat tidur pengantin baru yang lengkap dengan perlengkapan meja riasnya. Menyewa gedung resepsi dan menyediakan undangan. Sehari sebelum pernikahan aku masih mengantar undangan dengan sepeda motor sampai ke Cibinong bahkan juga mengantar tambahan beras dengan sepeda motor ke bagian konsumsi.

          Akhirnya jadilah pemberkatan pernikahan kami dilaksanakan di Gereja GKI Kwitang oleh Pendeta Dr. Daud Palilu. Malamnya dilanjutkan dengan resepsi di gedung Stania, Menteng. ***

 

JEJAK MENGIKUT KRISTUS (8): PELUANG DAN TANTANGAN SILIH BERGANTI.

 Suatu  pagi aku bekenalan  dengan  Ardi Syarif yang tengah membaca Harian KAMI, koran yang sedang laris saat itu. Rumah pemuda asal Padang ini  bersebelahan dengan kantor SKM Udjana tempatku mulai bekerja.   

          Koran tabloid ini adalah salah satu media informasi mahasiswa yang tegabung dalam oganisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI)  yang ketika itu sedang gencar-gencarnya melakukan demonstrasi. Mereka menuntut  pelaksanaan TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat), yaitu pembubaran PKI, resuffle Kabinet dan penurunan harga-harga kebutuhan pokok rakyat.

                 Kenalan baru ini ternyata mahasiwa Universitas Indonesia (UI) dan juga aktif di Harian Kami. Aku  menyatakan keinginanku untuk bekerja di surat kabar mereka sebagai korektor dan apakah ada lowongan.  Kukatakan, aku mahasiswa juga dari Univesitas Pancasila, dan pernah ikut bergabung  dalam demonstrasi di halaman kampus UI Salemba.

                Tanggapan  Ardy  ternyata  sungguh baik. Saat itu juga ia mengajak aku ke Kantor Harian Kami yang letaknya hanya beberapa rumah jauhnya. Ia memperkenalkan aku dengan  seorang  pemuda yang ramah yang  sering disapa  Oje. Ternyata dia tidak lain adalah budayawan Satyagraha  Hurip. Di Harian Kami ia sebagai Seketaris Perubahaan. Nama Oje rupanya hanya nama samarannya dari singkatan Orang Jelata. Pemba-waannya memang sederhana. Tulisan-tulisannya banyak mengungkapkan penderitaan  rakyat kecil.

           Setelah wawancara singkat, aku dinyatakan diterima sebagai korektor sesuai pengalamanku. Bahkan diminta kalau bisa agar langsung ikut ke percetakan dan mulai  bekerja hari itu juga. Wah ! Alangkah sukacitanya aku. Dalam hati aku berulang-ulang bersyukur pada Tuhan.

          Aku langsung ikut kendaraan, sampai-sampai tidak ingat lagi untuk pamit dan mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan  rekan sekerja   di Mingguan Udjana.   

           Lebih  menarik lagi, suratkabar ini ternyata didukung oleh banyak penulis, pengarang  dan sastrawan muda dan terkenal. Sebagian diantara mereka adalah anggota-anggota kelompok yang  biasa disebut “seniman Senen”, karena kerapkali betemu di kawasan Senen.     Disamping Satyagaha Hurip dan Bastari Asnin, yang sudah menjadi staf redaksi, terdapat seniman penulis tetap seperti Muchtar Lubis, Rosihan Anwar, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, Gunawan Mohamad, Emil Salim dan HB. Jassin. Kadang-kadang mereka mengantarkan langsung naskahnya ke percetakan sehingga aku dapat mengenal mereka dari dekat.

          Harian Kami dicetak di Percetakan Pemandangan di Jalan Gunung Sahari, Ancol. Di situ aku  dikenalkan dengan Achmad  Fanany, satu-satunya karyawan yang menangani semua urusan  pencetakan koran Harian Kami. Mulai dari mengatur tata letak, pemberian kode jenis dan besar huruf  pada setiap naskah untuk pencetakan dan sekaligus mengoreksinya.

          Aku lihat ada beberapa hal yang masih perlu diperbaiki  seperti tata  letak dan juga kearsipan klise-klise foto. Dengan pengalaman  kami masing-masing, aku dan Pak Fanany  berusaha meningkatkan  pewajahan Harian Kami sehingga tidak kalah dengan koran-koran professional.  Karena terbit pagi, maka kami harus bekerja malam hari sampai halaman-halaman koran siap cetak di mesin rotasi.      

          Sebagai  media  pembawa suara organisasi kesatuan  aksi yang  menentang penguasa  ketika  itu, Harian Kami  pun tak lepas dari berbagai ancaman dan intimidasi dari pihak penguasa dan sisa-sisa pendukungnya.  Markas Laskar Ampera tidak jauh dari kantor redaksi kami, suatu  pagi diberondong  senjata otomatis. Karena itu pada suatu malam seseorang meminjamkan sepucuk Stengun   yang dapat kami gunakan bila terpaksa. Senjata semi otomatis itu kami sembunyikan di bawah terpal penutup mesin.

          Kami memang harus selalu waspada. Karena sebagai pembawa suara kaum oposisi, sewaktu-waktu koran kami bisa mendapat serangan. Terbukti wartawan kami, Bung Zaenal Zakse menjadi korban. Ia tewas tertembus sangkur militer ketika meliput demonstrasi Tritura, di lapangan Monas. Padahal malam sebelumnya ia masih bersama-sama dengan kami.

        Pencetakan koran biasanya selesai menjelang subuh. Pengurus mengijinkan kami, membawa pulang sepuluh sampai duapuluh eksemplar koran  yang dapat kami jual untuk tambahan biaya transport. Kami selalu pulang dengan menumpang mobil ekspedisi pemasaran. Ternyata koran  kami selalu jadi rebutan. Setiap mobil kami lewat di perampatan Senen-Kramat, selalu dikerubuti pengecer koran yang berebut membeli koran kami. Alangkah senang dan bersyukurnya aku. Tuhan ternyata  mendengar doa-doaku selama ini. Dia mulai memulihkan kehidupanku.

 

Kembali Kuliah

             Dari penjualan koran gratis yang kudapatkan, aku dapat mencukupi biaya tansport ke tempat kerja, biaya  sehari-hari, beli obat,  bahkan dapat membeli pakaian baru. Aku juga merasa sangat tertolong dengan adanya jaminan kesehatan yang diberikan perusahaan. Ada dokter perusahaan dan diberi penggantian harga obat-obatan. Malahan dokter mengabulkan untuk menambahkan dalam setiap resepnya  untuk diberikan beberapa kaleng susu fullcream sehingga kondisi tubuhku yang masih kurus dapat pulih lebih cepat. Setiap bulan gajiku kuterima penuh sehingga aku mulai dapat menabung.

          Aku ingat kembali cita-citaku semula yaitu ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah. Dan kondisinya sekarang sudah memungkinkan untuk memulai lagi. Karena itu pada tahun kuliah berikutnya aku mendaftar kembali ke Fakultas. Aku diperbolehkan tetapi harus mulai di tingkat I atau Persiapan kembali. Aku memang telah ketinggalan jauh dalam pelajaran dengan teman-teman mahasiswa seangkatanku. Untuk pelajaran teori mungkin masih dapat  kukejar. Tetapi untuk praktek laboratorium kimia dan biology  dan  praktek lapangan tak mungkin.    

        Semula semuanya bejalan baik.Tetapi kemudian aku berpikir ada ketidaksesuaian antara pendidikan  yang sedang kutempuh dengan pekejaan yang kini mulai kujalani dan telah mulai kurasakan  manfaatnya. Masa depannyapun baik. Kupikir, mengapa segenap waktu dan perhatianku tidak kupusatkan saja pada pekerjaan ini. Kukembangkan saja dengan lebih  sungguh-sungguh. Baik dalam kemampuan dan ketrampilan maupun pengetahuan. Menyelesaikan studi di Fakultas Farmasi sampai menjadi Apotheker  akan memakan waktu dan biaya lebih banyak.

        Karena itu  kuputuskan untuk kuliah di Peguruan Tinggi Publisistik Jakarta. Lembaga pendidikan tinggi kewartawanan ini memang didirikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan para pengajarnyapun berasal dari kalangan paktisi pers.

        Upaya peningkatan ketrampilan kerja kulakukan dengan belajar menjadi wartawan. Aku mulai dengan mencari dan menulis berita kemudian menyampaikannya ke Redaksi. Waktuku yang seharusnya kugunakan untuk tidur istrahat setelah bekerja semalaman, sebagian kugunakan untuk meliput jalannya sidang pengadilan di  Pengadilan Negeri Jakarta. Sesudah itu kuliah sore hari.     

          Berita-berita yang kubuat umumnya pendek-pendek dan  hanya yang menarik perhatian (human interest).  Hampir seluruh  berita-beritaku tenyata dimuat. Dan setiap kali aku melihat beritaku termuat aku senang. Pemimpin Redaksi kami, Pak Nono Anwar Makarim, tenyata tertarik dengan berita-beritaku. Pernah dua kali ia keluar dari ruang kerjanya dan menemui aku sambil tebahak-bahak dan mengomentari beritaku yang berjudul “Gara-gara  bumbu masak, Direktur dipenjara”. Kedua, tentang perkara seorang suami yang  memperkarakan isterinya karena memencet alat vitalnya setelah diketahui berselingkuh dengan perempuan lain.

 

         Tidak lama kemudian aku benar-benar ditarik ke  Redaksi. Aku diberi Kartu Pers dan ditugaskan secara resmi sebagai reporter yang  bertanggung jawab untuk menangani berita-berita  pengadilan. Tidak saja  meliput  sidang-sidang di Pengadilan Negeri Jakarta di Jalan Gajah Mada, tetapi  juga Pengadilan Tinggi, bahkan kemudian sidang-sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) di Gedung Bappenas depan Taman Surapati Menteng yang berlangsung siang dan malam. Mahkamah ini mengadili tokoh-tokoh bekas pelaku percobaan kudeta oleh G30S/PKI tanggal 30 September 1965.

        Pada suatu hari aku mengikuti pesidangan perkara seorang laki-laki yang sudah berulang-ulang keluar-masuk penjara. Dia ternyata bukan  hanya pelaku  biasa, tetapi seorang pemimpin dalam berbagai perampokan di Ibukota. Aku tertarik lalu mengumpulkan infomasi lebih banyak tentang orang ini termasuk mengadakan percakapan langsung. Hasilnya kemudian kurangkum menjadi satu tulisan sebagai kisah nyata dan faktual. Ketika kuajukan ternyata dapat diterima untuk dimuat secara serial setiap hari.

          Setelah seminggu dimuat berturut-turut, Bapak Ismid Hadad Wakil Pemimpin Umum menyatakan penghagaannya karena katanya tulisan itu disenangi banyak pembaca. Untuk itu pantas diberi  penghargaan berupa honorarium untuk setiap seri pemuatan. Tulisan ini katanya sudah melebihi dari hasil yang diharapkan dari tanggung jawabku. Oh, _Puji Tuhan ! Alangkah beterima kasihnya aku. Bukan saja karena karyaku dihargai dan terbukti ada manfaatnya, tetapi juga  oleh adanya tambahan  rejeki            

          Makin lama tanggung jawabku makin bertambah. Bukan hanya berita pengadilan, tetapi mencakup seluruh berita bidang hukum/kriminal, yang berarti mencakup kegiatan lembaga Kejaksaan dan Kepolisian pada semua tingkatan dan wilayah. Aku juga mulai diberi tanggung jawab untuk peliputan berita-berita petahanan-keamanan yang meliputi kegiatan-kegiatan Departemen Hankam  dan ketiga  Angkatan Perang. Setiap hari bukan hanya meliput kegiatan-kegiatan dan menyusun berita, tetapi juga  harus menyingkat dan menulis kembali berita-berita yang berasal dari sumber-sumber lain, seperti  kantor-kantor berita dan koresponden daerah. 

         Disamping itu  aku juga kadang-kadang ditugaskan meliput berita-berita kegiatan bidang ekonomi dan olah Raga, khususnya  pertandingan sepak bola, kegiatan kesenian di Taman Ismail Marzuki bahkan menulis resensi film.

           Protes keras yang salah  alamat.

         Menjadi wartawan yang meliput berita-berita kriminal, seperti yang aku alami penuh resiko.  Pada suatu pagi, seperti biasa aku masuk kantor sebelum mencari berita. Di halaman kantor  terlihat beberapa anggota tentara. Tiba-tiba muncul dari dalam Rls. pegawai baru yang belum lama diterima sebagai Seketaris Redaksi. “Nah….., ia ini dia orangnya Pak, kebetulan sudah datang”. Yang dia maksudkan adalah wartawan yang menulis berita pada koran kami pagi itu mengenai perampokan  yang melibatkan oknum tentara.

        Dalam hati aku menyesali teman ini karena dia telah melakukan pelanggaran  berat kode etik pers.  Penulis berita menurut Undang-undang harus dirahasiakan kecuali kepada Jaksa Agung. Isi pemberitaan pers pun tak dapat  langsung dimintakan pertanggungjawabannya kepada wartawan yang menulis, tetapi harus kepada Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab suratkabar. Dalam  beberapa kasus, seperti koran Indonesia Raya dan Nusantara, Pemimpin Redaksinya memilih lebih baik dirinya dihadap-kan ke pengadilan daripada menyebutkan identitas war-tawan korannya yang menulis berita yang bemasalah.

        Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Salah seorang tentara itu memperlihatkan secarik kertas undangan dari atasannya di Gambir guna menjernihkan berita tersebut. Tanpa berpikiran buruk dan mengharapkan akan mendapatkan berita lanjutan, aku setuju ikut bersama mereka dalam mobil jip. Sampai di pertigaan Jalan Raden Saleh, salah seorang mengusulkan agar ke CPM Guntur tetapi tidak disetujui kawan-kawannya. Kami singgah sebentar ke Kantor Polisi Kramat. Salah seorang meminta polisi memanggil seorang tahanan. Dan ketika keluar anggota tentara itu memperlihatkan pashoto seorang  anggota tentara, dan tahanan itu mengangguk membenar-kannya.

         Sampai di salah satu markas militer di Jalan Merdeka Timur, aku dipertemukan dengan seorang perwira muda berpangkat Letnan Satu. Perwira ini menerimaku dengan ramah. Dia menyampaikan tanggapannya atas berita yang kutulis dan aku berjanji untuk memuatnya. Tetapi ketika keluar pintu gedung, tanpa terduga aku dicegat beberapa oknum anggotanya. Seorang  diantaranya menampar pipi kiriku dan seorang lagi mencoba mencabut pisau komando tetapi dihalangi kawannya.

         Aku masuk kembali ke dalam, menemui perwira yang mengundangku dan mengajukan protes. “Aku ke sini diundang baik-baik dan dijemput. Mengapa jadi begini ! Ini akan berakibat panjang,” kataku keras. Sang perwira  hanya dapat meminta maaf dan mengantarku keluar.

         Di luar, aku lihat para prajurit tadi tengah mengikuti apel. Aku berjalan keluar halaman melewati  deretan tank dikiri-kananku dengan laras-laras meriamnya menjulang di atas kepalaku.

        Kendaraan umum pagi itu masih jarang sehingga terpaksa aku  pulang dengan bejalan kaki. Pikiranku jadi kacau, kesal dan marah atas keteledoran Sekretaris Redaksi kami yang baru serta tindakan main hakim sendiri para prajurit tadi. Pipiku juga terasa lebam dan sakit. Aku tak mungkin dapat melakukan tugas hari itu. Karena itu aku putuskan langsung pulang ke rumah dan tidur menenangkan diri.

        Petang harinya baru  aku ke kantor. Di sana hanya ada Pak Achmad Syamsudin,  Desk Editor yang bertugas menyeleksi berita-berita yang masuk sore itu. Ia terkejut melihat kedatanganku, karena sejak pagi hari itu teman-teman sekantor telah melakukan pengecekan ke instansi-instansi militer dan polisi tempatku biasa mencari berita seperti :Penerangan Kodam V/Jaya, Dispen AD, Dispen Hankam, Penerangan Komdak VII Jaya dan Dispen Mabes Polri. Tetapi mereka tidak mengetahui keberadaanku.

         Pak Syamsudin yang biasa kami  sapa Pak U’u, langsung membuat berita ukuran dua kolom dengan judul besar “Protes Keras”. Ditempatkan di pertengahan halaman depan dan di bingkai. Isi protesnya ditujukan ke Skogar Ibukota di Gambir.

         Pagi harinya, reaksi atas berita itu cukup banyak. Kepala Penerangan Kodam Jaya menelpon memintaku datang untuk menyelesaikannya. Tetapi Pemimpin Redaksi  kami  Bapak Nono Anwar Makarim melarangku pergi. Selaku Penanggung Jawab, dialah yang harus bertanggung jawab, namun ia tetap minta aku mendampinginya.

         Di ruang Pendam  V Jaya  telah menunggu  beberapa perwira menengah. Diantaranya ada  Kolonel Urip Widodo, Kabiro Sosial Politik Kodam  dan  Letnan Kolonel  Mantik dari Skogar Ibukota. Kapendam menjelaskan setelah dicek ke Skogar ternyata peristiwa dimaksud tidak pernah terjadi. Namun ketika dicek lebih  lanjut ke seluruh kesatuan  militer yang berkantor di Gambir, ternyata peristiwa itu terjadi   di kantor kesatuan kavaleri. Pelakunya, dua orang  kopral,  telah dimasukan ke sel. Karena itu diharapkan kejadian itu dianggap selesai.

         Pernyataan simpati terus berdatangan. Seorang kolonel dari Cijantung menelpon menanyakan tentara dari mana pelakunya dan apakah kami memerlukan bantuan. Tetapi kujawab  telah diselesaikan secara  damai.

 

Menguak  pungutan liar di Tanjung Priok.

         Suatu hari aku mendapat tugas menemui Dra. Trimurti, pahlawan perintis kemerdekaan yang ikut dalam upacara proklamasi kemerdekaan  pada   tanggal 17 Agustus 1945 di  Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Konon, beliau juga termasuk salah seorang pemudi pejuang yang ikut mendesak Bungkarno dan Bung Hata untuk memproklamasikan kemerdekaan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 namun gagal. Isteri Sayuti Melik yang ikut menyusun teks proklamasi kemerdekaan ini, biasa akrab dipanggil Bu Tri.

          Meski sudah mulai dimakan usia, ia masih tetap aktif menulis. Ia  termasuk penulis tetap di Harian Kami, bahkan ia juga menerbitkan majalah sendiri, majalah Mawas  Diri.

         Beliau mengajak untuk membongkar praktek pungutan liar dan penyelundupan administratif melalui pelabuhan Tanjung Priok yang  tertutup rapat dan sulit dibuktikan. Ia  memperkenalkan aku dengan seorang importir mobil. Dan dengan selembar surat tugas, aku menemani seorang staf kepercayaannya  yang sedang mengurus  pengeluaran  mobil  import asal Jerman. Reportase hasil penyamaranku kemudian dimuat  dalam tiga kali penerbitan. Kudengar setelah itu dilakukan penyederhanaan prosedur pengeluaran barang di pelabuhan Tanjung Priok.

 

Memberantas Padenge di Kabupaten Poso. 

          Pada suatu ketika aku mendapat berita ibuku sakit keras. Dengan alasan itu aku diijinkan pulang ke kampung. Malahan aku dapat menggunakan tiket cuma-cuma Jakarta-Ujung Pandang  pulang pergi sebagai hasil kerjasama koran kami dengan Mandala  Airlines.

           Ibu ternyata sudah membaik. Malahan aku yang tiba-tiba sakit nyeri otot belakang. Kalau bergerak terasa sangat sakit. Diam-diam ibu dan adik Tumi menyiapkan acara kebaktian doa pengucapan syukur atas kedatanganku dan untuk kesembuhanku. Selepas kebaktian hari Minggu,  jemaat bekumpul di rumah. Banyak sekali. Sebagian terpaksa mengambil tempat di luar. Mengherankan, karena yang memimpin kebaktian adalah Kak Madura, putera adik bungsu ayahku. Padahal  dahulu ia seorang  dukun terkenal. Dia rupanya telah bertobat dan malahan ditahbiskan  menjadi Penatua.

          Makin hari kesehatanku mulai pulih. Aku telah mengirim telegam ke kantor di Jakarta perihal kesehatanku sehingga mungkin akan terlambat kembali ke Jakarta. Karena itu aku ingin menggunakan kesempatan beberapa hari untuk melakukan kegiatan jurnalistik. Aku tidak ingin kembali ke suratkabarku tanpa membawa ole-ole laporan jurnalistik. Aku juga ingin berbuat sesuatu untuk perbaikan tanah kelahiranku. Dan kini kesempatan itu tersedia bagiku.

        Banyak yang dapat kulakukan. Kulihat kehidupan rakyat tetap memprihatinkan. Prasarana transportasi tambah rusak. Kegiatan ekonomi lesuh. Kota Beteleme yang dahulu dibakar gerombolan perusuh, masih ambrul adul. Demikian pula Kampung Tinompo tempatku sekolah selama tiga tahun lebih makin meosot. Pada hal di daerah-daerah lain pemerintah-pemerintah daerahnya beserta masyarakat sedang berlomba-lomba membangun. Walikota Makasar, Daeng Patompo, Walikota Cirebon Tatang dengan antusias membangun dan mendadani kotanya di sana sini. Mereka tidak mau disebut sedang meniru-niru  Gubernur DKI Ali Sadikin yang ketika itu sedang harum namanya karena kesuksesannya  membangun Jakarta. Malah Ali Sadikin yang meniru, kata mereka.

       Dari berbagai keluhan penduduk dan pengamatanku, yang paling menyengsarakan rakyat adalah praktek padenge, yaitu pemaksaan rakyat untuk memikul barang bawaan pribadi para pejabat pemerintah dan personil militer dari kampung ke kampung tanpa bayaran sedikitpun !

     Pemaksaan serupa hampir kualami sendiri. Ketika masih sakit aku duduk-duduk di kursi beranda. Tiba-tiba seorang prajurit memanggil-manggil setengah membentak kearahku  dari jalan raya. Karena aku tak bereaksi, ia lalu bergegas dengan sikap marah akan memasuki  pintu pagar. Ketika kukatakan, aku sedang sakit ia pergi. Aku sama sekali tidak takut. Karena kalau ia melakukan kekerasan, pasti aku akan melayangkan berita protes ke Mabes Hankam dan Mabes AD di Jakarta melalui koran kami. Pada Kartu Pers dari Puspen Hankam maupun Dispen MBAD tegas dinyatakan agar semua pihak di lingkungannya  memberikan  bantuan dalam pelaksanaan tugas pemegangnya.

           Aku memutuskan berangkat seorang diri ke Poso berjalan kaki mengikuti rute jalan potong seperti yang dahulu sering aku lalui kalau pulang libur. Dengan demikian aku dapat melihat perubahan yang terjadi dan membandingkannya dengan kondisi sepuluh tahun yang lalu ketika terakhir kutempuh.

         Ternyata sungguh menyedihkan. Jalan raya yang dahulu masih bisa dilalui mobil, kini di beberapa ruas sudah seperti jalan setapak. Padahal jalan ini jalan negara. Di beberapa tempat aku berjumpa dengan penduduk yang sedang memaras jalan. Sebagian diantaranya orang tua-tua dan pemuda dari Uluanso, kampung asalku. Ada yang sakit tapi tak ada obat. Diantaranya suami kakak sepupuku sendiri pak Manara Lado’u. Mereka mengeluh, karena tepaksa meninggalkan berhari-hari kebun dan sawah mereka yang sudah siap panen lagi rawan dari serangan hama dan binatang-binatang perusak. Tidak ada bayaran dan harus membawa bekal sendiri.

       Berkali-kali aku berjumpa dengan padenge, yaitu penduduk pemikul barang yang berat-berat diikuti pemilik-nya yang melenggang. Entah ia pejabat pemerintah atau anggota militer atau polisi.

       Di Poso aku ingin mengetahui apa yang telah dilakukan Pemerintah Daerah dan bagaimana progam pembangunan daerah. Tetapi sungguh mengherankan, ketika diberitahukan mereka tidak memiliki Repelita ( Rencana Pembangunan Lima Tahun Daerah). Padahal ketika itu sudah menjadi keharusan, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah membuat Repelita. Akupun menemui komandan distrik militer Kabupaten Poso   seorang Mayor dan mempertanyakan pemasalahan padenge.

.

Jumpa  pujaan hati.

       Ketika bejalan-jalan sore hari di Jalan Talasa depan kompleks SMA, sekolahku dahulu, tanpa terduga aku berjumpa dengan dua orang gadis. Tak kuduga mereka mengenal dan menyebut namaku. Mereka ternyata  teman sekelasku di SD Beteleme dahulu, diantaranya DS. Ini suatu kejutan. Karena selama di SD itu ia merupakan idolaku dan aku jatuh hati padanya.

         Kenangan asmara masa kecil itu kembali berdebur keras. Terbayang kembali masa kecil kami ketika ia masih anak gadis yang lincah dan periang. Berkali-kali aku ingin mendekati dan bercakap-cakap intim dengan dia tetapi aku begitu pemalu. Padahal rumah kami dan rumahnya tidak begitu bejauhan.Sama-sama dekat perbatasan kampung. Kami sering-sering nyaris beriringan ke sekolah. Tapi tidak berani mendekat dan beriringan berdua-duaan, karena menurut  tata kesopanan saat itu masih tabu.

       Aku makin tertarik, karena ternyata orangtuaku dan kakeknya sudah saling mengenal. Bahkan ayah pernah mengajakku ke rumah kakeknya. Sayang gadis pujaan itu tidak terlihat. Ada kebun kami di Parawi. Dan konon  kebun di sebelahnya milik kakek DS. Aku sering mengamat-amati  rumah di kebun itu kalau-kalau dia muncul, tetapi tak pernah.    

        Tidak mengherankan kalau kami tenggelam dalam keasyikan bercakap-cakap tentang masa kecil bersama sampai tengah malam sambil duduk di tembok pembatas jembatan. Sama dengan aku, mereka juga ternyata belum berkeluarga. Sempat terbesit dalam pikiranku barangkali dia memang jodohku untuk dipertemukan kembali. Tetapi ada sedikit yang mengganggu pikiranku, karena ketika aku mengantarkan sampai ke depan rumah kediaman mereka, temannya sempat membisikan bahwa DS mempunyai pacar  seorang perwira menengah TNI. Dan perwira itu tak lain adalah Komandan Kodim Poso yang sebelumnya aku wawancarai. Namun aku pikir, gadis selincah dia adalah wajar kalau banyak pemuda mau mendekatinya.

           Hubungan kemudian berlanjut dengan surat-menyurat. Dan ternyata apa yang dahulu kupendam, ternyata juga ia rasakan. Namun sebelum sampai pada keputusan akhir, aku menyurati teman N, teman sekampung asal Kumpi  tempatku menginap sewaktu ke Poso. Isterinya orang Wawopada yang juga bekas teman sekelasku di SMP Beteleme. Aku meminta nasehat mereka, karena N pegawai Bank BKTN yang juga masih mempunyai hubungan kerabat dengan keluargaku. Tetapi alangkah mengecewakan, karena saran yang kuterima berupa anjuran, “kalau masih bisa, jangan diteruskan, sebaiknya tidak diteruskan”

         Selain kehancuran perhubungan darat, hubungan laut melalui pelabuhan di Kolonodale juga sulit. Aku berniat untuk kembali melalui jalan laut, tetapi batal. Kapal kecil  PN. Pelni yang hanya sebulan sekali menyinggahi kota itu  telah sarat muatan dan mulai menolak penumpang.

      Aku akhirnya mengambil jalan darat ke Makasar melalui bekas kampung kelahiranku, Uluanso tua, melintasi perbatasan daerah propinsi, menyeberangi danau Matano dan Sorowako daerah penambangan nikel oleh INCO di  Malili.

        Sungguh menyedihkan, kekayaan yang menghasilkan jutaan dollar yang digali dari perut bumi Malili tidak memberikan kesejahteraan yang memadai bagi penduduk sekitarnya. Rumah-rumah orang Nuha tetap kumuh dan gelap di malam hari. Kontras dengan kompleks perkampungan INCO Sorowako diseberang danau yang terang-benderang.

           Di Makasar, aku menyempatkan diri mewawancarai Walikota Daeng Patompo yang sedang tergila-gila memba-ngun daerahnya meniru Jakarta. Saking sukacitanya, ia minta ajudannya memberikan aku tiket pesawat meskipun aku sudah memiliki tiket.

           Kepala Dolog Makasar juga kujumpai berhubung adanya gejala aneh.  Sulawesi Selatan bekelimpahan beras, tetapi penduduk Jawa kekuangan beras sampai-sampai makan bulgur, yang konon di negara asalnya menjadi makanan kuda. Kendalanya ternyata kesulitan angkutan laut. Peusahaan pelayaran enggan mengangkut beras karena sewanya murah.

Dikira Pembajak Pesawat.

           Dalam pesawat aku mengenal seorang jenderal yang menjabat panglima di salah satu Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) yang mengkoordinasikan beberapa Kodam. Ketika aku mendekatinya untuk berwawancara ia terkejut. Ia mungkin mengira aku pembajak. Meski aku sudah mengenalkan diri, ia tetap enggan kuwawancarai. Untunglah aku kemudian bejumpa dengan seorang pemuda asal Timor, Johanes Auri, yang ternyata bintang sepak bola kesebelasan nasional. Teman-temannya di PSSI sering menjulukinya sebagai “Kuda hitamdari Timur”

        Ia beceritera tentang suka dukanya sebagai pemain bola nasional, bagaimana ia pernah cedera ketika melawan kesebelasan tangguh “Dinamo Moskow” dari Rusia Ia beceritera tentang penghargaan dan pengagum-pengagumnya termasuk kekasih yang baru saja dinikahinya. Selembar foto pernikahan dipelihatkannya dalam dompet. Ia juga berterima kasih atas perhatian Pertamina yang mengangkatnya sebagai kayawan.   

       Tulisanku mengenai bintang sepakbola yang hanya selingan spesialisasiku ini ternyata mengantarkan pula aku ke penugasan-penugasan untuk meliput pertandingan sepak-bola, baik tingkat nasional maupun antar negara di Istora Senayan. Diantaranya perebutan President Cup, Annyversary Cup, Mara Halim Cup dan Pra Piala Dunia.       

        Aku memang  ingin menjadi wartawan yang serba bisa. Gunawan Mohamad, redaktur kebudayaan kami, kerapkali memberiku tugas meliput dan menulis tentang kegiatan budaya di Gedung Kesenian Taman Izmail Marzuki. Mulai dari Lenong Betawi sampai pementasan karya Machbet yang dimainkan para dramawan terkenal. Sering pula ditugaskan menulis resensi tentang film-film produksi terbaru yang segera akan beredar.

         Aku juga tertarik dengan masalah-masalah perkotaan. Aku coba mengikuti sayembara mengarang mengenai penanggulangan masalah urbanisasi yang diselenggarakan Pemerintah DKI Jakarta. Tulisanku ternyata keluar sebagai salah satu pemenang, meskipun bukan yang terbaik.

       Tidak hanya itu. Bersama Pak Fanany, aku malahan kemudian  menjadi penulis tetap di Majalah Media Jaya  milik Pemda DKI Jakarta. Kemudian Majalah Kotapraja yang diterbitkan Badan Koordinasi Antar Kota Seluruh Indonesia (BKS-AKSI) Organisasi ini adalah forum komunikasi antar walikota-walikota seluruh Indonesia. Selain itu aku juga menjadi staf redaksi dari Majalah Widyapura, majalah ilmiah populer yang diterbitkan Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan.

         Ketika Gubernur Ali Sadikin tengah memelopori dimulainya komputerisasi di lingkungan administasi pemerintahannya. Kepala Biro II / Kepala Daerah, Ir. Wardiman meminta aku menyiapkan buku panduan dengan judul Sistim Komputerisasi Administrasi Pemerintah DKI Jakarta. Ia telah meminta stafnya menyusun buku itu tetapi tidak memuaskannya  Rencananya akan dibagi-bagikan pada saat kunjungan Presiden yang juga ingin mengetahui sistim administrasi pemerintahan baru berbasis komputer itu seperti apa. Penggunaan komputer saat itu masih sangat langkah. Di Indonesia baru IBM dan Pertamina yang memilikinya. Karena itu untuk dapat melaksanakan tugas ini aku menghabiskan banyak waktu terlebih dahulu mempelajari sistim itu sebelum mulai menulis. Syukurlah dapat diselesaikan dengan baik pada waktunya. ***

                  

Dibreidel

           Pada awalnya kebebasan pers nampaknya  akan terjamin dalam pemerintahan baru. Koran Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis  dan Pedoman pimpinan Rosihan Anwar  yang dahulu dilarang diijinkan terbit kembali. Undang-Undang Pokok Pers diterbitkan. Meskipun adanya Ijin terbit dan Ijin cetak dari Pemerintah tetap diwajibkan, namun pemanggilan terhadap wartawan tidak sembarangan. Hanya Jaksa Agung yang boleh melakukannya, dan itupun hanya boleh terhadap Penanggung Jawab suratkabar.

          Tetapi lama-kelamaan, pemerintah mulai lagi mem-perketat pengendalian terhadap pers. Pejabat-pejabat pemerintah sering melarang pemuatan berita-berita tertentu. Surat kabar yang dianggap melanggar dihentikan penerbitannya dengan mencabut ijin cetak atau sekaligus dengan ijin terbitnya. Koran Indonesia Raya yang gencar memuat berita-berita korupsi dibreidel. Menyusul juga Pedoman, Nusantara, Majalah Ekspres, Majalah Tempo dan  beberapa media lainnya termasuk Harian Kami..   

         Karyawan-karyawan mulai dari wartawan-wartawan, pegawai administrasi, agen dan pengecer koran, kolportir iklan sampai petugas percetakan  terpaksa menganggur. Keluarga mereka kehilangan sumber nafkah. Tidak ada forum pengadilan untuk mengajukan pengaduan. Kami, karyawan Harian Kami seperti dibunuh perlahan-lahan. Ijin Terbit baru dicabut enam bulan setelah pencabutan Ijin Cetak. Ketika itu harapan untuk dapat terbit kembali tetap ada selagi yang dicabut hanya ijin cetak. Selama itu setiap hari kami hanya  datang ke kantor, menunggu dan menunggu dan tidak mengambil keputusan apapun karena berharap ijin cetaknya akan diberlakukan lagi.

          Selama penantian yang tidak pasti itu, sisa pengha-silan untuk kehidupan sehari-hari mulai habis. Karena itu kami masing-masing mulai memikirkan cara mendapatkan sumber penghasilan tambahan sambil menunggu jawaban pemerintah atas kelanjutan penerbitan koran kami. Apalagi bagi teman-teman yang sudah mempunyai tanggungan keluarga.

          Ada yang mulai mencoba nasib melalui usaha batu kapur dan ada yang buka warung. Aku sendiri menemui Bapak Ismid Hadad yang sudah menjadi Pemimpin Umum/Redaksi Majalah Prisma, sebuah majalah ilmiah. Ia memberi aku pekerjaan mengoreksi hasil pencetakan naskah dan memberi aku sekedar honor.

 Masuk Daftar Hitam

          Aku menghubungi Pak Gunawan Muhamad, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo. Disana telah bergabung juga teman-teman dari ex. Harian Kami seperti Fikri Jufri, A. Bastari Asnin, Lukman Setiawan, Christianto Wibisono, Bandoro, dan fotografer Ed  Zulverdi. Aku menghadapi kendala. Sebagai wartawan bekas koran yang dibreidel, aku termasuk jurnalist yang dimasukan ke daftar hitam oleh penguasa. Harus memperoleh rekomendasi dari Kopkamtib untuk dapat bekerja kembali sebagai wartawan. Tetapi aku ogah datang memohon-mohon ke lembaga itu. Aku masih merasa  sakit hati atas perlakuan terhadap kami.

          Pada saat itu pula  Pak Zulharman dan beberapa bekas pengurus Yayasan yang menerbitkan Harian Kami berhasil mendirikan PT. Enam-Enam. Perusahaan ini dimaksudkan untuk menampung para  ex karyawan Harian Kami yang belum bekerja. Kegiatan awalnya adalah  usaha klipping berita koran, biro iklan dan bantuan Hukum. Pak Erman dan E. Subekti menangani klipping, Pak Abdi Kusumanegara dan Pak Abbas Ali menangani Biro Iklan sedang Bantuan Hukum dirangkap Pak Erman.

        Erman adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan selama masih kuliah merupakan kontributor berita Harian Kami. Untuk mendukung usaha clipping  mereka  membeli mesin fotocopy yang sekaligus juga melayani umum.

          Meskipun aku telah aktif  sebagai koresponden lepas di Majalah Tempo, aku masih ke kantor ex. Harian Kami, bertemu teman-teman. Aku boleh tetap menggunakan fasilitas kantor seperti mesin tik bahkan sepeda motor. Aku tergugah melihat inisiatif, solidaritas dan perjuangan  keras teman-teman untuk bangkit lagi dari bidang usaha yang sama sekali baru. Datang subuh-subuh, memborong koran, menandai berita-berita, menggunting, menempel, memfotocopy dan memperbanyak, menjilid, mengirim, mencari langganan dan melakukan penagihan.

           Mula-mula hasilnya tak seberapa. Tetapi adalah lebih baik ada kegiatan dengan suatu harapan, daripada menunggu saja tanpa kepastian. Mulai timbul keinginanku untuk kembali bergabung.

           Teman-teman di Majalah Tempo Jalan Senen Raya 83 rupanya  berhasil mengusahakan surat rekomendasi dari Kopkamtib untukku. Aku dipanggil lalu Pak Goenawan Mohamad memperkenalkan aku ke Direktur Perusahaan. Sejak itu aku sebetulnya sudah menjadi wartawan tetap. Tetapi keinginanku untuk kembali bergabung dengan kawan-kawan di Jalan Kramat VIII/2 makin bertambah kuat. Tiba-tiba datang instuksi dari Kopkamtib agar semua majalah Tempo terbitan minggu itu ditarik dari peredaran dengan alasan tulisan mengenai salah satu tradisi di kraton Jogya di majalah itu  dinilai melanggar tata susila. Aku bertanya pada Pak Gunawan, apakah majalah ini dapat betahan selama lima tahun ? Pak Gunawan menjawab, “bukan lima tahun tetapi lima puluh tahun !” Namun jawaban optimis ini belum meyakinkan aku. Akankah kami akan mengalami lagi perlakuan seperti Harian Kami, Indonesia Raya, Pedoman dan lain-lainnya ?

          Karena itu mantaplah keputusanku untuk berhenti meninggalkan profesiku di bidang kewartawan yang selama ini kutekuni. Beralih ke bidang lain, setidak-tidaknya selama masih ada ancaman pemberangusan tehadap dunia pers.

          Aku mengundurkan diri dari Tempo dan bergabung dengan teman-teman mengembangkan Clipping Service Agency. Meski keputusanku disesali dan mengherankan teman-teman terutama  Pak Ismid Hadad, namun aku sudah berketetapan hati. Aku bersedia masuk  kerja setiap subuh bersama teman-teman bahkan siang hari ikut mengantarkan hasil klipping sampai-sampai ke Cilicing dengan sepeda motor sambil mencari pelanggan baru.

           Suatu ketika ada tawaran dari  perusahaan kelompok penerbitan Pos Kota untuk bergabung dalam penerbitan koran baru Pos Sore. Rekan Encub Subekti,  Pak Fananny dan aku diterima. Tetapi sekali lagi aku kemudian mengundurkan diri.

           Usaha kami tidak segera dapat menghasilkan. Usaha bantuan hukum tidak pernah memberi hasil. Sedang biro iklan hanya sekali mendapat order dan setelah itu tutup. Untuk menutupi biaya hidup sehari-hari, aku perlu terus mengusahakan sumber penghasilan lain.                 

          Aku menemui Kepala Humas Pemerintah DKI Jakarta apakah dapat menjadi penulis tetap di media informasi mereka, Majalah Media Jaya. Dengan rekomendasi Pak Fanany aku diterima. Pak Fanany sudah lebih dahulu menjadi penulis bahkan dialah yang dahulu sebagai penggagas penebitan majalah itu sewaktu masih menjadi wartawan perkotaan di Harian Kami dan sering betugas di Balai Kota. Aku dibayar per naskah dan hasilnya lumayan.

          Ada lagi tawaran pembuatan naskah dari Proyek Penerangan Hukum melalui Pak Erman. Proyek ini merupakan hasil kerjasama antara FHUI dengan Pemda DKI Jakarta dengan dana bantuan Luar Negeri.

       Aku juga menghubungi  Redaksi Majalah Widyapura yang diterbitkan Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan (PPMPL). Lembaga ini merupakan organ Pemerintah  DKI Jakarta. Isi dan bentuk majalah mirip dengan Majalah Prisma. Para pengasuhnya hampir selu-ruhnya para ahli alumni UI. Aku diterima dan malahan diserahi mengelola seluruh masalah teknis penerbitan majalah ini. Mulai dari komunikasi dengan para penulis, tata letak naskah, perancangan tata muka sampai pencetakan.

        Bukan itu saja. PPMPL juga ternyata menangani  Majalah Kotapraja, media  Badan Kordinasi Antar Kota Seluruh  Indonesia (BKS-AKSI). Lembaga ini adalah oganisasi persatuan Walikota-walikota seluruh Indonesia dan  mempunyai mitra intenasional. Ketuanya secara ex officio adalah Gubernur DKI Jakarta.

        Suatu waktu aku mengajukan proposal kepada Pak Zulharmans selaku Direktur PT. Enam-Enam untuk mengaktifkan kembali kegiatan Unit Usaha Sixty Six Advertising Agency (SSAA). Target jangka pendekku adalah mengangkat kembali lokomotif unit usaha ini diatas relnya lalu menjalankannya dengan prinsip mulai dari mengusahakan pelangganan iklan kecil-kecil dan iklan mini/baris. Inilah sebagai modal dasar untuk kemudian ditingkatkan untuk mendapatkan klien-klien besar. Ini lebih realistis daripada seperti sebelumnya mau langsung mengharapkan pelanggan-pelanggan iklan besar. Karena lama berusaha tanpa hasil, akhirnya pegawai frustrasi dan kantor tutup.

       Pak Zul setuju dan malahan sekaligus menugaskanku sebagai Manager. Meski belum memiliki pengalaman, namun di luar dugaanku usaha ini tenyata dapat menjalan baik bahkan makin berkembang. Kami mulai memiliki pelanggan-pelanggan tetap, mulai dari usaha jual-beli mobil, perusahaan tekstil, konstrusksi, unit Pertamina, peralatan olah raga, instansi Pemerintah, perguruan tinggi dan sekali-sekali perusahaan asing. Seiring dengan itu aku dapat menambah staf satu sampai tiga orang.

     Di kalangan media, kepercayaan kepada SSAA pun kian baik. Kalau dahulu pada koran-koran terkemuka kami harus membayar dimuka untuk setiap pemasangan iklan, maka kemudian kami boleh membayar setelah pemuatan, bahkan dapat diberi tenggang waktu satu bulan. Bukan itu saja. SSAA bahkan juga diberi sertifikat tanda penghargaan. 

      Pimpinan-pimpinan perusahaan ikut gembira melihat kecenderungan itu. Pak Zul mengakui, meski unit usaha kami kecil, tetapi kontribusinya bagi perusahaan cukup berarti. Suatu saat Pak Zul menegurku di depan para direksi supaya jangan sombong ketika aku menyebut kata “cuma” sewaktu menyebutkan suatu nilai transaksi yang baru dihasilkan. “Itu transaksi besar lho, bukan kecil”, katanya. Lalu kujelaskan bahwa sebelum itu sebenarnya sudah sering ada transaksi-transaksi yang lebih besar dari pada itu.

      Pak Zul adalah seorang pimpinan yang obyektif dan adil tanpa melihat muka orang. Ia juga memberikan keleluasaan penuh kepada pimpinan bawahannya. Sekalipun terhadap keluarganya, kalau salah dikatakan salah dan yang benar dikatakan benar sekalipun itu orang lain. Terbukti ketika ia menitipkan kemanakan-kemanakannya untuk dibantu dan dibimbing bekeja sebagai staf SSAA. Ia tekankan, sekalipun ia Direktur dan mereka kemanakannya, aku tak perlu ragu-ragu menegur bahkan memberhentikan mereka kalau melanggar.

    Salah seorang dari kemanakan itu pada suatu waktu tidak masuk bekerja selama tiga hari tanpa pemberitahuan. Para  langganan mengadu melalui telepon karena order iklan-iklan mereka tak terlayani. Ketika pegawai bersangkutan ditanyai alasannya tidak masuk dan tidak memberi kabar, ia diam saja. Akhirnya ia menyahut, “Ini kan, perusahaan Oom saya”, katanya. Aku terdiam dan berpikir, ini tak dapat ditolerir lagi. Kalau dibiarkan  ia akan tambah besar kepala dan aku akan kehilangan wibawa. Seorang pimpinan tanpa wibawa tak akan berhasil memimpin, dan karena itu lebih baik berhenti. Aku ingat pesan Pak Zul, lalu aku menjawab : “Oh, ini perusahaan Oom-kamu…… Sekarang, keluar  !!!” Ia diam saja. Aku berdiri dan berkata lebih tegas “ Kamu keluar, atau aku yang keluar !” Akhirnya ia keluar dan pulang. Aku tak menginginkan hal ini terjadi tetapi apa boleh buat. Tidak ada pilihan lain.

          Beberapa hari kemudian, aku dipanggil Direktur Utama. Disitu hadir juga beberapa anggota Direksi lainnya. “Bagaimana perkembangan usahamu ?” dia bertanya. “Baik, Bang Zul” jawabku sambil tetap berdiri. “Kalau nanti ditemukan yang kurang beres, bagaimana ?”. Karena yakin aku tidak melakukan kesalahan apapun, aku menjawab : “Bang Zul kan Direktur Utama. Terserah Bang Zul saja”. “Ya sudah.”, sambil tangannya memberi isyarat boleh keluar. 

           Pak Fanany, yang ketika itu sudah menjadi kerabat keluarga Pak Zul memberitahukan bahwa masalah peme-catan itu memang telah dibicarakan dalam rapat keluarga, tetapi mereka dapat membenarkan tindakanku.

             

 Harian “EMPAT  LIMA”         

        Tiba-tiba terdengar kabar ada rencana Bapak Haji Adam Malik yang ketika itu sebagai Ketua MPR-RI dan dicalonkan sebagai Wakil Presiden, akan menghidupkan kembali suratkabar Harian Empat Lima yang dahulu tutup.. Beliau akan duduk sebagai Penasehat dan Suhadi seorang perwira tinggi ABRI sebagai Pemimpin Umum. Pak Zulharman diminta menjadi Pemimpin Redaksi. Tentu saja Pak Zulharman menerima ajakan tokoh Pejuang 45 yang dihormati itu namun dengan satu usulan agar diberi wewenang sepenuhnya menentukan kebijaksanaan redaksional dan susunan personalianya.

      Dengan serta merta kami sisa-sisa karyawan Harian Kami direkrut kembali. Aku harus memilih ikut menjadi anggota Redaksi koran baru ini atau tetap menjadi Manager SSAA yang sudah mulai berkembang. Meski merasa sayang meninggalkan biro iklan yang telah kami rintis dengan susah payah ini, namun aku lebih memilih kembali ke lingkungan pers. Ancaman pembreidelan yang selalu menjadi momok karyawan pers, nampaknya kecil kemungkinannya. Bukankah Adam Malik, Ketua MPR menjadi Penasehatnya dan Pemimpin Umumnya seorang petinggi ABRI ! Nama surat kabar dengan logo berwarna bendera merah putih terikat pada bambu runcing di tengah dua kata Empat Lima, terasa memberikan semangat baru kepada kami untuk kembali berbuat sesuatu untuk Bangsa dan Negara sesuai profesi kami melalui koran ini.

           Yang agak merisaukan adalah apakah kebebasan pemberitaan sesuai kode etik Persatuan Wartawan Indonesia dan Undang-undang Pers yang dahulu kami jadikan pedoman pada koran sebelumnya tetap dapat kami pedomani lagi. Penegasan itu kemudian dapat kami peroleh ketika kami segenap Dewan Redaksi menemui Pak Adam Malik di rumah kediaman dinas di Jalan Iman Bonjol Menteng.

           Aku terheran-heran menyaksikan di ruang tamu tokoh nasional yang haji ini sebuah gambar besar jenazah Yesus Kristus tengah diturunkan ke dalam lubang batu, terpampang di dinding dalam bentuk sulaman diatas kain beludru. Kupikir, inilah salah satu pencerminan jiwa beliau yang toleran. Inilah kesempatanku yang pertama bertemu beliau. Bekas pemuda pejuang 45, salah seorang pemuda yang berani menculik Bung Karno dan Bung Hata ke Rengasdengklok untuk memaksa mereka memproklama-sikan kemerdekaan sesegera mungkin.

       Perjumpaan kedua dan terakhir adalah ketika kami mengadakan rapat di kantor PT. Inaltu, penerbit Harian Empat  Lima di Pulogadung. Setelah itu beliau sudah sulit ditemui karena sudah  dilantik menjadi Wakil Presiden.

       Kesan lain yang mengawali kegiatanku di koran baru ini adalah ketika kami mewawancarai Fransisco Lopez da Cruz toko pejuang integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia ketika itu di salah satu tempat di Kebayoran Baru. Kelak toko ini menjadi salah satu Gubernur ketika wilayah itu masih menjadi bagian dari wilayah Indonesia.

       Apa yang dikhawatirkan sebelumnya benar-benar menjadi kenyataan. Setiap malam seorang mayor dari dinas intelijens datang mengamati bahan berita yang akan diterbitkan. Dan bila ada yang dianggapnya tidak layak, ia minta dicabut. Hal ini sering menimbulkan ketegangan karena kami tetap patuh pada kebijaksaan Pemimpin Redaksi. Kadang-kadang masih saja ada telepon yang minta agar berita ini itu tidak dimuat.

       Hal ini berdampak buruk pada kegairahan para wartawan mendapatkan berita yang bermutu. Logonya menceminkan semangat empat lima, tetapi berita-beritanya datar-datar saja. Tak heran kalau pemasarannya sulit. Akibat peredarannya yang kurang meluas menyebabkan para pemasang iklan juga enggan menggunakannya. Terjadinya pemborosan yang tidak berkaitan langgsung dengan usaha,  tambah memperparah. Karena itu pada rapat terakhir, Drs. Suyatno sebagai Pemimpin Perusahaan terus terang melaporkan kondisi perusahaan yang terus-menerus merugi. Ekonom yang kelak menjadi  Ketua Perbanas dan ketua Yayasan Pendidikan  Atmajaya ini mengusulkan agar penerbitan Harian Empat Lima dihentikan saja untuk menghindarkan kerugian lebih besar.

         Penghentian penerbitan harian ini tidak begitu menyusahkan kami. Karena tidak lama setelah itu Pak Zulharman sudah mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT) baru untuk menerbitkan koran “Berita Minggu & Film.”. Aku dipercaya menjadi Pemimpin Perusahaan dan Pak Fanany yang telah mengundurkan diri pula dari Harian Pos Sore menjadi Pemimpin Redaksi. Persiapan penerbitan koran terbit sekali seminggu ini sungguh menguras waktu, tenaga dan pemikiran. Pak Zul sibuk sekali dengan tugasnya sebagai anggota Badan Pekerja MPR bahkan mereka harus dikonsinyir di suatu hotel, karena itu aku yang harus mengurus semuanya. Mulai dari rancangan model kepala surat kabar, membuat usulan rencana anggaran dan pendapatan yang meliputi bidang umum, percetakan, pemasaran, periklanan dan perbankan.

        BMF dibuatkan nomor rekening usaha sendiri dan aku diberi wewenang sebagai salah satu dari dua penandatangan cek. Aku juga harus menjajagi beberapa percetakan untuk mendapatkan biaya cetak yang lebih murah tetapi dengan mutu yang tetap terjamin. Akhirnya kami memilih PT. Gramedia. Kesibukan luar biasa ini memaksa aku harus membo-yong  berkas-berkas pekerjaanku sampai ke Klinik Bersalin “Dian Kasih” di Tanjung Priok.

          Aku masih berkutat dengan kertas-kertas dan kalkulator ketika tengah malam suster memberi tahu isteriku telah melahirkan anak kami yang kedua, seorang bayi perempuan mungil dengan selamat dan sempurna. Puji Tuhan ! Aku masuk lalu mencium isteriku yang juga nampak bahagia kemudian menyaksikan sang bayi yang untuk sementara dibaringkan dalam inkubator. Sebelum ke kantor, seperti kulakukan pada kelahiran anak kami yang pertama aku menempatkan seberkas bunga segar dalam vas yang menebarkan bau harum. ***

        .

 

 

Contact Form

Name

Email *

Message *