Wednesday, April 14, 2021

JEJAK MENGIKUT KRISTUS (7): BERJUANG UNTUK BANGKIT KEMBALI

 Singkat ceritera, setelah merasa mulai membaik, aku minta dokter mengijinkan aku pulang dan dirawat jalan. Pada mulanya dokter menolak. Namun setelah beberapa hari aku diijinkan tetapi dengan syarat harus banyak istrahat dan hati-hati dalam hal makanan.                                                                                        Terutama untuk menyembuhkan sampai  tuntas penyakit paru-paru yang kuderita. Seperti keherananku saat menerima hasil pemeriksaan ronsen dahulu, aku tak pernah menyangka sebelumnya aku juga menderita penyakit bebahaya itu. Badanku memang menyusut drastis tetapi aku tak tidak batuk-batuk. Tetapi hasil ronsen menunjukkan adanya penyakit itu. Sesudah keluar dari rumah sakit, aku masih diharuskan dua kali seminggu selama dua tahun membawa obat streptomycine dan  vitamin untuk disuntikan di RS Paru-Paru Jatinegara Aku juga mengikuti ronsen secara teratur sampai  paru-paruku benar-benar bersih dan bebas dari penyakit  itu.                                                                        Aku tidak kembali ke gubukku ke Grogol tetapi langsung ke rumah kontrakan koran Pelopor di kawasan Jalan Paseban Jakarta Pusat sebelum koran ini dibreidel. 

          Setiap hari aku hanya bangun,  tidur dan  keluar makan di warung. Lama  kelamaan bosan juga. Siang hari aku selalu sendirian dirumah. Simon telah bekerja di suratkabar Pelopor Jaya dan Mas Ngatijo di suratkabar Harian Pelopor Baru. Kedua suratkabar harian ini adalah kelanjutan dari suratkabar Pelopor yang telah dibreidel dan diambil alih oleh penguasa militer.                                                    Yang lebih merisaukan lagi, sisa uangku makin menipis. Selain untuk makan sehari-hari aku juga masih harus membeli obat dan ongkos ke rumah sakit. Untuk bertahan hidup tepaksa baju dan celanaku yang masih baik potong demi potong kujual malam hari ke pedagang-pedagang kakilima pikulan yang sering  mangkal di sepanjang jalan Salemba-Kramat Raya. Uangnya lalu kubelikan ubi rebus sebagai  makan malam.                                                                                                                                                       Meskipun tubuhku masih lemah, aku mulai berusaha mencari pekerjaan. Aku menghubungi bagian personalia Harian Pelopor Baru dan Pelopor Jaya tetapi mereka mengatakan penerimaan kayawan sudah ditutup. Kukatakan aku juga bekas kayawan Harian Pelopor yang telah dibubarkan, tetapi mereka tetap tidak mempertimbangkannya. Padahal aku mendengar kedua suratkabar baru itu dibentuk untuk menampung bekas kayawan Pelopor. Aku juga mendatangi suratkabar Gotong Royong yang baru terbit dan berkantor di Jalan Sawah Besar, tetapi mereka juga belum membuka lowongan.            

          Aku penah bejalan kaki ke Jalan Cokrominoto Menteng untuk menyampaikan lamaran dari sebuah perusahaan yang kubaca di iklan tetapi hasilnya nihil. Dengan modal ijasah SMA  aku membuat lamaran-lamaran yang kusampaikan langsung ke kantor-kantor yang kuperkirakan masih akan membutuhkan pegawai. Lebih dari sepuluh lamaran telah kusampaikan, tetapi balasan yang kuterima umumnya mnengatakan belum ada lowongan atau sebagian malahan tidak membalas samasekali. Tetapi aku tidak berputus asa. Mottoku, “Tuhan pasti akan memberi jalan. Kalau bukan hari ini mungkin besok. Kalau bukan besok, mungkin lusa dan seterusnya. Yang penting tetap berusaha dan bedoa”.

         Aku menyadari kekuranganku, karena hampir pada semua iklan lowongan yang kubaca selalu mencantumkan persyaratan Ijasah Bond A atau B dan ijasah mengetik. Karena itu aku lalu mendaftar mengikuti Kursus Bond A. Tetapi karena tak mampu membayar uang kusus aku tak dapat meneruskannya sampai selesai.

        Pada suatu hari aku membaca sebuah papan nama kecil “Mingguan Udjana” di ujung jalan Kramat VIII. Dengan penuh harap aku mendatangi  alamatnya dan menyatakan niatku untuk melamar bekerja sebagai korektor. Pak Umbas pemilik koran itu ternyata mengabulkan. Meski belum diberitahukan upah yang akan diberikan, dan koran kami hanya terbit sekali seminggu, aku sungguh-sungguh besyukur. Semangatku terasa bangkit kembali. Kupikir paling sedikit aku akan dapat mencukupi kebutuhan makananku sehari-hari karena pakaian yang layak kujual untuk pembeli makanan sudah tidak ada lagi. Aku dibuatkan Kartu Pers dan aku sangat senang menerimanya.

        Ketika aku diterima, Pak Umbas hanya dibantu dua orang pegawainya. Pak Runtuwene sebagai Pemimpin redaksi dan seorang wartawan yang merangkap sebagai korektor. Koran Mingguan Ujana dicetak di suatu percetakan di Ancol. Sebagai korektor, aku tidak menemui kesulitan apa-pun karena dahulu sudah merupakan pekerjaanku sehari-hari di suratkaba Pelopor. Tetapi ketika Pak Runtuwene memin-taku mengetik, dengan perasaan malu dan menyesal aku mengatakan belum bisa mengetik.

        Aku senang ketika koran kami terbit. Penataannya cukup cantik dengan tinta kebiru-biruan. Hanya aku akan risih karena hampir semua berita dan ulasannya cenderung rasialis, terutama terhadap golongan Cina. Aku merasa kurang cocok dengan kebijakan redaksional ini. Apalagi salah seorang kakak iparku orang Cina. Konon hal ini dilatabelakangi kegagalan dalam persaingan dagang. Pemilik koran Ujana dahulu adalah pengusaha yang sukses, memiliki perusahaan kapal,  tetapi kemudian bangkrut karena merasa dicurangi oleh perusahaan-perusahaan lainnya yang dimiliki warga kuturunan Cina. ***

 

 

 

 

 

 

 

 

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *